Semenjak Nata
dilempar ke dunia pendidikan, duduk tenang di bangku kelas mendengar ceramah
guru atau pun presentasi dari teman-temannya, ini adalah kali pertama ia merasa
gandulan di hatinya terlalu berat. Posisinya terlalu strategis. Bahkan
keterlaluan malah. Duduk tepat di samping dosen di antara kursi yang diatur
menjadi letter U, dan tepat mengarah
ke teman-temannya yang tengah presentasi. Sedang di kursi yang berseberangan
dengannya adalah Tara. Empat SKS, dan ia habiskan hanya untuk memandangi gadis
itu. Ia ingin beralih, fokus ke mata kuliahnya kali ini. Tapi itu terlalu sulit
digapai.
“Tadi ada Kak Diylan, Es! Dia senyum sama gue gitu!
Dan elo tahu, pas diklat kemarin, dia perhatian banget sama gue pas lagi
sakit,” ingat betul ia
ketika Tara begitu antusiasnya curhat ke Esta tadi pagi. Tiga kalimat itu
berhasil menjadi pedang, samurai dan silet sekaligus mencincang habis
perasaannya. Nelangsa. Rasanya bahkan lebih nelangsa ketimbang sebelum ia
mengungkapkan isi hatinya saat itu. Apa karena ia tahu bahwa posisinya
benar-benar hanya sebagai teman curhat sekarang? Ia telah ditolak dan sudah tak
ada ranah lagi untuk menambah porsinya di hati Tara?
“Jika sudah
begini, seharusnya Anda tidak perlu menyerah,” satu kalimat presentator yang
tiba-tiba mendarat mulus ke gendang telinganya. Entah mengapa tiba-tiba ia
langsung fokus ke depan. Tubuh mungil Yuni di depan sana seolah tengah mengarah
kepadanya. Mata bulat yang sayu itu di imajinasikannya tengah berbinar-binar.
Dengan kata-kata yang tegas dan meyakinkan, seolah menyemangatinya untuk tidak
menyerah dalam situasi ini.
“Elo pasti bisa, Nata!”
“Jangan menyerah sampai di sini, Nata!” Dayu yang satu kelompok dengan Yuni,
ikut menyemangatinya lebih gencar. Juga Rendra di sebelah kanannya, yang
tiba-tiba juga ia tengok.
“Allah membuka jalan untukmu!” kalimat ini yang didengar Nata. Mulai
curiga, Nata menengok ke seluruh teman di kelasnya. Semuanya tengah
menyemangatinya.
“Jangan menyerah!”
“Belum waktunya!”
“Janur kuning belum melengkung, Nat!”
“Elo pasti bisa dapetin Tara!”
Dan barulah ia
bisa menyungging senyum. Padahal...
Yuni berusaha
memberikan jawaban sebaik mungkin pada Lin yang duduk sebelah kiri Esta –yang
duduk di sebelah kanan Tara, yang sedari manggut-manggut. Mulai mengerti materi
kelompok ini.
Dayu sibuk
menyiapkan jawaban untuk Ria, yang agak njlimet
dan sukar diterjemah oleh bahasa mahasiswa biasa seperti Dayu.
Rendra malah
sama sekali tak menghadap ke arah depan, apalagi ke Nata. Ia sibuk dengan Aini
–pacarnya yang duduk tepat di sebelah kanannya.
Dan... seisi
kelas yang lain, mulai menguep merasakan kantuk yang mulai menjalar. Hanya
beberapa yang mencoba bertahan, kalau-kalau ada kesempatan mereka untuk
menyanggah jawaban, sehingga bisa paling tidak semenit untuk menghalau kantuk
ini. Sama sekali tidak memerhatikan Nata sedikit pun!
“Yak, itulah
jawaban dari saudara Yuni,” Dayu yang merangkap menjadi moderator berdiri.
Melihat ke arah Lin untuk meminta tingkat kepuasan dari jawaban yang sudah
diberikan. “Bagaimana saudari Lin? Apakah sudah cukup jelas?” jawabannya adalah
anggukan kepala. “Em... kemudian dari kelompok lain apakah...
“Oke!” tiba-tiba
kalimat Dayu terpotong. Brak!
Gebrakan meja selanjutnya membuat semua pasang mata kali ini benar-benar
mengarah pada... Nata! Ia tiba-tiba berdiri. Padahal tidak ada yang
memersilahkan. Ia tiba-tiba menggebrak meja, padahal materi kali ini bukan
tentang debat atau konflik. Tapi ia berhasil. Ia berhasil membantu
kawan-kawannya untuk tidak menguep lagi, lantaran kaget dengan ketiba-tibaannya
barusan. Termasuk Pak Wahidin di sampingnya. Kumis panjangnya langsung miring,
mungkin karena kaget juga.
