Matahari
sudah bertengger di ufuk barat. Memberikan garis merah sepanjang cahaya
membentang dari utara sampai selatan. Awan putih mulai terwarnai oleh cahaya
merahnya. Di sudut cakrawala nampak sepotong awan membentuk gir, seolah menjadi
sebab mengapa bintang raksasa itu mulai turun perlahan-lahan. Seraya turun ia
memanggil beberapa burung yang seharian asik bermain untuk kembali ke sarang
masing-masing. Dengan penuh kehatian-hatian mereka mengepak sayap agar bekal di
mulut mereka bisa sampai dengan selamat ke paruh anak-anak dan kerabat yang
sudah menunggu kepulangan mereka.
Ia baru
beralih dari sang surya ketika seorang bocah berumur sekitar lima tahun
berlarian di depannya. Ia tersenyum melihat anak ini kepayahan membawa bola
yang cukup besar. Bahkan hampir menyamai tubuhnya. Mungkin karena kurang
hati-hati bocah ini terjatuh. Tanpa pikir panjang, ia menghampirinya.
Membantunya berdiri. Anak ini tidak menangis. Hanya heran menatap orang yang
membantunya ini. Tapi yang ia dapatkan malah senyuman.
“Adek siapa
namanya?” tanya Awan. Dia tak menjawab. Mungkin dia malah takut melihat orang
asing yang mendekatinya.
“Bian!”
tiba-tiba suara seorang anak yang lain membuat Awan menoleh. Bocah sekitar
delapan tahunan mendekat. Tersenyum tipis pada Awan kemudian menggamit tangan
bocah yang lebih kecil darinya itu. “Jangan jauh-jauh mainnya. Kakak nanti
dimarahin mama kalo kamu ngilang,” ujarnya.
Kemudian keduanya pergi
meninggalkan Awan sendiri lagi. Tapi Awan tak lekas kembali ke gubuknya.
Matanya masih lekat menatap sepasang kakak beradik tadi. Hingga senja mulai
meredup dan menggelayut di matanya, barulah ia berdiri. Kembali menatap sisa
senja yang masih ada di garis cakrawala.
Kini si raja
siang itu benar-benar lenyap. Beristirahat sebentar untuk digantikan kerlip
kecil dan sepotong bulan sabit tugasnya. Esok pagi ia harus kembali ke
rutinitasnya. Tapi Awan masih enggan beranjak dari tempat itu. Bahkan tak
dipedulikannya angin malam mulai menampari wajahnya. Debur ombak ini masih ia
gemari. Terlebih langit malam melukiskan wajah seseorang. Matanya mulai sayu
melihat sesuatu yang jelas ia sadari hanya sebuah imajinasinya. Meski begitu,
tak apa. Paling tidak ia cukup senang masih bisa membayangkan wajah itu
sekarang.
Tin! Tin! Suara klakson motor terdengar. Karenanya ia berbalik. Roni sudah ada di
sana melambaikan tangan padanya sambil tersenyum. Perlu beberapa saat untuk
membuat Awan sadar kalau itu adalah Roni. Barulah setelah itu ia balas
tersenyum. Setelah menghela nafasnya sebentar ia berlari kecil mendekati
seseorang yang sudah seperti kakak kandungnya sendiri itu.
“Tahu
darimana gue di sini?” tanya Awan begitu sampai di depan Roni.
“Feeling
aja,” jawab Roni. Awan hanya tersenyum menanggapinya.
“Yok!” ajak
Roni.
“Kemana?”
“Emang elo
ada kendaraan mau pulang?” balas Roni. Awan nyengir. Benar juga. Tadi
kan dia ke sini bareng Nata. Kalau sudah malam begini apa ya masih ada angkutan
umum untuk kembali ke kosannya? Lagipula Roni ke sini juga bukan tanpa alasan,
kan? Pasti memang berniat menjemputnya.
Di tengah
perjalanan Awan membuat Roni mendadak berubah mood. Pasalnya ia
menanyakan sebuah pertanyaan yang cukup tak mengenakkan hatinya. “Kok elo
enggak berenang lagi sih, Ron?” ia hanya menjawabnya dengan satu kata, “Bosen.”
