Friday, January 17, 2020

Senyuman Pilu


Pagi ini, Khoirul terpaksa bangun lebih pagi. Mendahului ayamnya yang biasanya berkokok, si petugas pembangun semua penghuni di kosan yang sederhana ini. Lantaran cuping telinganya sudah bergerak-gerak. Efek dari getaran gendang telinganya yang mendengar suara gembok gerbang yang dibunyikan. Menandakan ada orang di luar. Jika sudah ada tamu yang datang dengan cara begitu, pasti Khoirul yang langsung peka. Terang saja, kamarnya yang paling dekat dengan gerbang.
Ia menggeliat lantas beringsut ke jendela. Mengintip siapa si biang keributan pagi-pagi begini. Biasanya kalau tamu cowok, mereka lebih suka memanjat saja. Contohnya saja Nata. Kalau pagi-pagi buta seperti waktu itu dia sudah datang, pasti dia akan menjadi maling dadakan. Tak perlu mengetuk-ketuk gembok seperti itu. Apa kali ini tamu yang lebih feminim?

Yang ia lihat adalah cewek, pakai topi cap hijau toska, bawahan rok hitam, dan kemeja hijau toska. Karena kabut, Khoirul tak bisa melihat dengan jelas siapa cewek ini.

Terpaksa, ia harus bangun. Keluar dan menyambar anak kunci yang sengaja dicantolkan di dinding luar, samping pintu kamarnya. Mulutnya sesekali menguep dengan tangan yang asyik mengucek mata. Alibi sebenarnya. Siapa tahu ada belek yang masih menempel di sudut matanya.

“Cari siapa, Mbak?” tanyanya seraya membuka gembok. Cewek ini berbalik, dan barulah Khoirul kenal jelas siapa orang ini. “Owalah! Esta, to?” aksen jawanya keluar.

“Hai, Rul!” sapa Esta sambil nyengir.

“Cari Awan, ya?” Esta hanya mengangguk begitu masuk. Khoirul tak perlu menunjukkan dimana kamar Awan. Esta jelas lebih tahu. Pikiran tamu yang lebih feminim langsung ia lempar jauh-jauh. Esta kok feminim. Lak begajulan, nah iya! Batinnya. Bagaimana ia tak berpikir seperti itu? Pertama kali ia mengenal Esta waktu semester satu. Hanya saja, bukan awal ospek seperti Awan mengenal Esta. Yang jelas, waktu itu Esta adalah satu-satunya cewek yang berani bertandang ke tempat ini. 
Masuk ke kamar Awan dengan seenak jidatnya. Padahal waktu itu masih ada Khoirul yang cuma memakai kolor. Khoirul yang waktu itu pasang tampang kaget sekaligus malu luar biasa malah ditanggapi Esta dengan santai. Ketawanya juga keras banget lagi. Belum, cara bicaranya yang luar biasa ngebut. Mirip kereta express. Atau caranya memukul kepala Awan. Pokoknya, segala macam kata yang bisa menggambarkan seorang cewek, tidak ada yang cocok untuk Esta. Untung dia pakai rok. Kalau tidak, pasti sudah jauh-jauh hari Khoirul mengira bocah ini seratus persen cowok tulen!

Sementara Khoirul meninggalkan Esta kembali ke kamarnya, Esta bergegas ke kamar Awan. Masih tertutup. Padahal ini sudah jam enam. Oh, ya. Terus kenapa tu ayam satu kagak bangunin orang-orang di sini? Jadi, ayam Khoirul sudah disetting untuk membangunkan semua yang ada di sini saat subuh dan pada pukul setengah atau jam tujuh. Itu ayam apa jam weker?

“Wan! Awan! Awan! Wan!” dok! Dok! Dok! Dok!

See? Bahkan caranya bertamu sama sekali tak tau adat. Sekarang, bukan hanya Awan saja yang melompat dari atas kasur. Tapi setiap penghuni di sekitar kamar Awan terpaksa bangun karenanya. Pagi-pagi duplikatnya ibu kos udah dateng! Mereka teringat ibu kos yang sering datang ketika hendak menagih uang bulan. Mirip betul dengan kelakuan Esta sekarang.

“Wan! Bangun, dong! Udah pagi, nih!” teriaknya lagi.

Sekitar sepuluh detik kemudian, setelah Awan menyahut dari dalam, “Iya, iya! Bentaran!” pintu bercat biru ini terbuka. Menampilkan sosok Awan yang lebih kucel dari jemuran kusut. Boxer kuning dengan motif tengkorak, kaos putih lengan pendek, dan rambut yang lebih mirip bulu di pantat aya,. Sambil garuk-garuk kepala bibirnya menguep sempurna. “Ada apaan sih, Es?” bahkan suaranya saja di sela kantuk.