“Gue enggak
nyerah! Gue akan tetap berusaha, untuk mempertahankan cintaku sampai ke ujung
dunia!” lanjutnya lagi. Ekspresinya jelas membuat yang lain langsung melongo. Barusan nih anak baca puisi atau ngapain,
yak?
“Nata
Zakiarsyah...” Pak Wahidin mencolek pundak Nata. Sejurus kemudian, barulah Nata
tersentak. Matanya liar menatap seisi kelas yang serentak membulatkan huruf o
di mulut mereka. Giliran beralih ke sebelah kiri, dan deng! Muka sangar Pak Wahidin sudah tampang pasang wajah paling
jelek bin horor!
“Kamu ngapain
barusan, nak?” tanya Pak Wahidin. Lirih... tapi berhasil membuat bulu kuduk
Nata berdiri semua.
“Eh... he...
anu... Pak...”
***
Keluar dari
ruangan Pak Wahidin ujung kaki sampai ujung kepala rasanya tercecer semua.
Pegal-pegal naudzubillah! Sebagai
hukuman Nata harus rela membantu Pak Wahidin mengisi data yang Nata sama sekali
tak tahu. Tiga jam dia ada di ruangan itu menyelesaikan setumpuk bergas yang
tingginya kira-kira selututnya. Banyak betul!
Sambil peregangan,
ia berjalan melewati lorong ini. Setelah ini tak ada mata kuliah lagi. Inginnya
dia pulang, tapi sepertinya hari ini di hima ada rapat. Yah... paling tidak ia
harus mencari sesuatu dulu untuk mengganjal perutnya. Pak Wahidin berhasil
merebut waktu makan siangnya. Dia juga, sih.
Sok puitis! Padahal kan Pak Wahidin dosen Kurikulum, bukannya dosen Apresiasi
Puisi.
Langkah Nata
terhenti ketika ada seseorang yang menghadang jalannya. “Tara?” ia cukup
terkejut melihat Tara yang sudah ada di depannya. Menatapnya dengan tatapan
yang maknanya sangat sulit untuk diterka. “Ke, kenapa?” tentu saja ia jadi
salah tingkah. Walaupun sudah patah hati, tapi Nata kan masih ada rasa
dengannya. Apalagi sekarang posisinya Tara tahu pasti bagaimana perasaannya.
Titah Awan untuk bersikap biasa saja ternyata sulit. Benar kan, bicara lebih
mudah daripada melakukannya.
“Elo...” bibir
Tara terbuka. Tapi tak lantas dilanjutkan. Mungkin kata-katanya tersendat di
tenggorakan. Atau malah di otaknya reflek memikirkan hal lain yang tak perlu
melontarkan kata-kata pada Nata. Karenanya ia berbalik. Bermaksud pergi tapi
tangan Nata berhasil meraihnya. Terpaksa, ia kembali berbalik demi mengetahui
maksud dari tarikan ini.
“Gue enggak mau
nyerah, Ra,” kata Nata. Tara memilih untuk menatapnya saja tanpa berkomentar.
Meski sebenarnya ia tahu apa yang akan dilanjutkan Nata setelah kalimat tadi.
“Gue enggak mau cuma sekedar jadi temen curhat elo. Gue sakit hati. Gue enggak
kuat kalo elo cerita soal cowok lain dan gimana senengnya elo kalo bisa
berduaan sama dia. Gue cemburu setiap elo lebih perhatian sama dia daripada
gue. Tapi...” Nata sengaja menggantung kalimatnya. Sekalian menjeda, juga ingin
lebih fokus pada wajah Tara sekarang. Mungkin wajah itu mampu memberinya
sedikit energi untuk menumpahkan semua yang ada di benaknya sekarang. Bahkan ia
masih mengenggam tangan Tara, simbol bahwa ia tak akan pernah melepaskan tangan
itu sampai ia benar-benar membalas genggaman itu suatu saat nanti.
“...gue adalah
orang yang selama ini ada buat elo, Ra. Apa elo sadar itu?” satu pertanyaan ini
berhasil membuat Tara tercengang. Bisa jadi membenarkan, bisa jadi karena ia
hanya terkejut Nata mampu memberikan pertanyaan itu padanya.
“Karena itu, gue
enggak nyerah. Sebelum gue berusaha buat elo sadar kalo gue lebih baik dari
cowok itu... gue enggak akan pernah nyerah buat dapetin elo. Jadi... maaf...
gue enggak akan lepasin tangan ini ke tangan cowok lain,” lanjutnya sekaligus
sebagai akhir.
Tara hanya
menatap tangan itu. Perlahan, Nata membiarkannya lepas. Setelahnya, ia pergi.
Meninggalkan Tara yang masih terdiam di sana, menampilkan memori kedekatannya
selama ini dengan Nata.
