Sejak pertama kali dosen ini menjejakkan kaki di kelas mereka dan mulai mengoceh panjang lebar mengenai mata kuliah mereka kali ini, tak ada satu pun yang masuk ke telinga Esta. Atau bahkan mungkin bisa dikatakan Esta benar-benar tak mendengar apapun sekarang. Matanya, memang hanya matanya yang fokus pada satu hal, Awan. Tapi, entah kenapa seluruh inderanya ikut fokus pada sahabatnya yang duduk di bangku paling ujung, jauh sekali dari tempat duduknya sekarang. Ia di ujung sebelah kanan, sedangkan Awan di ujung sebelah kiri. Sengaja ia majukan sedikit bangkunya agar bisa leluasa menatap bocah satu itu dengan tuma’ninah. Berharap Awan mengerti dan membalas tatapannya. Tapi nyatanya, nihil.
Syukurlah dosen
ini tak menyadari ketidakfokusan Esta. Bisa dikatakan dosen satu ini tak begitu
peduli. Mungkin ia pun hanya ingin menyelesaikan tugasnya mengampu. Andai tak
ada yang mau mendengarkan, terserah. Bukankah anak kuliahan adalah pelajar yang
cukup bebas? Bebas mendengarkan atau tidak. Bebas datang atau tidak. Bebas
mengerjakan tugas atau tidak. Bebas ikut ujian atau tidak. Termasuk bebas lulus
atau tidak. Jadi, sah-sah saja kalau Esta sekarang tidak memperhatikan seluruh
penjelasannya itu.
Mata kuliah ini
selesai, Esta belum mau beranjak dari kursinya. Padahal teman-temannya sudah
mulai gusar, keluar mencari makanan di pinggiran fakultas, di kantin yang
berderet dari utara sampai selatan. Atau masuk ke dalam kelompok masing-masing
dan mengobrol ini itu. Atau sibuk mengerjakan tugas dan memersiapkan materi
untuk mata kuliah selanjutnya, sekitar tiga jam lagi. Atau malah nekat pulang
karena merencanakan bolos di mata kuliah berikutnya.
Demikian juga
Awan. Ia tak begitu tertarik untuk ikut Rendra yang mengajak Aini makan di
kantin. Apalagi ikut andil dalam usaha Nata menggeret tangan Tara agar mau
memerhatikannya. Semua adegan itu, dan ia sedang malas untuk bercermin pada apa
yang terjadi pada dirinya sendiri.
Matanya memilih
parkiran di luar jendela. Tak ada yang spesial di matanya. Hanya beberapa orang
lalu lalang, masuk keluar tempat parkir. Ia pun tak sungguh-sungguh
memerhatikan orang-orang itu. Hanya saja, matanya tak punya kerjaan. Hanya
sebagai simbol kalau dia sedang tidak tidur, makannya terbuka. Meski sebenarnya
hatinya yang redup. Tenggelam dalam kehampaan. Ada yang hilang, ada yang tidak
hadir di dalamnya hingga ia merasa kosong.
“Awan!”
tiba-tiba suara seseorang mengejutkannya. Begitu ia mendongak, Esta yang sudah
ada di depannya. Mungkin ia geram karena selalu dianggap tak ada oleh Awan.
Bahkan duduknya saja harus menghindar begitu jauhnya. Hanya menatapnya dan
menunggu kepekaan dari Awan agar menegurnya lebih dulu rasanya kelakuan yang
terlalu bodoh. Tak ada pengaruhnya sama sekali.
“Es, Esta...
Kenapa...”
“Elo ni kenapa,
sih?! Kok kayak ngindarin gue gitu?” tanya Esta, mendesak. Terbukti dari
posisinya yang mengintimidasi Awan. Kedua tangannya ia jadikan tumpuan di atas
meja agar bisa mencodongkan wajahnya lebih dekat ke Awan. Membiarkan sebagian
rambutnya tergerai manis di dahi Awan.
“Apaan, sih?
