Friday, January 17, 2020

Mentari yang Temaram


Semenjak Nata dilempar ke dunia pendidikan, duduk tenang di bangku kelas mendengar ceramah guru atau pun presentasi dari teman-temannya, ini adalah kali pertama ia merasa gandulan di hatinya terlalu berat. Posisinya terlalu strategis. Bahkan keterlaluan malah. Duduk tepat di samping dosen di antara kursi yang diatur menjadi letter U, dan tepat mengarah ke teman-temannya yang tengah presentasi. Sedang di kursi yang berseberangan dengannya adalah Tara. Empat SKS, dan ia habiskan hanya untuk memandangi gadis itu. Ia ingin beralih, fokus ke mata kuliahnya kali ini. Tapi itu terlalu sulit digapai. 
 Kalaupun mata kirinya was-was terhadap teguran dosen ini –karena mungkin kebetulan, atau malah keapesan yang didapat Nata hari ini, adalah Pak Wahidin—atau memerhatikan presentasi kelompok yang sedang tampil ini, mata kanannya pasti akan beralih ke Tara. Tara dan Tara lagi. Ia lelah, tapi ia terus melakukannya. Akh! Ia frustasi sendiri.

“Tadi ada Kak Diylan, Es! Dia senyum sama gue gitu! Dan elo tahu, pas diklat kemarin, dia perhatian banget sama gue pas lagi sakit,” ingat betul ia ketika Tara begitu antusiasnya curhat ke Esta tadi pagi. Tiga kalimat itu berhasil menjadi pedang, samurai dan silet sekaligus mencincang habis perasaannya. Nelangsa. Rasanya bahkan lebih nelangsa ketimbang sebelum ia mengungkapkan isi hatinya saat itu. Apa karena ia tahu bahwa posisinya benar-benar hanya sebagai teman curhat sekarang? Ia telah ditolak dan sudah tak ada ranah lagi untuk menambah porsinya di hati Tara?

“Jika sudah begini, seharusnya Anda tidak perlu menyerah,” satu kalimat presentator yang tiba-tiba mendarat mulus ke gendang telinganya. Entah mengapa tiba-tiba ia langsung fokus ke depan. Tubuh mungil Yuni di depan sana seolah tengah mengarah kepadanya. Mata bulat yang sayu itu di imajinasikannya tengah berbinar-binar. Dengan kata-kata yang tegas dan meyakinkan, seolah menyemangatinya untuk tidak menyerah dalam situasi ini.

“Elo pasti bisa, Nata!”

“Jangan menyerah sampai di sini, Nata!” Dayu yang satu kelompok dengan Yuni, ikut menyemangatinya lebih gencar. Juga Rendra di sebelah kanannya, yang tiba-tiba juga ia tengok.

“Allah membuka jalan untukmu!” kalimat ini yang didengar Nata. Mulai curiga, Nata menengok ke seluruh teman di kelasnya. Semuanya tengah menyemangatinya.

“Jangan menyerah!”

“Belum waktunya!”

“Janur kuning belum melengkung, Nat!”

“Elo pasti bisa dapetin Tara!”

Dan barulah ia bisa menyungging senyum. Padahal...

Yuni berusaha memberikan jawaban sebaik mungkin pada Lin yang duduk sebelah kiri Esta –yang duduk di sebelah kanan Tara, yang sedari manggut-manggut. Mulai mengerti materi kelompok ini.
Dayu sibuk menyiapkan jawaban untuk Ria, yang agak njlimet dan sukar diterjemah oleh bahasa mahasiswa biasa seperti Dayu.

Rendra malah sama sekali tak menghadap ke arah depan, apalagi ke Nata. Ia sibuk dengan Aini –pacarnya yang duduk tepat di sebelah kanannya.

Dan... seisi kelas yang lain, mulai menguep merasakan kantuk yang mulai menjalar. Hanya beberapa yang mencoba bertahan, kalau-kalau ada kesempatan mereka untuk menyanggah jawaban, sehingga bisa paling tidak semenit untuk menghalau kantuk ini. Sama sekali tidak memerhatikan Nata sedikit pun!

“Yak, itulah jawaban dari saudara Yuni,” Dayu yang merangkap menjadi moderator berdiri. Melihat ke arah Lin untuk meminta tingkat kepuasan dari jawaban yang sudah diberikan. “Bagaimana saudari Lin? Apakah sudah cukup jelas?” jawabannya adalah anggukan kepala. “Em... kemudian dari kelompok lain apakah...