“Gue juga sayang
sama elo, Nat. Tapi cuma sebagai sahabat. Enggak lebih. Apakah harus... elo
punya rasa yang lebih itu ke gue? Kenapa harus ke gue, Nat? Kenapa?”
***
Selepas
kepergian Awan dan Esta, Maga masih setia duduk di sofa. Menggantikan posisi
Esta yang tadi hanya menjadi penonton. Begitulah dirinya sekarang. Tangannya ia
lipat di depan dada dan pandangan mata ke arah depan. Menyaksikan bagaimana Aya
begitu khawatir pada Roni. Dan berulangkali pula bibir Roni meyakinkan dirinya
bahwa ia baik-baik saja. Sedangkan Tifa di sebelah kanan Roni hanya berdiri
diam. Segala macam semburat cemburu ada di wajah itu. Maga jelas melihatnya. Bukan
karena ia mengerti ilmu membaca wajah. Hanya saja, ekspresi itu terlalu mudah
ditebak. Andai saja Roni melihat ekspresi itu, pasti pun ia akan berpendapat
yang sama.
Di samping
ekspresi gadis malang itu, dua orang yang sulit bersatu itu sama-sama menunjukkan
ekspresi sayang. Maga mual sebenarnya melihat perkembangan mereka yang akhirnya
mandek. Tak ada perubahan sama sekali padahal jelas-jelas keduanya saling suka.
Jelas-jelas keduanya mengetahui perasaan yang lain. Tapi tak ada yang mau
mengulurkan tangan sampai sekarang. Mereka sungguh terlalu.
Dua puluh menit
hanya menjadi kambing congek, Tifa
memilih keluar. Tanpa memerhatikan Maga yang sejak tadi mengamati
pergerakannya. Adakah sesuatu yang ingin disampaikan Maga? Buktinya sekarang ia
mengekori Tifa keluar. Membiarkan dua orang itu bercengkerama leluasa tanpa
gangguen. Yah... walaupun sejak tadi baik Tifa ataupun Maga memang sama sekali
tak menggangu. Atau malah bisa dibilang mereka seolah tak ada.
“Fa!” Maga
tersenyum tipis melihat gedikan bahu Tifa yang tiba-tiba. Mungkin ia terkejut
karena panggilan tadi. Ia baru saja berdiri di depan pintu. Tak sadar pula
kalau Maga ikut keluar.
“Ngagetin gue
aja, elo!” rutuknya. Maga lagi-lagi tersenyum. Tanpa isyarat kata, Maga
memimpinnya duduk di bangku tunggu. Tapi melihat Tifa tak ada pergerakan, ia
memberi isyarat tubuh. Menunjuk kursi kosong di sebelah kiri dengan wajahnya.
Barulah Tifa mengerti maksudnya.
“Hah...” desah
Tifa seusai nyaman menempatkan duduknya. Kepalanya menyender ke dinding.
Menatap langit-langit putih rumah sakit. Sayangnya ia tak menemukan objek yang
tepat untuk dijadikan sasaran tatapan. Akhirnya ia memilih pintu ruangan Roni
di depannya ini. Bibir pink itu tertarik ke kedua sisi. Tapi
tak jauh, hingga hanya mengukir senyum tipis.
“Why?” suara
Maga terdengar. Saat itulah Tifa sadar Maga sudah menoleh ke arahnya. Kepalanya
menyender di dinding. Menatap Tifa dengan tatapan deduktif. Walaupun tadi itu sebuah
pertanyaan, omong kosong kalau sampai Maga tak tahu apa yang ada di pikiran
Tifa sekarang.
“Enggak papa,
kok. Lega aja Roni enggak papa,” tanggap Tifa. Tak peduli lagi kalaupun Maga
masih terus menatapnya.
“Cih!” dan yang
ia dapat adalah decih dan kekehan kecil. Tifa cukup mengenal Maga, jadi ia tak
akan menanyakan apa maksud decih dan kekehan tadi. Yah... bocah ini pasti
tengah mengekspresikan kemuakannya melihat acting
Tifa. Tifa tak peduli. Kalaupun ia tahu Maga tahu perasaannya pada Roni, ia tak
akan terang-terangan mengungkapnya pada si necis ini.
Sedangkan Maga
sudah tak menatap Tifa lagi. Bennar adanya kalau ia mulai muak sekarang. Tiga
orang ini sudah berhasil mengocak isi perutnya. Entah kapan akan ia muntahkan.
Semuanya kebohongan, sok naif! “Roni
tenggelem, Ga! Dia mau nolongin Aya yang jatuh di kolam renang pas kami lagi
ada acara hima di kolam renang kampus. Sekarang dia di rumah sakit. Ga... gue
harus gimana?” bahkan getar suara yang seratus persen takut kehilangan yang
ia dengar lewat panggilan Tifa tadi membuktikan semuanya dengan gamblang.
