Pagi ini, Khoirul
terpaksa bangun lebih pagi. Mendahului ayamnya yang biasanya berkokok, si
petugas pembangun semua penghuni di kosan yang sederhana ini. Lantaran cuping
telinganya sudah bergerak-gerak. Efek dari getaran gendang telinganya yang
mendengar suara gembok gerbang yang dibunyikan. Menandakan ada orang di luar.
Jika sudah ada tamu yang datang dengan cara begitu, pasti Khoirul yang langsung
peka. Terang saja, kamarnya yang paling dekat dengan gerbang.
Yang ia lihat
adalah cewek, pakai topi cap hijau
toska, bawahan rok hitam, dan kemeja hijau toska. Karena kabut, Khoirul tak
bisa melihat dengan jelas siapa cewek ini.
Terpaksa, ia
harus bangun. Keluar dan menyambar anak kunci yang sengaja dicantolkan di
dinding luar, samping pintu kamarnya. Mulutnya sesekali menguep dengan tangan
yang asyik mengucek mata. Alibi sebenarnya. Siapa tahu ada belek yang masih menempel di sudut matanya.
“Cari siapa,
Mbak?” tanyanya seraya membuka gembok. Cewek ini berbalik, dan barulah Khoirul
kenal jelas siapa orang ini. “Owalah! Esta, to?” aksen jawanya keluar.
“Hai, Rul!”
sapa Esta sambil nyengir.
“Cari Awan,
ya?” Esta hanya mengangguk begitu masuk. Khoirul tak perlu menunjukkan dimana
kamar Awan. Esta jelas lebih tahu. Pikiran tamu yang lebih feminim langsung ia
lempar jauh-jauh. Esta kok feminim. Lak
begajulan, nah iya! Batinnya. Bagaimana ia tak berpikir seperti itu?
Pertama kali ia mengenal Esta waktu semester satu. Hanya saja, bukan awal ospek
seperti Awan mengenal Esta. Yang jelas, waktu itu Esta adalah satu-satunya
cewek yang berani bertandang ke tempat ini.
Masuk ke kamar Awan dengan seenak
jidatnya. Padahal waktu itu masih ada Khoirul yang cuma memakai kolor. Khoirul
yang waktu itu pasang tampang kaget sekaligus malu luar biasa malah ditanggapi
Esta dengan santai. Ketawanya juga keras banget lagi. Belum, cara bicaranya
yang luar biasa ngebut. Mirip kereta express.
Atau caranya memukul kepala Awan. Pokoknya, segala macam kata yang bisa menggambarkan
seorang cewek, tidak ada yang cocok untuk Esta. Untung dia pakai rok. Kalau
tidak, pasti sudah jauh-jauh hari Khoirul mengira bocah ini seratus persen
cowok tulen!
Sementara Khoirul
meninggalkan Esta kembali ke kamarnya, Esta bergegas ke kamar Awan. Masih
tertutup. Padahal ini sudah jam enam. Oh,
ya. Terus kenapa tu ayam satu kagak bangunin orang-orang di sini? Jadi,
ayam Khoirul sudah disetting untuk membangunkan semua yang ada di sini saat
subuh dan pada pukul setengah atau jam tujuh. Itu ayam apa jam weker?
“Wan! Awan!
Awan! Wan!” dok! Dok! Dok! Dok!
See? Bahkan caranya
bertamu sama sekali tak tau adat. Sekarang, bukan hanya Awan saja yang melompat
dari atas kasur. Tapi setiap penghuni di sekitar kamar Awan terpaksa bangun
karenanya. Pagi-pagi duplikatnya ibu kos
udah dateng! Mereka teringat ibu kos yang sering datang ketika hendak
menagih uang bulan. Mirip betul dengan kelakuan Esta sekarang.
“Wan! Bangun,
dong! Udah pagi, nih!” teriaknya lagi.
Sekitar sepuluh
detik kemudian, setelah Awan menyahut dari dalam, “Iya, iya! Bentaran!” pintu
bercat biru ini terbuka. Menampilkan sosok Awan yang lebih kucel dari jemuran
kusut. Boxer
kuning dengan motif tengkorak, kaos putih lengan pendek, dan rambut yang lebih
mirip bulu di pantat aya,. Sambil garuk-garuk kepala bibirnya menguep sempurna.
“Ada apaan sih, Es?” bahkan suaranya saja di sela kantuk.
“Wan, tolongin
gue!” jawab Esta. Ekspresi wajahnya yang benar-benar kalut membuat Awan
langsung terbangun seketika. Tak ada sedikit pun titipan kantuknya tadi
sekarang. “Kenapa? Elo kenapa?” ia mulai kalang kabut.
