Friday, January 17, 2020

Hari Paling Keramat Sedunia



Matahari sudah bertengger di ufuk barat. Memberikan garis merah sepanjang cahaya membentang dari utara sampai selatan. Awan putih mulai terwarnai oleh cahaya merahnya. Di sudut cakrawala nampak sepotong awan membentuk gir, seolah menjadi sebab mengapa bintang raksasa itu mulai turun perlahan-lahan. Seraya turun ia memanggil beberapa burung yang seharian asik bermain untuk kembali ke sarang masing-masing. Dengan penuh kehatian-hatian mereka mengepak sayap agar bekal di mulut mereka bisa sampai dengan selamat ke paruh anak-anak dan kerabat yang sudah menunggu kepulangan mereka.
 Suasana pantai Mutun masih ramai. Beberapa masih menunggu lukisan langit di petang ini sedangkan yang lain asik bercanda, berlarian atau beberes di gubuk yang tersedia di pantai ini, bersiap untuk hengkang. Semuanya terlihat bersama teman, pacar ataupun sanak saudara. Lain halnya dengan orang yang sejak tadi terdiam di salah satu gubuk yang menghadap langsung ke senja itu. Mungkin ia tengah menikmati pemandangan kesukaannya dan menghirup dalam-dalam bau lautan serta menjadikan deru ombak sebagai musik di telinganya. Ia sendiri, menikmati suguhan Tuhan yang tiada duanya itu.

Ia baru beralih dari sang surya ketika seorang bocah berumur sekitar lima tahun berlarian di depannya. Ia tersenyum melihat anak ini kepayahan membawa bola yang cukup besar. Bahkan hampir menyamai tubuhnya. Mungkin karena kurang hati-hati bocah ini terjatuh. Tanpa pikir panjang, ia menghampirinya. Membantunya berdiri. Anak ini tidak menangis. Hanya heran menatap orang yang membantunya ini. Tapi yang ia dapatkan malah senyuman.

“Adek siapa namanya?” tanya Awan. Dia tak menjawab. Mungkin dia malah takut melihat orang asing yang mendekatinya.

“Bian!” tiba-tiba suara seorang anak yang lain membuat Awan menoleh. Bocah sekitar delapan tahunan mendekat. Tersenyum tipis pada Awan kemudian menggamit tangan bocah yang lebih kecil darinya itu. “Jangan jauh-jauh mainnya. Kakak nanti dimarahin mama kalo kamu ngilang,” ujarnya. 
Kemudian keduanya pergi meninggalkan Awan sendiri lagi. Tapi Awan tak lekas kembali ke gubuknya. Matanya masih lekat menatap sepasang kakak beradik tadi. Hingga senja mulai meredup dan menggelayut di matanya, barulah ia berdiri. Kembali menatap sisa senja yang masih ada di garis cakrawala.

Kini si raja siang itu benar-benar lenyap. Beristirahat sebentar untuk digantikan kerlip kecil dan sepotong bulan sabit tugasnya. Esok pagi ia harus kembali ke rutinitasnya. Tapi Awan masih enggan beranjak dari tempat itu. Bahkan tak dipedulikannya angin malam mulai menampari wajahnya. Debur ombak ini masih ia gemari. Terlebih langit malam melukiskan wajah seseorang. Matanya mulai sayu melihat sesuatu yang jelas ia sadari hanya sebuah imajinasinya. Meski begitu, tak apa. Paling tidak ia cukup senang masih bisa membayangkan wajah itu sekarang.

Tin! Tin! Suara klakson motor terdengar. Karenanya ia berbalik. Roni sudah ada di sana melambaikan tangan padanya sambil tersenyum. Perlu beberapa saat untuk membuat Awan sadar kalau itu adalah Roni. Barulah setelah itu ia balas tersenyum. Setelah menghela nafasnya sebentar ia berlari kecil mendekati seseorang yang sudah seperti kakak kandungnya sendiri itu.

“Tahu darimana gue di sini?” tanya Awan begitu sampai di depan Roni.

“Feeling aja,” jawab Roni. Awan hanya tersenyum menanggapinya.

“Yok!” ajak Roni.

“Kemana?”

