Matahari sudah
terbit sejak tadi. Tapi cahayanya tak mampu menembus mendung pagi ini. Sisa
embun yang seharusnya sudah menguep masih bertahan di beberapa pucuk daun dan
ranting. Padahal semalam sudah hujan, tapi sepertinya hari ini hujan itu masih
akan berlanjut. Becek di jalanan membuat beberapa pejalan kaki harus berjinjit
atau setidaknya berjalan lebih bervariasi demi menghindari lumpur dan basah
yang bisa saja menjilat. Kalau-kalau ada yang tidak beruntung dan mendapat
rejeki dari mobil atau motor yang melintasi genangan air, paling hanya umpatan
yang bisa diletupkan. Selebihnya, suasana redup dan malas menyergap di
sana-sini.
Kelas Awan belum
penuh. Baru beberapa orang yang sejak tadi sibuk sendiri di dalam kelas. Awan
memilih keluar kelas. Merapatkan jaketnya setelah duduk di teras kelas. Dingin.
Ia sempat menyesal keluar kelas dan mengedarkan pandangannya ke sekililing.
Betapa tidak? Begitu ia keluar dan baru saja mendudukkan pantatnya selama
kurang lebih lima detik, matanya menangkap pemandangan yang tidak mengasyikkan.
Esta baru saja turun dari motor ninja hijau. Kalau saja Esta sendirian, Awan
tak akan pasang tampang kecut seperti sekarang. Tentu saja bocah itu bersama
Dharma. Akhir-akhir ini bocah itu sering sekali bersamanya? Awan melengus kesal
melihatnya.
“Cemburu ni,
ye!” tiba-tiba seseorang menyikut lengan Awan. Karenanya Awan harus menoleh.
Lin sudah ada di sampingnya, memasang senyum yang cukup menyebalkan bagi Awan.
“Hah? Cemburu?
Kagak! Ngapain juga gue harus cemburu?” tegasnya. Sengaja ia tinggikan suaranya
melihat Esta yang sudah berjalan kemari. Mungkin saja Esta akan mengerti
perasaannya. Tapi, toh tak ada perubahan. Bahkan tanpa ragu-ragu Esta memasang
tampang sumringahnya.
“Selamat pagi!
Selamat pagi Awan! Hari yang cerah, ya?” sapanya kegirangan.
“Hari yang cerah
dari Mesir! Mendung kayak gini dibilang cerah! Udah rabun ya mata elo?!”
celetuk Awan. Esta sih menganggapnya sebagai gurauan seperti biasa. Padahal
Awannya sudah seratus persen bete minta ampun!
“Makin deket ni
ye sama kak Dharma?” sindir Lin. Sesekali ia melirik Awan. Berharap menemukan
gurat kecemburan di wajah itu. Dan tentunya ia akan menemukannya. Bahkan, Awan
tak segan-segan pergi langsung dari sana. Menjauh dari percakapan cewek yang
akan membuat api cemburu bertambah besar.
Sedangkan Esta
sudah antusias menggantikan posisi Awan tadi. “Enggak juga,” jawabnya.
“Enggak juga?”
Lin malah tak mengerti.
“Gue juga enggak
PDKT kok sama dia.”
“Enggak PDKT
tapi tiap hari bareng. Terus apaan? Udah jadian?” selidik Lin lebih dalam.
“Ye! Siapa yang
bilang gue udah jadian sama dia?”
“Elo bilang
enggak lagi PDKT. Terus apa, dong?”
“Yah... enggak
ada lagi, sih. Cuma idola, kok.”
“Yakin idola
doang?”
“Iya!” tegas
Esta. Ia terlihat santai. Bahkan tangannya asyik memainkan hp-nya. Memasang headseat di telinganya dan bersiap
memutar sebuah lagu.
“Kalo elo enggak
mau, buat gue boleh?” Lin mencoba memancingnya kembali. Walau sebenarnya
matanya sempat menyelidik ke belakang. Siapa tahu Awan masih menguping. Tapi
nyatanya tidak. Wah, bocah itu benar-benar menghindari obrolan ini.