Enggak, ah! Perasaan elo aja kali,” jawab Awan seraya berdiri. Menghindar lagi.
Aneh. Seharusnya, jika Awan mulai risih dengan kelakuan Esta seperti tadi, ia
hanya perlu menoyor jidatnya. Bukan malah ia sendiri yang menjauh seperti ini.
“Mau kemana?”
tanya Esta ketika Awan malah memilih pergi keluar. Percakapan padahal belum
selesai.
“Enggak
kemana-mana. Males di dalem,” jawab Awan. Tanpa berbalik sedikit pun.
“Elo kok gitu
sih, Wan! Padahal elo kan udah...” hah... Awan tak ingin mendengarnya lebih
banyak. Sebelum Esta berhasil melengkapi kalimatnya Awan sudah tak nampak lagi.
Menghilang di balik pintu kelas.
Melihatnya pergi
begitu saja, Esta memaku di tempatnya. Menatap bekas sosok Awan yang mungkin
masih tertinggal. Tak ada yang memperhatikannya, karena hanya beberapa orang
saja yang masih ada di sini. Itu pun sibuk dengan kegiatannya sendiri. Hingga
mereka tak sadar, kalau salah satu temannya sudah meneteskan embun matanya.
Mencengkeram erat pinggiran roknya dan meyakinkan dirinya sendiri, bahwa
semuanya tidak apa-apa. Meski pada akhirnya pun, ia merasa membohongi dirinya
sendiri.
***
H-1. Bahkan di
rapat kali ini pun Awan seolah tak menganggap Esta ada. Ketika ia berbicara di
dalam rapat, dan Esta menanggapi, ia malah membuang wajahnya. Mencari orang
lain untuk berbicara juga. Barulah ia mau menanggapi. Tak pernah serta merta
menanggapi Esta.
Esta sendiri
yang geram juga terus angkat bicara. Hingga semua anggota di sana merasa bahwa
ini bukanlah rapat. Tapi percakapan dua orang yang dijadikan tontonan. Beberapa
orang yang terselip ikut berbicara hanya sebagai cameo. Peran pendukung saja agar perdebatan di antara keduanya
tidak terkesan monoton.
“Nih dua orang
ngapain, sih?” bisik Yuni di telinga Lin. Lin hanya mengedikkan bahunya. Bukan
tanda ia tak tahu. Hanya saja ia malas untuk menanggapi pertanyaan Yuni. Ia
sedang tak ingin menjadi informan apapun. Meski ia sendiri memang tak tahu
persis apa yang terjadi di antara keduanya. Tapi ia yakin betul, pasti ada
sesuatu yang membuat dua orang ini kurang bisa disatukan. Bukan hanya di rapat
ini saja. Ia sudah merasanya sejak satu minggu yang yang lalu. Ada yang aneh
dari Awan, dan Esta yang penasaran tapi tak pernah sempat untuk mendapat
jawaban.
“Ya, rapat ini
kita tunda dulu sampai ba’da ashar,”
kalimat Ali menunda rapat. Selesai kalimat ini dilontarkan, beberapa orang
bangun. Keluar dari sekretariat dan menuju ke masjid. Hanya beberapa cewek saja
yang tidak ikut pergi. Mungkin sedang absen.
Dalam perjalanan
ke masjid pun Awan nampak tak beres. Jalannya lesu, kepalanya tertunduk. Bukan
seperti Awan biasanya. Ini aneh, dan patut untuk diselidiki.
“Elo kenapa sih,
Wan?” Ali mengimbangi langkahnya. Sebagai jawaban, Awan hanya menggeleng. Ia
hanya tak ingin menjawab apa-apa. Rasanya bibirnya pun lengket. Ali hanya bisa
menghela nafasnya.
Di sebelah
kanannya, Nata pun berlaku sama. Ah, ya. Walaupun ia tak tahu pasti perasaan
apa yang dirundung kedua bawahannya ini, tapi ia yakin ini pasti masalah cewek.