“Wan, tolongin gue!” jawab Esta. Ekspresi wajahnya yang benar-benar kalut membuat Awan langsung terbangun seketika. Tak ada sedikit pun titipan kantuknya tadi sekarang. “Kenapa? Elo kenapa?” ia mulai kalang kabut.

“Ikut gue!” titah Esta kemudian berlari duluan. Awan sempat kebingungan. Bahkan tangannya tak sempat menggapai pintu untuk menutupnya dulu. Sandal yang dipakainya juga asal-asalan. Sampai-sampai pasangan alas kakinya itu berupa sandal jepit dan sandal selop. Warna merah dan putih. Serupa dengan bendera Indonesia.

Sampai pertigaan pertama setelah kosan Awan barulah Esta berhenti. Awan yang tertinggal di belakang sempat bersyukur. Esta tidak mengajaknya lari sampai kampus. Tenaga elo tenaga apaan sih, Es? Lari cepet betol! Kenapa elo enggak ikut olimpiade lari aja sekalian! Batinnya.

“Ada apaan, sih? Tolongin apaan, nih?” tanyanya begitu sampai di dekat Esta. Posisinya rukuk, mengatur nafasnya yang kocar-kacir tak jelas.

“Itu, Wan...” telunjuk Esta terulur. Got di pinggir jalan yang jadi sasarannya. Tampangnya memelas. Ada apa dengan got itu sebenarnya?

Begitu Awan melongok ke dalamnya, wajahnya melongo. Ekspresi yang seolah bicara, “Kenapa gue mau-mauan lari nyampe sini?” terpampang jelas di wajah itu. “Apa?” tanyanya datar. Walau sebenarnya mewakili kekesalan hatinya sekarang.

Sesuatu yang membuat Esta sampai memboyong Awan ke sini adalah seekor kucing kecil yang terperosok ke dalam got. Warnanya sudah tidak diketahui lagi karena ia sudah penuh dengan lumpur. Wajahnya memelas, persis sama dengan wajah Esta sekarang. Meminta pertolongan karena nampaknya napasnya pun sudah setengah-tengah. Tapi sampai hati Esta memaksa Awan ke sini pagi-pagi di sela tidurnya hanya untuk seekor kucing. Huhu...

“Itu, Wan! Kasihan dia! Bantuin, dong,” ujarnya lagi. Oke! Kalau sikap memelas Esta sekarang bisa disebut wanita. Suara yang dimanja-manjakan, dan tangan yang mengganduli ujung kaos Awan meminta pertolongan. Andai Khoirul melihatnya.

“Gue tadi mau ke kampus.”

“Jam segini?”

“Ih! Dengerin dulu! Terus gue mendengar suara isak tangis yang tiada terkira.”

“Lebay lu!”

“Dengerin dulu!” pletak! Nah, sifat aslinya kembali.

“Oke... gue denger...”

“Pas gue cari-cari asal suara itu, ternyata dari dalam got itu. Kasihan, Wan. Dia enggak bisa naik. Dia terjebak di antara lelumpuran di sana.”

“Es, gue koreksi. Setau gue kata lelumpuran itu enggak ada. Yang ada rerumputan, deh!”

“Seriusan, woy!” pletak!

“Aww! Elo minta tolong tapi nyiksa gue mulu!” rutuk Awan. Sadis! Kepalanya kena dua kali hantam pagi ini.

“Iya, iya, deh. Sorry. Makannya buruan tolongin.”

“Kenapa nyuruh gue sih, Es? Pan elo bisa bantuin sendiri.”

“Gue kan udah mandi. Nti kalo gue bau kayak mana coba? Kan elo baru bangun tidur. Masih bau iler. Sama juga baunya sama got!” umpatan Esta makin menyurutkan ketulusan Awan untuk menolong kucing nelangsa ini. Tapi, yah... mau tak mau Awan menurutinya juga. Dengan hati-hati –maksudnya Awan tidak mau ikut terperosok ke dalam got yang cukup dalam itu, Awan menggapai tubuh sang kucing malang. Tangan Awan cukup panjang, hingga hanya dengan kesulitan taraf sedang Awan bisa menggapainya.

“Nih!” kucing itu disodorkan ke depan Esta. Tentu saja Esta langsung sigap melindungi lubang hidungnya dari bau tak sedap got.