“Oke!” tiba-tiba kalimat Dayu terpotong. Brak! Gebrakan meja selanjutnya membuat semua pasang mata kali ini benar-benar mengarah pada... Nata! Ia tiba-tiba berdiri. Padahal tidak ada yang memersilahkan. Ia tiba-tiba menggebrak meja, padahal materi kali ini bukan tentang debat atau konflik. Tapi ia berhasil. Ia berhasil membantu kawan-kawannya untuk tidak menguep lagi, lantaran kaget dengan ketiba-tibaannya barusan. Termasuk Pak Wahidin di sampingnya. Kumis panjangnya langsung miring, mungkin karena kaget juga.

“Gue enggak nyerah! Gue akan tetap berusaha, untuk mempertahankan cintaku sampai ke ujung dunia!” lanjutnya lagi. Ekspresinya jelas membuat yang lain langsung melongo. Barusan nih anak baca puisi atau ngapain, yak?

“Nata Zakiarsyah...” Pak Wahidin mencolek pundak Nata. Sejurus kemudian, barulah Nata tersentak. Matanya liar menatap seisi kelas yang serentak membulatkan huruf o di mulut mereka. Giliran beralih ke sebelah kiri, dan deng! Muka sangar Pak Wahidin sudah tampang pasang wajah paling jelek bin horor!

“Kamu ngapain barusan, nak?” tanya Pak Wahidin. Lirih... tapi berhasil membuat bulu kuduk Nata berdiri semua.

“Eh... he... anu... Pak...”

***

Keluar dari ruangan Pak Wahidin ujung kaki sampai ujung kepala rasanya tercecer semua. Pegal-pegal naudzubillah! Sebagai hukuman Nata harus rela membantu Pak Wahidin mengisi data yang Nata sama sekali tak tahu. Tiga jam dia ada di ruangan itu menyelesaikan setumpuk bergas yang tingginya kira-kira selututnya. Banyak betul!

Sambil peregangan, ia berjalan melewati lorong ini. Setelah ini tak ada mata kuliah lagi. Inginnya dia pulang, tapi sepertinya hari ini di hima ada rapat. Yah... paling tidak ia harus mencari sesuatu dulu untuk mengganjal perutnya. Pak Wahidin berhasil merebut waktu makan siangnya. Dia juga, sih. Sok puitis! Padahal kan Pak Wahidin dosen Kurikulum, bukannya dosen Apresiasi Puisi.

Langkah Nata terhenti ketika ada seseorang yang menghadang jalannya. “Tara?” ia cukup terkejut melihat Tara yang sudah ada di depannya. Menatapnya dengan tatapan yang maknanya sangat sulit untuk diterka. “Ke, kenapa?” tentu saja ia jadi salah tingkah. Walaupun sudah patah hati, tapi Nata kan masih ada rasa dengannya. Apalagi sekarang posisinya Tara tahu pasti bagaimana perasaannya. Titah Awan untuk bersikap biasa saja ternyata sulit. Benar kan, bicara lebih mudah daripada melakukannya.

“Elo...” bibir Tara terbuka. Tapi tak lantas dilanjutkan. Mungkin kata-katanya tersendat di tenggorakan. Atau malah di otaknya reflek memikirkan hal lain yang tak perlu melontarkan kata-kata pada Nata. Karenanya ia berbalik. Bermaksud pergi tapi tangan Nata berhasil meraihnya. Terpaksa, ia kembali berbalik demi mengetahui maksud dari tarikan ini.

“Gue enggak mau nyerah, Ra,” kata Nata. Tara memilih untuk menatapnya saja tanpa berkomentar. Meski sebenarnya ia tahu apa yang akan dilanjutkan Nata setelah kalimat tadi. “Gue enggak mau cuma sekedar jadi temen curhat elo. Gue sakit hati. Gue enggak kuat kalo elo cerita soal cowok lain dan gimana senengnya elo kalo bisa berduaan sama dia. Gue cemburu setiap elo lebih perhatian sama dia daripada gue. Tapi...” Nata sengaja menggantung kalimatnya. Sekalian menjeda, juga ingin lebih fokus pada wajah Tara sekarang. Mungkin wajah itu mampu memberinya sedikit energi untuk menumpahkan semua yang ada di benaknya sekarang. Bahkan ia masih mengenggam tangan Tara, simbol bahwa ia tak akan pernah melepaskan tangan itu sampai ia benar-benar membalas genggaman itu suatu saat nanti.

“...gue adalah orang yang selama ini ada buat elo, Ra. Apa elo sadar itu?” satu pertanyaan ini berhasil membuat Tara tercengang. Bisa jadi membenarkan, bisa jadi karena ia hanya terkejut Nata mampu memberikan pertanyaan itu padanya.

“Karena itu, gue enggak nyerah. Sebelum gue berusaha buat elo sadar kalo gue lebih baik dari cowok itu... gue enggak akan pernah nyerah buat dapetin elo. Jadi... maaf... gue enggak akan lepasin tangan ini ke tangan cowok lain,” lanjutnya sekaligus sebagai akhir.