Nata ke Tara. Sudah jauh-jauh hari Nata dan Tara seperti kucing dan tikus. Nata
mengejar Tara, sedangkan Tara selalu menghindarinya. Atmosfernya jadi berubah.
Tapi melihat Awan yang juga berperilaku selayaknya
Tara, caranya menghindari
Esta yang sama persis, membuatnya mengamini asumsinya selama ini.
Hubungan
mereka bukan hanya sekedar sahabat. Tapi Awan memang menaruh hati pada Esta,
dan untuk alasan tertentu Awan patah hati dan menghindari Esta. Mungkin
sekarang ia sedang memulihkan patah itu. Menghindari Esta adalah cara terbaik
untuk sembuh. Meskipun Esta kasihan juga, sih. Tak pernah ditanggapi oleh Awan
sama sekali.
Sementara itu di
sekretariat, Esta duduk di pojokkan. Bersandar di lemari dan membolak-balik
susunan acara untuk besok dan membandingkannya dengan sisa kas hima yang ia
pegang sekarang. Mungkin jika dilihat sekilas, memang ia terlihat fokus. Tapi,
coba perhatikan lebih seksama!
“Itu kertas
nota, Es. Bukan uang. Kok dicampur-campur?” tegur Lin. Esta tersentak. Begitu
melihat tangannya, barulah ia sadar. Persis seperti kata Lin barusan. Kerta
nota ia anggap uang, hingga ia menghitungnya juga sebagai uang. Pantas saja kas
hima bertambah lebih banyak.
“Fokus, Es. Nti
kalo ada yang selip kan elo juga yang rugi,” tambah Lin lagi. Esta hanya
tersenyum tipis. Lin melihatnya dengan nanar. Selanjutnya helaan nafas panjang
darinya. Yah... walaupun kadang-kadang Esta kalo berisik nyebelinnya minta
ampun, tapi kalau melihatnya banyak diam seperti ini juga terasa aneh. Seperti
ada yang kurang, dan seolah ini bukan Esta. Ia ingin menanyakannya, tapi urung.
Takut salah tanggap, dan malah Esta makin terpuruk. Kejam atau tidak, ia akan
memilih jadi penonton saja. Toh, baik Awan atau Esta sudah sama-sama dewasa.
Cepat atau lambat, mereka pasti bisa mengatasi masalah mereka sendiri.
***
“Tara, mau
kemana?” teriak Esta begitu Tara buru-buru keluar. Baru saja ia menerima telpon
dan setelah memasang tampang sumringah langsung ngacir begitu saja.
“Bentar!”
balasnya sambil berlari. Esta dan Lin yang penasaran melongok keluar. Mengikuti
arah lari Tara ke jalan di depan sekretariat. Ada sebuah mobil hitam yang
terparkir di sana. Seseorang yang dikenal Esta, dan Lin sempat tahu sedikit ada
di sana. Diylan. Tara ketemuan sama kak
Diylan? Esta penasaran. Padahal seharusnya pun itu hal biasa. Toh, ia
sendiri juga tahu kalau Tara ada rasa sama senior mereka satu itu.
Pertama kali
yang dilempar Diylan pasal kedatangan Tara adalah senyum. Tak sungkan pula Tara
melakukan hal yang sama. Entah apa yang mereka obrolkan. Pendengaran Esta dan
Lin tak sebegitu baiknya sampai bisa mendengarnya dari sini. Karenanya pun
mereka kembali lagi ke dalam. Tak terlalu menarik perhatian mereka rupanya.
Selama
percakapan itu berlangsung, beberapa cowok selesai sholat. Mereka kembali ke
masjid dan jelas melihat kedatangan Diylan di sana. Termasuk Nata. Ali yang
berjalan di belakangnya sempat menabrak punggungnya, lantaran ia tiba-tiba
berhenti begitu saja.
“Woy, Nat!
