Friday, January 17, 2020

Rindu Hujan


Matahari sudah terbit sejak tadi. Tapi cahayanya tak mampu menembus mendung pagi ini. Sisa embun yang seharusnya sudah menguep masih bertahan di beberapa pucuk daun dan ranting. Padahal semalam sudah hujan, tapi sepertinya hari ini hujan itu masih akan berlanjut. Becek di jalanan membuat beberapa pejalan kaki harus berjinjit atau setidaknya berjalan lebih bervariasi demi menghindari lumpur dan basah yang bisa saja menjilat. Kalau-kalau ada yang tidak beruntung dan mendapat rejeki dari mobil atau motor yang melintasi genangan air, paling hanya umpatan yang bisa diletupkan. Selebihnya, suasana redup dan malas menyergap di sana-sini.


Kelas Awan belum penuh. Baru beberapa orang yang sejak tadi sibuk sendiri di dalam kelas. Awan memilih keluar kelas. Merapatkan jaketnya setelah duduk di teras kelas. Dingin. Ia sempat menyesal keluar kelas dan mengedarkan pandangannya ke sekililing. Betapa tidak? Begitu ia keluar dan baru saja mendudukkan pantatnya selama kurang lebih lima detik, matanya menangkap pemandangan yang tidak mengasyikkan. Esta baru saja turun dari motor ninja hijau. Kalau saja Esta sendirian, Awan tak akan pasang tampang kecut seperti sekarang. Tentu saja bocah itu bersama Dharma. Akhir-akhir ini bocah itu sering sekali bersamanya? Awan melengus kesal melihatnya.

“Cemburu ni, ye!” tiba-tiba seseorang menyikut lengan Awan. Karenanya Awan harus menoleh. Lin sudah ada di sampingnya, memasang senyum yang cukup menyebalkan bagi Awan.

“Hah? Cemburu? Kagak! Ngapain juga gue harus cemburu?” tegasnya. Sengaja ia tinggikan suaranya melihat Esta yang sudah berjalan kemari. Mungkin saja Esta akan mengerti perasaannya. Tapi, toh tak ada perubahan. Bahkan tanpa ragu-ragu Esta memasang tampang sumringahnya.

“Selamat pagi! Selamat pagi Awan! Hari yang cerah, ya?” sapanya kegirangan.

“Hari yang cerah dari Mesir! Mendung kayak gini dibilang cerah! Udah rabun ya mata elo?!” celetuk Awan. Esta sih menganggapnya sebagai gurauan seperti biasa. Padahal Awannya sudah seratus persen bete minta ampun!

“Makin deket ni ye sama kak Dharma?” sindir Lin. Sesekali ia melirik Awan. Berharap menemukan gurat kecemburan di wajah itu. Dan tentunya ia akan menemukannya. Bahkan, Awan tak segan-segan pergi langsung dari sana. Menjauh dari percakapan cewek yang akan membuat api cemburu bertambah besar.

Sedangkan Esta sudah antusias menggantikan posisi Awan tadi. “Enggak juga,” jawabnya.

“Enggak juga?” Lin malah tak mengerti.

“Gue juga enggak PDKT kok sama dia.”

“Enggak PDKT tapi tiap hari bareng. Terus apaan? Udah jadian?” selidik Lin lebih dalam.

“Ye! Siapa yang bilang gue udah jadian sama dia?”

“Elo bilang enggak lagi PDKT. Terus apa, dong?”

“Yah... enggak ada lagi, sih. Cuma idola, kok.”

“Yakin idola doang?”

“Iya!” tegas Esta. Ia terlihat santai. Bahkan tangannya asyik memainkan hp-nya. Memasang headseat di telinganya dan bersiap memutar sebuah lagu.

“Kalo elo enggak mau, buat gue boleh?” Lin mencoba memancingnya kembali. Walau sebenarnya matanya sempat menyelidik ke belakang. Siapa tahu Awan masih menguping. Tapi nyatanya tidak. Wah, bocah itu benar-benar menghindari obrolan ini.

“Ya terserah. Gue juga enggak ada rasa kok sama dia.”

“Terus ada rasanya sama siapa? Awan?”

“Whats?!” seketika itu juga mata Esta mendelik. Seolah siap menelan Lin hidup-hidup.

“Biasa aja kali. Enggak usah sok kaget gitu.”

