“Eh, enggak ada ya sejarahnya sahabat bisa
jadi pacar. Enggak boleh itu. Haram hukumnya!” entah saat itu aku berpikiran apa sampai-sampai mengucapkan tiga
kalimat ini. Mungkin juga aku hanya ingin melihat reaksinya. Namun, melihatnya
yang tiba-tiba malah langsung pergi seperti itu, meyakinkanku bahwa ia tak
begitu peduli dengan kata-kataku. Salahkah jika kukatakan bahwa ia pun setuju
penuh dengan pernyataan seperti itu?
Friday, January 17, 2020
Akhirnya...
Sejak pertama kali dosen ini menjejakkan kaki di kelas mereka dan mulai mengoceh panjang lebar mengenai mata kuliah mereka kali ini, tak ada satu pun yang masuk ke telinga Esta. Atau bahkan mungkin bisa dikatakan Esta benar-benar tak mendengar apapun sekarang. Matanya, memang hanya matanya yang fokus pada satu hal, Awan. Tapi, entah kenapa seluruh inderanya ikut fokus pada sahabatnya yang duduk di bangku paling ujung, jauh sekali dari tempat duduknya sekarang. Ia di ujung sebelah kanan, sedangkan Awan di ujung sebelah kiri. Sengaja ia majukan sedikit bangkunya agar bisa leluasa menatap bocah satu itu dengan tuma’ninah. Berharap Awan mengerti dan membalas tatapannya. Tapi nyatanya, nihil.
Masihkah Ini Disebut Takdir?
Pagi-pagi, bukan buta, sih. Buktinya matahari sudah sepenggal merangkak ke atap langit.
Bau basah tanah masih jelas terasa. Embun-embun pagi yang seharusnya memenuhi
dedaunan tergantikan dengan sisa-sisa hujan semalam. Pagi yang seharusnya
hangat berubah mendingin. Udaranya menusuk sampai ke tulang melalui pori-pori.
Rindu Hujan
Matahari sudah
terbit sejak tadi. Tapi cahayanya tak mampu menembus mendung pagi ini. Sisa
embun yang seharusnya sudah menguep masih bertahan di beberapa pucuk daun dan
ranting. Padahal semalam sudah hujan, tapi sepertinya hari ini hujan itu masih
akan berlanjut. Becek di jalanan membuat beberapa pejalan kaki harus berjinjit
atau setidaknya berjalan lebih bervariasi demi menghindari lumpur dan basah
yang bisa saja menjilat. Kalau-kalau ada yang tidak beruntung dan mendapat
rejeki dari mobil atau motor yang melintasi genangan air, paling hanya umpatan
yang bisa diletupkan. Selebihnya, suasana redup dan malas menyergap di
sana-sini.
Mentari yang Temaram
Semenjak Nata
dilempar ke dunia pendidikan, duduk tenang di bangku kelas mendengar ceramah
guru atau pun presentasi dari teman-temannya, ini adalah kali pertama ia merasa
gandulan di hatinya terlalu berat. Posisinya terlalu strategis. Bahkan
keterlaluan malah. Duduk tepat di samping dosen di antara kursi yang diatur
menjadi letter U, dan tepat mengarah
ke teman-temannya yang tengah presentasi. Sedang di kursi yang berseberangan
dengannya adalah Tara. Empat SKS, dan ia habiskan hanya untuk memandangi gadis
itu. Ia ingin beralih, fokus ke mata kuliahnya kali ini. Tapi itu terlalu sulit
digapai.
Senyuman Pilu
Pagi ini, Khoirul
terpaksa bangun lebih pagi. Mendahului ayamnya yang biasanya berkokok, si
petugas pembangun semua penghuni di kosan yang sederhana ini. Lantaran cuping
telinganya sudah bergerak-gerak. Efek dari getaran gendang telinganya yang
mendengar suara gembok gerbang yang dibunyikan. Menandakan ada orang di luar.
Jika sudah ada tamu yang datang dengan cara begitu, pasti Khoirul yang langsung
peka. Terang saja, kamarnya yang paling dekat dengan gerbang.
Berlabuh Di Atas Karang
“Gue mau nembak
Tara, Wan!” pagi-pagi buta. Kenapa buta? Karena bahkan Awan belum sempat
menghidupkan lampu kamarnya selepas bangun tidur, tahu-tahu Nata sudah nongol
dari balik jendela. Tak peduli Awan yang sempat kaget melihat tampangnya yang
sudah mirip gendruwo yang nemplok di
depan kaca. Untung saja Awan tidak punya penyakit jantung. Lebih beruntung lagi
karena Awan tidak ada riwayat ayan sedikit pun. Karena kalau tidak, pasti dia
sudah kejang-kejang dan mati di tempat sekarang.