“Bawa ke kosan elo dulu. Kita mandiin. Bau, nih!” tambahnya. Awan merengut  lagi. Banyak request, deh! Dumelnya dalam hati. Tapi toh, Awan tetap menyanggupi permintaan Esta. Walaupun ia makin kesal karena Esta memilih jalan dengan jarak dua meter di belakangnya. Alasannya satu: Awan dan kucingnya bau! Padahal lumpur dari got tadi hanya melumuri tangan Awan saja.

Sampai di kosan, baru Hadi yang sudah ada di luar, sibuk memandikan motor legenda-nya. Kesempatan, pikir Awan. Kerannya bisa ia pinjam sebentar untuk memandikan kucing ini. Tapi Hadi tak lantas memberikannya. Ia malah melongo melihat tampang Awan. “Eleh, eleh! Eta teh ngapain mandi di got sama kucing, Wan?” tanya si Sunda ini. Awan malas menanggapinya. Kalau saja tangannya tidak memegang kucing ini, sudah ia pletak itu kepalanya. Seenaknya saja kalau kasih komentar.

“Udah, deh! Bantuin gue mandiin nih kucing,” tanggapnya. Tanpa komentar, Hadi menerima permintaan tolong Awan. Ia hanya menyemprotkan air dari selang itu. Persis ke tubuh si kucing. Awan sendiri berjuang sekuat tenaga agar si kucing tidak lari karena menjumpai hal yang paling dibencinya. “Elo lagi kotor! Benci sama airnya nanti lagi,” pesan Awan pada si kucing.

“Kucing teh nte ngerti sama bahasa kamu, Wan. Aya, aya wae kamu, mah.”

“Ya ini lagi gue ajarin, Di! Berisik, elo!” sebal Awan mendengar komentar bocah satu ini.

Esta kemudian datang. Suara gerbang yang terbuka membuat Hadi menoleh ke sumbernya. Oh... gara-gara Esta lagi Awan jadi seperti ini, pikirnya. Tapi gadis itu tak mau ikut andil dalam perjuangan Awan yang mencoba menghindar dari setiap cakaran kucing kecil ini. Ia memilih duduk di bangku dari bambu di depan kamar Awan. Memerhatikan saja perjuangan Awan. Dalam hati ia memberi semangat. Kemudian mentransfernya ke Awan lewat telepati.

“Di! Woy! Hadi!” bentakan Awan membuat Hadi kembali menoleh ke arah Awan. Ia cukup tersentak karena ternyata kerannya malah mengarah ke wajah Awan. Buru-buru ia mengganti arah keran ini. 

“Waduh! Sorry, Wan. Saya kebablasan.”

“Dasar sableng! Basah kuyup nih, gue!” rutuk Awan. Sekarang keadaan Awan sama persis dengan kucing ini, totalitas basah. Itu si Esta juga, bukannya membantu malah tertawa keras-keras. Hadi yang melihat tawa renyah itu jadi ikut tertawa. Padahal tampang Awan sudah kesel tingkat dewa.

Apes-apes! Perasaan ini bukan hari senin, deh!

***

Awan mengambil tempat duduk di samping Esta yang asyik mengelus-elus kepala kucing kecil yang ternyata berwarna putih bersih ini. Sekarang badannya sudah wangi, sewangi kucing ini. Kostum bangun tidurnya tadi sudah berganti dengan kaos biru lengan pendek dan jeans hitam selutut. Kalau bukan karena Esta, dia tak mungkin mandi sepagi ini. Mengingat kuliahnya baru dimulai pukul satu siang nanti. Bahkan ia sempat-sempatnya keramas. Rambutnya sudah terlanjur basah, sekalian saja. Sedikit dingin memang. Tapi tak apalah.

Sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk putih kecil, ia terus memerhatikan Esta di sebelah kirinya. “Elo kok kayaknya lebih sayang kucing daripada gue ya, Es? Gue dapet cakaran, nih!” dengus Awan. Niatnya menunjukkan beberapa hasil dari cakaran makhluk di pangkuan Esta itu di tangannya. Tapi Esta tak menanggapinya sama sekali.

“Ye! Kucing ini disayang pantes. Imut! Nah elo! Amit-amit! Imut kagak, cungkring, iya!” sentak Esta. Awan hanya bisa memonyong-monyongkan bibirnya. Masa kalah sama kucing!

“Gue kasih nama Awan, ah,” lanjut Esta lagi.

“Aih! Kok pake nama gue, sih?”

“Ye! Siapa bilang ini pake nama elo?”

“Ya elah, Es... ayamnya Khoirul juga tau kali kalo gue itu namanya Awan!”

