Friday, January 17, 2020

Muka Mendung vs Tawa Sandiwaranya


Mata bundar Esta terbuka. Tamparan angin di pipinya memaksanya bangun. Padahal rasanya kerikil di ujung matanya masih terasa. Tapi, toh waktu ia membuka mata sudah banyak orang yang datang. Ali sudah mondar-mandir tak jelas di depan. Bukankah itu berarti sebentar lagi rapat dimulai? Tapi, bocah yang tadi ia jadikan bantalnya sudah tidak ada. Kemana nih bocah? Udah mau dimulai rapatnya malah ngilang, Esta celingukan. Bibirnya masih lengket untuk bertanya pada Ervi di sampingnya. Tapi, pekikan pelan di handphonenya menjawab pertanyaan hatinya.

Es Serut. Abang gue dateng ke kosan. Izinin ke Ali, ya? Sorry banget! Sms dari Awan. Esta hanya memonyongkan bibirnya sebagai tanggapan.

Couple elo kemana, Es?” tanya Ali yang akhirnya mau masuk juga. Dalam hati Esta mengumpat. Punya ketua organisasi yang juga menjabat sebagai anak emas dekan. Kesibukan berlipat ganda. Rapat yang seharusnya berlangsung dua jam yang lalu jadi tertunda hanya untuk menunggu satu orang ini. “Izin. Ada abangnya ke kosan katanya,” jawabnya kemudian.

“Abang?”

“Iya. Masa ijo!”

“Sejak kapan Awan punya abang, Es?”

“Ya mana gue tahu. Emang gue petugas sensus apa, pake harus tahu Awan punya abang apa kagak?”

“Elo kan deket sama Awan, Es. Aneh aja gitu kok elo sampe enggak tahu kalo Awan udah enggak punya abang.”

Esta terdiam. Eh, iya. Bukannya Awan sudah pernah bilang kalau tiga tahun yang lalu abangnya itu sudah meninggal? Nah, terus yang ke kosan Awan siapa? Arwahnya?

Melihat Esta yang tiba-tiba bergidik ngeri, Ali bingung sendiri. Apa yang dipikirkan gadis cuek ini di kepalanya sampai bereaksi seperti itu? Apalagi tiba-tiba Esta gupek sendiri mencari hp-nya. Mengetik dengan kecepatan menggila mengirim sms pada seseorang.

Istigfar, Wan. Nyebut, nyebut!

Dahi Awan berkerut membaca pesan dari Esta. Nih anak kenapa? Dia bingung sendiri. Tapi rasanya itu bukan sms yang harus ia balas. Ia tersenyum begitu melihat seseorang di atas motor GL Pro melempar senyum padanya.

“Masih idup elo?” ujarnya asal ceplos. Awan menanggapinya dengan santai. Setelah melakukan ritual tos tangan mereka, Awan mengajaknya masuk.

“Yah… beginilah gubuk gue, Ron,” tambah Awan begitu masuk. Cowok berperawakan tegap, dengan gaya rambut pompadour dan nampak maskulin dengan jaket kulit dan celana jeansnya ini tak ambil pusing. Matanya tak lantas menyapu bersih tempat ini. Satu tempat yang sebenarnya ia incar sejak pertama kali masuk. Joystick di bawah meja. Dengan cekatan ia sudah mengubah kamar sederhana itu menjadi rental PS. Awan yang melihat kelakuannya hanya geleng-geleng kepala. Padahal ini baru kali pertama Roni datang ke kosannya sejak pertama kali masuk bangku kuliah. Tapi kelakuannya tak jauh beda jika ia mampir ke rumah Awan. PS, hanya itu yang ia tuju. Yah… koleksi kaset PS Awan melibihi kata lengkap, sih. Wajar saja seorang gamer seperti dia sampai lupa dunia akherat. Surga ada di sini.

Sementara Roni tenggelam di lautan game-nya Awan memilih kamar mandi. Badannya lengket minta dibasahi dengan air. Mumpung ada orang di kosan. Yah… walaupun ini masih siang. Kalau dia ikut rapat dan tidak ada makhluk apapun di kosannya, dia pasti akan malas untuk menjejakkan kaki di tempat ini. Mandi, adalah kata paling terakhir di kamus aktivitasnya. Cowok…

“Esta siapa, Wan?” baru keluar dari kamar mandi, Roni sudah menyodorinya pertanyaan. Awan melongo. Lantaran sebenarnya ia tak begitu mendengar pertanyaan Roni barusan. Mungkin karena tangannya juga masih sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk. Lalu bagaimana hubungannya dengan telinga? Ya, karena otaknya fokus dengan rambut basahnya, jadi tak begitu fokus pada indera pendengaran. Kalau di salah satu mata kuliah yang Awan ambil, barusan tadi Awan hanya mendengar. Bukan mendengarkan.