Meski sebenarnya ada jawaban yang lain pastinya. Tapi Awan tak menanggapi lagi.
Diamnya Roni juga tak begitu ia perhatikan. Berubah seperti apa suasana hati
Roni sekarang, juga Awan tak menyadarinya. Ia asik dengan
hamparan kerlip lampu sepanjang jalan di malam hari ini.
Mungkin
pertanyaan itu muncul karena Awan cukup heran Roni mau menjemputnya di pantai
tadi. Meski sebenarnya itu hal yang biasa saja bagi Awan. Tapi pantai atau
kolam renang, tempat dimana air lumayan banyak untuk berenang, selalu dihindari
Roni. Padahal dulu Roni jago renang. Hobinya renang meski tak sampai jadi atlet
renang, karena dia sendiri tak mau didaftarkan gurunya ikut olimpiade renang
se-provinsi. Alasannya ini hanya hobi,
untuk menghiburnya di kala bersusah hati. Tapi sampai apa yang membuat
dirinya bisa terhibur ini malah ditinggalkannya, Awan sama sekali tak tahu.
Pasti Roni punya alasan sendiri.
Sesampainya
di depan kos Awan, Roni malah diam. Meskipun sebenarnya Awan sering sekali
berada dalam situasi yang seperti ini. Sampai kadang-kadang Awan bertanya,
“Sebenernya elo masih suka sama cewek kan, Ron?” tapi Roni hanya menanggapinya
dengan ledak tawa.
“Apaan,
sih?!” Awan mulai risih. Sebenarnya kalau mau, Awan tinggal masuk saja setelah say
thanks. Tapi rasanya kurang ajar bingits, udah dianterin malah
nyelonong duluan masuk gitu aja. Jadi, mau tak mau dia harus rela
membiarkan wajah yang menurutnya ganteng itu dipandangi berlama-lama
oleh Roni.
Roni
menghela nafas panjang. Menyisakan Awan yang tambah bingung dibuatnya.
Tangannya kemudian terulur. Sebelum berhasil dihalau Awan, ia sudah duluan
menggapai surai hitam Awan. Mengacaknya sebentar hingga membuat pemiliknya
benar-benar kesal.
“Hish!
Kebiasaan elo mah! Gue bukan anak kecil, woy!” rutuk Awan. Lagi-lagi Roni hanya
tersenyum.
“Gih! Sono
pulang! Gue banyak tugas! Enggak ada nafsu ngeladenin elo buat jalan-jalan!”
tambah Awan lagi. Anggukan kepala yang didapatnya. Roni kembali memakai helm
yang sempat ia lepas tadi. “Pulang, ya?” pamitnya. Awan mencibirkan bibirnya.
Ia seolah menjadi gebetan Roni sekarang.
Setelah Roni
menghilang di balik gerbang, Awan masuk. Berbaring sebentar di atas kasur. Ia
baru melompat dan bergegas ke kamar mandi karena teringat sesuatu. Emak! Gue
belum shalat magrib!
***
Hari senin
adalah hari keramat. Di mana jadwal pertama kuliah diparkir di
pagi hari, mata kuliah paling ribet, runyem, renyah, sampai krenyes-krenyes
numplek semua di hari ini. Satu hari tiga mata kuliah, 3 sks, 2 sks, dan
3 sks lagi. Pening-pening deh pala. Kalau situasinya hanya presentasi,
mendengarkan ceramah dosen, diskusi seadaanya, mungkin Awan masih bisa berngantuk
ria. Tapi kalau posisinya ada ujian semua, bisa mati berdiri. Rasanya Awan
harus bakar menyan dan mandi kembang tujuh rupa dulu untuk menghadapi hari
senin dengan lapang dada. Yah… meskipun dia masih punya satu kembang yang
melekat di hatinya, sih. Siapa lagi kalau bukan Esta?
Teringat
Esta, Awan buru-buru mengeluarkan hpnya. Ada yang harus ia lakukan sebelum
berangkat kuliah dan bertemu Esta hari ini. Wallpaper hp-nya harus
segera ia ganti. Asal pilih gambar, yang penting bukan wajah Esta saja yang
nampang.
