Friday, January 17, 2020

Akhirnya...


Sejak pertama kali dosen ini menjejakkan kaki di kelas mereka dan mulai mengoceh panjang lebar mengenai mata kuliah mereka kali ini, tak ada satu pun yang masuk ke telinga Esta. Atau bahkan mungkin bisa dikatakan Esta benar-benar tak mendengar apapun sekarang. Matanya, memang hanya matanya yang fokus pada satu hal, Awan. Tapi, entah kenapa seluruh inderanya ikut fokus pada sahabatnya yang duduk di bangku paling ujung, jauh sekali dari tempat duduknya sekarang. Ia di ujung sebelah kanan, sedangkan Awan di ujung sebelah kiri. Sengaja ia majukan sedikit bangkunya agar bisa leluasa menatap bocah satu itu dengan tuma’ninah. Berharap Awan mengerti dan membalas tatapannya. Tapi nyatanya, nihil.
Sudah satu minggu ini, H-3 acara di  himanya akan segera berlangsung. Baik itu di kelas, ataupun di sekrerariat, Awan seolah menghindarinya. Ia bertanya-tanya mengapa, tapi tak ada yang bisa menjawabnya. Tidak dengan Awan, juga dengan dirinya sendiri. Setiap ia mencoba menegurnya, Awan hanya tersenyum tipis. Itu pun dengan pandangan mata yang ia lempar ke arah lain. Tidak ke Esta sama sekali. Kalaupun Esta menghampirinya di kosan, ia tak pernah ada. Entah memang benar tak ada, atau Awan hanya menyuruh Rudi ataupun Khoirul berpura-pura kalau ia sedang tidak berada di dalam kamarnya.

Syukurlah dosen ini tak menyadari ketidakfokusan Esta. Bisa dikatakan dosen satu ini tak begitu peduli. Mungkin ia pun hanya ingin menyelesaikan tugasnya mengampu. Andai tak ada yang mau mendengarkan, terserah. Bukankah anak kuliahan adalah pelajar yang cukup bebas? Bebas mendengarkan atau tidak. Bebas datang atau tidak. Bebas mengerjakan tugas atau tidak. Bebas ikut ujian atau tidak. Termasuk bebas lulus atau tidak. Jadi, sah-sah saja kalau Esta sekarang tidak memperhatikan seluruh penjelasannya itu.

Mata kuliah ini selesai, Esta belum mau beranjak dari kursinya. Padahal teman-temannya sudah mulai gusar, keluar mencari makanan di pinggiran fakultas, di kantin yang berderet dari utara sampai selatan. Atau masuk ke dalam kelompok masing-masing dan mengobrol ini itu. Atau sibuk mengerjakan tugas dan memersiapkan materi untuk mata kuliah selanjutnya, sekitar tiga jam lagi. Atau malah nekat pulang karena merencanakan bolos di mata kuliah berikutnya.

Demikian juga Awan. Ia tak begitu tertarik untuk ikut Rendra yang mengajak Aini makan di kantin. Apalagi ikut andil dalam usaha Nata menggeret tangan Tara agar mau memerhatikannya. Semua adegan itu, dan ia sedang malas untuk bercermin pada apa yang terjadi pada dirinya sendiri.

Matanya memilih parkiran di luar jendela. Tak ada yang spesial di matanya. Hanya beberapa orang lalu lalang, masuk keluar tempat parkir. Ia pun tak sungguh-sungguh memerhatikan orang-orang itu. Hanya saja, matanya tak punya kerjaan. Hanya sebagai simbol kalau dia sedang tidak tidur, makannya terbuka. Meski sebenarnya hatinya yang redup. Tenggelam dalam kehampaan. Ada yang hilang, ada yang tidak hadir di dalamnya hingga ia merasa kosong.