“Emang elo ada kendaraan mau pulang?” balas Roni. Awan nyengir. Benar juga. Tadi kan dia ke sini bareng Nata. Kalau sudah malam begini apa ya masih ada angkutan umum untuk kembali ke kosannya? Lagipula Roni ke sini juga bukan tanpa alasan, kan? Pasti memang berniat menjemputnya.

Di tengah perjalanan Awan membuat Roni mendadak berubah mood. Pasalnya ia menanyakan sebuah pertanyaan yang cukup tak mengenakkan hatinya. “Kok elo enggak berenang lagi sih, Ron?” ia hanya menjawabnya dengan satu kata, “Bosen.” Meski sebenarnya ada jawaban yang lain pastinya. Tapi Awan tak menanggapi lagi. Diamnya Roni juga tak begitu ia perhatikan. Berubah seperti apa suasana hati Roni sekarang, juga Awan tak menyadarinya. Ia asik dengan hamparan kerlip lampu sepanjang jalan di malam hari ini.

Mungkin pertanyaan itu muncul karena Awan cukup heran Roni mau menjemputnya di pantai tadi. Meski sebenarnya itu hal yang biasa saja bagi Awan. Tapi pantai atau kolam renang, tempat dimana air lumayan banyak untuk berenang, selalu dihindari Roni. Padahal dulu Roni jago renang. Hobinya renang meski tak sampai jadi atlet renang, karena dia sendiri tak mau didaftarkan gurunya ikut olimpiade renang se-provinsi. Alasannya ini  hanya hobi, untuk menghiburnya di kala bersusah hati. Tapi sampai apa yang membuat dirinya bisa terhibur ini malah ditinggalkannya, Awan sama sekali tak tahu. Pasti Roni punya alasan sendiri.

Sesampainya di depan kos Awan, Roni malah diam. Meskipun sebenarnya Awan sering sekali berada dalam situasi yang seperti ini. Sampai kadang-kadang Awan bertanya, “Sebenernya elo masih suka sama cewek kan, Ron?” tapi Roni hanya menanggapinya dengan ledak tawa.

“Apaan, sih?!” Awan mulai risih. Sebenarnya kalau mau, Awan tinggal masuk saja setelah say thanks. Tapi rasanya kurang ajar bingits, udah dianterin malah nyelonong duluan masuk gitu aja. Jadi, mau tak mau dia harus rela membiarkan wajah yang menurutnya ganteng itu dipandangi berlama-lama oleh Roni.

Roni menghela nafas panjang. Menyisakan Awan yang tambah bingung dibuatnya. Tangannya kemudian terulur. Sebelum berhasil dihalau Awan, ia sudah duluan menggapai surai hitam Awan. Mengacaknya sebentar hingga membuat pemiliknya benar-benar kesal.

“Hish! Kebiasaan elo mah! Gue bukan anak kecil, woy!” rutuk Awan. Lagi-lagi Roni hanya tersenyum.

“Gih! Sono pulang! Gue banyak tugas! Enggak ada nafsu ngeladenin elo buat jalan-jalan!” tambah Awan lagi. Anggukan kepala yang didapatnya. Roni kembali memakai helm yang sempat ia lepas tadi. “Pulang, ya?” pamitnya. Awan mencibirkan bibirnya. Ia seolah menjadi gebetan Roni sekarang.

Setelah Roni menghilang di balik gerbang, Awan masuk. Berbaring sebentar di atas kasur. Ia baru melompat dan bergegas ke kamar mandi karena teringat sesuatu. Emak! Gue belum shalat magrib!

***

Hari senin adalah hari keramat. Di mana jadwal pertama kuliah diparkir di pagi hari, mata kuliah paling ribet, runyem, renyah, sampai krenyes-krenyes numplek semua di hari ini. Satu hari tiga mata kuliah, 3 sks, 2 sks, dan 3 sks lagi. Pening-pening deh pala. Kalau situasinya hanya presentasi, mendengarkan ceramah dosen, diskusi seadaanya, mungkin Awan masih bisa berngantuk ria. Tapi kalau posisinya ada ujian semua, bisa mati berdiri. Rasanya Awan harus bakar menyan dan mandi kembang tujuh rupa dulu untuk menghadapi hari senin dengan lapang dada. Yah… meskipun dia masih punya satu kembang yang melekat di hatinya, sih. Siapa lagi kalau bukan Esta?