“Wan!” baru
keluar dari gerbang sebuah suara yang berhasil membuat senyumnya mengembang
terdengar. Padahal belum lihat siapa orangnya. Tapi baru mendengar suaranya saja Awan sudah senangnya amit-amit.
Begitu
berbalik, iya sih, empu suara itu adalah wanita yang ia puja
sejak semester satu itu. Tapi hatinya langsung dongkol. Lantaran Esta hanya
melambaikan tangan padanya dan berlalu begitu saja. Bukan, bukan. Bukan karena
Esta pergi begitu saja yang membuatnya pasang wajah nelangsa. Tapi karena Esta
dibonceng seseorang, pakai jeans hitam, jaket kulit dan kaos bergaris
biru, serta helm dengan kaca yang terbuka, dan yang pasti jenis kelaminnya
laki-laki. Ada virus-virus jealous yang tiba-tiba mampir di hatinya.
Siapa itu? Ada hubungan apa Esta dengan cowok itu? Pacar? Gebetan? Mantan?
Selingkuhan? Kepala Awan penuh dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Padahal masih
ada kemungkinan-kemungkinan lain seperti kakak, adek, keponakan, sepupu atau
hubungan-hubungan sedarah lainnya. Awan tak sempat berpikiran lain.
Yang
membuatnya bertambah nelangsa adalah, tak ada satu pun temannya yang nongol
untuk memberikan tumpangan padanya. Padahal, biasanya ada Nata yang lewat.
Walau dia bosan dengan tampang bocah satu itu, tapi paling tidak dia tidak harus
berjalan kaki ke kampus. Ah, iya. Ini kan hari senin. Hari keramat yang rasanya
tanpa melakukan aktivitas apapun pun, Awan pasti apes.
Baru
berjalan beberapa meter dari kosannya,
kesialan kembali menimpa Awan. Entah mobil tak tahu adat dari mana mencium
tubuhnya dengan begitu manisnya. “Aa!” teriaknya kaget.
Mobil ini sempat mengerem memang, tapi sayangnya Awan tetap saja terjatuh.
Nyeri dan perih langsung menghampiri kaki dan lututnya yang kepentok
aspal.
“Astaga!”
suara si pengemudi cewek ini terdengar. Ia keluar dan telihat begitu
panik melihat Awan yang terduduk sambil meringis kesakitan
karena luka-luka ringannya.
“Aduh, aduh.
Ma, maaf ya, Mas. Aduh, saya enggak sengaja. Aduh,
beneran, deh,” jelasnya dengan panik. Sesekali ia berjongkok. Mencoba membantu
Awan. Tapi dia ngeri sendiri melihat darah yang mengalir dari siku Awan.
“Ssh… iya, Mbak. Enggak
papa. Lain kali hati-hati, ya?” ujar Awan. Belum sempat ia bangun, masih sibuk
dengan rutukannya dalam hati. Bener-bener sialan hari ini!
“Aduh, Mas.
Mending ke rumah sakit aja, yuk! Saya anterin, deh.”
“Eh, eh.
Enggak papa, kok,” Awan buru-buru berdiri begitu mendengar kata rumah sakit.
Barulah ia bisa bertatap muka dengan penabrak cantik ini. Ia terdiam dan cukup
tercengang melihatnya. Bukan, bukan karena gadis ini cukup cantik. Tapi, karena
ia mengenal gadis ini.
“Eh, Mbak
kan yang…” Awan mencoba menerka. Tapi cewek ini malah mengerutkan keningnya.
Sepertinya dia lupa dengan Awan. “Di FKIP, Mbak. Waktu itu Mbak abis berantem sama cowok Mbak. Saya yang
nolongin,” jelas Awan. Barulah cewek ini terdiam. Mungkin mencoba
mengingat-ingat kejadian itu. Dan setelah diperhatikan betul-betul baru ia
sadar bahwa ia kenal dengan wajah ini.
“Oh… iya.
Mas yang waktu itu, ya?” serunya setelah ingat. Awan hanya manggut-manggut
sambil tersenyum. “Aduh, iya, Mas. Saya malah bikin Mas celaka kayak gini. Ke
rumah sakit, yuk! Saya anter. Nanti kalo ada apa-apa gimana? Gegar otak
gimana?”
