Bocah
5 tahun itu berlari. Bolanya baru saja keluar sampai ke jalanan. Hanya jalanan
kecil. Tak ada kendaraan yang akan membuatnya dalam bahaya. Ia mengejar
bolanya. Tapi belum sempat ia mengambilnya, bola itu terhenti karena seseorang.
Orang itu mengambilnya. Ia tersenyum saat bocah itu menatapnya.
Tuesday, January 14, 2020
99-1
Soo
Jin baru keluar dari kamar mandi saat telpon di meja kerja Woo Young berbunyi.
Woo Young tidak ada di sana. Semua rekan timnya sudah dipulangkan pula oleh
ketuanya itu. Masih ada beberapa petugas yang bergelut dengan kasus
masing-masing. Jadi tak ada yang tertarik untuk membantu mengangkat panggilan
itu. Soo Jin mempercepat langkahnya.
Jangan Bergerak!
Perpustakaan
sudah mulai ramai. Padahal, niat awal Yun Tae Yong kemari untuk tidur.
Semalaman dia bekerja paruh waktu. Pulangnya pun dia harus mengurusi tugas
sekolah yang berjibun. Sampai-sampai dia tak punya cukup banyak waktu tidur.
Dipikirnya, perpustakaan adalah tempat yang cukup nyaman dan tenang. Tapi,
melihat banyak orang di sini, rasanya lebih baik kalau dia kembali ke kelas.
Seorang Anak dalam Kegelapan
Banyak anak-anak yang
berlarian di halaman. Beberapa sama sekali tak punya sopan santun. Lewat begitu
saja di antara Won Geun dan Soo Jin yang sejak tadi penat menunggu pengurus
panti ini. Bila mengingat anak-anak itu adalah anak-anak menyedihkan yang
kehilangan orang tuanya, tentu karena ketidaksopansatunan yang mereka dapatkan
akan dibiarkan begitu saja. Malah mereka ikut tertawa saat tawa renyah mereka
terdengar di sana-sini.
Tunggulah Sebentar Lagi
Aku Hanya Melukis Kecantikan
“Silahkan,” Tae Soo
menyodorkan sekaleng soda ke Won Geun. Dengan sungkan, Won Geun pun
menerimanya.
“Ah, kamsahmnida.
Seharusnya Anda tidak perlu repot-repot begini.”
Alasan Aku Masih Bertahan
“Arkh…” ia terbangun
dengan sakit di sekujur tubuhnya. Rasanya pinggangnya hampir copot. Kalau saja
perutnya tak perlu diberi asupan, atau tenggorokannya tak perlu dialiri air, ia
mungkin tak akan bangun. Berbaring setidaknya seharian saja, mungkin bisa lebih
baik. Tapi, yah. Itu hanya pengandaian saja.
Aku Sangat Bahagia
“Soo Min~a! Soo Min~a!
Soo Min~a! Min~a!” kantor kepolisian sudah sangat gaduh di pagi-pagi begini.
Padahal baru beberapa polisi saja yang sudah ada di meja kerjanya. Keluarga Min
Soo Min, datang dengan tangis yang begitu mengiris hati. Ibunya sejak tadi
sudah pingsan 2 kali. Ayahnya cukup kerepotan menanganinya berkali-kali.
Sedangkan kakaknya hanya bisa ikut menangis sambil berteriak, “Siapa yang sudah
membunuh adikku?! Kalian harus menangkapnya segera! Akan kubunuh bajingan itu!”
berulang-ulang kali. Hwang Do Guk, polisi yang paling muda yang kebetulan atau
memang takdir duduk paling dekat dengan pintu masuk. Hingga tanpa tahu menahu,
keluarganya langsung menghambur ke arahnya.
Goresan yang Cantik
Jalanan cukup ramai
dengan orang-orang yang sibuk menikmati akhir pekan. Ada yang berlari dan ada
juga yang mengendarai sepeda. Ada yang beramai-ramai, berpasang-pasangan, ada
pula yang sendirian. Mulai dari anak kecil, sampai orang tua semuanya ada.
Terlebih cuaca pagi ini cukup menyenangkan untuk berolahraga. Hangat. Itulah
yang membuat Ki Jae yang biasanya masih tidur sudah keluar dengan sepeda,
setelan traning putihnya. Headseat merah menggantung di
telinganya.