Kenapa tetap saja semua orang di sini suka menjadi salah satu tokoh sandiwara
menggelikan ini? Terjebak plot dengan gaya campuran. Hingga mereka harus mau
kembali ke masa lalu untuk menemui akhir cerita. Terlalu rumit. Terlalu
berkelok. Padahal sudah jelas jalan ada di depan mata.
Keduanya tak
terlibat banyak pembicaraan. Tifa juga tak terlalu nyambung kalau bicara intens
dengan Maga. Tapi waktu tiga tahun bersama Roni membantunya mengenal bagaimana
sosok seorang Maga. Tak banyak bicara, tapi selalu mengena saat mulutnya mulai
terbuka. Bicara apa saja yang ada di otak dan benaknya. Tak ada yang
ditutup-tutupi, sampai kadang menyakiti hati orang. Walaupun yang ia katakan
benar adanya, tapi tetap saja. Mungkin itu juga alasan kenapa temannya tak
terlalu banyak. Tak seperti Roni yang bisa bersosialisasi dengan siapapun.
Meski Roni cukup pemilih untuk masalah kedekatan, tapi tidak untuk menjalin
pertemenan. Beda dengan Maga, yang hanya memilih beberapa saja orang yang
menurutnya teman. Tapi yang teman itu sekaligus ia jadikan yang dekat.
Lima belas
menit, Aya keluar. Matanya langsung tertuju pada Maga dan Tifa. “Yok, Ga!”
ajaknya.
“Mau kemana?”
tanya Tifa bingung. Pasalnya tanpa menjawab Maga langsung bangun begitu saja.
Hampir saja pergi malah kalau Tifa tak melempar pertanyaan tadi.
“Ada rapat
penting di Isma.” Mendengar nama Isma
–Info Seputar Mahasiswa, UKM majalah di kampusnya itu Tifa manggut-manggut.
Kalau dipikir-pikir, Maga bisa mengenal Aya juga karena Isma. Pertemuan intens setiap akan menerbitkan majalah membuat
keduanya cukup dekat. Mungkin itu juga yang membuat Aya lebih banyak bercerita
soal Roni pada Maga. Apalagi ia tahu kalau Maga dan Roni itu sepupuan.
“Titip Roni ya,
Fa?” pesan Aya sebelum pergi.
“Ehm,” jawabnya
singkat, seraya mengangguk. Setelah mereka pergi ia kembali ke kamar Roni.
Kalau Roni tak menyuruhnya pulang, mungkin dia akan tetap berada di sana sampai
malam pun.
***
Malam ini Awan
kembali lagi ke rumah sakit. Tapi kali ini tidak dengan air mata dan sikap
cengeng seperti tadi pagi. Ia hanya sekadar menjenguk Roni. Tak lebih. Tapi
sayangnya ia tak bawa apa-apa. Hanya segenap doa agar bocah ini segera keluar
dari tempat yang sebenarnya tak disukai Awan. Ia sendiri heran, padahal Roni
kan cuma tenggelam. Kehabisan nafas di dalam air, dan sekarang ia sudah
baik-baik saja. Untuk tertawa dan bicara pun sudah biasa. Di wajahnya tak ada
pucat-pucatnya. Tapi dokter sama sekali tak mengizinkannya pulang.
Tak ada
percakapan yang berarti. Hanya satu kalimat yang membuat Roni tak bisa
menanggapi, “Elo kan bisa berenang, Ron. Gokil amat nyampe elo tenggelem gitu.”
Setelahnya, Roni memilih topik lain. Ia tak ingin membahas apapun soal renang.
Sekitar jam
sepuluh tepat, Roni menyuruh Awan pulang. Walaupun awalnya bocah ini seperti
Tifa, memaksa untuk tinggal, lantas Roni tak membiarkannya begitu saja. Ia tahu
betul Awan tak suka rumah sakit. Trauma kehilangan kakaknya dulu mungkin masih
mengentayanginya setiap datang ke tempat semacam ini. Ia tak akan mungkin tega.
Belum lagi setiap melihat wajah Awan ia teringat Langit. Teringat masa lalu.
Teringat tentang saat itu.
Baru lima menit
Awan menutup pintu, keluar dari kamar ini, seseorang masuk. Roni pikir awalnya
Awan ketinggalan sesuatu. Tapi ternyata itu Maga. Kali ini bocah itu hanya
mengenakan jeans biru panjang dengan kaos putih polos. Tapi tetap saja terlihat
necis saat ia kenakan.
“Ngapain elo ke
sini? Jam besuk udah berakhir, kan?” tanya Roni begitu Maga mendekat. Menarik
kursi plastik duduk di dekatnya. Tak ada jawaban yang ia dapat. Malah hanya
tatapan Maga yang sedikit pun tak bisa ia artikan. “Apa, sih?!” bahkan sampai
membuat Roni risih sendiri.