“Eh, eh.
Enggak papa, Mbak. Saya tadi cuma jatoh, kok. Kaki sama tangannya aja yang
lecet. Enggak sampe kepalanya. Yang ada saya bukan kena gegar otak, Mbak. Tapi
kena gegar dengkul,” jelas Awan ngawur. Terang saja gadis ini langsung tertawa.
“Tapi
beneran nih enggak papa?”
“Iya.”
“Kalo gitu
saya anter ke fakultasnya aja gimana?”
“Eh, enggak
usah, Mbak. Saya masih bisa jalan kaki, kok.”
“Yah… jadi
saya nanti yang enggak enak. Ayo, Mas. Enggak papa, kok. Masuk, yuk!” cewek ini
langsung masuk ke mobil begitu saja. Mau tak mau Awan harus ikut masuk. Yah…
enggak papa, deh. Paling enggak dapet tebengan walaupun harus nyium aspal dulu.
“Aduh… maaf
banget lo, Mas. Tadi saya ngelamun, sih,” cewek ini masih saja minta maaf di
dalam mobil. Awan jadi tak enak sendiri.
“Iya, Mbak.
Enggak papa, kok. Saya juga salah. Jalan enggak liat-liat,” balas Awan. Padahal
jelas cewek ini yang salah. Tapi daripada mendengar kata maaf melulu. Awan
lama-lama risih juga.
“Eh, iya.
Masnya siapa namanya?”
“Awan.
Mbaknya?”
“Sani. Eh,
makasih lo buat yang waktu itu. Maaf juga langsung ngeleyor gitu aja. Padahal
belum ngucapin makasih.”
“Oh, iya, Mbak.
Lagian, waktu itu saya juga enggak punya makanan buat disuguhin. Untung aja
mbaknya pulang, jadi saya enggak perlu ngocek isi dompet buat beli makanan,”
lagi-lagi Awan membuat Sani tertawa.
“Eh, udah,
dong. Kan udah kenalan. Panggilnya jangan mbak terus.”
“Yah… masa
harus dipanggil mas, sih.”
“Haha… ya
enggak gitu juga. Panggil nama aja. Awan semester berapa coba?”
“Baru
semester tiga, Mbak.”
“Aduh, kok mbak
lagi, sih. Saya semester lima, sih. Fakultas Hukum. Tapi, saya program
akselerasi. Jadi masih seangkatan sama kamu,” jelas Sani.
“Oh, iya,
Mbak. Eh, maksudnya, San,” ujar Awan, sedikit canggung. Sani hanya tersenyum.
Dalam waktu
sepuluh menit, Sani membicarakan banyak hal dengan Awan. Awalnya dia membahas
soal pacarnya yang kemarin. Tapi Awan merasa tak enak dan langsung mengajaknya
pindah topik. Karena toh menurutnya itu bukan urusannya. Sani pun semangat.
Yang membuat Awan cukup simpatik, gadis ini tak terlihat terpuruk atau apapun.
Sepertinya dia adalah tipe cewek yang tidak terlalu suka berendam lama dalam
kubangan patah hati. Setiap obrolannya nyambung, hingga membuat suasana
canggung tadi berangsur-angsur pergi. Padahal cuma sepuluh menit, tapi Awan
sudah merasa asyik.
Awan minta
berhenti di depan fakultas. Padahal Sani berniat mengantarnya sampai gedung
kuliahnya pagi ini. Awan dengan sopan menolaknya. Bahkan sebelum pergi Sani
masih sempat meminta maaf. Alih-alih menyediakan waktu kalau-kalau Awan mau
minta ganti biaya pengobatan, ia bertukar nomor hp dengan Awan. Sekalian,
nambah kenalan.
“Beneran lo.
Mumpung awal bulan, saya masih punya banyak uang buat nganterin Awan ke rumah
sakit,” ujar Sani sebelum pergi. Awan hanya menanggapinya dengan tawa kecil.