Pergi Ke Surga
Kantor kepolisian
Gangnam Gu. Jika ini adalah siang hari, maka dari ujung pintu masuk sampai
ujung dinding di lantai ini akan dipenuhi para manusia yang baru saja kepergok
polisi melakukan suatu kesalahan. Bila dibandingkan dengan suasana jalanan di
Gangnam Gu, maka tempat ini akan lebih ramai. Dari penjahat kelas tengik yang
sudah memutilasi orang banyak, atau bahkan dari haksaeng yang terlibat
semrawut tawuran antar fandom[1]
idol di Korea. Dari yang akalnya sejernih air sumur, sampai yang cuma di
awang-awang ada ketika menjawab pertanyaan tersusun dari polisi.
Bye and Hi!
Awalnya aku ragu walau sekedar
untuk melangkah ke kelas. Tak banyak yang ada di luar. Mungkin ada tugas hingga
teman-teman sekelas tak menyadari bahwa aku hanya berdiri di dekat pintu. Menggenggam erat tali tasku. Merapatkan telapak kaki ke lantai. Menundukkan kepala dan menggigit bibir bawahku
sendiri. Benarkah tak apa jika aku masuk? Apa aku sudah siap bertemu dengan
Tora atau bahkan Fara? Ugh! Aku benci suasana ini!
Boneka Pisang
Satu minggu aku tidak ke kampus.
Satu minggu pula kunonaktifkan hpku. Aku tak ingin diganggu siapapun, termasuk
mama dan papa sekalipun. Kukunci diriku sendiri di kamar. Makan pun sekenanya.
Sekarang kurasa aku tak perlu diet. Karena berat badanku pasti turun banyak sekali.
Bukan Siapa-Siapa
Semester 3 terlewat dengan sangat
mengangumkan. Berkali-kali kuumpati pada hatiku sendiri, apa maunya. Kenapa
banyak laki-laki yang datang dan dengan mudah menaklukkannya? Dan di saat yang
sama pula, mereka lebur bagai debu tersiram air.
Pengakuan
Matahari baru saja merangkak ke
kaki langit. Mataku lengket dan terasa panas sekali. Kurasakan badanku berat
sekali. Kepalaku terasa pusing saat aku beranjak duduk. Ah… badanku demam.
Hujan Malam Hari
Kuliah kami selesai lebih awal
hari ini. Jam kedua dosen tidak masuk. Tadinya aku berniat pulang saja. Tapi,
Farra dan Sati menggandengku ke sekretariat.
Ah, periode magang kami sudah
selesai. Sekarang kami menjadii pengurus. Tentunya harus lebih sering ke
sekretariat. Terlebih Farra yang sekarang menjabat menjadi wakil sekretaris
umum. Sedangkan aku dan Sati hanya sebagai anggota bidang saja. Termasuk Wawan
dan Tora yang juga akhirnya ikut berkumpul di sini. Kami berempat memang jarang
berkumpul di rumahku lagi. Sekarang basecamp kami pindah di sini. Tak
pernah sehari pun terlewat untuk mengunjungi sekretariat.
Gambar
Kafe teman papa itu ada di Teluk.
Tak jauh dari Bundaran Gajah. Jaraknya sekitar 9 km dari rumah. Papa bawa
mobil, seharusnya bisa sampai lebih
cepat. Tapi, karena malam ini cukup ramai, kami baru sampai setelah 30
menit. Banyak sekali karangan bunga ucapan selamat. Pita-pita dan balon-balon
menjadi dekorasi utama. Karena semuanya terbuat dari kaca, bisa terlihat sudah
banyak sekali orang di dalam. Banyak lampu warna-warni, tapi tak begitu
menganggu pandangan mata. Papa menggandengku masuk. Sampai-sampai aku tak
sempat mengingat nama cafenya tadi.
Tentang Brian
Kubanting tubuhku di atas kasur.
Remot AC di atas meja lampu tidur kuraih dengan susah payah. Kuhidupkan.
Pelan-pelan kurasakan belaian sejuk darinya. Hah… nikmat sekali.
Hukum untuk Sahabat Jadi Cinta
Untuk pertama kalinya, inilah
saat-saat paling canggung saat kami bersama. Bahkan, kesan pertama kami bertemu
rasanya lebih bersahabat. Kami duduk berkumpul, seperti biasa. Aku, Farra dan
Tora duduk berderet di depan. Aku yang paling dekat dengan tembok. Sati akan
duduk di belakangku, dan Wawan tepat di belakang Tora. Akan ada satu orang
sebagai pembatas antara Sati dan Wawan. Tapi sekarang, rasanya bukan hanya
orang yang membatasi mereka berdua. Tapi tembok besar sekali. Tembok Besar
China mungkin yang ditaruh di sana. Padahal, biasanya mereka saling mengobrol
meski berjauhan. Tapi sekarang, mereka berdua bungkam. Dan macam batuk,
virusnya cepat sekali menjarah ke arah kami bertiga.