“Hah?”

“Esta. Siapa Esta? Lestari Miara Danika?” Roni mengulang pertanyaannya lebih jelas. Matanya jelas memandangi pigura poto di atas meja di samping tv. Melihatnya Awan melotot. Secepat kecepatan cahaya ia menyambar poto itu. Menyembunyikannya di balik tubuhnya sendiri. Padahal Roni sudah jelas melihatnya tadi.

Awan gugup dan matanya gusar. Ini sudah tahun ketiga Roni mengenalnya. Karena kelakuan itu pula Roni bisa menebak siapa poto cewek yang berasamanya dengan tulisan kecil di pigura itu. “Cewek elo?” tanyanya dengan senyum menggoda. Tapi, mendengar pertanyaan ini hati Awan mencelos. Penggennya sih gitu, batinnya melenguh kesal. Ia tak lantas menjawabnya. Dipilihnya lemari untuk menyembunyikan poto Esta dan dirinya tadi dari pandangan Roni. Bahkan ia tak peduli kalaupun Roni tetap memandanginya di saat ia masih sibuk memilih kaos untuk dikenakannya.

“Gebetan? Mantan yang tak terlupakan? Atau… sahabat yang diem-diem elo taksir?” ces! Pertanyaan yang tepat sasaran. Hanya diam pun Roni bisa tahu tebakannya tadi mana yang benar. Mood Awan tidak bagus untuk membicarakan masalah ini. Dia juga sepertinya masih kekeh menyimpannya untuk dirinya sendiri. Rasanya tak perlu bagi Roni menggali lebih dalam. Biarlah… nanti kalau dia mau pasti cerita itu bakal ia dapatkan.

“Udah makan?” Roni mengganti pertanyaannya. Awan menoleh ke arahnya. Bahkan belum ada jawaban, Roni sudah memberesi dunia­-nya. Tadi itu pertanyaan atau tawaran?

“Udah.”

“Udah?”

“Iya.”

“Makan apaan?”

“Makan ati!” ceplos Awan. Roni terkekeh pelan mendengarnya. “Traktirin gue ayam bakar madu,” tambahnya kemudian. Lagi-lagi Roni hanya terkekeh. Setelan kaos dan jeans selutut Awan sudah dilengkapi dengan jaket berlogo Manchester United dan sepatu Nike membalut kakinya. Setelah melempar kunci kosan, dia keluar duluan.

Sebelum  keluar mata Roni berhenti di sebuah pigura satu lagi yang seharusnya tadi berdampingan dengan poto Esta dan Awan tadi. Poto Awan dengan seorang cowok yang cukup mirip dengannya. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, sebuah desahan pelan ia luncurkan dari mulutnya. Bahkan begitu keluar, pandangannya masih sempat ter­-pause. Wajah Awan, dengan raut ekspresi yang terselip di sana. Bukankah ekspresi itu jauh sekali dengan ekspresi Awan di poto tadi?

“Buruan! Udah laper  nih gue!” sentak Awan tiba-tiba. Roni menurut. Tangannya terulur bermaksud mengacak rambut Awan. Tapi Awan yang tahu kebiasaan itu berhasil menghindar. “Gue udah ganteng! Enggak usah rese!” rutuknya.

“Haish!” cibir Roni seraya tersenyum tipis. Sebagai gantinya, pundak Awan yang jadi tempat pendaratan tinjunya.

Mau dapet ayam bakar aja harus remuk dulu. Apes… apes…, rutuk Awan dalam hati.

***

Roni mengajak Awan ke rumah makan sederhana tempat tongkrongan anak kuliahan. Tempat makan dengan nuansa bambu ini lebih banyak didominasi anak-anak cowok ketimbang cewek. Paling hanya beberapa saja. Kalau bukan ibu-ibu ya anak-anak di bawah umur sepuluh tahun. Selebihnya, cowok-cowok dari kampus yang sama dengan Roni dan Awan. Karena itu pula ada sebuah tv layar lebar di pojok atas ruangan. Biasanya kalau musim bola pengunjungnya akan lebih banyak. Rumah makan ini juga sengaja akan membuka sampai malam. Malah hanya buka di malam hari saja. Selain menunya yang mantap-mantap, di sini juga menyediakan wifi gratis. Cocok untuk anak kosan. Pesennya cuma air putih, tapi wifi-annya satu jam.