Berhenti sembarangan! Ngomong-ngomong, nape?” protes Ali. Tapi tak ada
tanggapan dari Nata. Nata diam, hingga membuat Ali harus menilik apa yang
terjadi pada dirinya sekarang.
Begitu melihat
ekspresi apa yang ditunjukkan wajah Nata sekarang, Ali mengganti arah
pandangnya. Sama dengan Nata, kini ia beralih ke Diylan dan Tara. Sekarang ia
bingung, harus bersikap bagaimana. Menghibur Nata, apa akan berhasil? Tapi
kalau didiamkan pun, kasihan juga Nata. Sedang ekspresi di wajah temannya satu
ini benar-benar nelangsa. Bahkan rautnya kaku. Berbanding terbalik dengan sifat
Nata yang biasanya.
Sedangkan Awan
yang sudah lebih dulu melihat mereka berdua juga terhenti. Satu adegan yang
membuatnya musti berbalik. Memastikan kembali bagaimana ekspresi wajah Nata
setelah ini, meskipun ia bisa menebaknya. Adegan seromantis ini, Diylan yang
tiba-tiba mengaitkan sebuah kalung ke leher Tara. Bukankah ini tontonan yang
cukup keterlaluan?
Akhirnya Nata
kini tak mampu mengelak. Adegan ini menamparnya akan kenyataan. Menggapai Tara
sama seperti mencoba memegang air. Tak kan kunjung mencapai keberhasilan.
Wajahnya memanas pun tak mampu mengubah apapun. Ia marah tak ada bedanya. Harus
marah dengan siapa? Lantas pertanyaan salahkah ia menyukai seorang Tara seolah
ia sampaikan langsung ke Awan. Hingga Awan ikut merasa iba. Bukan pada Nata
sepenuhnya. Ia iba pada dirinya sendiri. Apakah selama ini ia terlalu bodoh
menempatkan perasaannya pada sahabat sendiri? Entahlah. Bahkan ia sendiri tak
tahu. Bagaimana akhirnya kisah ini? Bahkan ia tak punya daya untuk menebaknya.
***
Aula utama
Fakultas mulai padat. Banyak orang, dengan banyak mulut ini membisingkan
telinga. Tapi untuk acara sebesar ini rasanya mustahil jika harus membuat
mereka diam. Beberapa panitia sibuk mondar-mandir. Mempersiapkan segala sesuatu
yang memang harus disiapkan saat ini. Atau mengatur peserta lomba untuk duduk
di bangku-bangku yang disediakan. Atau membagikan snack dan name tag bagi
peserta yang baru datang. Ali menyalimi beberapa dosen yang datang. Mengalihkan
perhatian dari persiapan panitia sementara dengan obrolan basa-basi. Sekalian
mengimplikasikan gelarnya sebagai ketua umum.
Esta yang tak
begitu banyak ambil bagian dalam acara ini duduk di belakang layar. Memasukkan
lembaran uang ke amplop-amplop putih yang sudah ia pisahkan sejak kemarin. Sewa
gedung, sewa sound, sewa alat band,
bayaran juri, dan uang untuk pemenang. Semuanya ia masukkan sesuai anggaran
yang sudah disepakati bersama dalam rapat. Urusannya hanya soal uang. Tak perlu
mondar-mandir seperti yang lain. Karena pun kalau sampai ia pergi jauh-jauh,
bisa-bisa panitia yang lain kewalahan. Ada kebutuhan mendesak dan sulit
menjumpai si bendahara. Bisa repot malahan.
Selesai merekap
tugasnya, Esta celingukan. Mencari sosok yang cukup ia rindukan karena beberapa
minggu ini sempat jauh. Siapa lagi kalau bukan Awan. Sebagai ketua dokumentasi,
seharusnya Awan ikut mondar-mandir, jepret sana-sini. Mencari sudut yang pas
untuk mengabadikan salah satu acara besar yang diselenggarakan himanya ini.