“Ya terserah.
Gue juga enggak ada rasa kok sama dia.”
“Terus ada
rasanya sama siapa? Awan?”
“Whats?!”
seketika itu juga mata Esta mendelik. Seolah siap menelan Lin hidup-hidup.
“Biasa aja kali.
Enggak usah sok kaget gitu.”
“Ngaco, ah!”
sentak Esta. Lin tahu, sebenarnya Esta mulai gugup. Ketika ia hendak memulai
pembicaraan soal hati lagi saja, Esta
langsung berdiri. “Berisik, ah! Pagi-pagi udah ngomongin cinta. Basi!” kemudian
ia ngeloyor begitu saja ke dalam
kelas. Lin tak lantas menyusul. Kepalanya menggeleng pelan. Kapan elo berdua bakalan ngilangin gengsi
elo berdua itu? Wan Wan! Es Es!
***
Roni diam
menatap layar hp-nya. Sudah dua minggu Awan tak ada kabar. Bahkan, setiap kali
ia ke kosannya, Awan tak pernah ada. Sehari setelah keluar dari rumah sakit,
Awan memang memberitahunya untuk tidak menghubunginya dulu. Karena acara di
himanya akan segera berlangsung dan pasti sedang sibuk-sibuknya. Alasannya ia
tak akan pegang hp dalam jangka waktu lama. Teman-teman sekosnya juga bilang
dia jarang pulang. Palingan tidur di sekretariat hima katanya. Soalnya Awan
sendiri juga pernah pesan untuk merawat Awan –kucing barunya itu, pada Khoirul
sementara waktu. Kalaupun Awan pulang, paling cuma mandi lalu ganti baju.
Setelah itu, tak berangkat lagi ke kampus.
Sialnya, Roni
tak punya nomor teman satu jurusan Awan. Satu pun. Ia jadi bingung sendiri.
Sebenarnya ia bisa saja tanya nomor Nata ke Tifa. Waktu itu kan Tifa kelihatan
sudah mengenal Nata. Tapi, kalau ingat reaksi apa yang terjadi di antara mereka
berdua saat itu, ia urung. Masa lalu apa yang terjadi pada Nata dan Tifa ia
sama sekali tak tahu. Dan tak ada niatan juga untuknya bertanya lebih lanjut.
Yah... apes, deh. Ia benar-benar lost
contact dengan Awan.
Tiba-tiba Aya
mendekatinya. Duduk di sampingnya tanpa berucap apapun. Bahkan menatap ke
arahnya saja tidak. Matanya lurus menatap jajaran mobil pejabat di fakultasnya
yang diparkir sejak pagi di depan dekanat. Ia sebenarnya sejak tadi sudah
memerhatikan Roni dari kelas. Sejak mata kuliah pertama tadi malah. Roni nampak
murung, dan jelas sekali tengah memikirkan sesuatu. Bahkan sela jam menuju mata
kuliah kedua saja malah Roni habiskan untuk duduk termenung di kursi koridor
ini. Apa yang mengusik pikiran Roni, sebenarnya Aya cukup penasaran. Tapi rasa
penasarannya tak segitu kuatnya hingga ia harus bertanya.
“Ay?” sapa Roni
lebih dulu.
Aya menyungging
senyum. Baru setelah itu ia menoleh. Mata bening Roni membuat hatinya berdesir.