“Tadi itu...
adeknya Langit, ya? Awan?” malah pertanyaan balik yang ia berikan.
“Ehm... iya,”
jawab Roni. Nadanya melemah. Maga tahu, Roni pasti memasang tampang bersalahnya
setelah ini. Tapi ia tak lantas merasa bersalah. Mengingatkan Roni dengan Awan
berarti memaksa Roni untuk mengingat masa lalu. Masa lalu yang selalu
membuatnya merasa bersalah dan tak bisa berhenti mengucap maaf tiap kali
bersama Awan, meski hanya dalam hati. Masa lalu yang membuatnya sampai sekarang
tak bisa berujar Gue suka sama elo ke
Aya. Ya... masa itu...
Maga mengganti
posisinya. Dari condong kemudian memilih menyender ke punggung kursi. Kepalanya
manggut-manggut, paham sudah. Pantas saja ia merasa tak asing dengan wajah
Awan. Dia begitu mirip dengan Langit. Lagi pula ia pun juga pernah melihat
fotonya di hp Langit saat itu.
“Elo tahu?” Roni
kembali berujar. Masih dalam posisi menundukkan kepalanya. “Dia bener-bener
khawatir sama gue tadi. Bahkan dia bilang, dia enggak mau kehilangan abang
lagi. Dia... bahkan dia bener-bener nganggep gue abang dia, Ga,” lanjutnya.
“Ron...”
“Gue enggak
tahu. Gue enggak tahu betapa hancurnya dia nanti kalau dia tahu siapa yang udah
jadi penyebab kakak yang paling dia sayangi itu meninggal. Ninggalin dia
selamanya.”
“Woy!”
“Gue pembunuh, Ga. Sepantes apa gue bisa gantiin posisi Langit untuk Awan?”
Gigi Maga
gemeletukan. Ia risih menjadi tong curhat sekarang. Melihat air mata itu
membuatnya ingin melayangkan tinjunya sekarang ke wajah mulus Roni. Tapi ia
masih berusaha menahannya sekuat tenaga.
“Seharusnya tadi
itu aku bener-bener tenggelem. Seharusnya gue enggak selamet, Ga. Seharusnya
gue...”
Buk!
Maga tak punya lagi daya untuk menahan amarahnya. Tinjunya benar-benar
melayang. Melepaskan semua amarahnya tadi, dan yang tersisa hanya sengalan
napas. Menahan amarah benar-benar melelahkan.
Roni sendiri
cukup terkejut. Tangisnya berhenti juga semua curahan hatinya tadi. Ia menatap
nanar wajah yang masih ada sedikit kemiripan dengannya itu. Memastikan
kebenaran, Magakah yang barusan memukulnya?
“Ga...”
“Gue muak sama
elo, Ron!” sentaknya. “Banci yang enggak pernah bisa move on dari masa lalu! Banci yang selalu nge-judge dirinya sendiri pembunuh! Bajingan elo! Kalau elo
pembunuh, elo udah ringsek di penjara! Bukan dengan selang infus dan selimut
rumah sakit kayak gini! Sampe kapan elo mau kayak gini terus, Ron?” diamnya
Roni membuat Maga tak tahan lagi berada di situ. “Tau gitu gue enggak cuma
mukul elo, Ron! Seharusnya gue bawa pisau dan bunuh elo sekarang juga! Elo yang
kayak gini, bukan sepupu gue!” finish! Dan ia lantas hengkang dari tempat itu.
Membiarkan Roni memilih diam. Diam dalam kesendirannya dan setetes embun
tergelincir kembali di pipinya.
***
Kepala Roni
menyembul dari dalam air. Meraup nafas sebanyak-banyaknya setelah kehilangan
cukup banyak tadi. Tangan kanannya menjangkau tepian kolam. Menahan tubuhnya
agar tidak kembali masuk ke dalam air. Sedang tangan kirinya memindah kacamata
renangnya ke atas kepala. Bibirnya menyungging senyum begitu melihat hp-nya
yang sejak tadi ada di pinggir kolam. Kecepatannya bertambah hari ini. Ia cukup
puas.
Satu lompatan
membawanya naik ke atas air. Duduk di pinggir sambil melepas kacamatanya.
Meraup wajahnya sendiri demi menghalau sisa-sisa air yang masih ada di
wajahnya. Topless, lekuk tubuhnya
makin indah dalam keadaan basah seperti itu.
“Buat apa elo
berjuang mati-matian nambah kecepatan kalo elo enggak mau ikut olimpiade, Ron?”
suara seseorang membuatnya berbalik.
“Langit!”
serunya senang. Begitu pula dengan bocah yang masih lengkap mengenakan seragam
SMA-nya ini. Senyumnya malah lebih sumringah. Tangannya mengulurkan botol air
mineral pada Roni. Tanpa berucap apapun, Roni langsung menenggaknya setengah.