“Ikut gue!”
titah Esta kemudian berlari duluan. Awan sempat kebingungan. Bahkan tangannya
tak sempat menggapai pintu untuk menutupnya dulu. Sandal yang dipakainya juga
asal-asalan. Sampai-sampai pasangan alas kakinya itu berupa sandal jepit dan
sandal selop. Warna merah dan putih. Serupa
dengan bendera Indonesia.
Sampai pertigaan
pertama setelah kosan Awan barulah Esta berhenti. Awan yang tertinggal di
belakang sempat bersyukur. Esta tidak mengajaknya lari sampai kampus. Tenaga elo tenaga apaan sih, Es? Lari cepet
betol! Kenapa elo enggak ikut olimpiade lari aja sekalian! Batinnya.
“Ada apaan, sih?
Tolongin apaan, nih?” tanyanya begitu sampai di dekat Esta. Posisinya rukuk, mengatur nafasnya yang kocar-kacir tak jelas.
“Itu, Wan...”
telunjuk Esta terulur. Got di pinggir jalan yang jadi sasarannya. Tampangnya
memelas. Ada apa dengan got itu sebenarnya?
Begitu Awan
melongok ke dalamnya, wajahnya melongo. Ekspresi yang seolah bicara, “Kenapa
gue mau-mauan lari nyampe sini?” terpampang jelas di wajah itu. “Apa?” tanyanya
datar. Walau sebenarnya mewakili kekesalan hatinya sekarang.
Sesuatu yang
membuat Esta sampai memboyong Awan ke sini adalah seekor kucing kecil yang
terperosok ke dalam got. Warnanya sudah tidak diketahui lagi karena ia sudah
penuh dengan lumpur. Wajahnya memelas, persis sama dengan wajah Esta sekarang.
Meminta pertolongan karena nampaknya napasnya pun sudah setengah-tengah. Tapi
sampai hati Esta memaksa Awan ke sini pagi-pagi di sela tidurnya hanya untuk
seekor kucing. Huhu...
“Itu, Wan!
Kasihan dia! Bantuin, dong,” ujarnya lagi. Oke! Kalau sikap memelas Esta
sekarang bisa disebut wanita.
Suara yang dimanja-manjakan, dan tangan yang mengganduli ujung kaos Awan
meminta pertolongan. Andai Khoirul
melihatnya.
“Gue tadi mau ke
kampus.”
“Jam segini?”
“Ih! Dengerin
dulu! Terus gue mendengar suara isak tangis yang tiada terkira.”
“Lebay lu!”
“Dengerin dulu!”
pletak! Nah, sifat aslinya kembali.
“Oke... gue
denger...”
“Pas gue
cari-cari asal suara itu, ternyata dari dalam got itu. Kasihan, Wan. Dia enggak
bisa naik. Dia terjebak di antara lelumpuran di sana.”
“Es, gue
koreksi. Setau gue kata lelumpuran itu
enggak ada. Yang ada rerumputan,
deh!”
“Seriusan, woy!”
pletak!
“Aww! Elo minta
tolong tapi nyiksa gue mulu!” rutuk Awan. Sadis! Kepalanya kena dua kali hantam
pagi ini.
“Iya, iya, deh.
Sorry. Makannya buruan tolongin.”
“Kenapa nyuruh
gue sih, Es? Pan elo bisa bantuin sendiri.”
“Gue kan udah
mandi. Nti kalo gue bau kayak mana coba? Kan elo baru bangun tidur. Masih bau
iler. Sama juga baunya sama got!” umpatan Esta makin menyurutkan ketulusan Awan
untuk menolong kucing nelangsa ini. Tapi, yah... mau tak mau Awan menurutinya
juga. Dengan hati-hati –maksudnya Awan tidak mau ikut terperosok ke dalam got
yang cukup dalam itu, Awan menggapai tubuh sang kucing malang. Tangan Awan
cukup panjang, hingga hanya dengan kesulitan taraf sedang Awan bisa
menggapainya.
“Nih!” kucing
itu disodorkan ke depan Esta. Tentu saja Esta langsung sigap melindungi lubang
hidungnya dari bau tak sedap got.
“Bawa ke kosan
elo dulu. Kita mandiin. Bau, nih!” tambahnya. Awan merengut lagi. Banyak
request, deh! Dumelnya dalam hati. Tapi toh,
Awan tetap menyanggupi permintaan Esta. Walaupun ia makin kesal karena Esta
memilih jalan dengan jarak dua meter di belakangnya. Alasannya satu: Awan dan
kucingnya bau! Padahal lumpur dari got tadi hanya melumuri tangan Awan saja.