Bibirnya mungkin rapat. Tapi hatinya tak bisa berbohong. Ia benar-benar menaruh
rasa begitu besarnya pada Roni. Ia menahannya terlalu lama. Tiga tahun, bahkan
mungkin lebih. Jika kata-kata Langit benar, bukankah itu artinya ia malah sudah
memiliki rasa itu sejak masa-masa awal mereka berkenalan? Bahkan ingatan saat
mereka pertama kali bertemu di festival Seni se-Sumbagsel di sekolah Roni saja
masih melekat begitu eratnya. Senyum yang ia dapat pertama kali dari Roni saat
itu –tepatnya saat Roni mengucap kata sama-sama
setelah ia menjawab pertanyaan Aya saat menanyakan dimana aula utama di sekolah
yang lumayan besar itu—rasanya tak pernah ia lihat lagi sekarang. Dia memang
masih sering tersenyum. Tapi tak setulus dulu. Tak setulus saat ia tersenyum
lagi karena berpapasan di toko buku. Atau senyum-senyum tulus yang terukir
sebelum Roni mempertemukannya dengan Langit.
“Gue belum
sempet ngucapin ke elo,” ujarnya kemudian.
“Ha? Ngucapin
apa?” Roni bingung sendiri dengan kalimat itu.
“Selamat ulang
tahun, Roni.” Bibir Aya terangkat, tersenyum begitu manisnya. Memberi virus
desiran hati yang sama di balik dada Roni. Rambutnya yang terkuncir rapi
tertiup angin. Berkibar berbarengan dengan poninya dan membuat wajah ini makin
bertambah ayu. Bahkan Roni sampai tak sadar kalau tangan Aya sudah mengulurkan
sesuatu padanya.
“Apa...”
“Bukan hadiah
ulang tahun, sih. Cuma... gue belum sempet balikin ke elo aja. Anggep aja
hadiah. Gue enggak sempet ke pasar beliin elo kado yang pantes,” jawab Aya
sebelum Roni menyelesaikan pertanyaannya. Kotak kecil seukuran kotak cincin
berwarna abu-abu itu perlahan Roni buka. Sejak pertama kali berpindah ke
tangannya, Roni sudah mencium bau lavender. Tentu saja hidungnya menyapa dengan
senang hati, lantaran ini adalah wangi kesukaannya. Di dalamnya ada bantalan
merah, persis sekali seperti wadah cincin. Bedanya, di dalam ini bukan cincin
sungguhan. Melainkan sebuah bros biru laut berbentuk lumba-lumba kecil. Wangi
ini, tentu bukan berasal dari bros ini. Sepertinya Aya sengaja menambahkannya
ke bantalan di dalamnya.
Bros ini, Roni
mengingatnya. Ini adalah bros pemberian Langit saat pertama kali mereka
berkenalan. Lumba-lumba, meski bukan ikan, tapi ini adalah hewan yang hidup di
laut. Berenang bebas di lautan. Sesuatu yang sangat ia sukai.
“Selamat ulang tahun! Ini hadiah dari gue. Kenapa
lumba-lumba? Karena gue tahu elo suka renang. Lumba-lumba juga suka renang. Gue
enggak punya banyak duit buat beliin elo kado. Semoga, dengan kado yang kecil
ini, elo bisa inget gue terus sampe kapanpun. Tentunya sebagai sahabat elo.” Bahkan setiap kalimat penyertanya masih
ia ingat.
“Ini...”
“Maga yang
nemuin,” sambung Aya. Roni menatapnya sebagai simbol untuknya memberi
penjelasan lebih gamblang. “Sehari setelah meninggalnya Langit, Maga bilang elo
nyoba buat berenang lagi. Tapi, karena elo enggak berhasil, elo kesel dan buang
ini ke kolam renang sekolah. Maga yang tahu ini adalah kado dari Langit sengaja
ngambil ke dasar kolam. Pas di rumah sakit jengukin elo, dia kasih ke gue,” jelasnya.
Roni tersentak.
Kalau Maga memberikan bros ini pada Aya dan mengatakan bahwa ini adalah
pemberian dari Langit, berarti dia... “Ay, elo...”
“Iya, Ron. Gue
udah tahu semuanya.” Aya kembali tersenyum. Roni bingung harus mengartikan apa
senyuman itu. Haruskah ia kembali merasa bersalah sekarang? Tapi, reaksi Aya
terlalu datar. Mungkinkah Aya tak menyalahkannya? Ia bahkan takut untuk menebak
hal itu.