Awan memilih tempat duduk di dekat jendela. Ada sebuah air mancur dari gedung sebelah. Suara gemerciknya memang tidak terdengar sampai dalam. Tapi, melihat pemandangan seperti itu membuat makan jadi tambah nikmat.

Sementara Roni memesan makanan, Awan hanya duduk dan menyiapkan hp-nya untuk menyambung wifi. Belum ada tiga puluh detik ia sudah terusik dengan getar hp Roni yang ditinggalkan di meja. Awalnya Awan hanya membiarkannya saja. Tapi, suara getar itu berulang-ulang berbunyi. Tentu saja makin mengganggu. Akhirnya matanya melirik. Ay, hanya itu nama pemilik panggilan itu. Siapa Ay? Gumamnya dalam hati. Niatnya sih mau menerima panggilan itu. Tapi, Roni sudah datang duluan dan menyambar hp-nya. Kalau dilihat dari kegugupan Roni –apalagi bocah itu langsung ngeloyor keluar begitu saja, sepertinya itu gebetan Roni. Setahu Awan, Roni belum punya pacar.

“Iya, kenapa, Ay?” jawab Roni sebelum pergi tadi. Awan hanya mendecih pelan. Dasar pelit! Gitu nanya-nanya punya gue! Umpatnya. Tapi Awan tak ambil pusing. Sebelum Roni datang, ayam bakar yang mereka pesan datang. Kalau tak ingat ini makanan traktiran dari Roni, paling-paling Awan sudah melahapnya duluan. Apalagi mengingat cacing-cacing di perutnya sudah tawuran sendiri-sendiri. Haish! Ni anak kemane sih?

“Wan!” Roni tiba-tiba saja datang menepuk pundak Awan pelan. “Gue ada urusan bentar. Elo makan duluan aja, oke?” ujarnya. Tanpa menunggu jawaban dari Awan, lagi-lagi Roni ngacir pergi. Entah urusan mendesak apa, yang jelas Awan sudah cukup kesal dibuatnya. Yah… tak apa sih makan duluan. Tapi sendiriannya ini lo. Bukan juga di tempat yang biasanya dijadikan berduaan dengan pacar, ia tetap aja sendiri. Bahkan di tempat yang enggak ada orang pacarannya aja gue masih sendirian. Tuhan! Ngenes banget yak idup gue?

Sementara itu Roni sudah tergesa. Ada seseorang yang sudah menunggunya di luar. Bibirnya menyungging senyum melihat seseorang dengan rambut panjang sepunggung itu berbalik dan melambaikan tangan padanya. Wajahnya kalem dan berparas manis. Pipinya yang mirip kue mochi itu menambah ayu wajahnya. Hidungnya bangir dan matanya dalam seperti keturunan Turki. Cantik.
“Ay!” sapa Roni lebih dulu. Gadis itu lagi-lagi tersenyum. Temannya di belakangnya masih sibuk menerima telpon. Tak sempat memerlihatkan rupanya pada Roni. Karenanya Roni sempat menebak-nebak siapa gadis yang bersama temannya ini. Meski hanya beberapa saat saja.

Tanpa berucap apapun, cewek dengan nama Aya ini mengeluarkan sejilid makalah dari tas slempangnya. “Gue udah selesein di bagian tinjauan pustaka. Tapi gue enggak begitu yakin sama pembahasannya. Elo edit lagi, deh. Daftar pustakanya juga masih kurang banyak. Tolong ya, Ron,” ujarnya kemudian. Sambil menerimanya Roni hanya manggut-manggut.

“Oke, deh,” jawabnya. “Eh… elo belum makan? Gabung sama gue, yuk!” ajak Roni kemudian.

“Ehm… anu… gue…”

“Udah?” tiba-tiba cewek satu lagi tadi sudah selesai dengan urusannya. Cewek ini masih asing di mata Roni. Mereka berdua sama-sama cantik meski Roni yakin temannya jauh lebih cantik. Perawakannya juga tak sekalem Aya.

“Eh, iya. Ron, kenalin. Ini temen gue Sani. Sani ini Roni.”

“Sani.” Uluran tangan ia berikan pada Roni. “Roni,” balas Roni menerima uluran tangan itu.