Teringat Esta, Awan buru-buru mengeluarkan hpnya. Ada yang harus ia lakukan sebelum berangkat kuliah dan bertemu Esta hari ini. Wallpaper hp-nya harus segera ia ganti. Asal pilih gambar, yang penting bukan wajah Esta saja yang nampang.

“Wan!” baru keluar dari gerbang sebuah suara yang berhasil membuat senyumnya mengembang terdengar. Padahal belum lihat siapa orangnya. Tapi baru  mendengar suaranya saja Awan sudah senangnya amit-amit.

Begitu berbalik, iya sih, empu suara itu adalah wanita yang ia puja sejak semester satu itu. Tapi hatinya langsung dongkol. Lantaran Esta hanya melambaikan tangan padanya dan berlalu begitu saja. Bukan, bukan. Bukan karena Esta pergi begitu saja yang membuatnya pasang wajah nelangsa. Tapi karena Esta dibonceng seseorang, pakai jeans hitam, jaket kulit dan kaos bergaris biru, serta helm dengan kaca yang terbuka, dan yang pasti jenis kelaminnya laki-laki. Ada virus-virus jealous yang tiba-tiba mampir di hatinya. Siapa itu? Ada hubungan apa Esta dengan cowok itu? Pacar? Gebetan? Mantan? Selingkuhan? Kepala Awan penuh dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Padahal masih ada kemungkinan-kemungkinan lain seperti kakak, adek, keponakan, sepupu atau hubungan-hubungan sedarah lainnya. Awan tak sempat berpikiran lain.

Yang membuatnya bertambah nelangsa adalah, tak ada satu pun temannya yang nongol untuk memberikan tumpangan padanya. Padahal, biasanya ada Nata yang lewat. Walau dia bosan dengan tampang bocah satu itu, tapi paling tidak dia tidak harus berjalan kaki ke kampus. Ah, iya. Ini kan hari senin. Hari keramat yang rasanya tanpa melakukan aktivitas apapun pun, Awan pasti apes.
Baru berjalan beberapa  meter dari kosannya, kesialan kembali menimpa Awan. Entah mobil tak tahu adat dari mana mencium tubuhnya dengan begitu manisnya. “Aa!” teriaknya kaget. Mobil ini sempat mengerem memang, tapi sayangnya Awan tetap saja terjatuh. Nyeri dan perih langsung menghampiri kaki dan lututnya yang kepentok aspal.

“Astaga!” suara si pengemudi cewek ini terdengar. Ia keluar dan telihat begitu panik melihat Awan yang terduduk sambil meringis kesakitan karena luka-luka ringannya.

“Aduh, aduh. Ma, maaf ya, Mas. Aduh, saya enggak sengaja. Aduh, beneran, deh,” jelasnya dengan panik. Sesekali ia berjongkok. Mencoba membantu Awan. Tapi dia ngeri sendiri melihat darah yang mengalir dari siku Awan.

“Ssh… iya, Mbak. Enggak papa. Lain kali hati-hati, ya?” ujar Awan. Belum sempat ia bangun, masih sibuk dengan rutukannya dalam hati. Bener-bener sialan hari ini!

“Aduh, Mas. Mending ke rumah sakit aja, yuk! Saya anterin, deh.”

“Eh, eh. Enggak papa, kok,” Awan buru-buru berdiri begitu mendengar kata rumah sakit. Barulah ia bisa bertatap muka dengan penabrak cantik ini. Ia terdiam dan cukup tercengang melihatnya. Bukan, bukan karena gadis ini cukup cantik. Tapi, karena ia mengenal gadis ini.

“Eh, Mbak kan yang…” Awan mencoba menerka. Tapi cewek ini malah mengerutkan keningnya. Sepertinya dia lupa dengan Awan. “Di FKIP, Mbak. Waktu itu  Mbak abis berantem sama cowok Mbak. Saya yang nolongin,” jelas Awan. Barulah cewek ini terdiam. Mungkin mencoba mengingat-ingat kejadian itu. Dan setelah diperhatikan betul-betul baru ia sadar bahwa ia kenal dengan wajah ini.