“Yang ada di atas langit itu juga namanya awan. Gue kasih nama ini karena warnanya putih. Sama kayak awan. Bukan awan elo! Elo mah putih kagak, buluk iya!” lagi-lagi Awan dapat umpatan. Tapi melihat Esta yang tersenyum senang seperti itu membuat bibir Awan ikut tersenyum. Kalau sudah masalah kucing, Esta selalu nomor satu. Bahkan, kalau di kampus ada kucing dalam bentuk apapun saja, Esta selalu menyempatkan diri untuk mengelus kepalanya. Hewan kesayangan. Awan saja kalau memilih kado ulang tahun untuk Esta selama ini selalu bertemekan kucing. Melihat Esta yang akan jingkrak-jingkrak kegirangan membuatnya ikut bahagia. Ah... senyum itu yang selalu mampu membuat Awan melihat pelangi setiap hari.

“Elo, ya, yang ngerawat?”

“Hah?!” kedua mata Awan membulat. Kata ngerawat tadi terlalu ekstrim baginya. Merawat kucing? What the... “Apaan? Kok gue, sih?!” protesnya.

“Ya, masa gue. Kan elo tau sendiri, gue itu ngontrak.”

“Masalahnya?”

“Ya gue idup bareng orang lain.”

“Gue juga!”

“Ih! Tapi kan elo kamarnya misah-misah. Gue rumah! Nah, temen-temen gue enggak suka kucing. Jadi enggak bakal mungkin kalo gue yang ngurus.”

“Ya kenapa harus gue, Es?”

“Ya elo kan udah nolong nih kucing. Kalo mau nolong jangan setengah-setengah, lah!”

“Es, gue ni bukan nolong ni kucing. Tapi nolongin elo buat nolongin kucing ini!” Awan menunjuk-nunjuk Esta dan kucing itu bergantian. Sedangkan si kucing hanya diam, menyaksikan pertengakaran kecil mereka yang sebenarnya agak memekakan telinganya yang lebar itu.

“Ya anggep aja, sekarang elo nolongin kucing ini buat nolongin gue nolongin ini kucing.”

“Ya masalahnya gue sekarang lagi enggak mau nolongin elo untuk nolongin kucing ini karena gue udah nolongin elo buat nolongin kucing ini tadi.”

“Nolongin gue buat nolongin kucing ini biar gue bisa nolongin kucing ini dan elo nolongin kucing ini buat gue yang udah nolongin kucing ini apa susahnya, sih?”

“Ya gue...”

“Weh! Jane ngomong opo to podoan? (Sebenernya lagi ngomongin apa, sih?)” tiba-tiba Khoirul menghentikan perdebatan mereka pasal nolongin kucing.

Awan memasang wajah sebalnya. “Kuota gue abis, Rul,” katanya.

“He? La ngopo? Apa hubungannya?”

“Jadi gue enggak bisa download subtittle bahasa elo barusan.”

“Ho, jangkrik!” umpat Khoirul. Tapi ia tetap tertawa kemudian meninggalkan dua orang yang menurutnya sedeng itu. Awan kembali lagi ke Esta. Tapi ia langsung menyesal pasalnya Esta sudah memasang wajah memelas. Kalau kau pernah menonton film Puss in the Boot maka wajah itu sudah seperti Puss saat memohon belas kasihan ke manusia. Hanya bedanya, wajah Esta tidak berbulu semacam kucing.

“Aduh, Es! Elo tu!” kesal, Awan mengacak-acak rambutnya. Apalagi melihat tampang kucing itu yang sudah men-copy-paste ekspresi di wajah Esta. “Gue makan aja susah! Harus ngasih makan kucing segala!” cibirnya lagi.

Tapi, hp Awan membuatnya tak bisa bercibir banyak lagi. Ada panggilan masuk. Begitu ia mengambil hp itu dari kantung jeans-nya dahinya berkerut. Hanya ada nomor di depan layar. Tidak ada nama.

“Siapa?” tanya Esta penasaran. Awan tak segera mengangkatnya, sih. Tentu saja yang didaptnya hanya gedikkan bahu, tanda Awan juga tak tahu.

“Halo?” sapa Awan terlebih dahulu. Selanjutnya, ia diam. Menunggu seseorang di sana mengucapkan sesuatu. Esta mencoba menyimak. Walaupun sebenarnya ia tak dapat apa-apa. Awan juga tak menanyakan siapa orang yang menelponnya ini.

“Apa?!” tiba-tiba Awan tersentak. Saking terkejutnya bahkan ia sampai berdiri. Esta tak luput dari debaran jantung sekarang. Wajah Awan benar-benar membalik. Seperti sesuatu yang buruk telah terjadi. Tapi apa itu, masih menjadi sebuah pertanyaan.