Tara hanya menatap tangan itu. Perlahan, Nata membiarkannya lepas. Setelahnya, ia pergi. Meninggalkan Tara yang masih terdiam di sana, menampilkan memori kedekatannya selama ini dengan Nata.

“Gue juga sayang sama elo, Nat. Tapi cuma sebagai sahabat. Enggak lebih. Apakah harus... elo punya rasa yang lebih itu ke gue? Kenapa harus ke gue, Nat? Kenapa?”

***

Selepas kepergian Awan dan Esta, Maga masih setia duduk di sofa. Menggantikan posisi Esta yang tadi hanya menjadi penonton. Begitulah dirinya sekarang. Tangannya ia lipat di depan dada dan pandangan mata ke arah depan. Menyaksikan bagaimana Aya begitu khawatir pada Roni. Dan berulangkali pula bibir Roni meyakinkan dirinya bahwa ia baik-baik saja. Sedangkan Tifa di sebelah kanan Roni hanya berdiri diam. Segala macam semburat cemburu ada di wajah itu. Maga jelas melihatnya. Bukan karena ia mengerti ilmu membaca wajah. Hanya saja, ekspresi itu terlalu mudah ditebak. Andai saja Roni melihat ekspresi itu, pasti pun ia akan berpendapat yang sama.

Di samping ekspresi gadis malang itu, dua orang yang sulit bersatu itu sama-sama menunjukkan ekspresi sayang. Maga mual sebenarnya melihat perkembangan mereka yang akhirnya mandek. Tak ada perubahan sama sekali padahal jelas-jelas keduanya saling suka. Jelas-jelas keduanya mengetahui perasaan yang lain. Tapi tak ada yang mau mengulurkan tangan sampai sekarang. Mereka sungguh terlalu.

Dua puluh menit hanya menjadi kambing congek, Tifa memilih keluar. Tanpa memerhatikan Maga yang sejak tadi mengamati pergerakannya. Adakah sesuatu yang ingin disampaikan Maga? Buktinya sekarang ia mengekori Tifa keluar. Membiarkan dua orang itu bercengkerama leluasa tanpa gangguen. Yah... walaupun sejak tadi baik Tifa ataupun Maga memang sama sekali tak menggangu. Atau malah bisa dibilang mereka seolah tak ada.

“Fa!” Maga tersenyum tipis melihat gedikan bahu Tifa yang tiba-tiba. Mungkin ia terkejut karena panggilan tadi. Ia baru saja berdiri di depan pintu. Tak sadar pula kalau Maga ikut keluar.

“Ngagetin gue aja, elo!” rutuknya. Maga lagi-lagi tersenyum. Tanpa isyarat kata, Maga memimpinnya duduk di bangku tunggu. Tapi melihat Tifa tak ada pergerakan, ia memberi isyarat tubuh. Menunjuk kursi kosong di sebelah kiri dengan wajahnya. Barulah Tifa mengerti maksudnya.

“Hah...” desah Tifa seusai nyaman menempatkan duduknya. Kepalanya menyender ke dinding. Menatap langit-langit putih rumah sakit. Sayangnya ia tak menemukan objek yang tepat untuk dijadikan sasaran tatapan. Akhirnya ia memilih pintu ruangan Roni di depannya ini. Bibir  pink itu tertarik ke kedua sisi. Tapi tak jauh, hingga hanya mengukir senyum tipis.

“Why?” suara Maga terdengar. Saat itulah Tifa sadar Maga sudah menoleh ke arahnya. Kepalanya menyender di dinding. Menatap Tifa dengan tatapan deduktif. Walaupun tadi itu sebuah pertanyaan, omong kosong kalau sampai Maga tak tahu apa yang ada di pikiran Tifa sekarang.

“Enggak papa, kok. Lega aja Roni enggak papa,” tanggap Tifa. Tak peduli lagi kalaupun Maga masih terus menatapnya.

“Cih!” dan yang ia dapat adalah decih dan kekehan kecil. Tifa cukup mengenal Maga, jadi ia tak akan menanyakan apa maksud decih dan kekehan tadi. Yah... bocah ini pasti tengah mengekspresikan kemuakannya melihat acting Tifa. Tifa tak peduli. Kalaupun ia tahu Maga tahu perasaannya pada Roni, ia tak akan terang-terangan mengungkapnya pada si necis ini.