“Oh, iya. Satu
lagi,” tambah Aya lagi. Ia membuka tasnya. Mengeluarkan sebuah kotak coklat
berukuran 20 x 25 x 10 cm. “Ini barang-barang terakhir yang ditinggalin Langit
di lokernya. Maga juga yang ngambil setelah kelulusan sekolah elo.”
Tangan Roni
bergetar menerima kotak itu dan kemudian membukanya. Lebih pelan dari saat ia
membuka kotak bros tadi. Sebuah bulir kecil lolos begitu isi kotak itu
terpantul di matanya.
“Akh...” seolah
ada sesuatu yang menohok tenggorokannya. Ini benar-benar milik Langit. Selembar
potret dirinya dan Langit yang sama persis dengan foto di pigura di atas meja
kamarnya, flash disk butut 2GB
pemberian darinya, dua kaset PS2, penggaris miliknya yang tak sengaja Langit
patahkan, dan kotak hitam ukuran 9 x 7 x 3 cm. Di dalamnya jam tangan hadiah
terakhir Roni yang ia dapat dari Langit.
“Jam dari elo rusak, nih,” obrolan tentang benda ini pun masih ia ingat.
Saat itu Langit
langsung memintanya. “Gue bisa benerin.
Gampang. Sini!” dan sampai saat ini, baru sekarang ia melihat jam ini lagi.
Kini ia sadar, jam pemberian Awan di pergelangan tangan kirinya itu sama persis
dengan pemberian Langit.
Satu benda lagi
yang terselip di dalam kotak jam ini. Sebuah kertas yang dilipat kecil. Roni
membukanya, dan jelaslah bahwa itu adalah sebuah surat. Dari Langitkah? Ada
tulisan Buat sobat gue: Roni. Jadi
apakah ia boleh membacanya sekarang?
Kalo
elo baca surat ini, gue harap, gue udah di Jepang. Elo tahu, kan? Gue pengen
banget bisa bikin animasi kayak anime Jepang. Lulus SMA gue harap gue bisa
lanjut sekolah ke Jepang, Ron. Doain, ya?
Jamnya
udah selesai. Ada yang mau gue titipin. Sebelum gue bener-bener pergi ke
Jepang, gue pengen dua orang yang gue sayangin berada di pelukan orang yang
tepat. Elo inget adek gue, kan? Awan. Elo pasti inget mukanya, lah. Gue pernah
kenalin elo sekali pas liburan. Elo juga sering liat dia yang nampang di
wallpaper hp gue. Dia mau lanjut kuliah di Bandar Lampung.
Titip dia ya, Ron?
Satu
orang lagi. Gue titip Aya. Jangan tanya kenapa. Karena elo lebih paham maksud
gue. Iya, gue tahu, Ron. Elo ada rasa sama Aya, kan? Gue udah tau. Jangan
protes! Gue enggak mau
LDR-an sama siapapun. Elo harus jagain Aya buat gue.
Plis :)
Satu
lagi, gue pengen banget elo ikut olimpiade, Ron. Sekali aja, asah dong hobi
elo. Kalo elo berhasil sampe ke tingkat Internasional, siapa tahu kita bisa
ketemu di Jepang. Gue bakalan lama di Jepang, Ron. Gue pastiin, elo bakalan
kangen sama gue. Makannya, terus renang dan susulin gue ke sana. Oke?
Titip
dua orang itu, ya?
Sahabat yang bakalan elo
kangenin selamanya,
Langit: calon pencipta
game terbaik di dunia
Alagkah kerasnya
hati Roni jika ia tak menangis sekarang. Alangkah tak berperasaannya dirinya
jika ia tak merasakan sakit luar biasa mendera dadanya. Sesak dan perih
terjejal di sana. Persetan dengan harga diri seorang lelaki! Ia akan merasa tak
manusiawi jika ia malah tak sesenggukan sekarang.