“Ah...”
desahnya. Senyum itu sama sekali belum hilang. Langit pun sama saja. Hanya
melihat Roni sebahagia ini cukup membuatnya bahagia. Bocah satu ini kalau sudah
berenang benar-benar serasa di surga. Ia sendiri heran. Padahal setiap hari
Roni selalu menguji kemampuannya soal kecepatan renang. Tapi kenapa dia sama
sekali tak mau ikut olimpiade? Setiap Langit bertanya pun, Roni hanya menjawab,
“Ini hobi, Lang. Gue enggak mau ngerusak hobi gue. Kan kalo kayak gini terserah
gue mau latihan apa enggak. Mau nambah kecepatan atau enggak. Gue enggak suka
dikejar-kejar, Lang.” Padahal hampir tiap hari dia ada di sini.
“Akh!” tiba-tiba
Langit meringis kesakitan.
“Kenapa elo?”
Roni bahkan sampai panik sendiri. Tangan Langit memegang erat perutnya. Tapi ia
tak mau membuat sahabatnya ini khawatir. Ia kembali tersenyum meski ada sedikit
kernyitan sakit di sana. Masalahnya perutnya benar-benar sakit sekarang.
“Biasa, sakit
perut,” jawabnya singkat. Ia berusaha santai, tapi sayangnya tak berhasil
membuat gurat cemas di wajah Roni hilang.
“Elo makan mi
instan lagi, ya?” tebak Roni, terlanjur tepat. Buktinya Langit malah nyengir. Gue ketahuan, pikirnya. “Gue
udah bilang berapa kali sih sama elo? Kalo elo enggak ada makanan tuh bilang!
Di tempat gue banyak makanan, sampe sisa-sisa. Tau sendiri nyokap gue kalo
ngasih persediaan di kulkas itu kelewat banyak,” dumel Roni lagi. Langit
terkekeh pelan. Nyeri di perutnya berkurang.
“Nyokap elo
pergi lagi, Ron.”
“Iya.” Roni
kembali menenggak air mineral itu.
“Kali ini
kemana?”
“Deket, kok.
Filipin, doang,” jawab Roni santai. Langit menelan ludahnya. Kalau menurut Roni
Filipin itu dekat, baginya Palembang saja sudah jauh. Yah... Roni juga sudah
biasa ditinggal sendiri. Apartemen sebesar itu, bagi anak SMA seperti dirinya
terlalu besar untuk ditinggali seorang diri. Tapi masih mending, daripada Roni
harus menempati rumah utamanya yang ada di Teluk. Tak ada siapapun kecuali
pembantu. Juga jaraknya terlalu jauh dari sekolahnya. Lagipula, Roni tak punya
saudara. Paling-paling sepupu. Itu pun jauh juga. Papanya juga sudah lama
bercerai dan pindah ke Jokjakarta. Tapi Roni tak pernah kekurangan kasih
sayang. Baik papa atau mamanya masih sering mencurahkan kasih sayangnya seperti
dulu sebelum bercerai. Hanya pertemuan mereka kurang intens saja.
“Gue mau putus
dari Aya, Ron,” kata Langit setelah lama mereka terdiam. Mendengarnya Roni
menyemburkan air yang baru saja ia tenggak.
“Hah?!”
sentaknya tak percaya. Langit maklum. Ia pun sudah menebak reaksi inilah yang
akan diberika Roni jika mendengar keputusannya ini. “Kenapa? Gila elo, ya?!”
tambahnya lagi. Matanya sudah melotot, seolah hampir keluar.
“Gue tahu ada
yang lebih sayang dia daripada gue.”
“Klise! Itu
bukan alasan buat elo mutusin Aya, Lang! Emang elo pikir Aya juga bakalan
sayang apa sama orang itu?”
“Gue tahu Aya
bakalan sayang sama dia. Karena dia lebih kenal sama orang itu duluan daripada
gue. Orang itu juga yang udah buat gue jadian sama dia, meskipun sebenarnya gue
tahu kalau orang itu sebenarnya sayang sama Aya, lebih dari gue.”
Roni tersentak.
Sepertinya ia tahu siapa yang dimaksud orang
itu oleh Langit. Orang yang pertama kali mengenalkan Aya pada Langit, yang
juga menyimpan perasaan padanya, bukankah itu adalah dia sendiri? Karenanya ia
hanya terdiam. Matanya mulai redup. Ia cukup kesal karena Langit tiba-tiba
menyinggung hal ini. Satu hal yang ia pertanyakan dalam hati, sejak kapan
Langit tahu soal perasaannya pada Aya?
“Elo lebih
sayang Aya daripada gue, Ron. Gue tahu, elo lebih pantes bersanding sama Aya
daripada gue,” lanjut Langit lagi. “Gue titip Aya...”