“Oh… iya. Mas yang waktu itu, ya?” serunya setelah ingat. Awan hanya manggut-manggut sambil tersenyum. “Aduh, iya, Mas. Saya malah bikin Mas celaka kayak gini. Ke rumah sakit, yuk! Saya anter. Nanti kalo ada apa-apa gimana? Gegar otak gimana?”

“Eh, eh. Enggak papa, Mbak. Saya tadi cuma jatoh, kok. Kaki sama tangannya aja yang lecet. Enggak sampe kepalanya. Yang ada saya bukan kena gegar otak, Mbak. Tapi kena gegar dengkul,” jelas Awan ngawur. Terang saja gadis ini langsung tertawa.

“Tapi beneran nih enggak papa?”

“Iya.”

“Kalo gitu saya anter ke fakultasnya aja gimana?”

“Eh, enggak usah, Mbak. Saya masih bisa jalan kaki, kok.”

“Yah… jadi saya nanti yang enggak enak. Ayo, Mas. Enggak papa, kok. Masuk, yuk!” cewek ini langsung masuk ke mobil begitu saja. Mau tak mau Awan harus ikut masuk. Yah… enggak papa, deh. Paling enggak dapet tebengan walaupun harus nyium aspal dulu.

“Aduh… maaf banget lo, Mas. Tadi saya ngelamun, sih,” cewek ini masih saja minta maaf di dalam mobil. Awan jadi tak enak sendiri.

“Iya, Mbak. Enggak papa, kok. Saya juga salah. Jalan enggak liat-liat,” balas Awan. Padahal jelas cewek ini yang salah. Tapi daripada mendengar kata maaf melulu. Awan lama-lama risih juga.

 “Eh, iya. Masnya siapa namanya?”

“Awan. Mbaknya?”

“Sani. Eh, makasih lo buat yang waktu itu. Maaf juga langsung ngeleyor gitu aja. Padahal belum ngucapin makasih.”

“Oh, iya, Mbak. Lagian, waktu itu saya juga enggak punya makanan buat disuguhin. Untung aja mbaknya pulang, jadi saya enggak perlu ngocek isi dompet buat beli makanan,” lagi-lagi Awan membuat Sani tertawa.

“Eh, udah, dong. Kan udah kenalan. Panggilnya jangan mbak terus.”

“Yah… masa harus dipanggil mas, sih.”

“Haha… ya enggak gitu juga. Panggil nama aja. Awan semester berapa coba?”

“Baru semester tiga, Mbak.”

“Aduh, kok mbak lagi, sih. Saya semester lima, sih. Fakultas Hukum. Tapi, saya program akselerasi. Jadi masih seangkatan sama kamu,” jelas Sani.

“Oh, iya, Mbak. Eh, maksudnya, San,” ujar Awan, sedikit canggung. Sani hanya tersenyum.

Dalam waktu sepuluh menit, Sani membicarakan banyak hal dengan Awan. Awalnya dia membahas soal pacarnya yang kemarin. Tapi Awan merasa tak enak dan langsung mengajaknya pindah topik. Karena toh menurutnya itu bukan urusannya. Sani pun semangat. Yang membuat Awan cukup simpatik, gadis ini tak terlihat terpuruk atau apapun. Sepertinya dia adalah tipe cewek yang tidak terlalu suka berendam lama dalam kubangan patah hati. Setiap obrolannya nyambung, hingga membuat suasana canggung tadi berangsur-angsur pergi. Padahal cuma sepuluh menit, tapi Awan sudah merasa asyik.

Awan minta berhenti di depan fakultas. Padahal Sani berniat mengantarnya sampai gedung kuliahnya pagi ini. Awan dengan sopan menolaknya. Bahkan sebelum pergi Sani masih sempat meminta maaf. Alih-alih menyediakan waktu kalau-kalau Awan mau minta ganti biaya pengobatan, ia bertukar nomor hp dengan Awan. Sekalian, nambah kenalan.

“Beneran lo. Mumpung awal bulan, saya masih punya banyak uang buat nganterin Awan ke rumah sakit,” ujar Sani sebelum pergi. Awan hanya menanggapinya dengan tawa kecil.