Tapi sejak tadi, Esta tak melihat batang hidungnya sama sekali. Padahal,
meskipun duduk di belakang layar, Esta duduk di tempat yang cukup strategis.
Tak ada yang bisa melihatnya dari bangku peserta, tapi ia bisa melihat
keseluruhan ruangan ini. Untuk mengenali
sosok Awan cukup mudah baginya. Meskipun Awan berdiri di pojok belakang aula
ini, seharusnya ia langsung bisa menangkapnya. Tapi sejak tadi bocah itu tak
ada. Kemana? Pikirnya cemas.
Ia menepuk
pundak Aini. Menitipkan dompet berisi uang kas hima pada wakilnya ini
sementara.
“Kalau ada yang minta, ditanyain dulu buat apa. Jangan lupa, nota
dua lembar,” pesannya.
“Elo mau kemana,
Es?” tanya Aini sebagai respon setelah menerima dompet dan buku kecil, catatan
pengeluaran.
“Keluar bentar,”
jawab Esta singkat. Padahal Aini masih ingin menayakan sesuatu lagi, tapi Esta
sudah keburu pergi keluar pintu di belakang panggung.
Esta baru
berhenti ketika ia melihat Awan di luar. Dia duduk sendiri di tangga. Tak jelas
bagaimana wajahnya karena ia duduk membelakanginya. Ia sempat berniat untuk
menghampirinya. Tapi urung karena setelah mengangkat telpon, Awan menyingkir.
Tak jauh memang, tapi sayangnya perpindahan itu membuat Esta tak ingin mencoba
mendekatinya. Sekedar bertanya siapa yang menelponnya hingga membuat senyum itu
terbentuk. Tetap saja ia tak bisa.
Kembali lagi
Esta ke dalam. Lantas tak kembali ke tempatnya semula. Acara sudah dibuka MC di
depan. Tak ada kesempatan baginya terselip di tempat tadi. Ia pun sudah tak
bernafsu duduk diam di sana. Biar saja Aini yang mengurus permintaan dana dari
panitia nanti. Ia berdiri saja di sini.
Acara pembukaan
belum selesai, Esta sama sekali tak pegal
berdiri di sana. Senyumnya yang seharusnya terukir karena sampai saat
ini acara berjalan dengan baik, malah tak ada. Awan masih memenuhi pikirannya.
Rindu, tentu benar ia rindu. Kenapa Awan akhir-akhir ini malah menjauhinya.
Rasanya ada yang tidak bisa masuk ke akalnya. Tapi saat Awan ditanya pun seolah
tak ada yang terjadi. Padahal jelas benar kalau bocah itu menjauhi Esta
sekarang.
Sampai Awan
sudah ada di pintu, Esta tak menyadarinya. Gadis itu benar-benar tenggelam
dalam lamunannya. Awan sadar, ia melihat jelas dan ia tahu kalau dirinya sudah
berbuat kesalahan. Menjauhi Esta adalah cara terpecundang yang dilakukan. Tapi
tak ada cara lain selain ini. Meski ia merasa membodohi dirinya sendiri, karena
sewajarnya pun ia cukup merindukan sosok Esta yang selalu ada di sekelilingnya.
Tapi...
“Esta, awas!”
Awan tersentak karena teriakan ini. Reflek matanya mencari si empu suara.
Bukankah tadi dalam teriakan itu ada nama Esta. Nama yang baru saja ia
pikirkan?
Brak!
Suara ini
berhasil membuat semua mata beralih, dari pembukaan di depan langsung tertuju
ke pojok panggung. Tepatnya di tempat Esta berdiri tadi. Salah satu lampu
gantung di sudut panggung jatuh. Sosok yang kini tersungkur tak jauh dari
tempat itu mendelik. Matanya menyelidik apa penyebab lampu itu bisa jatuh.
Seorang panitia yang tak sempat ia kenali karena jatuh telungkup-lah yang
menjadi penyebabnya. Kakinya tak sengaja tersangkut tali lampu kerek tadi dan
malah membuat tali itu melepaskan lampu tadi ke tanah. Menimpa seseorang yang
membuat sosok ini makin tercengang dibuatnya. Matanya mulai menggenang air
begitu sadar siapa yang ada di bawah pecahan itu.