“Enggak usah
ngaco deh, Lang!” buru-buru Roni berdiri. Ia terlalu kesal jika harus
memertahankan posisinya seperti itu. Bahkan ia tak ada daya jika harus menatap
Langit lebih lama. “Ngaco elo itu udah enggak bisa gue terima! Peduli amat gue
lebih sayang sama Aya atau enggak! Dia udah milih elo! Seharusnya elo jagain
dia sampe akhir. Untuk alasan apa elo mau ngasih dia ke gue! Omong kosong!”
rutuknya sebal.
“Gue juga tahu,
seenggaknya Aya punya rasa sama elo, Ron. Walaupun dia enggak pernah bilang,
tapi dia juga sayang sama elo. Apa elo pikir gue bisa pertahanin dia dan maksa
dia tetep sama gue?”
“Dan elo nyuruh
gue mengkhianati sahabat gue sendiri, Lang?!” teriak Roni. Geram, kuat atau
tidak ia benar-benar ingin melemparkan amarahnya dan menatap tajam ke kedua
mata Langit. Matanya sudah berkaca-kaca. Ada sakit di hatinya mendengar Langit
begitu mudah menyerah dengan hubungannya dengan Aya. Sebanyak apapun ia mencintai
Aya, tak akan mungkin ia merebut pacar sahabatnya sendiri. Lebih dari apapun,
jelas ia lebih memilih Langit daripada Aya.
“Elo curang,
Ron. Elo sendiri yang jadi sahabat yang baik buat gue. Terus gue? Kenapa gue
harus jadi sahabat yang jahat terus buat elo?”
Tak ada
tanggapan. Roni memilih diam. Nyatanya Langit masih ingin melanjutkan
kata-katanya. “Gue tahu dari awal sebenarnya elo emang suka sama Aya. Gue tahu,
sejak pertama kali elo ngenalin Aya ke gue, sebenarnya elo mau ngenalin orang
yang elo sayang. Gue tahu, tapi gue egois. Gue egois karena gue mementingkan
perasaan gue dan enggak pernah biarin elo buat cerita perasaan elo sama Aya ke
gue. Gue tahu dari awal, Ron. Gue... selama ini gue ini enggak lebih dari
seorang pengkhianat, Ron. Sekarang... gue mohon sekarang izinin gue buat jadi
sahabat elo lagi. Gue mohon...”
Penjelasan ini
membuat Roni makin tak tahu harus bersikap bagaimana lagi. Haruskah ia merasa
senang karena akhirnya cinta bertepuk sebelah tangannya punya peluang untuk
terbalas? Ataukah ia merasa sedih karena harus mencampakkan sahabatnya sendiri?
Jika Langit tak ingin menjadi egois atas perasaannya, kenapa ia malah harus
mempertahankan perasaannya sendiri?
“Enggak, Lang!
Gue enggak mau!”
“Elo lebih
penting daripada siapapun, Ron! Karena elo sahabat gue.” Deg! Lagi-lagi Roni terhenyak, diam mematung karena tuturan Langit.
Entah kebaikan apa yang ia perbuat di masa lalu hingga ia mendapat sahabat yang
terlalu mementingkan dirinya lebih dari apapun. Hanya Langit yang selama ini ia
tahu tulus menganggapnya sahabat. Bahkan ia tak pernah membiarkan Roni
kesusahan. Mengeluarkan sedikit uang untuk mentraktirnya jajan saja rasanya
bisa ia hitung dengan jari. Rasa persahabatannya terlalu tulus. Kalau tak ingat
harga dirinya sebagai lelaki, mungkin ia akan menangis sekarang.
Alih-alih
menahan tangisnya, ia berbalik. Ia menggeleng lagi, “Enggak, Lang. Gue beneran
enggak bisa. Lebih dari perasaan gue, gue juga lebih milih elo daripada
apapun.”
“Ron...” tiba-tiba
Langit merasakan perutnya kembali melilit. Nyeri sekali rasanya, bahkan usaha
tangannya menekan perutnya tak ada hasil. Ada ratusan paku berkarat yang
menusuk perutnya. Ini terlalu sakit untuk ia ujarkan dengan kata-kata
sekalipun.
“Kalo elo enggak
mau jadi pengkhianat gue, kenapa gue harus jadi pengkhianat elo? Kalo elo
enggak mau egois atas perasaan elo sendiri, kenapa gue harus egois sama
perasaan gue sendiri? Elo enggak adil, Lang! Gue juga lebih milih persahabatan
ini daripada perasaan gue! Gue juga...”
Byur!!!
Telinga Roni menangkap sesuatu yang jatuh ke dalam air. Ia berbalik, dan
mendapati Langit-lah yang membuat suara barusan. Langit jatuh ke dalam kolam.
Awalnya Roni nampak terkejut memang, tapi tidak begitu lama.