“Dimana sekarang?” tanya Awan lagi. Setelahnya, panggilan itu berakhir. Tanpa kata-kata, Awan bergegas. Sama persis dengan reaksinya saat Esta datang pagi tadi. Tanpa mengunci pintu, tanpa menimbang dulu mana yang sandalnya atau bukan, tanpa perhitungan bawa uang atau tidak, ia sudah meninggalkan tempat bernaungnya itu selama merantau ke sini. Meninggalkan Esta yang kesusahan, repot-repot menitipkan si Awan, kucing barunya tadi, ke Khoirul.

“Nitip Awan bentar ya, Rul!” pesannya sebelum pergi. Khoirul menatap kucing di tangannya dengan tampang cengo.

“Yang dititipin kucing, kok bilangnya nitip Awan?” tanyanya entah pada siapa.

***

Jarak langkah Awan dan Esta sekarang sekitar lima meter. Kaki panjang Awan begitu sulit diimbangi Esta. Padahal tadi keluar dari angkot mereka keluar hampir bersamaan. Memang sih Esta harus membayar ongkos angkotnya dulu. Karena Awan benar-benar seperti lupa segalanya. Untung saja Esta tadi bersamanya. Kalau tidak, bisa-bisa Awan digebuki sopir dan kernet angkot karena tidak membayar.

Bahkan Esta tak sempat bertanya, kenapa Awan mengunjungi tempat ini. Tempat yang sebenarnya cukup dihindari Awan, rumah sakit. Siapa yang sakit? Siapa yang sakit yang membuat Awan sekalut tadi?

Melihat Awan tak musti bertanya pada petugas yang menjaga di lobi, membuat Esta yakin bahwa orang yang ada di salah satu kamar rawat di rumah sakit ini benar-benar dekat dengan Awan. Mungkin orang yang setaraf Esta, atau malah lebih. Atau... pacar Awan? Cewek yang waktu itu?

Sedang, dalam pikiran Awan sudah tak karuan lagi bentuk imajinasinya. Ada sebuah bayangan, mungkin masa lalu. Melihat lorong di rumah sakit ini memaksanya mengingat kejadian masa lalu. Tepatnya tiga tahun yang lalu. Saat ia melihat Roni duduk di bangku tunggu. Saat wajah Roni sepucat wajahnya sekarang. Saat mata Roni memerah, hampir serupa dengan matanya sekarang. Saat air dari sudut mata Roni mulai meluncur begitu melihat kedatangannya dengan seragam lusuh SMA-nya waktu itu. Saat bibir Roni bergetar menyebut kenyataan menyedihkan yang tak pernah bisa ia hindari. Langit... Wan... dia...

Enggak! Gue enggak mau kehilangan lagi! Batinnya memekik. Namun bibirnya sama sekali tak bisa bersatu.

Kamar nomor 45A, Awan berhenti. Meski jarak Esta masih cukup jauh, masih bisa dilihatnya gemetar tangan Awan membuka pintu itu. Hingga membuat Esta akhirnya berhasil menyusulnya. Sedang sampai di sampingnya Esta tak lantas bertanya, siapa sebenarnya yang ada di ruangan ini? Ia terlalu takut untuk menanyakannya. Wajah Awan terlalu serupa mayat, sampai-sampai Esta berpikiran bahwa setelah ini malah Awan yang akan mendaftar di sini sebagai pasien!

Pintu terbuka. Bangsal di tengah ruangan ini sudah memangku seseorang. Seseorang yang jelas sangat Awan kenal. Tifa sudah berdiri tepat di samping kirinya. Di wajah bulat ayu itu melukis sebuah duka. Melihat ekspresi itu, langkah Awan melemah. Ia tak melihat tandanya pergerakan di tubuh itu. Enggak! Enggak!

“Awan...” lirih Tifa begitu sadar Awan sudah masuk bersama Esta yang masih setia mengekor di belakangnya. Begitu Awan sudah tepat di samping kanan ranjang itu, pelan... tubuh di atas ranjang ini bergerak. Kepalanya yang tadi mengarah ke Tifa menoleh. Mata itu... mata itu masih terbuka!

“Hah...” desah Awan lega. Semua kaku di tubuhnya tadi luruh sudah. Entah dengan kata apa lagi agar bisa menggambarkan kelegaan Awan sekarang. Kini ia hanya bisa menopang tubuhnya dengan tangan menopang di tepian ranjang. Dan berusaha sekuat tenaga menormalkan pasokan oksigen ke paru-parunya.

“Wan...” lirih orang yang tak lain dan tak bukan adalah Roni. “Gimana elo bisa...”

“Gue yang ngasih tau,” aku Tifa. Roni kembali menoleh ke arahnya. Ada ekspresi kesal yang ditujukannya pada Tifa. “Sorry. Gue rasa gue harus hubungin dia...” sesal Tifa. Sebenarnya Roni ingin melancarkan protes lagi. Tapi tiba-tiba...