Sampai di kosan,
baru Hadi yang sudah ada di luar, sibuk memandikan motor legenda-nya. Kesempatan, pikir Awan. Kerannya bisa ia pinjam
sebentar untuk memandikan kucing ini. Tapi Hadi tak lantas memberikannya. Ia
malah melongo melihat tampang Awan. “Eleh,
eleh! Eta teh ngapain mandi di got sama kucing, Wan?” tanya si Sunda ini.
Awan malas menanggapinya. Kalau saja tangannya tidak memegang kucing ini, sudah
ia pletak itu kepalanya. Seenaknya saja kalau kasih komentar.
“Udah, deh!
Bantuin gue mandiin nih kucing,” tanggapnya. Tanpa komentar, Hadi menerima
permintaan tolong Awan. Ia hanya menyemprotkan air dari selang itu. Persis ke
tubuh si kucing. Awan sendiri berjuang sekuat tenaga agar si kucing tidak lari
karena menjumpai hal yang paling dibencinya. “Elo lagi kotor! Benci sama airnya
nanti lagi,” pesan Awan pada si kucing.
“Kucing teh nte
ngerti sama bahasa kamu, Wan. Aya, aya
wae kamu, mah.”
“Ya ini lagi gue
ajarin, Di! Berisik, elo!” sebal Awan mendengar komentar bocah satu ini.
Esta kemudian
datang. Suara gerbang yang terbuka membuat Hadi menoleh ke sumbernya. Oh... gara-gara Esta lagi Awan jadi seperti
ini, pikirnya. Tapi gadis itu tak mau ikut andil dalam perjuangan Awan yang
mencoba menghindar dari setiap cakaran kucing kecil ini. Ia memilih duduk di
bangku dari bambu di depan kamar Awan. Memerhatikan saja perjuangan Awan. Dalam
hati ia memberi semangat. Kemudian mentransfernya ke Awan lewat telepati.
“Di! Woy! Hadi!”
bentakan Awan membuat Hadi kembali menoleh ke arah Awan. Ia cukup tersentak
karena ternyata kerannya malah mengarah ke wajah Awan. Buru-buru ia mengganti
arah keran ini.
“Waduh! Sorry, Wan. Saya kebablasan.”
“Dasar sableng!
Basah kuyup nih, gue!” rutuk Awan. Sekarang keadaan Awan sama persis dengan
kucing ini, totalitas basah. Itu si Esta juga, bukannya membantu malah tertawa
keras-keras. Hadi yang melihat tawa renyah itu jadi ikut tertawa. Padahal tampang
Awan sudah kesel tingkat dewa.
Apes-apes! Perasaan ini bukan hari senin, deh!
***
Awan mengambil
tempat duduk di samping Esta yang asyik mengelus-elus kepala kucing kecil yang
ternyata berwarna putih bersih ini. Sekarang badannya sudah wangi, sewangi kucing
ini. Kostum bangun tidurnya tadi
sudah berganti dengan kaos biru lengan pendek dan jeans hitam selutut. Kalau
bukan karena Esta, dia tak mungkin mandi sepagi ini. Mengingat kuliahnya baru
dimulai pukul satu siang nanti. Bahkan ia sempat-sempatnya keramas. Rambutnya
sudah terlanjur basah, sekalian saja. Sedikit dingin memang. Tapi tak apalah.
Sambil
mengeringkan rambutnya dengan handuk putih kecil, ia terus memerhatikan Esta di
sebelah kirinya. “Elo kok kayaknya lebih sayang kucing daripada gue ya, Es? Gue
dapet cakaran, nih!” dengus Awan. Niatnya menunjukkan beberapa hasil dari
cakaran makhluk di pangkuan Esta itu di tangannya. Tapi Esta tak menanggapinya
sama sekali.
“Ye! Kucing ini
disayang pantes. Imut! Nah elo! Amit-amit! Imut kagak, cungkring, iya!” sentak
Esta. Awan hanya bisa memonyong-monyongkan bibirnya. Masa kalah sama kucing!
“Gue kasih nama
Awan, ah,” lanjut Esta lagi.
“Aih! Kok pake
nama gue, sih?”
“Ye! Siapa
bilang ini pake nama elo?”
“Ya elah, Es...
ayamnya Khoirul juga tau kali kalo gue itu namanya Awan!”
“Yang ada di
atas langit itu juga namanya awan. Gue kasih nama ini karena warnanya putih.
Sama kayak awan. Bukan awan elo! Elo mah putih kagak, buluk iya!” lagi-lagi
Awan dapat umpatan. Tapi melihat Esta yang tersenyum senang seperti itu membuat
bibir Awan ikut tersenyum. Kalau sudah masalah kucing, Esta selalu nomor satu.