“Awan!”
***
Ujung kuku
jari-jari Esta sudah tak karuan lagi bentuknya. Giginya memangkas tak berarturan
kuku-kuku itu dengan paksa. Sebagai pelampiasan, betapa hatinya tengah
dirundung kecemasan luar biasa. Tak dihiraukannya beberapa orang yang
sebenarnya ia kenal berlaku sama. Meski tak secemas dirinya, tapi di setiap
raut wajah mereka jelas sekali betapa mereka was-was untuk mendengar penjelasan
dokter ketika keluar dari ruangan ini nanti.
Acara ini gagal
total. Semua yang dirancang sejak jauh-jauh hari harus berakhir dengan satu
korban. Rasanya tega sekali jika acara terus berjalan melihat seseorang
tergeletak dengan darah menggenang yang keluar dari kepalanya tadi. Entah
bagaimana keputusannya nanti. Ali sebagai ketua umum belum memutuskan, apakah
acara ini akan dibatalkan atau hanya ditunda saja. Bahkan ia sama sekali tak
kepikiran. Masa bodoh dengan umpatan peserta yang pulang tanpa melakukan
kompetisi apapun. Sekarang hanya Awan dan Awan saja yang ada di pikirannya, dan
teman-temannya.
Lin mendekati
Esta. Tanpa berucap apapun, ia memeluk Esta. Mengelus punggungnya, menyalurkan
kekuatan. Meski ia sendiri pun juga khawatir, tapi ia tahu, kadar kekhawatiran
Esta dua kali lipat dari dirinya.
Dalam hati Esta
mengumpati dirinya sendiri. Kenapa gue
tadi berdiri di sana? Kenapa gue mau-mauan jatoh cuma karena didorong Awan?
Kenapa? Kenapa?! Sentaknya berulang-ulang. Tangisnya hanya diam. Mengambang
di antara cemas dan ketakutan. Hingga setetes air mata pun tak ada yang
mengalir dari matanya. Darah yang sempat mengotori tangannya itu menggantungkan
kalut di pikirannya. Imajinasi Awan pasti akan pergi lebih jauh menari-nari
indah di dalam otaknya. Dan ketika itu terjadi, maka Esta akan merasa menjadi
orang paling jahat. Gue penyebabnya! Gue
penyebabnya!
Tiga jam
lamanya, penantian mereka di depan UGD ini membuahkan hasil. Seorang pria paruh
baya keluar berbalut seragam putih, dengan kacamata kotak yang hampir seukuran
dengan matanya itu keluar. Menampilkan wajah datar hingga membuat teman-teman
Awan takut untuk mengira-ngira. Bagaimana hasilnya? Meski harapan di hati
mereka Awan jauh dari kata maut!
“Operasinya
sukses!” seruan ini berhasil membuat desahan lega dari setiap mulut yang ada di
sini. Termasuk Esta yang sempat berdiri akhirnya terduduk kembali. Beban yang
ada di kepala dan pundaknya tadi langsung jatuh. Kecemasan dan ketakutannya tak
harus bertahan lama. Awan baik-baik saja, dan ia mampu tersenyum. Anehnya,
buliran air yang tak berhasil keluar tadi malah mulus mengalir begitu saja.
“Tapi dia belum
sadar. Kalian bisa menjenguknya setelah dipindahkan ke ruang perawatan,” tambah
dokter itu. Hanya anggukan kecil, kemudian ia pamit dari sana.
Ali menoleh ke
arah Esta. Tapi matanya malah bertemu dengan Lin. Kontak mata mereka seolah
saling berkomunikasi.
Gimana? Mata
Ali bertanya pada Lin. Lin tersenyum sambil mengangguk. Tanda bahwa Esta mulai
tenang sekarang.