Grep! Tanpa aba-aba apapun, ia merasakan pelukan begitu erat ditujukan padanya. Awan...

“Hiks!” tiba-tiba isak kecil terdengar. Tenggorokan Roni tercekat. Tentu saja ia tercengang. Awan yang bahkan begitu canggung memberinya hadiah waktu itu bisa memeluknya seerat ini. Bahkan sampai menangis! Begitu takutnyakah ia kalau sampai Roni kenapa-kenapa?

Bibir Tifa menyungging senyum. Sedangkan Esta memasang wajah terkejutnya. Kali pertama ia melihat Awan menangis, membuatnya seolah tak percaya. Benarkah ini Awan yang selalu berhasil kena pukulan di kepala olehnya itu? Bahkan sampai Tifa memilih keluar dari ruangan itu, ia masih terpaku, menatap Awan yang begitu enggan menanggalkan pelukan itu. Sekitar sepuluh menit berlalu, setelah Awan melepas pelukannya, dan makin jelas wajah Awan dengan cucuran air mata, barulah ia keluar. Duduk di depan ruangan ini, di atas bangku yang menghadap langsung ke depan pintu. Ia hanya menatap pintu. Tapi entah kenapa ia masih melihat sosok Awan yang seperti tadi. Ia terdiam cukup lama. Sampai Aya datang. Tersenyum sebentar ke arahnya kemudian melongok ke jendela kecil pintu. Mungkin karena melihat Awan masih ada di dalam, Aya tak jadi masuk. Ia memilih duduk di samping Esta. Namun sepatah kata pun tak ada yang bisa menjadi wakil untuk mereka memulai percakapan. Hingga akhirnya, mereka tenggelam dengan pikiran mereka masing-masing.

***

Awan masih sesenggukan. Tapi posisinya sudah berganti, duduk di samping Roni dengan kepala menunduk. Sudah tak ada setitik air lagi yang mengalir di pipinya. Meski bekas-bekas yang lain masih jelas melekat di sana. Ia tak berani menatap Roni. Mungkin malu, atau malah merasa canggung. Lantas Roni hanya menatapnya. Bibirnya tipis-tipis mengurai senyum. Ia sendiri bingung harus memulai darimana untuk membuat keadaan menjadi biasa.

“Wan... Udah, gue enggak papa, kok. Beneran,” akhirnya kalimat itu yang meluncur dari bibirnya.

Awan masih diam. Setitik air kembali lompat dari sudut mata kirinya. Cepat-cepat dihapusnya. Isaknya sudah mulai habis, dan ia tak ingin kembali mengurai air mata. Rasanya cengeng betul kalau ia terus-terusan menangis seperti itu.

“Gue...” tiba-tiba bibir Awan bergetar. Ia bermaksud membalas tanggapan Roni, mungkin. “...enggak mau kehilangan abang lagi, Ron,” ternyata malah ini yang ia ucapkan.

Kata abang tadi terlalu sensitif di telinga Roni. Hingga akhirnya ia malah gantian terdiam. Pelan-pelan ada semburat luka yang merembes di hatinya. Rasanya begitu perih. Ibarat balsam yang masuk ke mata. Tanpa sepengetahuan Awan, kedua tangannya sudah meremas selimut bergaris ini. Atau malah mungkin, di balik selimut yang menutup sebagian tubuhnya sekarang sudah bergetar lemah. Kecamuk di benaknya melarang Awan untuk berkata lebih banyak. Namun tentu saja itu tak ada pengaruhnya untuk Awan sekarang. Tidak, kecuali Awan mengerti caranya membaca pikiran orang lain.

“Selain orang tua gue, cuma elo satu-satunya yang gue punya, Ron. Gue enggak mau kehilangan elo kayak gue kehilangan Langit dulu. Please! Jangan tinggalin gue juga,” tambahnya. Ya! Dan rembesan tadi mulai menggenang. Roni merasakan semua organ dalamnya runtuh. Desiran darah melewati setiap pojok tubuhnya dengan cepat. Menabrak-nabrak tanpa belas ampun, dan membiarkan Roni merasakan ngilu di sekujur tubuhnya. Kalimat itu bukannya membuat terharu atau tersentuh. Justru itu menamparnya. Menamparnya begitu kuat hingga tak ada lagi aktivitas yang bisa membuatnya terlihat terlalu kesakitan sekarang. Roni sakit, dalam diamnya.

“Gue...”