Bahkan, kalau di kampus ada kucing dalam bentuk apapun saja, Esta selalu
menyempatkan diri untuk mengelus kepalanya. Hewan kesayangan. Awan saja kalau
memilih kado ulang tahun untuk Esta selama ini selalu bertemekan kucing.
Melihat Esta yang akan jingkrak-jingkrak kegirangan membuatnya ikut bahagia.
Ah... senyum itu yang selalu mampu membuat Awan melihat pelangi setiap hari.
“Elo, ya, yang
ngerawat?”
“Hah?!” kedua
mata Awan membulat. Kata ngerawat
tadi terlalu ekstrim baginya. Merawat kucing? What the... “Apaan? Kok gue, sih?!” protesnya.
“Ya, masa gue.
Kan elo tau sendiri, gue itu ngontrak.”
“Masalahnya?”
“Ya gue idup bareng
orang lain.”
“Gue juga!”
“Ih! Tapi kan
elo kamarnya misah-misah. Gue rumah! Nah, temen-temen gue enggak suka kucing.
Jadi enggak bakal mungkin kalo gue yang ngurus.”
“Ya kenapa harus
gue, Es?”
“Ya elo kan udah
nolong nih kucing. Kalo mau nolong jangan setengah-setengah, lah!”
“Es, gue ni
bukan nolong ni kucing. Tapi nolongin elo buat nolongin kucing ini!” Awan
menunjuk-nunjuk Esta dan kucing itu bergantian. Sedangkan si kucing hanya diam,
menyaksikan pertengakaran kecil mereka yang sebenarnya agak memekakan
telinganya yang lebar itu.
“Ya anggep aja,
sekarang elo nolongin kucing ini buat nolongin gue nolongin ini kucing.”
“Ya masalahnya
gue sekarang lagi enggak mau nolongin elo untuk nolongin kucing ini karena gue
udah nolongin elo buat nolongin kucing ini tadi.”
“Nolongin gue
buat nolongin kucing ini biar gue bisa nolongin kucing ini dan elo nolongin
kucing ini buat gue yang udah nolongin kucing ini apa susahnya, sih?”
“Ya gue...”
“Weh! Jane ngomong opo to podoan? (Sebenernya
lagi ngomongin apa, sih?)” tiba-tiba Khoirul menghentikan perdebatan mereka
pasal nolongin kucing.
Awan memasang
wajah sebalnya. “Kuota gue abis, Rul,” katanya.
“He? La ngopo?
Apa hubungannya?”
“Jadi gue enggak
bisa download subtittle bahasa elo
barusan.”
“Ho, jangkrik!”
umpat Khoirul. Tapi ia tetap tertawa kemudian meninggalkan dua orang yang
menurutnya sedeng itu. Awan kembali
lagi ke Esta. Tapi ia langsung menyesal pasalnya Esta sudah memasang wajah
memelas. Kalau kau pernah menonton film Puss
in the Boot maka wajah itu sudah seperti Puss saat memohon belas kasihan ke
manusia. Hanya bedanya, wajah Esta tidak berbulu semacam kucing.
“Aduh, Es! Elo
tu!” kesal, Awan mengacak-acak rambutnya. Apalagi melihat tampang kucing itu
yang sudah men-copy-paste ekspresi di
wajah Esta. “Gue makan aja susah! Harus ngasih makan kucing segala!” cibirnya
lagi.
Tapi, hp Awan
membuatnya tak bisa bercibir banyak lagi. Ada panggilan masuk. Begitu ia
mengambil hp itu dari kantung jeans-nya dahinya berkerut. Hanya ada nomor di
depan layar. Tidak ada nama.
“Siapa?” tanya
Esta penasaran. Awan tak segera mengangkatnya, sih. Tentu saja yang didaptnya hanya gedikkan bahu, tanda Awan juga
tak tahu.
“Halo?” sapa
Awan terlebih dahulu. Selanjutnya, ia diam. Menunggu seseorang di sana
mengucapkan sesuatu. Esta mencoba menyimak. Walaupun sebenarnya ia tak dapat
apa-apa. Awan juga tak menanyakan siapa orang yang menelponnya ini.
“Apa?!”
tiba-tiba Awan tersentak. Saking terkejutnya bahkan ia sampai berdiri. Esta tak
luput dari debaran jantung sekarang. Wajah Awan benar-benar membalik. Seperti
sesuatu yang buruk telah terjadi. Tapi apa itu, masih menjadi sebuah
pertanyaan.
“Dimana
sekarang?” tanya Awan lagi. Setelahnya, panggilan itu berakhir. Tanpa
kata-kata, Awan bergegas. Sama persis dengan reaksinya saat Esta datang pagi
tadi. Tanpa mengunci pintu, tanpa menimbang dulu mana yang sandalnya atau
bukan, tanpa perhitungan bawa uang atau tidak, ia sudah meninggalkan tempat
bernaungnya itu selama merantau ke sini. Meninggalkan Esta yang kesusahan,
repot-repot menitipkan si Awan, kucing barunya tadi, ke Khoirul.