“Awan!” tiba-tiba suara seseorang mengejutkannya. Begitu ia mendongak, Esta yang sudah ada di depannya. Mungkin ia geram karena selalu dianggap tak ada oleh Awan. Bahkan duduknya saja harus menghindar begitu jauhnya. Hanya menatapnya dan menunggu kepekaan dari Awan agar menegurnya lebih dulu rasanya kelakuan yang terlalu bodoh. Tak ada pengaruhnya sama sekali.

“Es, Esta... Kenapa...”

“Elo ni kenapa, sih?! Kok kayak ngindarin gue gitu?” tanya Esta, mendesak. Terbukti dari posisinya yang mengintimidasi Awan. Kedua tangannya ia jadikan tumpuan di atas meja agar bisa mencodongkan wajahnya lebih dekat ke Awan. Membiarkan sebagian rambutnya tergerai manis di dahi Awan.

“Apaan, sih? Enggak, ah! Perasaan elo aja kali,” jawab Awan seraya berdiri. Menghindar lagi. Aneh. Seharusnya, jika Awan mulai risih dengan kelakuan Esta seperti tadi, ia hanya perlu menoyor jidatnya. Bukan malah ia sendiri yang menjauh seperti ini.

“Mau kemana?” tanya Esta ketika Awan malah memilih pergi keluar. Percakapan padahal belum selesai.

“Enggak kemana-mana. Males di dalem,” jawab Awan. Tanpa berbalik sedikit pun.

“Elo kok gitu sih, Wan! Padahal elo kan udah...” hah... Awan tak ingin mendengarnya lebih banyak. Sebelum Esta berhasil melengkapi kalimatnya Awan sudah tak nampak lagi. Menghilang di balik pintu kelas.

Melihatnya pergi begitu saja, Esta memaku di tempatnya. Menatap bekas sosok Awan yang mungkin masih tertinggal. Tak ada yang memperhatikannya, karena hanya beberapa orang saja yang masih ada di sini. Itu pun sibuk dengan kegiatannya sendiri. Hingga mereka tak sadar, kalau salah satu temannya sudah meneteskan embun matanya. Mencengkeram erat pinggiran roknya dan meyakinkan dirinya sendiri, bahwa semuanya tidak apa-apa. Meski pada akhirnya pun, ia merasa membohongi dirinya sendiri.

***

H-1. Bahkan di rapat kali ini pun Awan seolah tak menganggap Esta ada. Ketika ia berbicara di dalam rapat, dan Esta menanggapi, ia malah membuang wajahnya. Mencari orang lain untuk berbicara juga. Barulah ia mau menanggapi. Tak pernah serta merta menanggapi Esta.

Esta sendiri yang geram juga terus angkat bicara. Hingga semua anggota di sana merasa bahwa ini bukanlah rapat. Tapi percakapan dua orang yang dijadikan tontonan. Beberapa orang yang terselip ikut berbicara hanya sebagai cameo. Peran pendukung saja agar perdebatan di antara keduanya tidak terkesan monoton.

“Nih dua orang ngapain, sih?” bisik Yuni di telinga Lin. Lin hanya mengedikkan bahunya. Bukan tanda ia tak tahu. Hanya saja ia malas untuk menanggapi pertanyaan Yuni. Ia sedang tak ingin menjadi informan apapun. Meski ia sendiri memang tak tahu persis apa yang terjadi di antara keduanya. Tapi ia yakin betul, pasti ada sesuatu yang membuat dua orang ini kurang bisa disatukan. Bukan hanya di rapat ini saja. Ia sudah merasanya sejak satu minggu yang yang lalu. Ada yang aneh dari Awan, dan Esta yang penasaran tapi tak pernah sempat untuk mendapat jawaban.

“Ya, rapat ini kita tunda dulu sampai ba’da ashar,” kalimat Ali menunda rapat. Selesai kalimat ini dilontarkan, beberapa orang bangun. Keluar dari sekretariat dan menuju ke masjid. Hanya beberapa cewek saja yang tidak ikut pergi. Mungkin sedang absen.