“Wan!” potong Roni. Ia hanya tak ingin mendengar lebih. Karena itu terlalu menyakitkan. Tudingan: ini semua salahmu! bergelantungan lincah bak tarzan di dalam hutan. Wajah Awan terlalu mirip dengan Langit. Hingga rasanya siluet Langit yang terlihat. Ada hujan gerimis menjambati hatinya. Mengingat kenangan lalu, mengingat sesak gugu, mengingat...

“Elo tahu kalo elo udah kayak sodara gue sendiri kan, Ron? Jelas gue lebih sayang sama elo daripada yang lain!” dan tamparan keras itu kembali ia dapatkan.

“Gue enggak papa. Serius...” nadanya melemah. Sebisa mungkin ia memohon Awan untuk tidak bersikap seperti ini lagi. Sebagai tanggapan karena Awan akhirnya mau mengangkat kepalanya dan menoleh ke arahnya, ia tersenyum. Meski sebenarnya, di balik senyum itu tangis pilu yang telah terpatri begitu apiknya.

***

Keluar dari kamar Roni, tampang Awan lebih lusuh dari pagi tadi saat pertama kali membukakan pintu untuk Esta. Matanya sembam, dan jelas Esta tahu apa penyebabnya. Tapi Awan masih berusaha tersenyum melihat Esta yang langsung menyambutnya.

“Wan...” lirihnya. Awan masih menjawabnya hanya dengan sebuah senyuman. Tak lama, ditambah anggukan kecil. Berharap Esta mengerti, ia sudah tidak apa-apa.

Aya yang sejak tadi masih ada di sana ikut berdiri. Bukan karena ia ingin menyambut Awan.  Melainkan ia nampak tak asing dengan wajah di depannya ini. Belum lagi mendengar Esta menyebut salah satu suku nama Awan. Otaknya mengira-ngira, kemudian membandingkan seseorang yang muncul dalam ingatannya.

“Awan?” terkanya terlanjur tepat. Awan menoleh, juga Esta. Sama-sama keduanya memasang wajah bingung. Jadi cewek ini kenal sama Awan? Batin Esta. Sedangkan Awan masih mengitari wajah Aya. Matanya,  hidungnya, bibirnya, bentuk wajahnya, rambutnya, rasanya ia pernah melihatnya di suatu tempat. Tapi dimana?

“Kamu Awan, kan? Awan Cakra Winata?” terka Aya lagi. Lagi-lagi tepat seratus persen. Tapi melihat Awan yang masih kesulitan mengingat wajahnya, ia benar-benar tak sabar. “Ini kakak. Cahaya Padma Intan,” tambahnya. Dan usahanya berhasil. Mata Awan sedikit melebar seraya tangannya mulai menunjuk tepat ke arahnya.

“Kak Aya?” akhirnya ia mengingat wajah ini. Senyum Aya makin mengembang. Kedua matanya berkaca-kaca. Bertemu Awan baginya serupa dengan bertemu idola. Yah... setidaknya itu yang dilihat Esta. Karena ia lagi-lagi harus meredam kecerewetannya. Ia tak mau salah bicara karena ia pun tak tahu apa-apa tentang cewek ini, dan semua hubungannya dengan cowok di dalam tadi. Diam, setidaknya untuk situasi sekarang adalah emas untuknya.

“Aya!” suara seseorang menghentikan adegan reoni mereka. Itu Tifa dengan seorang cowok yang nampak asing di mata Awan dan jelas saja Esta.

“Maga?” ah! Tapi gumaman Aya membuat mereka berdua tahu, kalau cowok berparas manis dan tampilan necis –kaos putih bergaris hitam yang dibalut dengan blazer abu-abu santai lengan panjang, yang disingsingkan setengah tiang dengan kancing yang dibiarkan terbuka, jeans hitam, jam tangan casual sporty hitam, dan sepatu kets hitam suide dengan padanan abu-abu—  itu bernama Maga. Jika mengesampingkan paras milik Roni, tampang dan tampilan Maga bisa menyihir mata perempuan. Lihat saja beberapa suster yang lewat sempat menatap dan mengaguminya berulang kali. Walaupun Roni sering berpenampilan necis dan terkesan cool, tapi Maga lebih berkelas. Bahkan, gaya rambut undercut-nya itu seolah hanya tercipta untuk wajahnhya. Padahal di luar sana banyak cowok-cowok dengan gaya rambut seperti ini. Tapi... mereka semua seolah langsung kalah telak!

“Elo enggak papa, Ya? Gue denger elo hampir tenggelem di kolam renang?” tanya Maga begitu berada tepat di depan Aya. Mata sedangnya memandang Aya khawatir. Keduanya menelusuri tubuh Aya, tak ada yang lecet atau memar. Berarti dia tidak apa-apa. Bahkan, masih bisa berdiri seperti ini.
“Iya, gue enggak papa. Malah Roni yang celaka gara-gara gue,” jawab Aya.