“Nitip Awan
bentar ya, Rul!” pesannya sebelum pergi. Khoirul menatap kucing di tangannya
dengan tampang cengo.
“Yang dititipin
kucing, kok bilangnya nitip Awan?” tanyanya entah pada siapa.
***
Jarak langkah
Awan dan Esta sekarang sekitar lima meter. Kaki panjang Awan begitu sulit
diimbangi Esta. Padahal tadi keluar dari angkot mereka keluar hampir bersamaan.
Memang sih Esta harus membayar ongkos angkotnya dulu. Karena Awan benar-benar
seperti lupa segalanya. Untung saja Esta tadi bersamanya. Kalau tidak,
bisa-bisa Awan digebuki sopir dan kernet
angkot karena tidak membayar.
Bahkan Esta tak
sempat bertanya, kenapa Awan mengunjungi tempat ini. Tempat yang sebenarnya
cukup dihindari Awan, rumah sakit. Siapa yang sakit? Siapa yang sakit yang
membuat Awan sekalut tadi?
Melihat Awan tak
musti bertanya pada petugas yang menjaga di lobi, membuat Esta yakin bahwa
orang yang ada di salah satu kamar rawat di rumah sakit ini benar-benar dekat
dengan Awan. Mungkin orang yang setaraf Esta, atau malah lebih. Atau... pacar Awan? Cewek yang waktu itu?
Sedang, dalam
pikiran Awan sudah tak karuan lagi bentuk imajinasinya. Ada sebuah bayangan,
mungkin masa lalu. Melihat lorong di rumah sakit ini memaksanya mengingat
kejadian masa lalu. Tepatnya tiga tahun yang lalu. Saat ia melihat Roni duduk
di bangku tunggu. Saat wajah Roni sepucat wajahnya sekarang. Saat mata Roni
memerah, hampir serupa dengan matanya sekarang. Saat air dari sudut mata Roni
mulai meluncur begitu melihat kedatangannya dengan seragam lusuh SMA-nya waktu
itu. Saat bibir Roni bergetar menyebut kenyataan menyedihkan yang tak pernah
bisa ia hindari. Langit... Wan... dia...
Enggak! Gue enggak mau kehilangan lagi! Batinnya memekik. Namun bibirnya sama
sekali tak bisa bersatu.
Kamar nomor 45A,
Awan berhenti. Meski jarak Esta masih cukup jauh, masih bisa dilihatnya gemetar
tangan Awan membuka pintu itu. Hingga membuat Esta akhirnya berhasil
menyusulnya. Sedang sampai di sampingnya Esta tak lantas bertanya, siapa sebenarnya yang ada di ruangan ini?
Ia terlalu takut untuk menanyakannya. Wajah Awan terlalu serupa mayat,
sampai-sampai Esta berpikiran bahwa setelah ini malah Awan yang akan mendaftar
di sini sebagai pasien!
Pintu terbuka. Bangsal di tengah ruangan ini sudah memangku seseorang.
Seseorang yang jelas sangat Awan kenal. Tifa sudah berdiri tepat di samping
kirinya. Di wajah bulat ayu itu melukis sebuah duka. Melihat ekspresi itu,
langkah Awan melemah. Ia tak melihat tandanya pergerakan di tubuh itu. Enggak! Enggak!
“Awan...” lirih
Tifa begitu sadar Awan sudah masuk bersama Esta yang masih setia mengekor di
belakangnya. Begitu Awan sudah tepat di samping kanan ranjang itu, pelan...
tubuh di atas ranjang ini bergerak. Kepalanya yang tadi mengarah ke Tifa
menoleh. Mata itu... mata itu masih terbuka!
“Hah...” desah
Awan lega. Semua kaku di tubuhnya tadi luruh sudah. Entah dengan kata apa lagi
agar bisa menggambarkan kelegaan Awan sekarang. Kini ia hanya bisa menopang
tubuhnya dengan tangan menopang di tepian ranjang. Dan berusaha sekuat tenaga
menormalkan pasokan oksigen ke paru-parunya.
“Wan...” lirih
orang yang tak lain dan tak bukan adalah Roni. “Gimana elo bisa...”
“Gue yang ngasih
tau,” aku Tifa. Roni kembali menoleh ke arahnya. Ada ekspresi kesal yang
ditujukannya pada Tifa. “Sorry. Gue rasa gue harus hubungin dia...” sesal Tifa.
Sebenarnya Roni ingin melancarkan protes lagi. Tapi tiba-tiba...