Sedangkan Maga sudah tak menatap Tifa lagi. Bennar adanya kalau ia mulai muak sekarang. Tiga orang ini sudah berhasil mengocak isi perutnya. Entah kapan akan ia muntahkan. Semuanya kebohongan, sok naif! “Roni tenggelem, Ga! Dia mau nolongin Aya yang jatuh di kolam renang pas kami lagi ada acara hima di kolam renang kampus. Sekarang dia di rumah sakit. Ga... gue harus gimana?” bahkan getar suara yang seratus persen takut kehilangan yang ia dengar lewat panggilan Tifa tadi membuktikan semuanya dengan gamblang. Kenapa tetap saja semua orang di sini suka menjadi salah satu tokoh sandiwara menggelikan ini? Terjebak plot dengan gaya campuran. Hingga mereka harus mau kembali ke masa lalu untuk menemui akhir cerita. Terlalu rumit. Terlalu berkelok. Padahal sudah jelas jalan ada di depan mata.

Keduanya tak terlibat banyak pembicaraan. Tifa juga tak terlalu nyambung kalau bicara intens dengan Maga. Tapi waktu tiga tahun bersama Roni membantunya mengenal bagaimana sosok seorang Maga. Tak banyak bicara, tapi selalu mengena saat mulutnya mulai terbuka. Bicara apa saja yang ada di otak dan benaknya. Tak ada yang ditutup-tutupi, sampai kadang menyakiti hati orang. Walaupun yang ia katakan benar adanya, tapi tetap saja. Mungkin itu juga alasan kenapa temannya tak terlalu banyak. Tak seperti Roni yang bisa bersosialisasi dengan siapapun. Meski Roni cukup pemilih untuk masalah kedekatan, tapi tidak untuk menjalin pertemenan. Beda dengan Maga, yang hanya memilih beberapa saja orang yang menurutnya teman. Tapi yang teman itu sekaligus ia jadikan yang dekat.

Lima belas menit, Aya keluar. Matanya langsung tertuju pada Maga dan Tifa. “Yok, Ga!” ajaknya.
“Mau kemana?” tanya Tifa bingung. Pasalnya tanpa menjawab Maga langsung bangun begitu saja. Hampir saja pergi malah kalau Tifa tak melempar pertanyaan tadi.

“Ada rapat penting di Isma.” Mendengar nama Isma –Info Seputar Mahasiswa, UKM majalah di kampusnya itu Tifa manggut-manggut. Kalau dipikir-pikir, Maga bisa mengenal Aya juga karena Isma. Pertemuan intens setiap akan menerbitkan majalah membuat keduanya cukup dekat. Mungkin itu juga yang membuat Aya lebih banyak bercerita soal Roni pada Maga. Apalagi ia tahu kalau Maga dan Roni itu sepupuan.

“Titip Roni ya, Fa?” pesan Aya sebelum pergi.

“Ehm,” jawabnya singkat, seraya mengangguk. Setelah mereka pergi ia kembali ke kamar Roni. Kalau Roni tak menyuruhnya pulang, mungkin dia akan tetap berada di sana sampai malam pun.

***

Malam ini Awan kembali lagi ke rumah sakit. Tapi kali ini tidak dengan air mata dan sikap cengeng seperti tadi pagi. Ia hanya sekadar menjenguk Roni. Tak lebih. Tapi sayangnya ia tak bawa apa-apa. Hanya segenap doa agar bocah ini segera keluar dari tempat yang sebenarnya tak disukai Awan. Ia sendiri heran, padahal Roni kan cuma tenggelam. Kehabisan nafas di dalam air, dan sekarang ia sudah baik-baik saja. Untuk tertawa dan bicara pun sudah biasa. Di wajahnya tak ada pucat-pucatnya. Tapi dokter sama sekali tak mengizinkannya pulang.

Tak ada percakapan yang berarti. Hanya satu kalimat yang membuat Roni tak bisa menanggapi, “Elo kan bisa berenang, Ron. Gokil amat nyampe elo tenggelem gitu.” Setelahnya, Roni memilih topik lain. Ia tak ingin membahas apapun soal renang.

Sekitar jam sepuluh tepat, Roni menyuruh Awan pulang. Walaupun awalnya bocah ini seperti Tifa, memaksa untuk tinggal, lantas Roni tak membiarkannya begitu saja. Ia tahu betul Awan tak suka rumah sakit. Trauma kehilangan kakaknya dulu mungkin masih mengentayanginya setiap datang ke tempat semacam ini. Ia tak akan mungkin tega. Belum lagi setiap melihat wajah Awan ia teringat Langit. Teringat masa lalu. Teringat tentang saat itu.

Baru lima menit Awan menutup pintu, keluar dari kamar ini, seseorang masuk. Roni pikir awalnya Awan ketinggalan sesuatu. Tapi ternyata itu Maga. Kali ini bocah itu hanya mengenakan jeans biru panjang dengan kaos putih polos. Tapi tetap saja terlihat necis saat ia kenakan.