“Ngaco, ah!” sentak Esta. Lin tahu, sebenarnya Esta mulai gugup. Ketika ia hendak memulai pembicaraan soal hati lagi saja, Esta langsung berdiri. “Berisik, ah! Pagi-pagi udah ngomongin cinta. Basi!” kemudian ia ngeloyor begitu saja ke dalam kelas. Lin tak lantas menyusul. Kepalanya menggeleng pelan. Kapan elo berdua bakalan ngilangin gengsi elo berdua itu? Wan Wan! Es Es!

***

Roni diam menatap layar hp-nya. Sudah dua minggu Awan tak ada kabar. Bahkan, setiap kali ia ke kosannya, Awan tak pernah ada. Sehari setelah keluar dari rumah sakit, Awan memang memberitahunya untuk tidak menghubunginya dulu. Karena acara di himanya akan segera berlangsung dan pasti sedang sibuk-sibuknya. Alasannya ia tak akan pegang hp dalam jangka waktu lama. Teman-teman sekosnya juga bilang dia jarang pulang. Palingan tidur di sekretariat hima katanya. Soalnya Awan sendiri juga pernah pesan untuk merawat Awan –kucing barunya itu, pada Khoirul sementara waktu. Kalaupun Awan pulang, paling cuma mandi lalu ganti baju. Setelah itu, tak berangkat lagi ke kampus.

Sialnya, Roni tak punya nomor teman satu jurusan Awan. Satu pun. Ia jadi bingung sendiri. Sebenarnya ia bisa saja tanya nomor Nata ke Tifa. Waktu itu kan Tifa kelihatan sudah mengenal Nata. Tapi, kalau ingat reaksi apa yang terjadi di antara mereka berdua saat itu, ia urung. Masa lalu apa yang terjadi pada Nata dan Tifa ia sama sekali tak tahu. Dan tak ada niatan juga untuknya bertanya lebih lanjut. Yah... apes, deh. Ia benar-benar lost contact dengan Awan.


Tiba-tiba Aya mendekatinya. Duduk di sampingnya tanpa berucap apapun. Bahkan menatap ke arahnya saja tidak. Matanya lurus menatap jajaran mobil pejabat di fakultasnya yang diparkir sejak pagi di depan dekanat. Ia sebenarnya sejak tadi sudah memerhatikan Roni dari kelas. Sejak mata kuliah pertama tadi malah. Roni nampak murung, dan jelas sekali tengah memikirkan sesuatu. Bahkan sela jam menuju mata kuliah kedua saja malah Roni habiskan untuk duduk termenung di kursi koridor ini. Apa yang mengusik pikiran Roni, sebenarnya Aya cukup penasaran. Tapi rasa penasarannya tak segitu kuatnya hingga ia harus bertanya.

“Ay?” sapa Roni lebih dulu.

Aya menyungging senyum. Baru setelah itu ia menoleh. Mata bening Roni membuat hatinya berdesir. Bibirnya mungkin rapat. Tapi hatinya tak bisa berbohong. Ia benar-benar menaruh rasa begitu besarnya pada Roni. Ia menahannya terlalu lama. Tiga tahun, bahkan mungkin lebih. Jika kata-kata Langit benar, bukankah itu artinya ia malah sudah memiliki rasa itu sejak masa-masa awal mereka berkenalan? Bahkan ingatan saat mereka pertama kali bertemu di festival Seni se-Sumbagsel di sekolah Roni saja masih melekat begitu eratnya. Senyum yang ia dapat pertama kali dari Roni saat itu –tepatnya saat Roni mengucap kata sama-sama setelah ia menjawab pertanyaan Aya saat menanyakan dimana aula utama di sekolah yang lumayan besar itu—rasanya tak pernah ia lihat lagi sekarang. Dia memang masih sering tersenyum. Tapi tak setulus dulu. Tak setulus saat ia tersenyum lagi karena berpapasan di toko buku. Atau senyum-senyum tulus yang terukir sebelum Roni mempertemukannya dengan Langit.

“Gue belum sempet ngucapin ke elo,” ujarnya kemudian.

“Ha? Ngucapin apa?” Roni bingung sendiri dengan kalimat itu.

“Selamat ulang tahun, Roni.” Bibir Aya terangkat, tersenyum begitu manisnya. Memberi virus desiran hati yang sama di balik dada Roni. Rambutnya yang terkuncir rapi tertiup angin. Berkibar berbarengan dengan poninya dan membuat wajah ini makin bertambah ayu. Bahkan Roni sampai tak sadar kalau tangan Aya sudah mengulurkan sesuatu padanya.