Grep!
Tanpa aba-aba apapun, ia merasakan pelukan begitu erat ditujukan padanya.
Awan...
“Hiks!”
tiba-tiba isak kecil terdengar. Tenggorokan Roni tercekat. Tentu saja ia
tercengang. Awan yang bahkan begitu canggung memberinya hadiah waktu itu bisa
memeluknya seerat ini. Bahkan sampai menangis! Begitu takutnyakah ia kalau
sampai Roni kenapa-kenapa?
Bibir Tifa
menyungging senyum. Sedangkan Esta memasang wajah terkejutnya. Kali pertama ia melihat
Awan menangis, membuatnya seolah tak percaya. Benarkah ini Awan yang selalu
berhasil kena pukulan di kepala olehnya itu? Bahkan sampai Tifa memilih keluar
dari ruangan itu, ia masih terpaku, menatap Awan yang begitu enggan
menanggalkan pelukan itu. Sekitar sepuluh menit berlalu, setelah Awan melepas
pelukannya, dan makin jelas wajah Awan dengan cucuran air mata, barulah ia
keluar. Duduk di depan ruangan ini, di atas bangku yang menghadap langsung ke
depan pintu. Ia hanya menatap pintu. Tapi entah kenapa ia masih melihat sosok
Awan yang seperti tadi. Ia terdiam cukup lama. Sampai Aya datang. Tersenyum
sebentar ke arahnya kemudian melongok ke jendela kecil pintu. Mungkin karena
melihat Awan masih ada di dalam, Aya tak jadi masuk. Ia memilih duduk di samping
Esta. Namun sepatah kata pun tak ada yang bisa menjadi wakil untuk mereka
memulai percakapan. Hingga akhirnya, mereka tenggelam dengan pikiran mereka
masing-masing.
***
Awan masih
sesenggukan. Tapi posisinya sudah berganti, duduk di samping Roni dengan kepala
menunduk. Sudah tak ada setitik air lagi yang mengalir di pipinya. Meski
bekas-bekas yang lain masih jelas melekat di sana. Ia tak berani menatap Roni.
Mungkin malu, atau malah merasa canggung. Lantas Roni hanya menatapnya.
Bibirnya tipis-tipis mengurai senyum. Ia sendiri bingung harus memulai darimana
untuk membuat keadaan menjadi biasa.
“Wan... Udah,
gue enggak papa, kok. Beneran,” akhirnya kalimat itu yang meluncur dari
bibirnya.
Awan masih diam.
Setitik air kembali lompat dari sudut mata kirinya. Cepat-cepat dihapusnya.
Isaknya sudah mulai habis, dan ia tak ingin kembali mengurai air mata. Rasanya
cengeng betul kalau ia terus-terusan menangis seperti itu.
“Gue...”
tiba-tiba bibir Awan bergetar. Ia bermaksud membalas tanggapan Roni, mungkin.
“...enggak mau kehilangan abang lagi, Ron,” ternyata malah ini yang ia ucapkan.
Kata abang tadi terlalu sensitif di telinga
Roni. Hingga akhirnya ia malah gantian terdiam. Pelan-pelan ada semburat luka
yang merembes di hatinya. Rasanya begitu perih. Ibarat balsam yang masuk ke
mata. Tanpa sepengetahuan Awan, kedua tangannya sudah meremas selimut bergaris
ini. Atau malah mungkin, di balik selimut yang menutup sebagian tubuhnya
sekarang sudah bergetar lemah. Kecamuk di benaknya melarang Awan untuk berkata
lebih banyak. Namun tentu saja itu tak ada pengaruhnya untuk Awan sekarang.
Tidak, kecuali Awan mengerti caranya membaca pikiran orang lain.
“Selain orang
tua gue, cuma elo satu-satunya yang gue punya, Ron. Gue enggak mau kehilangan
elo kayak gue kehilangan Langit dulu. Please! Jangan tinggalin gue juga,”
tambahnya. Ya! Dan rembesan tadi mulai menggenang. Roni merasakan semua organ
dalamnya runtuh. Desiran darah melewati setiap pojok tubuhnya dengan cepat.
Menabrak-nabrak tanpa belas ampun, dan membiarkan Roni merasakan ngilu di
sekujur tubuhnya. Kalimat itu bukannya membuat terharu atau tersentuh. Justru
itu menamparnya. Menamparnya begitu kuat hingga tak ada lagi aktivitas yang
bisa membuatnya terlihat terlalu kesakitan sekarang. Roni sakit, dalam diamnya.
“Gue...”
“Wan!” potong
Roni. Ia hanya tak ingin mendengar lebih. Karena itu terlalu menyakitkan.