Dalam perjalanan ke masjid pun Awan nampak tak beres. Jalannya lesu, kepalanya tertunduk. Bukan seperti Awan biasanya. Ini aneh, dan patut untuk diselidiki.

“Elo kenapa sih, Wan?” Ali mengimbangi langkahnya. Sebagai jawaban, Awan hanya menggeleng. Ia hanya tak ingin menjawab apa-apa. Rasanya bibirnya pun lengket. Ali hanya bisa menghela nafasnya.
Di sebelah kanannya, Nata pun berlaku sama. Ah, ya. Walaupun ia tak tahu pasti perasaan apa yang dirundung kedua bawahannya ini, tapi ia yakin ini pasti masalah cewek. Nata ke Tara. Sudah jauh-jauh hari Nata dan Tara seperti kucing dan tikus. Nata mengejar Tara, sedangkan Tara selalu menghindarinya. Atmosfernya jadi berubah. Tapi melihat Awan yang juga berperilaku selayaknya 
Tara, caranya menghindari Esta yang sama persis, membuatnya mengamini asumsinya selama ini. 
 Hubungan mereka bukan hanya sekedar sahabat. Tapi Awan memang menaruh hati pada Esta, dan untuk alasan tertentu Awan patah hati dan menghindari Esta. Mungkin sekarang ia sedang memulihkan patah itu. Menghindari Esta adalah cara terbaik untuk sembuh. Meskipun Esta kasihan juga, sih. Tak pernah ditanggapi oleh Awan sama sekali.

Sementara itu di sekretariat, Esta duduk di pojokkan. Bersandar di lemari dan membolak-balik susunan acara untuk besok dan membandingkannya dengan sisa kas hima yang ia pegang sekarang. Mungkin jika dilihat sekilas, memang ia terlihat fokus. Tapi, coba perhatikan lebih seksama!

“Itu kertas nota, Es. Bukan uang. Kok dicampur-campur?” tegur Lin. Esta tersentak. Begitu melihat tangannya, barulah ia sadar. Persis seperti kata Lin barusan. Kerta nota ia anggap uang, hingga ia menghitungnya juga sebagai uang. Pantas saja kas hima bertambah lebih banyak.

“Fokus, Es. Nti kalo ada yang selip kan elo juga yang rugi,” tambah Lin lagi. Esta hanya tersenyum tipis. Lin melihatnya dengan nanar. Selanjutnya helaan nafas panjang darinya. Yah... walaupun kadang-kadang Esta kalo berisik nyebelinnya minta ampun, tapi kalau melihatnya banyak diam seperti ini juga terasa aneh. Seperti ada yang kurang, dan seolah ini bukan Esta. Ia ingin menanyakannya, tapi urung. Takut salah tanggap, dan malah Esta makin terpuruk. Kejam atau tidak, ia akan memilih jadi penonton saja. Toh, baik Awan atau Esta sudah sama-sama dewasa. Cepat atau lambat, mereka pasti bisa mengatasi masalah mereka sendiri.

***

“Tara, mau kemana?” teriak Esta begitu Tara buru-buru keluar. Baru saja ia menerima telpon dan setelah memasang tampang sumringah langsung ngacir begitu saja.

“Bentar!” balasnya sambil berlari. Esta dan Lin yang penasaran melongok keluar. Mengikuti arah lari Tara ke jalan di depan sekretariat. Ada sebuah mobil hitam yang terparkir di sana. Seseorang yang dikenal Esta, dan Lin sempat tahu sedikit ada di sana. Diylan. Tara ketemuan sama kak Diylan? Esta penasaran. Padahal seharusnya pun itu hal biasa. Toh, ia sendiri juga tahu kalau Tara ada rasa sama senior mereka satu itu.

Pertama kali yang dilempar Diylan pasal kedatangan Tara adalah senyum. Tak sungkan pula Tara melakukan hal yang sama. Entah apa yang mereka obrolkan. Pendengaran Esta dan Lin tak sebegitu baiknya sampai bisa mendengarnya dari sini. Karenanya pun mereka kembali lagi ke dalam. Tak terlalu menarik perhatian mereka rupanya.