Begitu Sani
menghilang dengan mobilnya, pemandangan yang seharusnya tak lazim dilihat matanya
sekarang malah muncul. Entah malaikat kesialan di hari senin sepertinya masih
hobi menggandulinya. Esta baru saja melintas, dengan tawa mengembang mengobrol
ria dengan cowok berhelm GM itu dan berhenti tak jauh darinya. Telinga
Awan risih rasanya kalau harus mendengar percakapan tak penting mereka. Yang
ada hatinya malah tambah panas melihat sikap Esta yang menurutnya terlalu
berlebihan di depan cowok itu.
Siapa sih? Sok akrab banget sama Esta! Rutuknya dalam hati. Cuma dua menit, tapi Awan
benar-benar sudah menyamai gunung api yang hampir meletus. Entah sadar atau
tidak, yang jelas sekarang wajahnya sudah memanas. Sebelum pergi pakai acara
lambai-lambaian tangan segala lagi. Menambah gerah saja.
“Awan!”
akhirnya Awan terlihat di mata Esta sekarang. Awan mencibirkan bibirnya sebagai
respon. Merasa dikesampingkan. Padahal kalau Esta ada di sana seharusnya sejak
tadi ia melihat Awan. Tapi, yah… ogah-ogahan Awan melangkah juga. Melihat
senyum lebar itu agak adem juga, sih. Yah… walaupun... walaupun…
Tapi senyum
Esta memudar begitu sadar keadaan tubuh Awan sekarang. Meski tak terlalu parah
tampilan di luar, tapi melihat lecet di siku kananya, serta lusuh di celana
dasar Awan itu membuatnya cukup panik. “Elo kenapa, Wan?” tanyanya.
“Tadi gue
abis ketabrak mobil,” jawab Awan datar. Walaupun sebenarnya ia cukup senang
karena Esta masih memerdulikannya. Tapi, tidak! Ia harus mengekspresikan
kecemburuannya tadi.
“Ya ampun!
Kok bisa, sih? Pas mobilnya nabrak mata elo dipasang, kan? Atau mobil itu yang
enggak punya mata? Eh, salah! Maksud gue yang nyopir enggak punya mata, ya? Kok
elo masih masuk, sih? Walaupun hari ini
kuliahnya Pak Wahidin yang killernya nomer wahid itu enggak perlu maksain
begini lah, Wan. Itu yang nabrak elo udah nganterin elo ke rumah sakit belum?
Tapi kayaknya enggak mungkin, deh. Elonya masih babak bunyak kayak gini. Itu
orang apa malah enggak sadar kalo elo ketabrak? Pan sekarang elo cungkringan
ya, Wan? Elo, sih! Kan gue waktu itu udah bilang, seharusnya elo minum susu
yang banyak. Biar ada isinya. Kan kalo ada yang nabrak elo kayak gini jadi kerasa. Nti elo cuma dikira kucing, kan. Eh, tapi nabrak kucing kan
juga harus tanggung jawab. Temennya engkong gue pernah nabrak kucing enggak
tanggung jawab terus dia yang celaka. Tetep aja kan…”
“Woy, Es
campur! Gila, ya?! Itu mulut apa rel kereta, sih?! Panjang bener enggak ada
ujungnya! Elo prihatin apa mau ngasih kutbah, sih?! Ini hari senin, cuy! Besok
jum’at aja kalo elo mau ngasih gue ceramah!” semprot Awan. Bocah ini kenapa
kumatnya di timing yang tidak tepat seperti ini, ya?
“Iya-iya,
sorry. Yuk-yuk! Gue obatin! Mumpung gue bawa obat merah. Tadi kebetulan gue
baru aja mampir apotek. Gue tadi juga heran kenapa gue beli obat merah. Enggak
taunya elo mau celaka dan butuh ni obat satu. Telepati kita makin kuat, ya?”
tambah Awan lagi. Tak sempat menolak, Awan diseret begitu saja ke kelas.
Padahal dia masih kepayahan jalan. Ini khawatir apa nyiksa sebenernya?