Tudingan: ini semua salahmu!
bergelantungan lincah bak tarzan di dalam hutan. Wajah Awan terlalu mirip
dengan Langit. Hingga rasanya siluet Langit yang terlihat. Ada hujan gerimis
menjambati hatinya. Mengingat kenangan lalu, mengingat sesak gugu, mengingat...
“Elo tahu kalo elo udah kayak sodara gue sendiri
kan, Ron? Jelas gue lebih sayang sama elo daripada yang lain!” dan tamparan keras itu kembali ia
dapatkan.
“Gue enggak
papa. Serius...” nadanya melemah. Sebisa mungkin ia memohon Awan untuk tidak
bersikap seperti ini lagi. Sebagai tanggapan karena Awan akhirnya mau
mengangkat kepalanya dan menoleh ke arahnya, ia tersenyum. Meski sebenarnya, di
balik senyum itu tangis pilu yang telah terpatri begitu apiknya.
***
Keluar dari
kamar Roni, tampang Awan lebih lusuh dari pagi tadi saat pertama kali
membukakan pintu untuk Esta. Matanya sembam, dan jelas Esta tahu apa
penyebabnya. Tapi Awan masih berusaha tersenyum melihat Esta yang langsung
menyambutnya.
“Wan...”
lirihnya. Awan masih menjawabnya hanya dengan sebuah senyuman. Tak lama,
ditambah anggukan kecil. Berharap Esta mengerti, ia sudah tidak apa-apa.
Aya yang sejak
tadi masih ada di sana ikut berdiri. Bukan karena ia ingin menyambut Awan. Melainkan ia nampak tak asing dengan wajah di
depannya ini. Belum lagi mendengar Esta menyebut salah satu suku nama Awan.
Otaknya mengira-ngira, kemudian membandingkan seseorang yang muncul dalam
ingatannya.
“Awan?” terkanya
terlanjur tepat. Awan menoleh, juga Esta. Sama-sama keduanya memasang wajah
bingung. Jadi cewek ini kenal sama Awan?
Batin Esta. Sedangkan Awan masih mengitari wajah Aya. Matanya, hidungnya, bibirnya, bentuk wajahnya,
rambutnya, rasanya ia pernah melihatnya di suatu tempat. Tapi dimana?
“Kamu Awan, kan?
Awan Cakra Winata?” terka Aya lagi. Lagi-lagi tepat seratus persen. Tapi
melihat Awan yang masih kesulitan mengingat wajahnya, ia benar-benar tak sabar.
“Ini kakak. Cahaya Padma Intan,” tambahnya. Dan usahanya berhasil. Mata Awan
sedikit melebar seraya tangannya mulai menunjuk tepat ke arahnya.
“Kak Aya?”
akhirnya ia mengingat wajah ini. Senyum Aya makin mengembang. Kedua matanya
berkaca-kaca. Bertemu Awan baginya serupa dengan bertemu idola. Yah...
setidaknya itu yang dilihat Esta. Karena ia lagi-lagi harus meredam
kecerewetannya. Ia tak mau salah bicara karena ia pun tak tahu apa-apa tentang
cewek ini, dan semua hubungannya dengan cowok di dalam tadi. Diam, setidaknya
untuk situasi sekarang adalah emas untuknya.
“Aya!” suara
seseorang menghentikan adegan reoni mereka. Itu Tifa dengan seorang cowok yang
nampak asing di mata Awan dan jelas saja Esta.
“Maga?” ah! Tapi
gumaman Aya membuat mereka berdua tahu, kalau cowok berparas manis dan tampilan
necis –kaos putih bergaris hitam yang dibalut dengan blazer abu-abu santai lengan panjang, yang disingsingkan setengah
tiang dengan kancing yang dibiarkan terbuka, jeans hitam, jam tangan casual sporty hitam, dan sepatu kets
hitam suide dengan padanan
abu-abu— itu bernama Maga. Jika
mengesampingkan paras milik Roni, tampang dan tampilan Maga bisa menyihir mata
perempuan. Lihat saja beberapa suster yang lewat sempat menatap dan
mengaguminya berulang kali. Walaupun Roni sering berpenampilan necis dan
terkesan cool, tapi Maga lebih
berkelas. Bahkan, gaya rambut undercut-nya
itu seolah hanya tercipta untuk wajahnhya. Padahal di luar sana banyak
cowok-cowok dengan gaya rambut seperti ini. Tapi... mereka semua seolah
langsung kalah telak!
“Elo enggak
papa, Ya? Gue denger elo hampir tenggelem di kolam renang?” tanya Maga begitu
berada tepat di depan Aya. Mata sedangnya memandang Aya khawatir. Keduanya
menelusuri tubuh Aya, tak ada yang lecet atau memar. Berarti dia tidak apa-apa.