Selama percakapan itu berlangsung, beberapa cowok selesai sholat. Mereka kembali ke masjid dan jelas melihat kedatangan Diylan di sana. Termasuk Nata. Ali yang berjalan di belakangnya sempat menabrak punggungnya, lantaran ia tiba-tiba berhenti begitu saja.

“Woy, Nat! Berhenti sembarangan! Ngomong-ngomong, nape?” protes Ali. Tapi tak ada tanggapan dari Nata. Nata diam, hingga membuat Ali harus menilik apa yang terjadi pada dirinya sekarang.

Begitu melihat ekspresi apa yang ditunjukkan wajah Nata sekarang, Ali mengganti arah pandangnya. Sama dengan Nata, kini ia beralih ke Diylan dan Tara. Sekarang ia bingung, harus bersikap bagaimana. Menghibur Nata, apa akan berhasil? Tapi kalau didiamkan pun, kasihan juga Nata. Sedang ekspresi di wajah temannya satu ini benar-benar nelangsa. Bahkan rautnya kaku. Berbanding terbalik dengan sifat Nata yang biasanya.

Sedangkan Awan yang sudah lebih dulu melihat mereka berdua juga terhenti. Satu adegan yang membuatnya musti berbalik. Memastikan kembali bagaimana ekspresi wajah Nata setelah ini, meskipun ia bisa menebaknya. Adegan seromantis ini, Diylan yang tiba-tiba mengaitkan sebuah kalung ke leher Tara. Bukankah ini tontonan yang cukup keterlaluan?

Akhirnya Nata kini tak mampu mengelak. Adegan ini menamparnya akan kenyataan. Menggapai Tara sama seperti mencoba memegang air. Tak kan kunjung mencapai keberhasilan. Wajahnya memanas pun tak mampu mengubah apapun. Ia marah tak ada bedanya. Harus marah dengan siapa? Lantas pertanyaan salahkah ia menyukai seorang Tara seolah ia sampaikan langsung ke Awan. Hingga Awan ikut merasa iba. Bukan pada Nata sepenuhnya. Ia iba pada dirinya sendiri. Apakah selama ini ia terlalu bodoh menempatkan perasaannya pada sahabat sendiri? Entahlah. Bahkan ia sendiri tak tahu. Bagaimana akhirnya kisah ini? Bahkan ia tak punya daya untuk menebaknya.

***

Aula utama Fakultas mulai padat. Banyak orang, dengan banyak mulut ini membisingkan telinga. Tapi untuk acara sebesar ini rasanya mustahil jika harus membuat mereka diam. Beberapa panitia sibuk mondar-mandir. Mempersiapkan segala sesuatu yang memang harus disiapkan saat ini. Atau mengatur peserta lomba untuk duduk di bangku-bangku yang disediakan. Atau membagikan snack dan name tag bagi peserta yang baru datang. Ali menyalimi beberapa dosen yang datang. Mengalihkan perhatian dari persiapan panitia sementara dengan obrolan basa-basi. Sekalian mengimplikasikan gelarnya sebagai ketua umum.

Esta yang tak begitu banyak ambil bagian dalam acara ini duduk di belakang layar. Memasukkan lembaran uang ke amplop-amplop putih yang sudah ia pisahkan sejak kemarin. Sewa gedung, sewa sound, sewa alat band, bayaran juri, dan uang untuk pemenang. Semuanya ia masukkan sesuai anggaran yang sudah disepakati bersama dalam rapat. Urusannya hanya soal uang. Tak perlu mondar-mandir seperti yang lain. Karena pun kalau sampai ia pergi jauh-jauh, bisa-bisa panitia yang lain kewalahan. Ada kebutuhan mendesak dan sulit menjumpai si bendahara. Bisa repot malahan.

