Mata bundar Esta
terbuka. Tamparan angin di pipinya memaksanya bangun. Padahal rasanya kerikil
di ujung matanya masih terasa. Tapi, toh waktu ia membuka mata sudah banyak
orang yang datang. Ali sudah mondar-mandir tak jelas di depan. Bukankah itu
berarti sebentar lagi rapat dimulai? Tapi, bocah yang tadi ia jadikan bantalnya
sudah tidak ada. Kemana nih bocah? Udah mau dimulai rapatnya malah ngilang,
Esta celingukan. Bibirnya masih lengket untuk bertanya pada Ervi di sampingnya.
Tapi, pekikan pelan di handphonenya menjawab pertanyaan hatinya.
Es Serut. Abang gue dateng ke kosan. Izinin ke Ali, ya? Sorry banget! Sms dari Awan. Esta hanya memonyongkan
bibirnya sebagai tanggapan.
“Couple elo kemana, Es?” tanya Ali yang
akhirnya mau masuk juga. Dalam hati Esta mengumpat. Punya ketua organisasi yang
juga menjabat sebagai anak emas dekan. Kesibukan berlipat ganda. Rapat yang
seharusnya berlangsung dua jam yang lalu jadi tertunda hanya untuk menunggu
satu orang ini. “Izin. Ada abangnya ke kosan katanya,” jawabnya kemudian.
“Abang?”
“Iya. Masa
ijo!”
“Sejak kapan
Awan punya abang, Es?”
“Ya mana gue
tahu. Emang gue petugas sensus apa, pake harus tahu Awan punya abang apa
kagak?”
“Elo kan
deket sama Awan, Es. Aneh aja gitu kok elo sampe enggak tahu kalo Awan udah
enggak punya abang.”
Esta
terdiam. Eh, iya. Bukannya Awan sudah pernah bilang kalau tiga tahun yang lalu
abangnya itu sudah meninggal? Nah, terus yang ke kosan Awan siapa? Arwahnya?
Melihat Esta
yang tiba-tiba bergidik ngeri, Ali bingung sendiri. Apa yang dipikirkan gadis
cuek ini di kepalanya sampai bereaksi seperti itu? Apalagi tiba-tiba Esta gupek
sendiri mencari hp-nya. Mengetik dengan kecepatan menggila mengirim sms pada
seseorang.
Istigfar, Wan. Nyebut, nyebut!
Dahi Awan
berkerut membaca pesan dari Esta. Nih anak kenapa? Dia bingung sendiri.
Tapi rasanya itu bukan sms yang harus ia balas. Ia tersenyum begitu melihat
seseorang di atas motor GL Pro melempar senyum padanya.
“Masih idup elo?” ujarnya asal ceplos. Awan menanggapinya dengan santai. Setelah
melakukan ritual tos tangan mereka, Awan mengajaknya masuk.
“Yah…
beginilah gubuk gue, Ron,” tambah Awan begitu masuk. Cowok berperawakan tegap, dengan gaya rambut pompadour dan nampak maskulin dengan jaket kulit dan
celana jeansnya ini tak ambil pusing. Matanya tak lantas menyapu bersih tempat
ini. Satu tempat yang sebenarnya ia incar sejak pertama kali masuk. Joystick
di bawah meja. Dengan cekatan ia sudah mengubah kamar sederhana itu menjadi
rental PS. Awan yang melihat kelakuannya hanya geleng-geleng kepala. Padahal
ini baru kali pertama Roni datang ke kosannya sejak pertama kali masuk bangku
kuliah. Tapi kelakuannya tak jauh beda jika ia mampir ke rumah Awan. PS, hanya
itu yang ia tuju. Yah… koleksi kaset PS Awan melibihi kata lengkap, sih.
Wajar saja seorang gamer seperti dia sampai lupa dunia akherat. Surga
ada di sini.
Sementara
Roni tenggelam di lautan game-nya Awan memilih kamar mandi. Badannya
lengket minta dibasahi dengan air. Mumpung ada orang di kosan. Yah… walaupun
ini masih siang. Kalau dia ikut rapat dan tidak ada makhluk apapun di kosannya,
dia pasti akan malas untuk menjejakkan kaki di tempat ini. Mandi, adalah kata
paling terakhir di kamus aktivitasnya. Cowok…
“Esta siapa,
Wan?” baru keluar dari kamar mandi, Roni sudah menyodorinya pertanyaan. Awan
melongo. Lantaran sebenarnya ia tak begitu mendengar pertanyaan Roni barusan.
Mungkin karena tangannya juga masih sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk.