“Apa...”

“Bukan hadiah ulang tahun, sih. Cuma... gue belum sempet balikin ke elo aja. Anggep aja hadiah. Gue enggak sempet ke pasar beliin elo kado yang pantes,” jawab Aya sebelum Roni menyelesaikan pertanyaannya. Kotak kecil seukuran kotak cincin berwarna abu-abu itu perlahan Roni buka. Sejak pertama kali berpindah ke tangannya, Roni sudah mencium bau lavender. Tentu saja hidungnya menyapa dengan senang hati, lantaran ini adalah wangi kesukaannya. Di dalamnya ada bantalan merah, persis sekali seperti wadah cincin. Bedanya, di dalam ini bukan cincin sungguhan. Melainkan sebuah bros biru laut berbentuk lumba-lumba kecil. Wangi ini, tentu bukan berasal dari bros ini. Sepertinya Aya sengaja menambahkannya ke bantalan di dalamnya.

Bros ini, Roni mengingatnya. Ini adalah bros pemberian Langit saat pertama kali mereka berkenalan. Lumba-lumba, meski bukan ikan, tapi ini adalah hewan yang hidup di laut. Berenang bebas di lautan. Sesuatu yang sangat ia sukai.

“Selamat ulang tahun! Ini hadiah dari gue. Kenapa lumba-lumba? Karena gue tahu elo suka renang. Lumba-lumba juga suka renang. Gue enggak punya banyak duit buat beliin elo kado. Semoga, dengan kado yang kecil ini, elo bisa inget gue terus sampe kapanpun. Tentunya sebagai sahabat elo.” Bahkan setiap kalimat penyertanya masih ia ingat.

“Ini...”

“Maga yang nemuin,” sambung Aya. Roni menatapnya sebagai simbol untuknya memberi penjelasan lebih gamblang. “Sehari setelah meninggalnya Langit, Maga bilang elo nyoba buat berenang lagi. Tapi, karena elo enggak berhasil, elo kesel dan buang ini ke kolam renang sekolah. Maga yang tahu ini adalah kado dari Langit sengaja ngambil ke dasar kolam. Pas di rumah sakit jengukin elo, dia kasih ke gue,” jelasnya.

Roni tersentak. Kalau Maga memberikan bros ini pada Aya dan mengatakan bahwa ini adalah pemberian dari Langit, berarti dia... “Ay, elo...”

“Iya, Ron. Gue udah tahu semuanya.” Aya kembali tersenyum. Roni bingung harus mengartikan apa senyuman itu. Haruskah ia kembali merasa bersalah sekarang? Tapi, reaksi Aya terlalu datar. Mungkinkah Aya tak menyalahkannya? Ia bahkan takut untuk menebak hal itu.

“Oh, iya. Satu lagi,” tambah Aya lagi. Ia membuka tasnya. Mengeluarkan sebuah kotak coklat berukuran 20 x 25 x 10 cm. “Ini barang-barang terakhir yang ditinggalin Langit di lokernya. Maga juga yang ngambil setelah kelulusan sekolah elo.”

Tangan Roni bergetar menerima kotak itu dan kemudian membukanya. Lebih pelan dari saat ia membuka kotak bros tadi. Sebuah bulir kecil lolos begitu isi kotak itu terpantul di matanya.

“Akh...” seolah ada sesuatu yang menohok tenggorokannya. Ini benar-benar milik Langit. Selembar potret dirinya dan Langit yang sama persis dengan foto di pigura di atas meja kamarnya, flash disk butut 2GB pemberian darinya, dua kaset PS2, penggaris miliknya yang tak sengaja Langit patahkan, dan kotak hitam ukuran 9 x 7 x 3 cm. Di dalamnya jam tangan hadiah terakhir Roni yang ia dapat dari Langit.

“Jam dari elo rusak, nih,” obrolan tentang benda ini pun masih ia ingat.

Saat itu Langit langsung memintanya. “Gue bisa benerin. Gampang. Sini!” dan sampai saat ini, baru sekarang ia melihat jam ini lagi. Kini ia sadar, jam pemberian Awan di pergelangan tangan kirinya itu sama persis dengan pemberian Langit.