“Iya, Ron. Gue masih ada urusan. Jadi sorry ya enggak bisa terima ajakan elo,” tambah Aya selanjutnya.

“Oh, iya. Enggak papa.”

“Oke. Gue duluan ya, Ron? Thanks…”

“Yok!”

Pandangan Roni belum mau lepas dari kepergian Aya. Menatap punggungnya saja masih menyisakan sedikit sesak di hatinya. Matanya yang tadi seolah cerah berubah sayu. Kalau ia ingin bersikap melankolis sekarang mungkin dia sudah berteriak. Tapi bukan cowok namanya kalau sampai menangis meraung-raung. Biasa menyimpan sesak di dada dan bersikap keren baru dinamakan cowok. Apalagi posisinya Roni sendirian sekarang. Kalau sampai ada satu air mata jatuh dan orang lain sempat melihatnya, dia bisa dicap buronan RSJ atau pasien akut psikolog.

Hampir dia lupa. Satu makhluk sekonyong-konyong yang masih menikmati santap siangnya masih ada di dalam. Roni kembali masuk. Entah dia yang kelamaan di luar, atau Awan yang terlalu cepat makannya, ayam bakar dengan ukuran jumbo itu hampir habis. Nih anak beneran kelaperan kayaknya, gumam Roni sambil tersenyum. Ia sempatkan tangannya mengacak rambut Awan, kebiasaan yang tadi belum sempat ia lakukan. Sukses, hal itu membuat Awan mendesah kesal dan menunda proses penggrogotan tulang ayam ini. Si pelaku sendiri hanya nyengir. Padahal wajah Awan yang tadi mupeng benar dengan ayam yang sudah tak karuan lagi bentuknya itu sudah berubah jengkel.

“Laper, Gan?” tanya Roni begitu duduk di depan Awan. Yang ditanya tak menjawab. Malah ekspresi wajah Roni yang ia tangkap. Ada yang beda. Walaupun raut wajah yang diberikan Roni padanya selama ini tak begitu cerah, tapi kali ini nampaknya lebih biru. Ada yang salah. Siapa yang ditemui Roni sampai membuatnya menambah derajat kemurungan di wajah maskulin itu?

“Ketemuan sama siapa elo tadi?” Awan balik melemparinya pertanyaan. Meski Roni hanya memandangnya sekilas, ia bisa menangkap ekspresi yang makin berbeda dari wajah itu. Ada sesuatu yang ingin ditutupi Roni. Entah itu sedihnya. Atau sebuah rahasia pribadi yang tidak boleh diketahui orang lain termasuk Awan. Awan bukan peramal. Ia juga tidak punya kemampuan khusus seperti telepati. Tentu saja ia tak akan bisa membaca isi pikiran dan hati Roni sekarang.

“Temen. Nih, minta bantuin tugas,” jawab Roni sekenanya. Tangannya menaruh jilidan makalah tadi ke atas meja. Memberi tambahan dari jawabannya tadi dengan sebuah bukti. Tapi, toh. Awan tak tertarik sedikit pun dengan bukti itu. Wajah itu, dan sendu itu. Itu yang lebih menarik daripada sekedar bukti klise seperti itu.

“Mantan?” terka Awan sekenanya. Roni spontan tertawa. Hampir-hampir ia tersedak. Yah… walaupun Awan sendiri tahu tawa yang diberikan terlalu garing. Ibarat sayur itu kurang garam. “Mantan darimana? Lagian… ngapain juga gue ketemuan sama mantan? Kurang kerjaan aja, Wan. Emang elo pernah ngeliat gue pacaran? Terakhir gue pacaran itu kelas satu SMA. Gue aja enggak tahu sekarang tuh mantan gue kemana,” balasnya.

Awan hanya manggut-manggut. “Oh, iya. Gue lupa sih. Elo kan jomblonya jomblo akut!” sentaknya. 

Suasana kembali mencair. Awan tak ingin melanjutkan interogasinya. Melihat Roni tertawa –meski hanya sandiwara menurut Awan- lebih baik daripada wajah mendungnya tadi. Ia tak ingin ambil resiko kalau-kalau ada guntur dan petir yang menyusul. Siang ini buat makan, dapet traktiran dan seneng-seneng. Masa bodoh kalau Roni bakalan mengajaknya keliling Bandar Lampung setelah ini. Yang penting perutnya kenyang dulu. Dengan suasana senang tentunya. Karena tidak ada sejarahnya orang sedih yang bisa kenyang.

Sebelumnya           Selanjutnya

No comments:

Post a Comment