Lalu bagaimana hubungannya dengan telinga? Ya, karena otaknya fokus dengan
rambut basahnya, jadi tak begitu fokus pada indera pendengaran. Kalau di salah
satu mata kuliah yang Awan ambil, barusan tadi Awan hanya mendengar. Bukan
mendengarkan.
“Hah?”
“Esta. Siapa
Esta? Lestari Miara Danika?” Roni mengulang pertanyaannya lebih jelas. Matanya
jelas memandangi pigura poto di atas meja di samping tv. Melihatnya Awan
melotot. Secepat kecepatan cahaya ia menyambar poto itu. Menyembunyikannya di
balik tubuhnya sendiri. Padahal Roni sudah jelas melihatnya tadi.
Awan gugup
dan matanya gusar. Ini sudah tahun ketiga Roni mengenalnya. Karena kelakuan itu
pula Roni bisa menebak siapa poto cewek yang
berasamanya dengan
tulisan kecil di pigura itu. “Cewek elo?” tanyanya dengan senyum menggoda. Tapi,
mendengar pertanyaan ini hati Awan mencelos. Penggennya sih gitu,
batinnya melenguh kesal. Ia tak lantas menjawabnya. Dipilihnya lemari untuk
menyembunyikan poto Esta dan
dirinya tadi dari pandangan Roni. Bahkan ia tak
peduli kalaupun Roni tetap memandanginya di saat ia masih sibuk memilih kaos
untuk dikenakannya.
“Gebetan?
Mantan yang tak terlupakan? Atau… sahabat yang diem-diem elo taksir?” ces!
Pertanyaan yang tepat sasaran. Hanya diam pun Roni bisa tahu tebakannya tadi
mana yang benar. Mood Awan tidak bagus untuk membicarakan masalah ini.
Dia juga sepertinya masih kekeh menyimpannya untuk dirinya sendiri. Rasanya tak
perlu bagi Roni menggali lebih dalam. Biarlah… nanti kalau dia mau pasti cerita
itu bakal ia dapatkan.
“Udah
makan?” Roni mengganti pertanyaannya. Awan menoleh ke arahnya. Bahkan belum ada
jawaban, Roni sudah memberesi dunia-nya. Tadi itu pertanyaan atau
tawaran?
“Udah.”
“Udah?”
“Iya.”
“Makan
apaan?”
“Makan ati!”
ceplos Awan. Roni terkekeh pelan mendengarnya. “Traktirin gue ayam bakar madu,”
tambahnya kemudian. Lagi-lagi Roni hanya terkekeh. Setelan kaos dan jeans
selutut Awan sudah dilengkapi dengan jaket berlogo Manchester United dan
sepatu Nike membalut kakinya. Setelah melempar kunci kosan, dia keluar
duluan.
Sebelum keluar mata Roni berhenti di sebuah pigura
satu lagi yang seharusnya tadi berdampingan dengan poto Esta dan Awan tadi. Poto Awan dengan seorang cowok yang cukup mirip dengannya. Entah
apa yang ada di dalam pikirannya, sebuah desahan pelan ia luncurkan dari
mulutnya. Bahkan begitu keluar, pandangannya masih sempat ter-pause.
Wajah Awan, dengan raut ekspresi yang terselip di sana. Bukankah ekspresi itu
jauh sekali dengan ekspresi Awan di poto tadi?
“Buruan!
Udah laper nih gue!” sentak Awan tiba-tiba.
Roni menurut. Tangannya terulur bermaksud mengacak rambut Awan. Tapi Awan yang
tahu kebiasaan itu berhasil menghindar. “Gue udah ganteng! Enggak usah rese!”
rutuknya.
“Haish!”
cibir Roni seraya tersenyum tipis. Sebagai gantinya, pundak Awan yang jadi
tempat pendaratan tinjunya.
Mau dapet ayam bakar aja harus remuk dulu. Apes… apes…, rutuk Awan dalam hati.
***
Roni
mengajak Awan ke rumah makan sederhana tempat tongkrongan anak kuliahan. Tempat
makan dengan nuansa bambu ini lebih banyak didominasi anak-anak cowok ketimbang
cewek. Paling hanya beberapa saja. Kalau bukan ibu-ibu ya anak-anak di bawah
umur sepuluh tahun. Selebihnya, cowok-cowok dari kampus yang sama dengan Roni
dan Awan. Karena itu pula ada sebuah tv layar lebar di pojok atas ruangan.