“Ngapain elo ke sini? Jam besuk udah berakhir, kan?” tanya Roni begitu Maga mendekat. Menarik kursi plastik duduk di dekatnya. Tak ada jawaban yang ia dapat. Malah hanya tatapan Maga yang sedikit pun tak bisa ia artikan. “Apa, sih?!” bahkan sampai membuat Roni risih sendiri.

“Tadi itu... adeknya Langit, ya? Awan?” malah pertanyaan balik yang ia berikan.

“Ehm... iya,” jawab Roni. Nadanya melemah. Maga tahu, Roni pasti memasang tampang bersalahnya setelah ini. Tapi ia tak lantas merasa bersalah. Mengingatkan Roni dengan Awan berarti memaksa Roni untuk mengingat masa lalu. Masa lalu yang selalu membuatnya merasa bersalah dan tak bisa berhenti mengucap maaf tiap kali bersama Awan, meski hanya dalam hati. Masa lalu yang membuatnya sampai sekarang tak bisa berujar Gue suka sama elo ke Aya. Ya... masa itu...

Maga mengganti posisinya. Dari condong kemudian memilih menyender ke punggung kursi. Kepalanya manggut-manggut, paham sudah. Pantas saja ia merasa tak asing dengan wajah Awan. Dia begitu mirip dengan Langit. Lagi pula ia pun juga pernah melihat fotonya di hp Langit saat itu.

“Elo tahu?” Roni kembali berujar. Masih dalam posisi menundukkan kepalanya. “Dia bener-bener khawatir sama gue tadi. Bahkan dia bilang, dia enggak mau kehilangan abang lagi. Dia... bahkan dia bener-bener nganggep gue abang dia, Ga,” lanjutnya.

“Ron...”

“Gue enggak tahu. Gue enggak tahu betapa hancurnya dia nanti kalau dia tahu siapa yang udah jadi penyebab kakak yang paling dia sayangi itu meninggal. Ninggalin dia selamanya.”

“Woy!”

“Gue pembunuh, Ga. Sepantes apa gue bisa gantiin posisi Langit untuk Awan?”

Gigi Maga gemeletukan. Ia risih menjadi tong curhat sekarang. Melihat air mata itu membuatnya ingin melayangkan tinjunya sekarang ke wajah mulus Roni. Tapi ia masih berusaha menahannya sekuat tenaga.

“Seharusnya tadi itu aku bener-bener tenggelem. Seharusnya gue enggak selamet, Ga. Seharusnya gue...”

Buk! Maga tak punya lagi daya untuk menahan amarahnya. Tinjunya benar-benar melayang. Melepaskan semua amarahnya tadi, dan yang tersisa hanya sengalan napas. Menahan amarah benar-benar melelahkan.

Roni sendiri cukup terkejut. Tangisnya berhenti juga semua curahan hatinya tadi. Ia menatap nanar wajah yang masih ada sedikit kemiripan dengannya itu. Memastikan kebenaran, Magakah yang barusan memukulnya?

“Ga...”

“Gue muak sama elo, Ron!” sentaknya. “Banci yang enggak pernah bisa move on dari masa lalu! Banci yang selalu nge-judge dirinya sendiri pembunuh! Bajingan elo! Kalau elo pembunuh, elo udah ringsek di penjara! Bukan dengan selang infus dan selimut rumah sakit kayak gini! Sampe kapan elo mau kayak gini terus, Ron?” diamnya Roni membuat Maga tak tahan lagi berada di situ. “Tau gitu gue enggak cuma mukul elo, Ron! Seharusnya gue bawa pisau dan bunuh elo sekarang juga! Elo yang kayak gini, bukan sepupu gue!” finish! Dan ia lantas hengkang dari tempat itu. Membiarkan Roni memilih diam. Diam dalam kesendirannya dan setetes embun tergelincir kembali di pipinya.

***

Kepala Roni menyembul dari dalam air. Meraup nafas sebanyak-banyaknya setelah kehilangan cukup banyak tadi. Tangan kanannya menjangkau tepian kolam. Menahan tubuhnya agar tidak kembali masuk ke dalam air. Sedang tangan kirinya memindah kacamata renangnya ke atas kepala. Bibirnya menyungging senyum begitu melihat hp-nya yang sejak tadi ada di pinggir kolam. Kecepatannya bertambah hari ini. Ia cukup puas.

Satu lompatan membawanya naik ke atas air. Duduk di pinggir sambil melepas kacamatanya. Meraup wajahnya sendiri demi menghalau sisa-sisa air yang masih ada di wajahnya. Topless, lekuk tubuhnya makin indah dalam keadaan basah seperti itu.

“Buat apa elo berjuang mati-matian nambah kecepatan kalo elo enggak mau ikut olimpiade, Ron?” suara seseorang membuatnya berbalik.