Bahkan, masih bisa berdiri seperti ini.
“Iya, gue enggak
papa. Malah Roni yang celaka gara-gara gue,” jawab Aya.
“Oh, iya. Masuk,
yuk! Dari tadi Roni nyariin elo, Ya,” ajak Tifa kemudian. Setelah mendapat
anggukan kepala dari Aya, ia masuk duluan. Sedangkan Aya kembali ke Awan.
Buru-buru ia mengambil buku dan pena dari tasnya. Menuliskan nomor telponnya
kemudian menyobeknya dan memberikannya pada Awan. “Kalo sempet hubungin kakak,
ya? Kakak pengen ngobrol sama kamu,” pesannya sebelum masuk. Awan hanya
menjawabnya dengan anggukan kepala.
Sementara Awan
menatap kertas itu, Maga berhenti sebentar di samping Awan. Kepalanya menoleh,
menelusuri setiap lekuk wajah Awan dengan teliti. Wajah ini terlalu mirip
seseorang, tapi siapa? Sampai Esta mengajak Awan pergi dari sana, Maga masih
menerka-nerka siapa pemilik wajah yang hampir serupa dengan Awan tadi?
Merasa perlu
melihat sosok Awan sekali lagi, Maga berbalik. Meski hanya punggung Awan saja
yang bisa ia amati, ia masih merasa punggung itu mirip seseorang. Tapi siapa?
***
Ketika Awan dan
Esta kembali ke kosan, Khoirul tengah mengobrol dengan Hadi dan Tama di bangku
bambu panjang sebelah kiri gerbang. Tepatnya di depan jejeran kamar yang ada di
sebelah kanan gerbang. Hanya Tama dan Khoirul yang duduk di bangku itu.
Sedangkan Hadi nangkring di motornya.
Meja kecil dari bambu juga memangku bekas nasi bungkus, sisaan sarapan mereka
tadi. Mereka sempat terheran-heran karena kedatangan mereka yang begitu tenang.
Padahal, kalau sudah ada mereka berdua di area kos ini, rasanya orang-orang
sekampus tumplek semua di sana.
Untung yang sering bernaung di kos ini hanya mereka bertiga, yang sama
angkatan, walaupun beda fakultas dan asal kampung, masih bisa maklum. Coba
kalau penghuni kamar-kamar yang lain –yang rata-rata mahasiswa angkatan tua—itu
ada di sini. Bisa kasihan nasib mereka. Selesai bikin skripsi kagak, kuliah
lebih lama nah iya.
“La kok tumben
to, tenang. Biasanya berisik e... koyo bunyi kereta lewat,” celetuk Khoirul
pertama kali. Tapi yang ia dapat hanya kacang. Esta dan Awan sedang tidak ingin
bercanda. Hingga akhirnya mereka bertiga hanya jadi penonton. Mengira-ngira ada
apa sebenarnya di antara mereka berdua.
Awan memilih
duduk di bangku depan kamarnya. Esta mengambil tempat duduk di sampingnya.
Matanya tak pernah lepas dari Awan sejak berjalan berdua tadi. Apalagi setelah
mendengar tuturan Awan bahwa Roni adalah orang yang sudah ia anggap sebagai
kakak kandungnya. Mungkin pengganti Langit yang sudah lama pergi. Ah... Esta
makin merasa: aku enggak tau apa-apa.
Kepala Awan
akhirnya menoleh ke kiri, ke arah Esta. Akhirnya ia sadar bahwa gadis ini masih
lekat memandanginya. Wajahnya datar, itu menurutnya. Padahal beribu cemas ada
di wajah itu.
Memertanyakan, apakah Awan baik-baik saja. Apakah benar sudah tak
apa sekarang?
Karenanya, Awan
mencoba tersenyum. Dimunculkan senyum semanis mungkin. Hingga nampaklah paras
rupawannya yang sesungguhnya. Kesampingkan Roni, kesampingkan Maga. Seharusnya
Awan pun masih dapat digolongkan dalam jajaran cowok tampan. Hanya saja
penampilannya yang biasa saja, dan berat badannya yang makin susut tiap
harinya, menenggelamkan itu semua. Tak apa, karena Awan pun tak pernah pusing
dengan paras wajahnya sendiri. Mungkin malah Esta yang tengah menyelidiki itu
sekarang.
Esta memang
membalas senyum itu. Tapi dalam hatinya gerimis. Karena semanis apapun senyum
Awan sekarang, ia selalu merasa di baliknya adalah kepiluan yang mendalam. Ada
sesuatu... sesuatu yang Esta tak tahu pasti membuat Awan bisa tersenyum bersama
pilunya itu.
No comments:
Post a Comment