“Oh, iya. Masuk, yuk! Dari tadi Roni nyariin elo, Ya,” ajak Tifa kemudian. Setelah mendapat anggukan kepala dari Aya, ia masuk duluan. Sedangkan Aya kembali ke Awan. Buru-buru ia mengambil buku dan pena dari tasnya. Menuliskan nomor telponnya kemudian menyobeknya dan memberikannya pada Awan. “Kalo sempet hubungin kakak, ya? Kakak pengen ngobrol sama kamu,” pesannya sebelum masuk. Awan hanya menjawabnya dengan anggukan kepala.

Sementara Awan menatap kertas itu, Maga berhenti sebentar di samping Awan. Kepalanya menoleh, menelusuri setiap lekuk wajah Awan dengan teliti. Wajah ini terlalu mirip seseorang, tapi siapa? Sampai Esta mengajak Awan pergi dari sana, Maga masih menerka-nerka siapa pemilik wajah yang hampir serupa dengan Awan tadi?

Merasa perlu melihat sosok Awan sekali lagi, Maga berbalik. Meski hanya punggung Awan saja yang bisa ia amati, ia masih merasa punggung itu mirip seseorang. Tapi siapa?

***

Ketika Awan dan Esta kembali ke kosan, Khoirul tengah mengobrol dengan Hadi dan Tama di bangku bambu panjang sebelah kiri gerbang. Tepatnya di depan jejeran kamar yang ada di sebelah kanan gerbang. Hanya Tama dan Khoirul yang duduk di bangku itu. Sedangkan Hadi nangkring di motornya. Meja kecil dari bambu juga memangku bekas nasi bungkus, sisaan sarapan mereka tadi. Mereka sempat terheran-heran karena kedatangan mereka yang begitu tenang. Padahal, kalau sudah ada mereka berdua di area kos ini, rasanya orang-orang sekampus tumplek semua di sana. Untung yang sering bernaung di kos ini hanya mereka bertiga, yang sama angkatan, walaupun beda fakultas dan asal kampung, masih bisa maklum. Coba kalau penghuni kamar-kamar yang lain –yang rata-rata mahasiswa angkatan tua—itu ada di sini. Bisa kasihan nasib mereka. Selesai bikin skripsi kagak, kuliah lebih lama nah iya.

“La kok tumben to, tenang. Biasanya berisik e... koyo bunyi kereta lewat,” celetuk Khoirul pertama kali. Tapi yang ia dapat hanya kacang. Esta dan Awan sedang tidak ingin bercanda. Hingga akhirnya mereka bertiga hanya jadi penonton. Mengira-ngira ada apa sebenarnya di antara mereka berdua.

Awan memilih duduk di bangku depan kamarnya. Esta mengambil tempat duduk di sampingnya. Matanya tak pernah lepas dari Awan sejak berjalan berdua tadi. Apalagi setelah mendengar tuturan Awan bahwa Roni adalah orang yang sudah ia anggap sebagai kakak kandungnya. Mungkin pengganti Langit yang sudah lama pergi. Ah... Esta makin merasa: aku enggak tau apa-apa.

Kepala Awan akhirnya menoleh ke kiri, ke arah Esta. Akhirnya ia sadar bahwa gadis ini masih lekat memandanginya. Wajahnya datar, itu menurutnya. Padahal beribu cemas ada di wajah itu. 
Memertanyakan, apakah Awan baik-baik saja. Apakah benar sudah tak apa sekarang?

Karenanya, Awan mencoba tersenyum. Dimunculkan senyum semanis mungkin. Hingga nampaklah paras rupawannya yang sesungguhnya. Kesampingkan Roni, kesampingkan Maga. Seharusnya Awan pun masih dapat digolongkan dalam jajaran cowok tampan. Hanya saja penampilannya yang biasa saja, dan berat badannya yang makin susut tiap harinya, menenggelamkan itu semua. Tak apa, karena Awan pun tak pernah pusing dengan paras wajahnya sendiri. Mungkin malah Esta yang tengah menyelidiki itu sekarang.

Esta memang membalas senyum itu. Tapi dalam hatinya gerimis. Karena semanis apapun senyum Awan sekarang, ia selalu merasa di baliknya adalah kepiluan yang mendalam. Ada sesuatu... sesuatu yang Esta tak tahu pasti membuat Awan bisa tersenyum bersama pilunya itu.

Sebelumnya               Selanjutnya

No comments:

Post a Comment