Selesai merekap tugasnya, Esta celingukan. Mencari sosok yang cukup ia rindukan karena beberapa minggu ini sempat jauh. Siapa lagi kalau bukan Awan. Sebagai ketua dokumentasi, seharusnya Awan ikut mondar-mandir, jepret sana-sini. Mencari sudut yang pas untuk mengabadikan salah satu acara besar yang diselenggarakan himanya ini. Tapi sejak tadi, Esta tak melihat batang hidungnya sama sekali. Padahal, meskipun duduk di belakang layar, Esta duduk di tempat yang cukup strategis. Tak ada yang bisa melihatnya dari bangku peserta, tapi ia bisa melihat keseluruhan ruangan ini. Untuk  mengenali sosok Awan cukup mudah baginya. Meskipun Awan berdiri di pojok belakang aula ini, seharusnya ia langsung bisa menangkapnya. Tapi sejak tadi bocah itu tak ada. Kemana? Pikirnya cemas.

Ia menepuk pundak Aini. Menitipkan dompet berisi uang kas hima pada wakilnya ini sementara. 
“Kalau ada yang minta, ditanyain dulu buat apa. Jangan lupa, nota dua lembar,” pesannya.

“Elo mau kemana, Es?” tanya Aini sebagai respon setelah menerima dompet dan buku kecil, catatan pengeluaran.

“Keluar bentar,” jawab Esta singkat. Padahal Aini masih ingin menayakan sesuatu lagi, tapi Esta sudah keburu pergi keluar pintu di belakang panggung.

Esta baru berhenti ketika ia melihat Awan di luar. Dia duduk sendiri di tangga. Tak jelas bagaimana wajahnya karena ia duduk membelakanginya. Ia sempat berniat untuk menghampirinya. Tapi urung karena setelah mengangkat telpon, Awan menyingkir. Tak jauh memang, tapi sayangnya perpindahan itu membuat Esta tak ingin mencoba mendekatinya. Sekedar bertanya siapa yang menelponnya hingga membuat senyum itu terbentuk. Tetap saja ia tak bisa.

Kembali lagi Esta ke dalam. Lantas tak kembali ke tempatnya semula. Acara sudah dibuka MC di depan. Tak ada kesempatan baginya terselip di tempat tadi. Ia pun sudah tak bernafsu duduk diam di sana. Biar saja Aini yang mengurus permintaan dana dari panitia nanti. Ia berdiri saja di sini.

Acara pembukaan belum selesai, Esta sama sekali tak pegal  berdiri di sana. Senyumnya yang seharusnya terukir karena sampai saat ini acara berjalan dengan baik, malah tak ada. Awan masih memenuhi pikirannya. Rindu, tentu benar ia rindu. Kenapa Awan akhir-akhir ini malah menjauhinya. Rasanya ada yang tidak bisa masuk ke akalnya. Tapi saat Awan ditanya pun seolah tak ada yang terjadi. Padahal jelas benar kalau bocah itu menjauhi Esta sekarang.

Sampai Awan sudah ada di pintu, Esta tak menyadarinya. Gadis itu benar-benar tenggelam dalam lamunannya. Awan sadar, ia melihat jelas dan ia tahu kalau dirinya sudah berbuat kesalahan. Menjauhi Esta adalah cara terpecundang yang dilakukan. Tapi tak ada cara lain selain ini. Meski ia merasa membodohi dirinya sendiri, karena sewajarnya pun ia cukup merindukan sosok Esta yang selalu ada di sekelilingnya. Tapi...

“Esta, awas!” Awan tersentak karena teriakan ini. Reflek matanya mencari si empu suara. Bukankah tadi dalam teriakan itu ada nama Esta. Nama yang baru saja ia pikirkan?

Brak!