“Langit!” serunya senang. Begitu pula dengan bocah yang masih lengkap mengenakan seragam SMA-nya ini. Senyumnya malah lebih sumringah. Tangannya mengulurkan botol air mineral pada Roni. Tanpa berucap apapun, Roni langsung menenggaknya setengah.

“Ah...” desahnya. Senyum itu sama sekali belum hilang. Langit pun sama saja. Hanya melihat Roni sebahagia ini cukup membuatnya bahagia. Bocah satu ini kalau sudah berenang benar-benar serasa di surga. Ia sendiri heran. Padahal setiap hari Roni selalu menguji kemampuannya soal kecepatan renang. Tapi kenapa dia sama sekali tak mau ikut olimpiade? Setiap Langit bertanya pun, Roni hanya menjawab, “Ini hobi, Lang. Gue enggak mau ngerusak hobi gue. Kan kalo kayak gini terserah gue mau latihan apa enggak. Mau nambah kecepatan atau enggak. Gue enggak suka dikejar-kejar, Lang.” Padahal hampir tiap hari dia ada di sini.

“Akh!” tiba-tiba Langit meringis kesakitan.

“Kenapa elo?” Roni bahkan sampai panik sendiri. Tangan Langit memegang erat perutnya. Tapi ia tak mau membuat sahabatnya ini khawatir. Ia kembali tersenyum meski ada sedikit kernyitan sakit di sana. Masalahnya perutnya benar-benar sakit sekarang.

“Biasa, sakit perut,” jawabnya singkat. Ia berusaha santai, tapi sayangnya tak berhasil membuat gurat cemas di wajah Roni hilang.

“Elo makan mi instan lagi, ya?” tebak Roni, terlanjur tepat. Buktinya Langit malah nyengir. Gue ketahuan, pikirnya. “Gue udah bilang berapa kali sih sama elo? Kalo elo enggak ada makanan tuh bilang! Di tempat gue banyak makanan, sampe sisa-sisa. Tau sendiri nyokap gue kalo ngasih persediaan di kulkas itu kelewat banyak,” dumel Roni lagi. Langit terkekeh pelan. Nyeri di perutnya berkurang.

“Nyokap elo pergi lagi, Ron.”

“Iya.” Roni kembali menenggak air mineral itu.

“Kali ini kemana?”

“Deket, kok. Filipin, doang,” jawab Roni santai. Langit menelan ludahnya. Kalau menurut Roni Filipin itu dekat, baginya Palembang saja sudah jauh. Yah... Roni juga sudah biasa ditinggal sendiri. Apartemen sebesar itu, bagi anak SMA seperti dirinya terlalu besar untuk ditinggali seorang diri. Tapi masih mending, daripada Roni harus menempati rumah utamanya yang ada di Teluk. Tak ada siapapun kecuali pembantu. Juga jaraknya terlalu jauh dari sekolahnya. Lagipula, Roni tak punya saudara. Paling-paling sepupu. Itu pun jauh juga. Papanya juga sudah lama bercerai dan pindah ke Jokjakarta. Tapi Roni tak pernah kekurangan kasih sayang. Baik papa atau mamanya masih sering mencurahkan kasih sayangnya seperti dulu sebelum bercerai. Hanya pertemuan mereka kurang intens saja.

“Gue mau putus dari Aya, Ron,” kata Langit setelah lama mereka terdiam. Mendengarnya Roni menyemburkan air yang baru saja ia tenggak.

“Hah?!” sentaknya tak percaya. Langit maklum. Ia pun sudah menebak reaksi inilah yang akan diberika Roni jika mendengar keputusannya ini. “Kenapa? Gila elo, ya?!” tambahnya lagi. Matanya sudah melotot, seolah hampir keluar.

“Gue tahu ada yang lebih sayang dia daripada gue.”

“Klise! Itu bukan alasan buat elo mutusin Aya, Lang! Emang elo pikir Aya juga bakalan sayang apa sama orang itu?”

“Gue tahu Aya bakalan sayang sama dia. Karena dia lebih kenal sama orang itu duluan daripada gue. Orang itu juga yang udah buat gue jadian sama dia, meskipun sebenarnya gue tahu kalau orang itu sebenarnya sayang sama Aya, lebih dari gue.”

Roni tersentak. Sepertinya ia tahu siapa yang dimaksud orang itu oleh Langit. Orang yang pertama kali mengenalkan Aya pada Langit, yang juga menyimpan perasaan padanya, bukankah itu adalah dia sendiri? Karenanya ia hanya terdiam. Matanya mulai redup. Ia cukup kesal karena Langit tiba-tiba menyinggung hal ini. Satu hal yang ia pertanyakan dalam hati, sejak kapan Langit tahu soal perasaannya pada Aya?

“Elo lebih sayang Aya daripada gue, Ron. Gue tahu, elo lebih pantes bersanding sama Aya daripada gue,” lanjut Langit lagi. “Gue titip Aya...”