Biasanya kalau musim bola pengunjungnya akan lebih banyak. Rumah makan ini juga
sengaja akan membuka sampai malam. Malah hanya buka di malam hari saja. Selain
menunya yang mantap-mantap, di sini juga menyediakan wifi gratis. Cocok untuk
anak kosan. Pesennya cuma air putih, tapi wifi-annya satu jam.
Awan memilih
tempat duduk di dekat jendela. Ada sebuah air mancur dari gedung sebelah. Suara
gemerciknya memang tidak terdengar sampai dalam. Tapi, melihat pemandangan
seperti itu membuat makan jadi tambah nikmat.
Sementara
Roni memesan makanan, Awan hanya duduk dan menyiapkan hp-nya untuk menyambung
wifi. Belum ada tiga puluh detik ia sudah terusik dengan getar hp Roni yang
ditinggalkan di meja. Awalnya Awan hanya membiarkannya saja. Tapi, suara getar
itu berulang-ulang berbunyi. Tentu saja makin mengganggu. Akhirnya matanya
melirik. Ay, hanya itu nama pemilik panggilan itu. Siapa Ay?
Gumamnya dalam hati. Niatnya sih mau menerima panggilan itu. Tapi, Roni
sudah datang duluan dan menyambar hp-nya. Kalau dilihat dari kegugupan Roni
–apalagi bocah itu langsung ngeloyor keluar begitu saja, sepertinya itu
gebetan Roni. Setahu Awan, Roni belum punya pacar.
“Iya,
kenapa, Ay?” jawab Roni sebelum pergi tadi. Awan hanya mendecih pelan. Dasar
pelit! Gitu nanya-nanya punya gue! Umpatnya. Tapi Awan tak ambil pusing.
Sebelum Roni datang, ayam bakar yang mereka pesan datang. Kalau tak ingat ini
makanan traktiran dari Roni, paling-paling Awan sudah melahapnya duluan.
Apalagi mengingat cacing-cacing di perutnya sudah tawuran sendiri-sendiri. Haish!
Ni anak kemane sih?
“Wan!” Roni
tiba-tiba saja datang menepuk pundak Awan pelan. “Gue ada urusan bentar. Elo
makan duluan aja, oke?” ujarnya. Tanpa menunggu jawaban dari Awan, lagi-lagi
Roni ngacir pergi. Entah urusan mendesak apa, yang jelas Awan sudah
cukup kesal dibuatnya. Yah… tak apa sih makan duluan. Tapi sendiriannya ini lo.
Bukan juga di tempat yang biasanya dijadikan berduaan dengan pacar, ia tetap
aja sendiri. Bahkan di tempat yang enggak ada orang pacarannya aja gue masih
sendirian. Tuhan! Ngenes banget yak idup gue?
Sementara
itu Roni sudah tergesa. Ada seseorang yang sudah menunggunya di luar. Bibirnya
menyungging senyum melihat seseorang dengan rambut panjang sepunggung itu
berbalik dan melambaikan tangan padanya. Wajahnya kalem dan berparas manis.
Pipinya yang mirip kue mochi itu menambah ayu wajahnya. Hidungnya bangir
dan matanya dalam seperti keturunan Turki. Cantik.
“Ay!” sapa
Roni lebih dulu. Gadis itu lagi-lagi tersenyum. Temannya di belakangnya masih
sibuk menerima telpon. Tak sempat memerlihatkan rupanya pada Roni. Karenanya
Roni sempat menebak-nebak siapa gadis yang bersama temannya ini. Meski hanya
beberapa saat saja.
Tanpa
berucap apapun, cewek dengan nama Aya ini mengeluarkan sejilid makalah dari tas
slempangnya. “Gue udah selesein di bagian tinjauan pustaka. Tapi gue enggak
begitu yakin sama pembahasannya. Elo edit lagi, deh. Daftar pustakanya juga
masih kurang banyak. Tolong ya, Ron,” ujarnya kemudian. Sambil menerimanya Roni
hanya manggut-manggut.
“Oke, deh,”
jawabnya. “Eh… elo belum makan? Gabung sama gue, yuk!” ajak Roni kemudian.
“Ehm… anu…
gue…”
“Udah?”
tiba-tiba cewek satu lagi tadi sudah selesai dengan urusannya. Cewek ini masih
asing di mata Roni. Mereka berdua sama-sama cantik meski Roni yakin temannya
jauh lebih cantik. Perawakannya juga tak sekalem Aya.
“Eh, iya.
Ron, kenalin. Ini temen gue Sani. Sani ini Roni.”
“Sani.”
Uluran tangan ia berikan pada Roni. “Roni,” balas Roni menerima uluran tangan
itu.
“Iya, Ron.