Awan hanya
diam ketika Esta dengan telaten mengobati luka-luka sisa kecelakaan tadi. Mulut
Esta komat-kamit sama sekali tak ia simak. Yang jadi fokusnya sekarang hanya
wajahnya. Wajah kekhawatirannya itu, bukankah tak salah jika ia mengulum
perasaan ini pada gadis satu ini? Segala sikapnya, kepeduliannya, kepekaannya,
dan setiap jilid perkataannya selalu berhasil membuat Awan meleleh. Ada rasa
sejuk, tapi juga berat hati yang tiada terkira. Andai bukan title sahabat
yang ia sandang. Mungkin dia akan lebih senang karena bisa dengan leluasa
mengungkapkan isi hatinya.
“Masih ada
yang luka lagi, enggak?” tanya Esta. Dalam hati, hanya dalam hati Awan bisa
menjawab dengan jujur, “Hati gue, Es. Ini hati gue juga butuh obat merah.”
“Enggak. Itu
doang, kok,” jawabnya yang di bibir. Esta menanggapinya dengan anggukan kepala.
Masih dengan sikap santainya tanpa sadar dengan setiap guratan di wajah Awan
yang mewakili kecamuk di hatinya. Susah! Susah membuat Esta mengerti tanpa
adanya kata-kata.
***
Entah ada
angin apa, Awan dan Nata tiba-tiba duduk di depan Lin yang sedang nikmat dengan
kesendirannya menyantap ketoprak di kantin. Diundang tidak, disuruh juga tidak,
mereka langsung duduk dengan serempak. Tapi Lin langsung memasang wajah
kesalnya karena dua orang ini sama sekali tak fokus dengannya. Lin mengikuti arah
pandangan mereka. Arah jam sembilan, tepat tertuju pada dua pasang
sejoli yang bercanda ria dengan bahagianya. Esta dengan cowok yang mengantarnya
tadi, dan Tara dengan cowok satu lagi –yang jelas Nata kalah ganteng, kalah
tinggi, serta kalah atletis badannya. Kalau berdasarkan data yang sudah Awan
korek dari Nata, kedua cowok itu adalah senior Esta dan Tara di UKM koperasi
kampus mereka. Yang bertubuh sedang dengan kulit hitam manis dan senyum
berlesung pipit di depan Esta itu namanya Dharma, sedangkan yang berbadan
tegap, poni tipis menjuntai di dahinya dan lebih putih dari Dharma namanya
Diylan, cowok yang selalu disebut-sebut Tara dalam setiap curhatannya pada Nata
selama ini.
“Hah…” desah
mereka, masih kompak. Mendengarnya Lin tertawa kecil. Bukan tanpa sebab ia
tertawa. Pasalnya ia tahu pasti apa masalah mereka berdua ini. Cinta pada
sahabat yang sepertinya bertepuk sebelah tangan. Kasihan… pikir Lin.
Sampai dua
pasang itu menyudahi adegan yang memilukan bagi Awan dan Nata itu, barulah
keduanya memesan menu yang sama dengan Lin. Alibi sebenarnya. Karena Esta dan
Tara langsung menghampiri mereka begitu Dharma dan Diylan pergi. Duduk mengapit
Lin, tepat di depan Awan dan Nata.
“Ngapain
anak Ekonomi nyasar dimari?” tanya Awan, mendumel sebenarnya. Tapi toh, Esta
menanggapinya dengan santai. Tanpa memandang ke arah Awan, tuma’ninah
dengan hp-nya.
“Mainlah. Emang enggak boleh ape?!” sentaknya. Awan memilih
diam. Bibirnya yang monyong-monyong itu juga sama sekali tak mendapat
tanggapan. Aksi cemburunya dapat kacang. Nasibnya tertular ke Nata. Mereka
sama-sama ngenes dan hanya Lin yang menikmatinya sambil cengar-cengir.
“Besok gue
mau protes ke presiden, dah!” rutuk Nata tiba-tiba, yang sukses membuat keempat
orang itu menantapnya bingung.
“Kenapa?”
Awan menyuarakan isi hati yang lain.
“Biar hari senin
dihapuskan dari kalender!” tambahnya. Cewek-cewek mah langsung tertawa. Tapi
Awan? Meski tak menyuarakannya secara langsung ia sependapat dengan kata-kata
barusan. Ya! Seharusnya hari keramat ini tak pernah ada di peradaban manusia!
Sebelumnya Selanjutnya
No comments:
Post a Comment