“Syukurlah...”
desah Esta berkali-kali.
***
Sekitar jam
sebelas malam, Esta masih setia menunggui Awan. Duduk terkantuk-kantuk di
samping Awan. Tangannya erat memegangi jemari tangan yang lebih panjang darinya
itu. Sejak tadi ia hanya memandangi Awan yang tak kunjung membuka matanya.
Perban tebal sudah membalut kepalanya. Ada sedikit bercak yang menandakan darah
sempat keluar dari lubang yang terbentuk pecahan lampu tadi.
Ia tersentak
ketika Ali memegang pundaknya. Ia hampir menjatuhkan kepalanya di atas tangan
Awan. “Ah, iya?” tanyanya reflek. Masih setengah sadar. Nyawanya belum kumpul
semua.
“Pulang aja, Es.
Biar gue sama Nata yang jagain Awan,” ujar Ali. Esta sempat menoleh ke
belakang.
Nata sudah terlelap di sofa. Sebagai tanggapan ia menggeleng lemah.
“Gue mau
nungguin Awan sampe sadar, Li. Gue takut dia kenapa-kenapa lagi,” tuturnya
memohon.
“Awan enggak
papa, Es. Dia belum bangun karena efek obat biusrnya belum selesai. Udah, elo
pulang aja. Dianterin Nata, ya?” bujuk Ali lagi. Bukannya ia melarang. Hanya saja, melihat wajah sendu dan
lelah Esta menyulut empatinya.
Meski ragu,
akhirnya Esta menurut. Setelah Ali membangunkan Nata, barulah Esta pergi.
Setelah melirik Awan sekali lagi sebelum benar-benar pulang.
Sampai di depan
kosnya, Esta lirih mengucap terima kasih. Sebelum Esta sempat masuk, Nata
berucap kalimat yang membuatnya tercengang sebentar. Berpikir kembali dan
mencoba memasukkan sebaik mungkin kata-kata itu.
“Kalau berat,
jangan pernah bohongi diri elo sendiri, Es.”
***
Langkah Esta terhenti
di depan pintu masuk rumah sakit. Seharusnya sekarang ia berlari, menghambur ke
Awan meluapkan betapa bahagianya ia karena akhirnya sosok yang sempat
dirindunya itu sudah sadar. Ali tadi pagi menghubunginya. Wajarnya ia langsung
datang pagi tadi juga. Tapi, kata-kata Nata semalam membuatnya harus diam lama.
Memikirkan matang-matang dan mencoba membulatkan keyakinannya sendiri. Benarkah
perasaannya selama ini pada Awan?
Matanya kini
nanar menatap pintu lobi. Entah kenapa sosok Awan tergambar jelas di sana. Ada
beribu pertanyaan yang sama yang terpampang di sana. Memaksanya segera
menjawab. Apa iya gue suka sama Awan?
Andai saja ini ujian Nasional. Paling tidak, ia bisa mencari kunci jawaban.
Tapi nyatanya, bukan sama sekali!
Ini terlalu
lama. Apa jawabannya nanti, akan ia pikirkan selama perjalanannya sampai ke
kamar Awan nanti. Yah... ia harus melangkah sekarang!
Tapi sampai di
depan pintu kamar nomor 432 ini Esta belum memutuskan jawabannya. Tangannya
erat mengenggam engsel pintu. Sekali putaran, seharusnya pintu ini terbuka.
Tapi entah kenapa rasanya berat sekali.
“Huh...” Esta
mendesah perlahan. Ya! Ia harus memutuskan perasaannya sekarang! Sekarang atau
ia akan menyesal untuk selamanya. Masa bodoh bagaimana tanggapan Awan nantinya.
Sekuat tenaga ia bersikap abai dengan degupan kencang di jantungnya. Ia harus
masuk dan menghadapinya!