Aku Menyukaimu Tanpa Alasan!
“Ho… dibales! Dibales! Mia! Liat,
nih! Bbm gue dibales sama Kak Dedi!” seru Farra begitu senangnya. Kuberi
senyuman palsu padanya. Yah, sebenarnya aku sedikit cemburu. Tentu saja!
Walaupun aku belum sepenuhnya menyukai Kak Dedi, tapi kan aku duluan yang mulai
tertarik padanya. Hah… mungkin salahku juga karena aku tak memberitahu Farra
duluan, kenapa aku tertarik untuk ikut hima.
Terhenti, Langkah Keduaku
Semester dua! Ini semester baru,
dan ceritaku harus baru! Lupakan soal kisah cinta yang kandas menyebalkan di
semester lalu! Aku akan mulai serius mencari cinta… eh! Maksudku mencari nilai
yang lebih baik di semester ini. IP semester kemarin lumayan besar, 3, 92.
Kalau saja aku bisa mempertahankannya, maka cumlaude bisa kugondol
setelah lulus dari sini.
Bruk! Aw! Kenapa ini?
Kenapa setiap aku melangkah dengan senyuman di awal masuk kuliah selalu saja
ada yang menabrakku.
“Liat-liat dong kalo ja…”
Retak, Bukan Patah
Hah… di luar hujan. Papa dan mama
juga belum pulang. Besok tidak ada tugas. Jadi aku menganggur. Saatnya mengisi
blogku. Sambil menunggu kedatangan dua orang yang sangat kusayangi itu. Yah…
itu pun kalau aku tak ketiduran duluan.
Jantungku!
“Ahahaha… apa barusan? Komunitas
apa? Komunitas anti reason? Hahaha….” Brian tak berhenti-berhenti tertawa.
Kutarik-tarik ujung kaos olahraganya agar berhenti. Sambil kupasang wajah
cemberutku agar dia mau diam.
Kepada Hujan
Hujan…
Ia menggesek rambutku.
Menertibkan anak-anak poniku. Biar berjejer rapi layaknya barisan upacara
bendera. Ia menilik ubun-ubunku. Menyerahkan sensasi dinginnya dan meredupkan
panas yang menyakiti kepalaku. Hujan… hal yang kusuka tak lagi ada dalam
kantung sesuatu yang kujadikan sebuah favorit.
Sila ke-5
Baju kumal, bau tanah,
noda keringat. Sepatu merk tiger yang KW-nya kualitas atas bercumbu
dengan lumpur. Bau sabun pel lantai saja belum hilang semestinya. Dalang dari
gantinya bau itu ya cuma sepatu itu. Lebih benar biangnya ya si pemilik. Bocah
penyandang sabuk hitam kejuaraan gundu antar kelas di sekolahnya, Asrul.
Heart Beat
Tlit… tlit… tlit…
Ya Tuhan! Betapa lemah
detak jantungnya? Tak berdaya rasanya aku mendengarnya. Mengapa bukan aku saja
yang menggantikan posisinya, Tuhan? Mengapa bukan aku saja yang Kau biarkan aku
menerima apa yang dideritanya? Jangan dia, Tuhan! Bisakah aku memintanya
sekarang?
Diary for a Kiss
"Bruk!"
"Oh, jeongmal mianhaeyo!" suara gadis ini terdengar parau. Mungkinkah ia baru saja menangis? Entahlah. Tak dapat dipastikan karena ia langsung menunduk begitu menabrak laki-laki yang hanya menatapnya memberesi bukunya yang berjatuhan ke tanah. "Mentang-mentang aku yang salah, dia sama sekali tak mau membantuku," rutuk gadis ini.
"Oh, jeongmal mianhaeyo!" suara gadis ini terdengar parau. Mungkinkah ia baru saja menangis? Entahlah. Tak dapat dipastikan karena ia langsung menunduk begitu menabrak laki-laki yang hanya menatapnya memberesi bukunya yang berjatuhan ke tanah. "Mentang-mentang aku yang salah, dia sama sekali tak mau membantuku," rutuk gadis ini.
Hyung, Eoddiga?
"Ceklek!" Terdengar suara pintu di depan dibuka
seseorang. Kemudian sesaat terdengar tertutup kembali. Suara langkah seseorang
pun ikut menyusul. Tapi Minho enggan beralih dari tempatnya. Ia tak ingin
merubah posisi silanya menghadap layar LCD di depannya. Tangannya sejak tadi
sudah asik berkutat dengan stick PS. Tak peduli mau ada orang masuk, orang
teriak, orang molor. Ia sudah lupa segalanya kalau sudah bersama benda itu.