Aya masih di
sampingnya. Hatinya tentu saja mencelos melihat air mata deras itu tertumpah
begitu saja. Kali pertama ia melihat Roni seperti ini. Bahkan lebih pilu dari
tangisnya saat kehilangan Langit saat itu. Aya sudah sempat membaca surat itu.
Ia lebih dari maklum jika Roni sampai seperti ini.
Tangannya
kemudian meraih kepala Roni. Tak tahan membiarkan Roni tetap berada di
posisinya seperti itu. Roni butuh pundak untuk bersandar. Mengesampingkan
perasaan di antara keduanya sekarang, Aya lebih menganggap itu adalah penenang
bagi sahabat yang kehilangan sahabat yang paling disayanginya.
“Gue punya adek, Ron.”
“Oh, iya? Siapa namanya?”
“Awan.”
“Em... elo lebih milih Awan atau gue?”
“Ya, Awan-lah!”
“Oke! Gue pergi, nih!”
“Haha... enggak. Elo berdua sama pentingnya buat
gue.”
“Masa?”
“Beneran, Ron.”
“Kenalin ke gue, Lang.”
“Kalo dia libur sekolah, dia gue suruh ke sini. Nti
gue kenalin ke elo, ya?”
“Oke! Dia bakalan jadi adek gue juga kan, Lang?”
“Tergantung.”
“Tergantung?”
“Ya... tergantung dia mau apa enggak jadi adek elo.”
“Haish! Elo mah!”
“Haha... jagain dia, Ron. Jagain dia buat gue. Kali
aja gue jadi ke Jepang, kan?”
“Oke. Tapi, jangan salahin gue kalo pas elo pulang
dari Jepang nanti dia lebih nganggep gue abang dia daripada elo, ya?”
“Haha...”
“Lang...”
***
Tangan Tifa erat
memegangi lipatan samping rok selututnya. Sebenarnya kakinya sudah lemas bukan
main sekarang. Tapi sekuat tenaga ia tahan agar tak jatuh ke lantai. Setitik
sakit di hatinya tiba-tiba melebar. Hingga memaksa embun bening itu akhirnya
tergelincir juga melewati pipinya. Hanya tak menyangka, tak menyangka rasanya
akan seperti ini. Melihat Langit berada di pelukan Aya seperti itu, kenapa
rasanya begitu sakit? Sebanyak apapun ia bertanya, tak ada satu orang pun di
hatinya yang mampu menjawabnya.
***
“Yah...
hujan...” desah Maga. Tangannya sibuk membersihkan tetes air di rambutnya.
Hujan ini cukup deras, ia tak bisa kembali ke fakultasnya sekarang. Tidak, jika
ia ingin basah kuyup sampai kelas nanti.
Matanya kemudian
menyisir halaman dekanat fakultas ekonomi ini. Beberapa mahasiswa berlarian
mencari tempat berteduh. Ia berhenti di depan kelas di sebelah kanan dekanat.
Seorang dengan rambut sebahu tengah duduk di atas bangku. Sepertinya ia
mengenal orang itu.
“Oy!”
panggilnya. Ia berhasil membuatnya menoleh.
“Maga,”
balasnya.
“Ngapain elo di
sini, Fa?” tanyanya, berjalan pelan menuju Tifa, orang yang duduk dengan wajah
sendu itu. Sedang Tifa mengamati bocah ini. Kali ini tampilannya hanya kaos
hitam dan jeans hitam. Tentu saja jam casual
sporty-nya masih melekat. Hanya saja kali ini beda warna walau tipenya
tetap sama seperti saat ia ada di rumah sakit waktu itu. Sepatu kets putihnya
sedikit kotor, mungkin karena hujan membasahi tanah yang ia pijak. Kacamata
hitam tergantung di kerah bulat kaosnya. Tidak ada tas, hanya jaket kulit putih
yang ia sampirkan di bahu kanannya.