Suara ini berhasil membuat semua mata beralih, dari pembukaan di depan langsung tertuju ke pojok panggung. Tepatnya di tempat Esta berdiri tadi. Salah satu lampu gantung di sudut panggung jatuh. Sosok yang kini tersungkur tak jauh dari tempat itu mendelik. Matanya menyelidik apa penyebab lampu itu bisa jatuh. Seorang panitia yang tak sempat ia kenali karena jatuh telungkup-lah yang menjadi penyebabnya. Kakinya tak sengaja tersangkut tali lampu kerek tadi dan malah membuat tali itu melepaskan lampu tadi ke tanah. Menimpa seseorang yang membuat sosok ini makin tercengang dibuatnya. Matanya mulai menggenang air begitu sadar siapa yang ada di bawah pecahan itu.

“Awan!”

***

Ujung kuku jari-jari Esta sudah tak karuan lagi bentuknya. Giginya memangkas tak berarturan kuku-kuku itu dengan paksa. Sebagai pelampiasan, betapa hatinya tengah dirundung kecemasan luar biasa. Tak dihiraukannya beberapa orang yang sebenarnya ia kenal berlaku sama. Meski tak secemas dirinya, tapi di setiap raut wajah mereka jelas sekali betapa mereka was-was untuk mendengar penjelasan dokter ketika keluar dari ruangan ini nanti.

Acara ini gagal total. Semua yang dirancang sejak jauh-jauh hari harus berakhir dengan satu korban. Rasanya tega sekali jika acara terus berjalan melihat seseorang tergeletak dengan darah menggenang yang keluar dari kepalanya tadi. Entah bagaimana keputusannya nanti. Ali sebagai ketua umum belum memutuskan, apakah acara ini akan dibatalkan atau hanya ditunda saja. Bahkan ia sama sekali tak kepikiran. Masa bodoh dengan umpatan peserta yang pulang tanpa melakukan kompetisi apapun. Sekarang hanya Awan dan Awan saja yang ada di pikirannya, dan teman-temannya.

Lin mendekati Esta. Tanpa berucap apapun, ia memeluk Esta. Mengelus punggungnya, menyalurkan kekuatan. Meski ia sendiri pun juga khawatir, tapi ia tahu, kadar kekhawatiran Esta dua kali lipat dari dirinya.

Dalam hati Esta mengumpati dirinya sendiri. Kenapa gue tadi berdiri di sana? Kenapa gue mau-mauan jatoh cuma karena didorong Awan? Kenapa? Kenapa?! Sentaknya berulang-ulang. Tangisnya hanya diam. Mengambang di antara cemas dan ketakutan. Hingga setetes air mata pun tak ada yang mengalir dari matanya. Darah yang sempat mengotori tangannya itu menggantungkan kalut di pikirannya. Imajinasi Awan pasti akan pergi lebih jauh menari-nari indah di dalam otaknya. Dan ketika itu terjadi, maka Esta akan merasa menjadi orang paling jahat. Gue penyebabnya! Gue penyebabnya!

Tiga jam lamanya, penantian mereka di depan UGD ini membuahkan hasil. Seorang pria paruh baya keluar berbalut seragam putih, dengan kacamata kotak yang hampir seukuran dengan matanya itu keluar. Menampilkan wajah datar hingga membuat teman-teman Awan takut untuk mengira-ngira. Bagaimana hasilnya? Meski harapan di hati mereka Awan jauh dari kata maut!

“Operasinya sukses!” seruan ini berhasil membuat desahan lega dari setiap mulut yang ada di sini. Termasuk Esta yang sempat berdiri akhirnya terduduk kembali. Beban yang ada di kepala dan pundaknya tadi langsung jatuh. Kecemasan dan ketakutannya tak harus bertahan lama. Awan baik-baik saja, dan ia mampu tersenyum. Anehnya, buliran air yang tak berhasil keluar tadi malah mulus mengalir begitu saja.

“Tapi dia belum sadar. Kalian bisa menjenguknya setelah dipindahkan ke ruang perawatan,” tambah dokter itu. Hanya anggukan kecil, kemudian ia pamit dari sana.

Ali menoleh ke arah Esta. Tapi matanya malah bertemu dengan Lin. Kontak mata mereka seolah saling berkomunikasi.