Begitu Sani menghilang dengan mobilnya, pemandangan yang seharusnya tak lazim dilihat matanya sekarang malah muncul. Entah malaikat kesialan di hari senin sepertinya masih hobi menggandulinya. Esta baru saja melintas, dengan tawa mengembang mengobrol ria dengan cowok berhelm GM itu dan berhenti tak jauh darinya. Telinga Awan risih rasanya kalau harus mendengar percakapan tak penting mereka. Yang ada hatinya malah tambah panas melihat sikap Esta yang menurutnya terlalu berlebihan di depan cowok itu.

Siapa sih? Sok akrab banget sama Esta! Rutuknya dalam hati. Cuma dua menit, tapi Awan benar-benar sudah menyamai gunung api yang hampir meletus. Entah sadar atau tidak, yang jelas sekarang wajahnya sudah memanas. Sebelum pergi pakai acara lambai-lambaian tangan segala lagi. Menambah gerah saja.

“Awan!” akhirnya Awan terlihat di mata Esta sekarang. Awan mencibirkan bibirnya sebagai respon. Merasa dikesampingkan. Padahal kalau Esta ada di sana seharusnya sejak tadi ia melihat Awan. Tapi, yah… ogah-ogahan Awan melangkah juga. Melihat senyum lebar itu agak adem juga, sih. Yah… walaupun... walaupun…

Tapi senyum Esta memudar begitu sadar keadaan tubuh Awan sekarang. Meski tak terlalu parah tampilan di luar, tapi melihat lecet di siku kananya, serta lusuh di celana dasar Awan itu membuatnya cukup panik. “Elo kenapa, Wan?” tanyanya.

“Tadi gue abis ketabrak mobil,” jawab Awan datar. Walaupun sebenarnya ia cukup senang karena Esta masih memerdulikannya. Tapi, tidak! Ia harus mengekspresikan kecemburuannya tadi.

“Ya ampun! Kok bisa, sih? Pas mobilnya nabrak mata elo dipasang, kan? Atau mobil itu yang enggak punya mata? Eh, salah! Maksud gue yang nyopir enggak punya mata, ya? Kok elo  masih masuk, sih? Walaupun hari ini kuliahnya Pak Wahidin yang killernya nomer wahid itu enggak perlu maksain begini lah, Wan. Itu yang nabrak elo udah nganterin elo ke rumah sakit belum? Tapi kayaknya enggak mungkin, deh. Elonya masih babak bunyak kayak gini. Itu orang apa malah enggak sadar kalo elo ketabrak? Pan sekarang elo cungkringan ya, Wan? Elo, sih! Kan gue waktu itu udah bilang, seharusnya elo minum susu yang banyak. Biar ada isinya. Kan kalo ada yang nabrak elo kayak gini jadi kerasa. Nti elo cuma dikira kucing, kan. Eh, tapi nabrak kucing kan juga harus tanggung jawab. Temennya engkong gue pernah nabrak kucing enggak tanggung jawab terus dia yang celaka. Tetep aja kan…”

“Woy, Es campur! Gila, ya?! Itu mulut apa rel kereta, sih?! Panjang bener enggak ada ujungnya! Elo prihatin apa mau ngasih kutbah, sih?! Ini hari senin, cuy! Besok jum’at aja kalo elo mau ngasih gue ceramah!” semprot Awan. Bocah ini kenapa kumatnya di timing yang tidak tepat seperti ini, ya?

“Iya-iya, sorry. Yuk-yuk! Gue obatin! Mumpung gue bawa obat merah. Tadi kebetulan gue baru aja mampir apotek. Gue tadi juga heran kenapa gue beli obat merah. Enggak taunya elo mau celaka dan butuh ni obat satu. Telepati kita makin kuat, ya?” tambah Awan lagi. Tak sempat menolak, Awan diseret begitu saja ke kelas. Padahal dia masih kepayahan jalan. Ini khawatir apa nyiksa sebenernya?