Satu benda lagi yang terselip di dalam kotak jam ini. Sebuah kertas yang dilipat kecil. Roni membukanya, dan jelaslah bahwa itu adalah sebuah surat. Dari Langitkah? Ada tulisan Buat sobat gue: Roni. Jadi apakah ia boleh membacanya sekarang?

Kalo elo baca surat ini, gue harap, gue udah di Jepang. Elo tahu, kan? Gue pengen banget bisa bikin animasi kayak anime Jepang. Lulus SMA gue harap gue bisa lanjut sekolah ke Jepang, Ron. Doain, ya?

Jamnya udah selesai. Ada yang mau gue titipin. Sebelum gue bener-bener pergi ke Jepang, gue pengen dua orang yang gue sayangin berada di pelukan orang yang tepat. Elo inget adek gue, kan? Awan. Elo pasti inget mukanya, lah. Gue pernah kenalin elo sekali pas liburan. Elo juga sering liat dia yang nampang di wallpaper hp gue. Dia mau lanjut kuliah di Bandar Lampung. 
Titip dia ya, Ron?

Satu orang lagi. Gue titip Aya. Jangan tanya kenapa. Karena elo lebih paham maksud gue. Iya, gue tahu, Ron. Elo ada rasa sama Aya, kan? Gue udah tau. Jangan protes! Gue enggak mau 
LDR-an sama siapapun. Elo harus jagain Aya buat gue. Plis :)

Satu lagi, gue pengen banget elo ikut olimpiade, Ron. Sekali aja, asah dong hobi elo. Kalo elo berhasil sampe ke tingkat Internasional, siapa tahu kita bisa ketemu di Jepang. Gue bakalan lama di Jepang, Ron. Gue pastiin, elo bakalan kangen sama gue. Makannya, terus renang dan susulin gue ke sana. Oke?

Titip dua orang itu, ya?

Sahabat yang bakalan elo kangenin selamanya,


Langit: calon pencipta game terbaik di dunia

Alagkah kerasnya hati Roni jika ia tak menangis sekarang. Alangkah tak berperasaannya dirinya jika ia tak merasakan sakit luar biasa mendera dadanya. Sesak dan perih terjejal di sana. Persetan dengan harga diri seorang lelaki! Ia akan merasa tak manusiawi jika ia malah tak sesenggukan sekarang.

Aya masih di sampingnya. Hatinya tentu saja mencelos melihat air mata deras itu tertumpah begitu saja. Kali pertama ia melihat Roni seperti ini. Bahkan lebih pilu dari tangisnya saat kehilangan Langit saat itu. Aya sudah sempat membaca surat itu. Ia lebih dari maklum jika Roni sampai seperti ini.

Tangannya kemudian meraih kepala Roni. Tak tahan membiarkan Roni tetap berada di posisinya seperti itu. Roni butuh pundak untuk bersandar. Mengesampingkan perasaan di antara keduanya sekarang, Aya lebih menganggap itu adalah penenang bagi sahabat yang kehilangan sahabat yang paling disayanginya.

“Gue punya adek, Ron.”

“Oh, iya? Siapa namanya?”

“Awan.”

“Em... elo lebih milih Awan atau gue?”

“Ya, Awan-lah!”

“Oke! Gue pergi, nih!”

“Haha... enggak. Elo berdua sama pentingnya buat gue.”

“Masa?”

“Beneran, Ron.”

“Kenalin ke gue, Lang.”

“Kalo dia libur sekolah, dia gue suruh ke sini. Nti gue kenalin ke elo, ya?”

“Oke! Dia bakalan jadi adek gue juga kan, Lang?”

“Tergantung.”

“Tergantung?”

“Ya... tergantung dia mau apa enggak jadi adek elo.”

“Haish! Elo mah!”

“Haha... jagain dia, Ron. Jagain dia buat gue. Kali aja gue jadi ke Jepang, kan?”

“Oke. Tapi, jangan salahin gue kalo pas elo pulang dari Jepang nanti dia lebih nganggep gue abang dia daripada elo, ya?”

“Haha...”

“Lang...”

***

Tangan Tifa erat memegangi lipatan samping rok selututnya. Sebenarnya kakinya sudah lemas bukan main sekarang. Tapi sekuat tenaga ia tahan agar tak jatuh ke lantai. Setitik sakit di hatinya tiba-tiba melebar. Hingga memaksa embun bening itu akhirnya tergelincir juga melewati pipinya. Hanya tak menyangka, tak menyangka rasanya akan seperti ini. Melihat Langit berada di pelukan Aya seperti itu, kenapa rasanya begitu sakit? Sebanyak apapun ia bertanya, tak ada satu orang pun di hatinya yang mampu menjawabnya.