“Seharusnya gue
yang tanya. Ngapain anak Pertanian nyasar dimari?” Tifa balik bertanya. Maga
tak langsung menjawab sampai ia mengambil tempat duduk di samping kiri Tifa.
“Nyari Roni atau Aya?”
“Enggak
dua-duanya.”
“Enggak, terus?”
“Nyari cewek.
Cewek Ekonomi kan cantik-cantik. Cewek Pertanian enggak ada yang secantik cewek
Ekonomi.” Jawabannya membuat Tifa tersenyum tipis. Ia tak lagi memandang Maga.
Kembali, ia menundukkan kepalanya. “Elo belum jawab pertanyaan gue,” lanjutnya.
Terdengar
desahan nafas dari Tifa sebelum menjawab pertanyaan ini. “Coba aja... gue
sukanya sama elo ya, Ga. Elo juga enggak kalah ganteng, tajir lagi. Enak kali
kalo jadian sama elo. Bisa dibeliin apa aja. Haha...” tawa Tifa cukup garing
untuk membuat Maga menganggapnya sebagai lelucon. Malah wajah datar yang
diberikan Maga sekarang. Seperti biasa, ia bisa membaca pikiran orang lain
hanya lewat ekspresi di wajah itu saja.
Kepala Tifa
terangkat ketika ia sadar, jaket Maga sudah ada di tubuhnya. Karenanya ia
kembali menoleh ke arah Maga. Ekspresi itu masih datar. Hingga ia tak mampu
membacanya. “Apa...”
“Gue suka kok
sama elo.”
Tifa mendelik.
“Eh! Eh! Jangan dianggap serius! Gue tadi cuma bercandaan, kok. Ahaha... gu,
gue enggak beneran suka sama elo, lo...”
“Haha... gue
juga cuma bercanda, kok,” Maga memotong kata-kata Tifa.
“Eh... haha...
iya,” Tifa malah jadi salah tingkah sendiri. Baru kali ini rasanya ia harus
berpikir dulu bagaimana bertingkah di depan Maga. Apa-apaan, nih! Rutuknya sebal.
“Enggak. Gue
beneran suka sama elo, kok.”
“Hah?”
“Bukan kadar
suka antara cowok ke cewek. Tapi, gue suka aja sama cara elo ngekspresiin
perasaan elo. Emang bener, elo jarang banget bilang gimana perasaan elo yang
sebenernya. Tapi, wajah elo enggak pernah bohong. Elo enggak pernah sok naif,
Fa,” tambah Maga, menjelaskan semuanya. Hanya senyum tipis yang bisa diberikan
Tifa.
“Tenang, Fa.
Masih banyak kok ikan di laut.” Tangan Maga terulur, mengacak rambut Tifa
pelan.
“Ya... banyak.
Tapi susah mancingnya.” Sontak gelak tawa Maga terdengar. Karenanya, Tifa jadi
ikut tertawa.
Hujan berhenti.
Tapi Tifa dan Maga enggan untuk berdiri. Lagipula Tifa juga tak ada jam kuliah
lagi sampai jam tiga nanti. Sedangkan Maga, ia terlalu santai jika berurusan
dengan kata bolos. Lagipula, kuliah
benar atau tidak, yang ia butuhkan hanya ijazah. Toh, suatu saat juga
perusahaan orang tuanya akan berpindah tangan kepadanya.
“Thanks, Ga.”
“Buat apa?”
“Ya... semuanya,
deh. Paling enggak, gue enggak terpuruk sama perasaan sepihak ini sendiri.
“Oke.”
***
Rambut Awan yang
mulai menggondrong tertiup angin. Gara-gara acara yang akan diadakan himanya
ini membuatnya tak punya waktu untuk sekedar ke salon. Merapikan rambut barang
sebentar. Jangankan untuk potong rambut. Untuk memikirkan isi perut saja tak
sempat.