Mianhae
Kwangmin hanya diam di bangkunya.
Menatap sebal plus sedih kertas ulangannya. Pasalnya nilai yang tertera di
dalam lingkaran merah paling atas itu sama sekali tak ia harapkan. Sudah lima
kali ia mendapat nilai di bawah tujuh. Entah karena apa. Padahal ia sudah rela
membabat beberapa jadwalnya untuk belajar. Tapi tetap saja hasilnya jauh dari
kata memuaskan!
As Your Words
>>>
"Aku lebih baik mati daripada harus menyukainya."
***
Donghae terlihat begitu antusias memperhatikan permainan Hyuk Jae di bawah sana. Sampai-sampai Jae Hee yang duduk tepat di sampingnya hanya ia diamkan saja. Tapi untung saja Jae Hee tak melancarkan protes. Ia hanya tersenyum melihat Donghae yang sepertinya gemas ingin merebut bola dari kaki Hyuk Jae di sana.
"Aku lebih baik mati daripada harus menyukainya."
***
Donghae terlihat begitu antusias memperhatikan permainan Hyuk Jae di bawah sana. Sampai-sampai Jae Hee yang duduk tepat di sampingnya hanya ia diamkan saja. Tapi untung saja Jae Hee tak melancarkan protes. Ia hanya tersenyum melihat Donghae yang sepertinya gemas ingin merebut bola dari kaki Hyuk Jae di sana.
Komunitas Anti Reason
“Gak usah kali, Pa.”
“Loh, kenapa? Kamu ya,
mentang-mentang udah gede, maunya semuanya sendirian. Padahal kamu kan baru
kemaren dapet KTP-nya, Sayang. Papa ni enggak rela loh kalo kamu gede terlalu
cepet, loh. Udah, deh. Papa kan cuma mau jemput kamu. Apa sih salahnya?”
I Need You Reason
Ini kisahku. Kuawali dari sebuah
kisah ketika aku menjejakkan kakiku di sebuah lingkungan baru bernama kampus.
Aku anak tunggal. Jadi, aku tak punya saudara untuk mengenal apa itu kampus.
Yang aku tahu tentang kampus hanya semua yang sering dimunculkan di tv-tv itu. Ke
kampus, dengan segala jenis pakaian bebasnya, mobil, tugas, dosen, dan… pacar.
After Rainbow
“Dia nyesel, Ga. Sekarang dia beneran sayang sama kamu,” beberapa
minggu setelah putus, Ega mendapatkan kata-kata ini. Kata-kata yang membuat Ega
kembali kebingungan. Bingung dengan perasaannya sendiri yang dengan mudahnya
mengiyakan kebenaran kata-kata ini tanpa harus menyelidiki kebenarannya
terlebih dahulu. Dengan mudahnya ia kembali bersama Bunga. Sahabat-sahabatnya
sebenarnya tak ada yang mendukungnya. “Gua pengen membuktikan kebenaran
perasaannya,” dalihnya pada sahabat-sahabatnya itu.
Sulit Memaafkan
Hari ini tak ada jam kuliah. Dosen tiba-tiba saja check
in ke dokter. Kelas itu terpaksa (dengan hati yang riang gembira) keluar
dari kelas dan menghambur sembarangan entah kemana. Ega sendiri bingung harus
bagaimana. Ia menghampiri beberapa temannya yang duduk di depan parkiran.
Jangan Marah
“Kamu ni bikin aku kesel, deh! Udah ah! Aku marah sama kamu!” sentak
Febriel pada Ega. Entah karena apa temannya ini marah padanya dengan tiba-tiba.
“Yah, yah! Bil, jangan marah, dong. Kan aku cuma bercanda,” pinta Ega.
Ia benar-benar tak bisa bila ada teman ceweknya yang marah dengannya.
First Love
Pulang dari kuliah, Ega bermaksud pergi sebentar ke pantai. Melepas
lelah dan penatnya. Tapi, karena hujan turun, ia urungkan niatnya. Ia bahkan
belum sempat pulang, hingga akhirnya ia berhenti di sebuah minimarket. Sambil
menunggu hujan reda, ia kembali meletakkan headset-nya di kedua telinganya.
Mudahnya Bosan
Ini cerita soal
perjalanan cinta temanku, Kharisma Ega Julianza. Untuk seorang teman, ia adalah
teman baruku di kampus. Dia orang Lampung asli. Tapi, entah kenapa tampilannya
lebih mirip seperti orang Jawa. Bahkan, kami sering menyebutnya “Lampung
kemasan Jawa”.
Subscribe to:
Posts (Atom)