***

“Yah... hujan...” desah Maga. Tangannya sibuk membersihkan tetes air di rambutnya. Hujan ini cukup deras, ia tak bisa kembali ke fakultasnya sekarang. Tidak, jika ia ingin basah kuyup sampai kelas nanti.

Matanya kemudian menyisir halaman dekanat fakultas ekonomi ini. Beberapa mahasiswa berlarian mencari tempat berteduh. Ia berhenti di depan kelas di sebelah kanan dekanat. Seorang dengan rambut sebahu tengah duduk di atas bangku. Sepertinya ia mengenal orang itu.

“Oy!” panggilnya. Ia berhasil membuatnya menoleh.

“Maga,” balasnya.

“Ngapain elo di sini, Fa?” tanyanya, berjalan pelan menuju Tifa, orang yang duduk dengan wajah sendu itu. Sedang Tifa mengamati bocah ini. Kali ini tampilannya hanya kaos hitam dan jeans hitam. Tentu saja jam casual sporty-nya masih melekat. Hanya saja kali ini beda warna walau tipenya tetap sama seperti saat ia ada di rumah sakit waktu itu. Sepatu kets putihnya sedikit kotor, mungkin karena hujan membasahi tanah yang ia pijak. Kacamata hitam tergantung di kerah bulat kaosnya. Tidak ada tas, hanya jaket kulit putih yang ia sampirkan di bahu kanannya.

“Seharusnya gue yang tanya. Ngapain anak Pertanian nyasar dimari?” Tifa balik bertanya. Maga tak langsung menjawab sampai ia mengambil tempat duduk di samping kiri Tifa. “Nyari Roni atau Aya?”

“Enggak dua-duanya.”

“Enggak, terus?”

“Nyari cewek. Cewek Ekonomi kan cantik-cantik. Cewek Pertanian enggak ada yang secantik cewek Ekonomi.” Jawabannya membuat Tifa tersenyum tipis. Ia tak lagi memandang Maga. Kembali, ia menundukkan kepalanya. “Elo belum jawab pertanyaan gue,” lanjutnya.

Terdengar desahan nafas dari Tifa sebelum menjawab pertanyaan ini. “Coba aja... gue sukanya sama elo ya, Ga. Elo juga enggak kalah ganteng, tajir lagi. Enak kali kalo jadian sama elo. Bisa dibeliin apa aja. Haha...” tawa Tifa cukup garing untuk membuat Maga menganggapnya sebagai lelucon. Malah wajah datar yang diberikan Maga sekarang. Seperti biasa, ia bisa membaca pikiran orang lain hanya lewat ekspresi di wajah itu saja.

Kepala Tifa terangkat ketika ia sadar, jaket Maga sudah ada di tubuhnya. Karenanya ia kembali menoleh ke arah Maga. Ekspresi itu masih datar. Hingga ia tak mampu membacanya. “Apa...”

“Gue suka kok sama elo.”

Tifa mendelik. “Eh! Eh! Jangan dianggap serius! Gue tadi cuma bercandaan, kok. Ahaha... gu, gue enggak beneran suka sama elo, lo...”

“Haha... gue juga cuma bercanda, kok,” Maga memotong kata-kata Tifa.

“Eh... haha... iya,” Tifa malah jadi salah tingkah sendiri. Baru kali ini rasanya ia harus berpikir dulu bagaimana bertingkah di depan Maga. Apa-apaan, nih! Rutuknya sebal.

“Enggak. Gue beneran suka sama elo, kok.”

“Hah?”

“Bukan kadar suka antara cowok ke cewek. Tapi, gue suka aja sama cara elo ngekspresiin perasaan elo. Emang bener, elo jarang banget bilang gimana perasaan elo yang sebenernya. Tapi, wajah elo enggak pernah bohong. Elo enggak pernah sok naif, Fa,” tambah Maga, menjelaskan semuanya. Hanya senyum tipis yang bisa diberikan Tifa.

“Tenang, Fa. Masih banyak kok ikan di laut.” Tangan Maga terulur, mengacak rambut Tifa pelan.