Tapi sekarang ia
bisa termenung sendirian di samping sekretariat. Beberapa orang anggota hima
dan adik tingkatnya di dalam sedang sibuk memersiapkan ini itu. Name tag untuk pesertalah, undangan
jurilah, design banner-lah, dan
segala macam tetek bengek lainnya yang dibutuhkan acara lomba se-provinsi
Lampung ini. Beberapa tugasnya sebagai ketua humas dan publikasi sudah ia
laksanakan.
Karena itu juga ia bisa duduk sendiri di sini. Menatap layar hp-nya
yang menampilkan nama dan nomor Roni. Ibu jarinya mengambang, sekitar setengah
senti berjarak dengan tombol hijau, simbol panggilan. Dua minggu ia menghindari
kontak dengan Roni. Ia sadar itu. Hatinya masih menolak, tapi batinnya
kesepian.
“Langit emang kena usus buntu. Tapi, andai aja Roni
langsung nolongin dia pas jatuh ke kolam dan buru-buru bawa dia ke rumah sakit,
mungkin Langit bakalan tertolong.”
Dialog antara Maga dan Aya malam itu di rumah sakit masih ia ingat. Ya,
Awan-lah yang ada di sana dan mendengar percakapan mereka. Lantas sekarang ia
merasa galau. Ia jelas tahu bahwa jika cerita itu benar, sepenuhnya Roni tidak
bisa disalahkan. Roni tak tahu kalau Langit benar-benar jatuh ke kolam dan
bukannya sedang bercanda. Tapi entah kenapa ia merasa bahwa Roni memang salah.
Ia patut disalahkan karena tak menyelamatkan kakaknya, orang yang paling ia
sayang. Andai saja waktu itu Roni menyelamatkannya, bukankah sekarang Langit
masih bersamanya? Mungkin Langit akan benar-benar pergi ke Jepang seperti
mimpinya selama ini. Membuat animasi dan menciptakan game yang laris di seluruh
dunia. Tapi paling tidak kan Awan masih bisa menghubunginya. Masih bisa mendengar
suaranya atau bahkan wajahnya dengan video
call. Dan sekarang? Semua itu tak mungkin.
“Hah...” desah
Awan. Sudah berapa puluh kali mungkin. Sekarang di dalam hatinya ada dua kubu.
Bercekcok ria membuat pikirnya makin dilema. Roni tak bersalah dan tak sepatutnya
ia menyalahkannya sekarang. Lagipula, Roni selama ini sudah seperti kakak
untuknya. Bukankah Roni berarti sudah mengambil peran sebagai Langit?
Menggantikan posisinya dan mampu mengahalau rasa kesepian kehilangan sosok
kakak selama ini.
Tapi di satu
sisi, kubu yang satunya menganggap bahwa Roni adalah salah satu penyebab ia tak
akan pernah bisa lagi bertemu dengan Langit. Kecuali kalau dia juga mati dan
menyusul ke alam sana. Meskipun hanya salah satu penyebab, ia tetap tak bisa
terima. Tiba-tiba muncul pula dugaan bahwa mungkin saja selama ini Roni berlaku
baik hanya karena merasa bersalah. Jangan-jangan Roni malah tak pernah
menganggap dirinya sebagai adik yang sebenarnya. Sekali lagi, itu memang hanya
mungkin. Tapi, mungkin inilah yang sudah menjadi penyebab kecamuk ini. Akh! Awan frustasi sendiri.
Tiba-tiba hp-nya
bergetar. Diiringi lagu I’m Yours-nya
Jazon Miraz nama Roni tadi kini tampil lebih besar. Menandakan bahwa orang yang
sejak tadi mendominasi pikirannya kini menelponnya. Kini ia bingung. Haruskah
ia menerima panggilan ini? Atau mengabaikan seperti dua minggu terakhir?
Lama, hingga
rasanya panggilan itu hampir berakhir. Akhirnya Awan memutuskan untuk
mengangkat panggilan itu.