Gue masih ada urusan. Jadi sorry ya enggak bisa terima ajakan elo,” tambah Aya
selanjutnya.
“Oh, iya.
Enggak papa.”
“Oke. Gue
duluan ya, Ron? Thanks…”
“Yok!”
Pandangan
Roni belum mau lepas dari kepergian Aya. Menatap punggungnya saja masih menyisakan
sedikit sesak di hatinya. Matanya yang tadi seolah cerah berubah sayu. Kalau ia
ingin bersikap melankolis sekarang mungkin dia sudah berteriak. Tapi bukan
cowok namanya kalau sampai menangis meraung-raung. Biasa menyimpan sesak di
dada dan bersikap keren baru dinamakan cowok. Apalagi posisinya Roni sendirian
sekarang. Kalau sampai ada satu air mata jatuh dan orang lain sempat
melihatnya, dia bisa dicap buronan RSJ atau pasien akut psikolog.
Hampir dia
lupa. Satu makhluk sekonyong-konyong yang masih menikmati santap
siangnya masih ada di dalam. Roni kembali masuk. Entah dia yang kelamaan di
luar, atau Awan yang terlalu cepat makannya, ayam bakar dengan ukuran jumbo itu
hampir habis. Nih anak beneran kelaperan kayaknya, gumam Roni sambil tersenyum.
Ia sempatkan tangannya mengacak rambut Awan, kebiasaan yang tadi belum sempat
ia lakukan. Sukses, hal itu membuat Awan mendesah kesal dan menunda proses penggrogotan
tulang ayam ini. Si pelaku sendiri hanya nyengir. Padahal wajah Awan
yang tadi mupeng benar dengan ayam yang sudah tak karuan lagi bentuknya
itu sudah berubah jengkel.
“Laper,
Gan?” tanya Roni begitu duduk di depan Awan. Yang ditanya tak menjawab. Malah
ekspresi wajah Roni yang ia tangkap. Ada yang beda. Walaupun raut wajah yang
diberikan Roni padanya selama ini tak begitu cerah, tapi kali ini nampaknya
lebih biru. Ada yang salah. Siapa yang ditemui Roni sampai membuatnya
menambah derajat kemurungan di wajah maskulin itu?
“Ketemuan
sama siapa elo tadi?” Awan balik melemparinya pertanyaan. Meski Roni hanya
memandangnya sekilas, ia bisa menangkap ekspresi yang makin berbeda dari wajah
itu. Ada sesuatu yang ingin ditutupi Roni. Entah itu sedihnya. Atau sebuah
rahasia pribadi yang tidak boleh diketahui orang lain termasuk Awan. Awan bukan
peramal. Ia juga tidak punya kemampuan khusus seperti telepati. Tentu saja ia
tak akan bisa membaca isi pikiran dan hati Roni sekarang.
“Temen. Nih,
minta bantuin tugas,” jawab Roni sekenanya. Tangannya menaruh jilidan makalah
tadi ke atas meja. Memberi tambahan dari jawabannya tadi dengan sebuah bukti.
Tapi, toh. Awan tak tertarik sedikit pun dengan bukti itu. Wajah itu,
dan sendu itu. Itu yang lebih menarik daripada sekedar bukti klise seperti itu.
“Mantan?”
terka Awan sekenanya. Roni spontan tertawa. Hampir-hampir ia tersedak. Yah…
walaupun Awan sendiri tahu tawa yang diberikan terlalu garing. Ibarat sayur itu
kurang garam. “Mantan darimana? Lagian… ngapain juga gue ketemuan sama mantan?
Kurang kerjaan aja, Wan. Emang elo pernah ngeliat gue pacaran? Terakhir gue
pacaran itu kelas satu SMA. Gue aja enggak tahu sekarang tuh mantan gue
kemana,” balasnya.
Awan hanya
manggut-manggut. “Oh, iya. Gue lupa sih. Elo kan jomblonya jomblo akut!” sentaknya.
Suasana kembali mencair. Awan tak ingin melanjutkan interogasinya. Melihat Roni
tertawa –meski hanya sandiwara menurut Awan- lebih baik daripada wajah
mendungnya tadi. Ia tak ingin ambil resiko kalau-kalau ada guntur dan petir
yang menyusul. Siang ini buat makan, dapet traktiran dan seneng-seneng. Masa
bodoh kalau Roni bakalan mengajaknya keliling Bandar Lampung setelah ini. Yang
penting perutnya kenyang dulu. Dengan suasana senang tentunya. Karena tidak ada
sejarahnya orang sedih yang bisa kenyang.
No comments:
Post a Comment