“Ya... banyak. Tapi susah mancingnya.” Sontak gelak tawa Maga terdengar. Karenanya, Tifa jadi ikut tertawa.

Hujan berhenti. Tapi Tifa dan Maga enggan untuk berdiri. Lagipula Tifa juga tak ada jam kuliah lagi sampai jam tiga nanti. Sedangkan Maga, ia terlalu santai jika berurusan dengan kata bolos. Lagipula, kuliah benar atau tidak, yang ia butuhkan hanya ijazah. Toh, suatu saat juga perusahaan orang tuanya akan berpindah tangan kepadanya.

“Thanks, Ga.”

“Buat apa?”

“Ya... semuanya, deh. Paling enggak, gue enggak terpuruk sama perasaan sepihak ini sendiri.

“Oke.”

***

Rambut Awan yang mulai menggondrong tertiup angin. Gara-gara acara yang akan diadakan himanya ini membuatnya tak punya waktu untuk sekedar ke salon. Merapikan rambut barang sebentar. Jangankan untuk potong rambut. Untuk memikirkan isi perut saja tak sempat.

Tapi sekarang ia bisa termenung sendirian di samping sekretariat. Beberapa orang anggota hima dan adik tingkatnya di dalam sedang sibuk memersiapkan ini itu. Name tag untuk pesertalah, undangan jurilah, design banner-lah, dan segala macam tetek bengek lainnya yang dibutuhkan acara lomba se-provinsi Lampung ini. Beberapa tugasnya sebagai ketua humas dan publikasi sudah ia laksanakan. 
Karena itu juga ia bisa duduk sendiri di sini. Menatap layar hp-nya yang menampilkan nama dan nomor Roni. Ibu jarinya mengambang, sekitar setengah senti berjarak dengan tombol hijau, simbol panggilan. Dua minggu ia menghindari kontak dengan Roni. Ia sadar itu. Hatinya masih menolak, tapi batinnya kesepian.

“Langit emang kena usus buntu. Tapi, andai aja Roni langsung nolongin dia pas jatuh ke kolam dan buru-buru bawa dia ke rumah sakit, mungkin Langit bakalan tertolong.” Dialog antara Maga dan Aya malam itu di rumah sakit masih ia ingat. Ya, Awan-lah yang ada di sana dan mendengar percakapan mereka. Lantas sekarang ia merasa galau. Ia jelas tahu bahwa jika cerita itu benar, sepenuhnya Roni tidak bisa disalahkan. Roni tak tahu kalau Langit benar-benar jatuh ke kolam dan bukannya sedang bercanda. Tapi entah kenapa ia merasa bahwa Roni memang salah. Ia patut disalahkan karena tak menyelamatkan kakaknya, orang yang paling ia sayang. Andai saja waktu itu Roni menyelamatkannya, bukankah sekarang Langit masih bersamanya? Mungkin Langit akan benar-benar pergi ke Jepang seperti mimpinya selama ini. Membuat animasi dan menciptakan game yang laris di seluruh dunia. Tapi paling tidak kan Awan masih bisa menghubunginya. Masih bisa mendengar suaranya atau bahkan wajahnya dengan video call. Dan sekarang? Semua itu tak mungkin.

“Hah...” desah Awan. Sudah berapa puluh kali mungkin. Sekarang di dalam hatinya ada dua kubu. Bercekcok ria membuat pikirnya makin dilema. Roni tak bersalah dan tak sepatutnya ia menyalahkannya sekarang. Lagipula, Roni selama ini sudah seperti kakak untuknya. Bukankah Roni berarti sudah mengambil peran sebagai Langit? Menggantikan posisinya dan mampu mengahalau rasa kesepian kehilangan sosok kakak selama ini.

Tapi di satu sisi, kubu yang satunya menganggap bahwa Roni adalah salah satu penyebab ia tak akan pernah bisa lagi bertemu dengan Langit. Kecuali kalau dia juga mati dan menyusul ke alam sana. Meskipun hanya salah satu penyebab, ia tetap tak bisa terima. Tiba-tiba muncul pula dugaan bahwa mungkin saja selama ini Roni berlaku baik hanya karena merasa bersalah. Jangan-jangan Roni malah tak pernah menganggap dirinya sebagai adik yang sebenarnya. Sekali lagi, itu memang hanya mungkin. Tapi, mungkin inilah yang sudah menjadi penyebab kecamuk ini. Akh! Awan frustasi sendiri.