“Enggak usah ngaco deh, Lang!” buru-buru Roni berdiri. Ia terlalu kesal jika harus memertahankan posisinya seperti itu. Bahkan ia tak ada daya jika harus menatap Langit lebih lama. “Ngaco elo itu udah enggak bisa gue terima! Peduli amat gue lebih sayang sama Aya atau enggak! Dia udah milih elo! Seharusnya elo jagain dia sampe akhir. Untuk alasan apa elo mau ngasih dia ke gue! Omong kosong!” rutuknya sebal.

“Gue juga tahu, seenggaknya Aya punya rasa sama elo, Ron. Walaupun dia enggak pernah bilang, tapi dia juga sayang sama elo. Apa elo pikir gue bisa pertahanin dia dan maksa dia tetep sama gue?”

“Dan elo nyuruh gue mengkhianati sahabat gue sendiri, Lang?!” teriak Roni. Geram, kuat atau tidak ia benar-benar ingin melemparkan amarahnya dan menatap tajam ke kedua mata Langit. Matanya sudah berkaca-kaca. Ada sakit di hatinya mendengar Langit begitu mudah menyerah dengan hubungannya dengan Aya. Sebanyak apapun ia mencintai Aya, tak akan mungkin ia merebut pacar sahabatnya sendiri. Lebih dari apapun, jelas ia lebih memilih Langit daripada Aya.

“Elo curang, Ron. Elo sendiri yang jadi sahabat yang baik buat gue. Terus gue? Kenapa gue harus jadi sahabat yang jahat terus buat elo?”

Tak ada tanggapan. Roni memilih diam. Nyatanya Langit masih ingin melanjutkan kata-katanya. “Gue tahu dari awal sebenarnya elo emang suka sama Aya. Gue tahu, sejak pertama kali elo ngenalin Aya ke gue, sebenarnya elo mau ngenalin orang yang elo sayang. Gue tahu, tapi gue egois. Gue egois karena gue mementingkan perasaan gue dan enggak pernah biarin elo buat cerita perasaan elo sama Aya ke gue. Gue tahu dari awal, Ron. Gue... selama ini gue ini enggak lebih dari seorang pengkhianat, Ron. Sekarang... gue mohon sekarang izinin gue buat jadi sahabat elo lagi. Gue mohon...”

Penjelasan ini membuat Roni makin tak tahu harus bersikap bagaimana lagi. Haruskah ia merasa senang karena akhirnya cinta bertepuk sebelah tangannya punya peluang untuk terbalas? Ataukah ia merasa sedih karena harus mencampakkan sahabatnya sendiri? Jika Langit tak ingin menjadi egois atas perasaannya, kenapa ia malah harus mempertahankan perasaannya sendiri?

“Enggak, Lang! Gue enggak mau!”

“Elo lebih penting daripada siapapun, Ron! Karena elo sahabat gue.” Deg! Lagi-lagi Roni terhenyak, diam mematung karena tuturan Langit. Entah kebaikan apa yang ia perbuat di masa lalu hingga ia mendapat sahabat yang terlalu mementingkan dirinya lebih dari apapun. Hanya Langit yang selama ini ia tahu tulus menganggapnya sahabat. Bahkan ia tak pernah membiarkan Roni kesusahan. Mengeluarkan sedikit uang untuk mentraktirnya jajan saja rasanya bisa ia hitung dengan jari. Rasa persahabatannya terlalu tulus. Kalau tak ingat harga dirinya sebagai lelaki, mungkin ia akan menangis sekarang.

Alih-alih menahan tangisnya, ia berbalik. Ia menggeleng lagi, “Enggak, Lang. Gue beneran enggak bisa. Lebih dari perasaan gue, gue juga lebih milih elo daripada apapun.”

“Ron...” tiba-tiba Langit merasakan perutnya kembali melilit. Nyeri sekali rasanya, bahkan usaha tangannya menekan perutnya tak ada hasil. Ada ratusan paku berkarat yang menusuk perutnya. Ini terlalu sakit untuk ia ujarkan dengan kata-kata sekalipun.

“Kalo elo enggak mau jadi pengkhianat gue, kenapa gue harus jadi pengkhianat elo? Kalo elo enggak mau egois atas perasaan elo sendiri, kenapa gue harus egois sama perasaan gue sendiri? Elo enggak adil, Lang! Gue juga lebih milih persahabatan ini daripada perasaan gue! Gue juga...”

Byur!!! Telinga Roni menangkap sesuatu yang jatuh ke dalam air. Ia berbalik, dan mendapati Langit-lah yang membuat suara barusan. Langit jatuh ke dalam kolam. Awalnya Roni nampak terkejut memang, tapi tidak begitu lama.