“Wan...”
bibirnya tak jadi berucap. Awan ternyata tak sendiri. Ada seseorang yang duduk
di sampingnya. Ia sempat bertanya-tanya, siapa orang ini. Rambut panjangnya
terkucir rapi. Kemeja merah kotak-kotak dan rok payung hitam. Wajahnya tak bisa
ia tebak, tak nampak. Melihat jarak antara gadis ini dan Awan membentuk titik
cemburu di hati Esta. Siapa?
“Es?” Awan
akhirnya sadar akan kehadiran Esta. Setelah itu, barulah gadis ini berbalik.
Wajahnya yang manis menatap Esta dengan wajah penasaran. Esta kenal orang ini.
Bukankah ini adalah gadis yang ditemui Awan ketika di sekretariat itu? Yang
katanya Awan adalah orang yang menabraknya pagi itu? Ini Sani.
“Siapa ini,
Wan?” tanyanya. Suaranya begitu lembut. Ini gila! Setiap detail fisiknya,
tuturan bahkan sikapnya yang biasa-biasa saja membuat Esta terus membandingkan
dengan dirinya sendiri. Kenapa gadis ini terlihat jauh di atasnya. Jika
disandingkan dengan dirinya yang selalu bertingkah sembrono, bahkan menyamai
cowok, tutur katanya yang kencang dan selalu menyentak, jelas Esta kalah telak.
Bahkan Esta sendiri tak tahu kenapa ia melakukan perbandingan ini. Untuk apa?
“Ini Esta,” Awan
memperkenalkannya. Tapi Esta masih diam. Ia tak mampu berucap apapun. Lantaran
ia pun menunggu Awan untuk balik memperkenalkan Esta pada Sani.
“Oh, Esta, ya?
Awan banyak cerita soal elo. Gue Sani, salam kenal.” Tapi malah Sani sendiri
yang memperkenalkan dirinya. Uluran tangan Sani disambut Esta pelan. Seperti ia
ragu untuk mengambil uluran tangan ini.
“Esta,”
diujarkannya kembali namanya. Meski lirih, Sani mendengarnya nama itu cukup
jelas. Sekuat tenaga Esta mengulum senyuman. Hanya senyum tipis, tapi Sani tak
begitu memperhatikan.
“Es...”
tiba-tiba Sani berbisik. Ia mendekat ke telinga Esta. Membisikkan sesuatu yang
sontak membuat mata Esta membulat sempurna. Seketika ia menatap Awan. Wajah itu
balas menatapnya sendu. Seolah ia tahu apa yang dibisikkan Sani ke telinga Esta
barusan.
“Oke?” Sani
kembali tersenyum. Berbalik sebentar dan berkedip ke arah Awan. Awan hanya
memberinya senyuman tipis, setipis senyuman Esta tadi. Sementara itu ia sendiri
tak tahu, harus memberi tanggapan apa setelah ini. Meski akhirnya Esta memilih
keluar. Belum terlibat percakapan sedikit pun dengan Awan. Dengan alasan ada
kuliah setelah ini, ia berhasil membuat Sani mengizinkannya pergi.
Di luar hujan
turun. Musim hujan sepertinya menyambut langkah Esta begitu keluar dari rumah
sakit. Tanpa sadar ia malah menjejak tanah. Membiarkan guyuran hujan membasahi
rambut dan tubuhnya. Setidaknya dengan hujan, tak ada yang mengetahui derasnya
aliran yang mengalir dari kedua sudut matanya.
“Gue butuh bantuan elo buat ngorek banyak informasi
soal Awan. Bantuin gue buat jadi pacar yang baik buat dia, ya? Oke?”
Hujan memang
deras. Namun tak sederas gerimis di hatinya. Petir memang banyak yang
menggelegar. Tapi tak sekeras petir di hatinya yang menyobek dengan sadis. Awan
di langit memang gelap, tapi tak segelap harapannya sekarang.
Ini usai.
Semuanya terlambat. Kapal itu sudah tenggelam. Akhirnya... memang seperti ini.
SEKIAN
SEKIAN
No comments:
Post a Comment