Masa Lalu yang Belum Kelar
Mata kuliah
yang terlalu menjemukan hari ini akhirnya usai sudah. Seharusnya Awan senang,
karena dia bisa langsung bergegas ke kosannya. Mengistirahatkan seluruh saraf
di otaknya, atau paling tidak merilekskan luka-luka yang didapatnya hari ini.
Tapi sial dan sialnya lagi, hari ini ada rapat.
Hari Paling Keramat Sedunia
Matahari
sudah bertengger di ufuk barat. Memberikan garis merah sepanjang cahaya
membentang dari utara sampai selatan. Awan putih mulai terwarnai oleh cahaya
merahnya. Di sudut cakrawala nampak sepotong awan membentuk gir, seolah menjadi
sebab mengapa bintang raksasa itu mulai turun perlahan-lahan. Seraya turun ia
memanggil beberapa burung yang seharian asik bermain untuk kembali ke sarang
masing-masing. Dengan penuh kehatian-hatian mereka mengepak sayap agar bekal di
mulut mereka bisa sampai dengan selamat ke paruh anak-anak dan kerabat yang
sudah menunggu kepulangan mereka.
Yang Ada di Hati
Tangan Roni
meraih keran shower. Kepalanya mulai merasakan dingin karena guyuran air
shower. Perlahan, air itu melewati seluruh tubuhnya. Nampak menelusuri
setiap lekuk tubuhnya yang cukup atletis itu. Mulai dari otot-otot di lengannya
hingga perutnya yang nampak kotak-kotak. Kulit kuning langsatnya membalut
tampilannya sedemikian rupa hingga tampak apik dan benar-benar sepadan dengan tekstur
wajah tampannya. Mata sedangnya terpejam merasakan sensasi titik air ke seluruh
tubuhnya. Bibir merahnya bergetar. Ada yang salah dengan air di wajahnya. Lebih
banyak. Terutama yang melewati wajah tirusnya.
Mati Sebelum Perang
Satu hari
tanpa makanan masih bisa dan bahkan sudah dijalani Awan selama ini. Tapi
semenjak mengenal cewek jutek binti tomboy binti galak binti cerewet dan binti
berisik yang namanya Esta itu, satu hari tanpa denger celotehannya yang
kadang-kadang bikin pusing kepala rasanya ada yang kurang. Mungkin mulut bawel
Esta sudah seperti caffeine bagi Awan.
Muka Mendung vs Tawa Sandiwaranya
Mata bundar Esta
terbuka. Tamparan angin di pipinya memaksanya bangun. Padahal rasanya kerikil
di ujung matanya masih terasa. Tapi, toh waktu ia membuka mata sudah banyak
orang yang datang. Ali sudah mondar-mandir tak jelas di depan. Bukankah itu
berarti sebentar lagi rapat dimulai? Tapi, bocah yang tadi ia jadikan bantalnya
sudah tidak ada. Kemana nih bocah? Udah mau dimulai rapatnya malah ngilang,
Esta celingukan. Bibirnya masih lengket untuk bertanya pada Ervi di sampingnya.
Tapi, pekikan pelan di handphonenya menjawab pertanyaan hatinya.
Detak Jantung
“Rapat pertama
udah telat! Katanya mau jalanin organisasi yang menjunjung tinggi solidaritas!
Apa ini yang namanya organisasi dengan solidaritas tinggi? Kalo telat
bareng-bareng? Korupsi waktu bareng-bareng? Bikin orang lain nunggu ampe basi sendirian
di sekret?!” dumel Esta sendiri. Walaupun mendumel berkali-kali tangannya masih
setia mengatur map-map yang berserakan di lantai. Dia yang pertama kali datang.
Tepat pukul sembilan dan mendapati keadaan sekretariat organisasinya kacau
balau, mirip kandang ayam. Sudah lima belas menit ia berbenah, tapi tak ada
satu pun anggota organisasi ini yang nongol setelahnya. Huh! Tau gitu gue
enggak usah datang! Tak puas dengan bibirnya, hatinya pun tak kalah saing.
Subscribe to:
Posts (Atom)