“Lang! Gue lagi
serius! Elo enggak usah bercanda kayak gini, deh!” gerutunya. Langit tak
menunjukkan pergerakannya selama ada di kolam. Ia masih setia diam di dalam
kolam. “Lang! Elo ataupun gue tahu, walaupun gue lebih mahir dalam hal renang,
elo juga bisa renang. Bahkan masuk dalam kategori jago! Enggak usah bercanda,
deh!”
Langit tetap
diam. “Elo mau keluar dari kolam sekarang atau gue tinggalin elo sendiri di
sini!” Roni mulai frustasi.
“Langit Cakra
Winata!” bahkan teriakan ini sama sekali tak mendapat respon. “Keluar sekarang
atau gue beneran marah dan kita enggak usah sahabatan lagi!” akhirnya hanya
kata-kata ancaman yang bisa ia lontarkan. Tapi faktanya, Langit tetap tak
bergeming. Bahkan tubuhnya mulai tenggelam makin ke dasar. Meski Roni awalnya
masih menganggap itu hanya candaan dari Langit, tapi lama-kelamaan ia mulai
cemas. “Lang?” ia pastikan lagi untuk memanggil namanya. Tak ada pergerakan.
Langit benar-benar tak bergerak!
“Langit!”
pekiknya. Dan barulah, byur! Ia
putuskan untuk masuk lagi ke air. Menarik tubuh Langit dan membawanya ke atas.
Susah payah ia naikkan tubuh Langit ke atas.
“Lang... Langit!
Hah... Langit!” racaunya panik. Segala macam cara ia lakukan untuk membuat
Langit tersadar. Nafas buatan, CPR bahkan
untuk menampar-nampar pipi Langit. Tetap saja, tak ada reaksi dari Langit.
“Langit... hh... Langit...” ia mulai sesenggukan. Ada ketakutan luar biasa yang
menghampirinya.
“Ada orang di
luar? Tolong! Tolong! Langit! Lang... bangun, Lang! Tolong!”
***
“Langit enggak
tertolong setelahnya,” Maga mengakhiri cerita. Selanjutnya ia menoleh ke kanan.
Menatap wajah cantik khas turki ini dengan nanar. Ada sebuah gurat
ketidakpercayaan di sana. Tentu saja melihat itu Maga menyesal. Kenapa tadi ia
harus membawa Aya kemari? Kenapa ia harus membiarkan Aya mendengar
perdebatannya dengan Roni di dalam tadi? Kenapa ia membiarkan Aya memintanya
menceritakan hal yang sebenarnya terjadi pada Langit? Kenapa juga ia
menjelaskan alasan Roni menyebut dirinya sebagai pembunuh sahabatnya sendiri?
Yang Aya tahu
alasan meninggalnya Langit adalah usus buntu. Tapi ia tak pernah tahu kalau
Langit sempat jatuh ke kolam renang setelah berdebat tentang perasaan mereka
berdua kepadanya. Tiga tahun berlalu, kenapa ia baru tahu sekarang?
“Langit emang
kena usus buntu. Tapi, andai aja Roni langsung nolongin dia pas jatuh ke kolam
dan buru-buru bawa dia ke rumah sakit, mungkin Langit bakalan tertolong. Tapi
mungkinnya manusia enggak akan bisa merubah apapun. Karena semuanya pun udah
takdir dari yang di atas. Enggak ada alesan buat nyebut Roni sebagai pembunuh
Langit. Tuhan lebih sayang sama Langit daripada Roni, Ya,” jelas Maga lagi.
Wajahnya sendu melihat wajah sendu Aya. Entah apa yang ada di pikiran gadis
ini. Apa dia akan bersikap biasa saja pada Roni setelah mendengar ini? Atau
malah sebaliknya, menjauh dan tak membiarkan Roni mengungkapkan perasaannya
yang sesungguhnya. Ia tak peduli lagi. Yang paling penting adalah, Aya sudah
tahu semua kenyataan di masa lalu. Menunggu Roni untuk memulai, ia terlalu tak
sabar. Bukankah itu juga alasannya membawa Aya dan sengaja tak mengajaknya
masuk tadi?
Di satu sisi, di
luar sepengetahuan Maga dan Roni, ada seorang lagi yang melihat dan mungkin
mendengar semua cerita tadi. Seseorang yang melemas kakinya sekarang, berdiri
di sudut koridor yang menuju ke ruangan Roni. Ia tak jadi melangkah ke depan.
Ia kembali lagi. Ada bulir bening yang melompat dari kedua sudut matanya.
Ekspresi datarnya malah menggambarkan betapa terkejut dirinya sekarang. Ia
melangkah, keluar dengan jejak yang bergetar mewakili titik perih di hatinya.
Sampai di luar barulah ia sadar, hari sudah gelap, ini malam. Ia ragu, sejak
kapan mentarinya mulai temaram?
No comments:
Post a Comment