Gimana? Mata Ali bertanya pada Lin. Lin tersenyum sambil mengangguk. Tanda bahwa Esta mulai tenang sekarang.

“Syukurlah...” desah Esta berkali-kali.

***

Sekitar jam sebelas malam, Esta masih setia menunggui Awan. Duduk terkantuk-kantuk di samping Awan. Tangannya erat memegangi jemari tangan yang lebih panjang darinya itu. Sejak tadi ia hanya memandangi Awan yang tak kunjung membuka matanya. Perban tebal sudah membalut kepalanya. Ada sedikit bercak yang menandakan darah sempat keluar dari lubang yang terbentuk pecahan lampu tadi.

Ia tersentak ketika Ali memegang pundaknya. Ia hampir menjatuhkan kepalanya di atas tangan Awan. “Ah, iya?” tanyanya reflek. Masih setengah sadar. Nyawanya belum kumpul semua.

“Pulang aja, Es. Biar gue sama Nata yang jagain Awan,” ujar Ali. Esta sempat menoleh ke belakang. 
Nata sudah terlelap di sofa. Sebagai tanggapan ia menggeleng lemah.

“Gue mau nungguin Awan sampe sadar, Li. Gue takut dia kenapa-kenapa lagi,” tuturnya memohon.

“Awan enggak papa, Es. Dia belum bangun karena efek obat biusrnya belum selesai. Udah, elo pulang aja. Dianterin Nata, ya?” bujuk Ali lagi. Bukannya ia  melarang. Hanya saja, melihat wajah sendu dan lelah Esta menyulut empatinya.

Meski ragu, akhirnya Esta menurut. Setelah Ali membangunkan Nata, barulah Esta pergi. Setelah melirik Awan sekali lagi sebelum benar-benar pulang.

Sampai di depan kosnya, Esta lirih mengucap terima kasih. Sebelum Esta sempat masuk, Nata berucap kalimat yang membuatnya tercengang sebentar. Berpikir kembali dan mencoba memasukkan sebaik mungkin kata-kata itu.

“Kalau berat, jangan pernah bohongi diri elo sendiri, Es.”

***

Langkah Esta terhenti di depan pintu masuk rumah sakit. Seharusnya sekarang ia berlari, menghambur ke Awan meluapkan betapa bahagianya ia karena akhirnya sosok yang sempat dirindunya itu sudah sadar. Ali tadi pagi menghubunginya. Wajarnya ia langsung datang pagi tadi juga. Tapi, kata-kata Nata semalam membuatnya harus diam lama. Memikirkan matang-matang dan mencoba membulatkan keyakinannya sendiri. Benarkah perasaannya selama ini pada Awan?

Matanya kini nanar menatap pintu lobi. Entah kenapa sosok Awan tergambar jelas di sana. Ada beribu pertanyaan yang sama yang terpampang di sana. Memaksanya segera menjawab. Apa iya gue suka sama Awan? Andai saja ini ujian Nasional. Paling tidak, ia bisa mencari kunci jawaban. Tapi nyatanya, bukan sama sekali!

Ini terlalu lama. Apa jawabannya nanti, akan ia pikirkan selama perjalanannya sampai ke kamar Awan nanti. Yah... ia harus melangkah sekarang!

Tapi sampai di depan pintu kamar nomor 432 ini Esta belum memutuskan jawabannya. Tangannya erat mengenggam engsel pintu. Sekali putaran, seharusnya pintu ini terbuka. Tapi entah kenapa rasanya berat sekali.

“Huh...” Esta mendesah perlahan. Ya! Ia harus memutuskan perasaannya sekarang! Sekarang atau ia akan menyesal untuk selamanya. Masa bodoh bagaimana tanggapan Awan nantinya. Sekuat tenaga ia bersikap abai dengan degupan kencang di jantungnya. Ia harus masuk dan menghadapinya!