“Iya?” sapanya
lebih dulu.
“Wan! Awan? Elo
kok enggak pernah ada kabar, sih? Elo baik-baik aja, kan? Elo enggak
kenapa-kenapa, kan?” suara panik Roni di seberang. Awan malah diam. Ia makin
bimbang harus bersikap bagaimana. Roni masih memainkan perannya sebagai kakak.
Roni masih pantas menggantikan posisi Langit yang selama ini hilang. Karena itu
juga mata Awan memanas. Lantas matanya mulai membuat kubangan. Apa yang harus
dilakukannya sekarang?
“Iya. Gue enggak
papa, kok. Cuma... lagi sibuk aja. Enggak sempet pegang hp,” jelasnya. Tentu
saja bohong.
Mendengar
desahan lega dari sana, Awan makin ciut. Ia makin terpuruk seorang diri di
sini. Bahkan tak ia rasakan semilir angin dan hawa panas sekaligus
menampar-nampar pipinya. Tetes embun yang baru saja mengalir segera ia hapus.
Tak pantas benar rasanya ia menempatkan sikap cengengnya sekarang.
“Elo kalo ada
apa-apa ngomong ya, Wan. Gue enggak mau jadi abang yang enggak berguna buat
elo. Jangan lost contact dari gue
gini. Kan gue jadi khawatir,” ucap Roni. Awan tahu dia tulus. Karena pun tak
ada alasan juga untuk Roni tak tulus dengan Awan. Kembali pertanyaan tadi
muncul. Benarkah ini suatu ketulusan? Atau hanya sebuah rasa bersalah?
“Iya. Enggak
papa. Sorry, deh. Kalo gue jarang ngubungin elo. Lagian, elo kan bukan cewek
gue juga, Ron,” Awan mencoba mencairkan suasana. Meski ia sendiri tak
tersenyum, tapi ia berhasil membuat Roni tertawa. “Gue ada rapat, nih. Udahan,”
lanjut Awan lagi. Lagi-lagi ia berbohong. Sejak tadi bukankah rapat sudah
selesai? Sekarang tinggal sibuk melakukan ini itu di dalam. Sedang ia sendiri
ada di sini. Ia hanya tak ingin mendengar suara Roni lebih lama. Ia hanya ingin
menenangkan kedua belah pihak di hatinya itu.
“Oke. Awas elo
ngilang lagi!” dan setelah itu, Roni benar-benar menutup telponnya. Tinggal
Awan yang menatap kembali layar hp-nya, tentu masih dengan nama Roni di sana. Gue harus gimana, Lang?
“Wah, hujan!”
teriakan seseorang mengejutkannya. Barulah ia sadar, rintik hujan mulai
terbentuk. Bau basah, cukup bisa menenangkan pikirannya. Lantas kemudian ia
menoleh ke kanan. Pemilik teriakan itu tersenyum begitu senangnya. Awan ikut
tersenyum. Tentu saja itu Esta. Awan tahu betul bagaimana sukanya Esta dengan
hujan. Meski hanya dari samping, Awan bisa melihat raut bahagia di wajah itu.
Kedua tangannya terulur menggapai aliran hujan dari atap sekretariat.
Percikan-percikan yang terbentuk membasahi wajahnya. Ia sama sekali tak peduli
meski rambutnya mulai basah karena air itu. Senyum itu masih bisa melekat di
wajahnya.
Yah... paling
tidak, di sela kebimbangan hatinya sekarang masih ada Esta yang bisa membuatnya
tersenyum. Andaikan boleh, yang diinginkan Awan adalah waktu berhenti sekarang.
Semuanya berhenti dan ia tetap bisa melihat senyum itu tanpa mengkhawatirkan
apapun. Bahkan Esta tak sadar, hingga hujan berakhir, ia tetap menjadi objek
pandangan Awan. Hujan ini, mungkin akan selalu dirindukan Awan setelah ini.
No comments:
Post a Comment