Awan hanya diam ketika Esta dengan telaten mengobati luka-luka sisa kecelakaan tadi. Mulut Esta komat-kamit sama sekali tak ia simak. Yang jadi fokusnya sekarang hanya wajahnya. Wajah kekhawatirannya itu, bukankah tak salah jika ia mengulum perasaan ini pada gadis satu ini? Segala sikapnya, kepeduliannya, kepekaannya, dan setiap jilid perkataannya selalu berhasil membuat Awan meleleh. Ada rasa sejuk, tapi juga berat hati yang tiada terkira. Andai bukan title sahabat yang ia sandang. Mungkin dia akan lebih senang karena bisa dengan leluasa mengungkapkan isi hatinya.

“Masih ada yang luka lagi, enggak?” tanya Esta. Dalam hati, hanya dalam hati Awan bisa menjawab dengan jujur, “Hati gue, Es. Ini hati gue juga butuh obat merah.”

“Enggak. Itu doang, kok,” jawabnya yang di bibir. Esta menanggapinya dengan anggukan kepala. Masih dengan sikap santainya tanpa sadar dengan setiap guratan di wajah Awan yang mewakili kecamuk di hatinya. Susah! Susah membuat Esta mengerti tanpa adanya kata-kata.

***

Entah ada angin apa, Awan dan Nata tiba-tiba duduk di depan Lin yang sedang nikmat dengan kesendirannya menyantap ketoprak di kantin. Diundang tidak, disuruh juga tidak, mereka langsung duduk dengan serempak. Tapi Lin langsung memasang wajah kesalnya karena dua orang ini sama sekali tak fokus dengannya. Lin mengikuti arah pandangan mereka. Arah jam sembilan, tepat tertuju pada dua pasang sejoli yang bercanda ria dengan bahagianya. Esta dengan cowok yang mengantarnya tadi, dan Tara dengan cowok satu lagi –yang jelas Nata kalah ganteng, kalah tinggi, serta kalah atletis badannya. Kalau berdasarkan data yang sudah Awan korek dari Nata, kedua cowok itu adalah senior Esta dan Tara di UKM koperasi kampus mereka. Yang bertubuh sedang dengan kulit hitam manis dan senyum berlesung pipit di depan Esta itu namanya Dharma, sedangkan yang berbadan tegap, poni tipis menjuntai di dahinya dan lebih putih dari Dharma namanya Diylan, cowok yang selalu disebut-sebut Tara dalam setiap curhatannya pada Nata selama ini.

“Hah…” desah mereka, masih kompak. Mendengarnya Lin tertawa kecil. Bukan tanpa sebab ia tertawa. Pasalnya ia tahu pasti apa masalah mereka berdua ini. Cinta pada sahabat yang sepertinya bertepuk sebelah tangan. Kasihan… pikir Lin.

Sampai dua pasang itu menyudahi adegan yang memilukan bagi Awan dan Nata itu, barulah keduanya memesan menu yang sama dengan Lin. Alibi sebenarnya. Karena Esta dan Tara langsung menghampiri mereka begitu Dharma dan Diylan pergi. Duduk mengapit Lin, tepat di depan Awan dan Nata.

“Ngapain anak Ekonomi nyasar dimari?” tanya Awan, mendumel sebenarnya. Tapi toh, Esta menanggapinya dengan santai. Tanpa memandang ke arah Awan, tuma’ninah dengan hp-nya. 
“Mainlah. Emang enggak boleh ape?!” sentaknya. Awan memilih diam. Bibirnya yang monyong-monyong itu juga sama sekali tak mendapat tanggapan. Aksi cemburunya dapat kacang. Nasibnya tertular ke Nata. Mereka sama-sama ngenes dan hanya Lin yang menikmatinya sambil cengar-cengir.

“Besok gue mau protes ke presiden, dah!” rutuk Nata tiba-tiba, yang sukses membuat keempat orang itu menantapnya bingung.

“Kenapa?” Awan menyuarakan isi hati yang lain.

“Biar hari senin dihapuskan dari kalender!” tambahnya. Cewek-cewek mah langsung tertawa. Tapi Awan? Meski tak menyuarakannya secara langsung ia sependapat dengan kata-kata barusan. Ya! Seharusnya hari keramat ini tak pernah ada di peradaban manusia!


Sebelumnya             Selanjutnya

No comments:

Post a Comment