“Wan...” bibirnya tak jadi berucap. Awan ternyata tak sendiri. Ada seseorang yang duduk di sampingnya. Ia sempat bertanya-tanya, siapa orang ini. Rambut panjangnya terkucir rapi. Kemeja merah kotak-kotak dan rok payung hitam. Wajahnya tak bisa ia tebak, tak nampak. Melihat jarak antara gadis ini dan Awan membentuk titik cemburu di hati Esta. Siapa?

“Es?” Awan akhirnya sadar akan kehadiran Esta. Setelah itu, barulah gadis ini berbalik. Wajahnya yang manis menatap Esta dengan wajah penasaran. Esta kenal orang ini. Bukankah ini adalah gadis yang ditemui Awan ketika di sekretariat itu? Yang katanya Awan adalah orang yang menabraknya pagi itu? Ini Sani.

“Siapa ini, Wan?” tanyanya. Suaranya begitu lembut. Ini gila! Setiap detail fisiknya, tuturan bahkan sikapnya yang biasa-biasa saja membuat Esta terus membandingkan dengan dirinya sendiri. Kenapa gadis ini terlihat jauh di atasnya. Jika disandingkan dengan dirinya yang selalu bertingkah sembrono, bahkan menyamai cowok, tutur katanya yang kencang dan selalu menyentak, jelas Esta kalah telak. Bahkan Esta sendiri tak tahu kenapa ia melakukan perbandingan ini. Untuk apa?

“Ini Esta,” Awan memperkenalkannya. Tapi Esta masih diam. Ia tak mampu berucap apapun. Lantaran ia pun menunggu Awan untuk balik memperkenalkan Esta pada Sani.

“Oh, Esta, ya? Awan banyak cerita soal elo. Gue Sani, salam kenal.” Tapi malah Sani sendiri yang memperkenalkan dirinya. Uluran tangan Sani disambut Esta pelan. Seperti ia ragu untuk mengambil uluran tangan ini.

“Esta,” diujarkannya kembali namanya. Meski lirih, Sani mendengarnya nama itu cukup jelas. Sekuat tenaga Esta mengulum senyuman. Hanya senyum tipis, tapi Sani tak begitu memperhatikan.

“Es...” tiba-tiba Sani berbisik. Ia mendekat ke telinga Esta. Membisikkan sesuatu yang sontak membuat mata Esta membulat sempurna. Seketika ia menatap Awan. Wajah itu balas menatapnya sendu. Seolah ia tahu apa yang dibisikkan Sani ke telinga Esta barusan.

“Oke?” Sani kembali tersenyum. Berbalik sebentar dan berkedip ke arah Awan. Awan hanya memberinya senyuman tipis, setipis senyuman Esta tadi. Sementara itu ia sendiri tak tahu, harus memberi tanggapan apa setelah ini. Meski akhirnya Esta memilih keluar. Belum terlibat percakapan sedikit pun dengan Awan. Dengan alasan ada kuliah setelah ini, ia berhasil membuat Sani mengizinkannya pergi.

 Di luar hujan turun. Musim hujan sepertinya menyambut langkah Esta begitu keluar dari rumah sakit. Tanpa sadar ia malah menjejak tanah. Membiarkan guyuran hujan membasahi rambut dan tubuhnya. Setidaknya dengan hujan, tak ada yang mengetahui derasnya aliran yang mengalir dari kedua sudut matanya.

“Gue butuh bantuan elo buat ngorek banyak informasi soal Awan. Bantuin gue buat jadi pacar yang baik buat dia, ya? Oke?”

Hujan memang deras. Namun tak sederas gerimis di hatinya. Petir memang banyak yang menggelegar. Tapi tak sekeras petir di hatinya yang menyobek dengan sadis. Awan di langit memang gelap, tapi tak segelap harapannya sekarang.

Ini usai. Semuanya terlambat. Kapal itu sudah tenggelam. Akhirnya... memang seperti ini.


SEKIAN


 Sebelumnya            Epilog

No comments:

Post a Comment