Tiba-tiba hp-nya bergetar. Diiringi lagu I’m Yours-nya Jazon Miraz nama Roni tadi kini tampil lebih besar. Menandakan bahwa orang yang sejak tadi mendominasi pikirannya kini menelponnya. Kini ia bingung. Haruskah ia menerima panggilan ini? Atau mengabaikan seperti dua minggu terakhir?

Lama, hingga rasanya panggilan itu hampir berakhir. Akhirnya Awan memutuskan untuk mengangkat panggilan itu.

“Iya?” sapanya lebih dulu.

“Wan! Awan? Elo kok enggak pernah ada kabar, sih? Elo baik-baik aja, kan? Elo enggak kenapa-kenapa, kan?” suara panik Roni di seberang. Awan malah diam. Ia makin bimbang harus bersikap bagaimana. Roni masih memainkan perannya sebagai kakak. Roni masih pantas menggantikan posisi Langit yang selama ini hilang. Karena itu juga mata Awan memanas. Lantas matanya mulai membuat kubangan. Apa yang harus dilakukannya sekarang?

“Iya. Gue enggak papa, kok. Cuma... lagi sibuk aja. Enggak sempet pegang hp,” jelasnya. Tentu saja bohong.

Mendengar desahan lega dari sana, Awan makin ciut. Ia makin terpuruk seorang diri di sini. Bahkan tak ia rasakan semilir angin dan hawa panas sekaligus menampar-nampar pipinya. Tetes embun yang baru saja mengalir segera ia hapus. Tak pantas benar rasanya ia menempatkan sikap cengengnya sekarang.

“Elo kalo ada apa-apa ngomong ya, Wan. Gue enggak mau jadi abang yang enggak berguna buat elo. Jangan lost contact dari gue gini. Kan gue jadi khawatir,” ucap Roni. Awan tahu dia tulus. Karena pun tak ada alasan juga untuk Roni tak tulus dengan Awan. Kembali pertanyaan tadi muncul. Benarkah ini suatu ketulusan? Atau hanya sebuah rasa bersalah?

“Iya. Enggak papa. Sorry, deh. Kalo gue jarang ngubungin elo. Lagian, elo kan bukan cewek gue juga, Ron,” Awan mencoba mencairkan suasana. Meski ia sendiri tak tersenyum, tapi ia berhasil membuat Roni tertawa. “Gue ada rapat, nih. Udahan,” lanjut Awan lagi. Lagi-lagi ia berbohong. Sejak tadi bukankah rapat sudah selesai? Sekarang tinggal sibuk melakukan ini itu di dalam. Sedang ia sendiri ada di sini. Ia hanya tak ingin mendengar suara Roni lebih lama. Ia hanya ingin menenangkan kedua belah pihak di hatinya itu.

“Oke. Awas elo ngilang lagi!” dan setelah itu, Roni benar-benar menutup telponnya. Tinggal Awan yang menatap kembali layar hp-nya, tentu masih dengan nama Roni di sana. Gue harus gimana, Lang?

“Wah, hujan!” teriakan seseorang mengejutkannya. Barulah ia sadar, rintik hujan mulai terbentuk. Bau basah, cukup bisa menenangkan pikirannya. Lantas kemudian ia menoleh ke kanan. Pemilik teriakan itu tersenyum begitu senangnya. Awan ikut tersenyum. Tentu saja itu Esta. Awan tahu betul bagaimana sukanya Esta dengan hujan. Meski hanya dari samping, Awan bisa melihat raut bahagia di wajah itu. Kedua tangannya terulur menggapai aliran hujan dari atap sekretariat. Percikan-percikan yang terbentuk membasahi wajahnya. Ia sama sekali tak peduli meski rambutnya mulai basah karena air itu. Senyum itu masih bisa melekat di wajahnya.

Yah... paling tidak, di sela kebimbangan hatinya sekarang masih ada Esta yang bisa membuatnya tersenyum. Andaikan boleh, yang diinginkan Awan adalah waktu berhenti sekarang. Semuanya berhenti dan ia tetap bisa melihat senyum itu tanpa mengkhawatirkan apapun. Bahkan Esta tak sadar, hingga hujan berakhir, ia tetap menjadi objek pandangan Awan. Hujan ini, mungkin akan selalu dirindukan Awan setelah ini.


 Sebelumnya              Selanjutnya

No comments:

Post a Comment