“Lang! Gue lagi serius! Elo enggak usah bercanda kayak gini, deh!” gerutunya. Langit tak menunjukkan pergerakannya selama ada di kolam. Ia masih setia diam di dalam kolam. “Lang! Elo ataupun gue tahu, walaupun gue lebih mahir dalam hal renang, elo juga bisa renang. Bahkan masuk dalam kategori jago! Enggak usah bercanda, deh!”

Langit tetap diam. “Elo mau keluar dari kolam sekarang atau gue tinggalin elo sendiri di sini!” Roni mulai frustasi.

“Langit Cakra Winata!” bahkan teriakan ini sama sekali tak mendapat respon. “Keluar sekarang atau gue beneran marah dan kita enggak usah sahabatan lagi!” akhirnya hanya kata-kata ancaman yang bisa ia lontarkan. Tapi faktanya, Langit tetap tak bergeming. Bahkan tubuhnya mulai tenggelam makin ke dasar. Meski Roni awalnya masih menganggap itu hanya candaan dari Langit, tapi lama-kelamaan ia mulai cemas. “Lang?” ia pastikan lagi untuk memanggil namanya. Tak ada pergerakan. Langit benar-benar tak bergerak!

“Langit!” pekiknya. Dan barulah, byur! Ia putuskan untuk masuk lagi ke air. Menarik tubuh Langit dan membawanya ke atas. Susah payah ia naikkan tubuh Langit ke atas.

“Lang... Langit! Hah... Langit!” racaunya panik. Segala macam cara ia lakukan untuk membuat Langit tersadar. Nafas buatan, CPR bahkan untuk menampar-nampar pipi Langit. Tetap saja, tak ada reaksi dari Langit. “Langit... hh... Langit...” ia mulai sesenggukan. Ada ketakutan luar biasa yang menghampirinya.

“Ada orang di luar? Tolong! Tolong! Langit! Lang... bangun, Lang! Tolong!”

***

“Langit enggak tertolong setelahnya,” Maga mengakhiri cerita. Selanjutnya ia menoleh ke kanan. Menatap wajah cantik khas turki ini dengan nanar. Ada sebuah gurat ketidakpercayaan di sana. Tentu saja melihat itu Maga menyesal. Kenapa tadi ia harus membawa Aya kemari? Kenapa ia harus membiarkan Aya mendengar perdebatannya dengan Roni di dalam tadi? Kenapa ia membiarkan Aya memintanya menceritakan hal yang sebenarnya terjadi pada Langit? Kenapa juga ia menjelaskan alasan Roni menyebut dirinya sebagai pembunuh sahabatnya sendiri?

Yang Aya tahu alasan meninggalnya Langit adalah usus buntu. Tapi ia tak pernah tahu kalau Langit sempat jatuh ke kolam renang setelah berdebat tentang perasaan mereka berdua kepadanya. Tiga tahun berlalu, kenapa ia baru tahu sekarang?

“Langit emang kena usus buntu. Tapi, andai aja Roni langsung nolongin dia pas jatuh ke kolam dan buru-buru bawa dia ke rumah sakit, mungkin Langit bakalan tertolong. Tapi mungkinnya manusia enggak akan bisa merubah apapun. Karena semuanya pun udah takdir dari yang di atas. Enggak ada alesan buat nyebut Roni sebagai pembunuh Langit. Tuhan lebih sayang sama Langit daripada Roni, Ya,” jelas Maga lagi. Wajahnya sendu melihat wajah sendu Aya. Entah apa yang ada di pikiran gadis ini. Apa dia akan bersikap biasa saja pada Roni setelah mendengar ini? Atau malah sebaliknya, menjauh dan tak membiarkan Roni mengungkapkan perasaannya yang sesungguhnya. Ia tak peduli lagi. Yang paling penting adalah, Aya sudah tahu semua kenyataan di masa lalu. Menunggu Roni untuk memulai, ia terlalu tak sabar. Bukankah itu juga alasannya membawa Aya dan sengaja tak mengajaknya masuk tadi?

Di satu sisi, di luar sepengetahuan Maga dan Roni, ada seorang lagi yang melihat dan mungkin mendengar semua cerita tadi. Seseorang yang melemas kakinya sekarang, berdiri di sudut koridor yang menuju ke ruangan Roni. Ia tak jadi melangkah ke depan. Ia kembali lagi. Ada bulir bening yang melompat dari kedua sudut matanya. Ekspresi datarnya malah menggambarkan betapa terkejut dirinya sekarang. Ia melangkah, keluar dengan jejak yang bergetar mewakili titik perih di hatinya. Sampai di luar barulah ia sadar, hari sudah gelap, ini malam. Ia ragu, sejak kapan mentarinya mulai temaram?




No comments:

Post a Comment