Friday, January 17, 2020

Masa Lalu yang Belum Kelar


Mata kuliah yang terlalu menjemukan hari ini akhirnya usai sudah. Seharusnya Awan senang, karena dia bisa langsung bergegas ke kosannya. Mengistirahatkan seluruh saraf di otaknya, atau paling tidak merilekskan luka-luka yang didapatnya hari ini. Tapi sial dan sialnya lagi, hari ini ada rapat.
Sebentar lagi di hima jurusannya bakal menggelar acara. Dia ditunjuk sebagai ketua bidang publikasi dan dokumentasi. Oke, untuk masalah publikasi kelar. Tapi masih ada dokumentasi. Yang itu artinya ia harus selalu datang di setiap rapat untuk memublikasikan setiap inci gerakan, bahkan mungkin nafas anggota-anggotanya. Jabatannya memang sih ketua bidang, tapi kerjaannya malah dia yang disuruh-suruh. Akhirnya dia semua yang mengerjakannya. Mau tak mau, ya pokoknya harus mau.

Di depan pintu ia bersandar. Malas melepas sepatu ketnya, ia memilih menyelonjorkan kakinya ke luar. Tak ada yang protes. Lagipula itu juga bukan salah satu pelanggaran peraturan, baik tertulis ataupun tidak. Kalo bahasa kerennya arbitrer, manasuka, semau gue.

Jadwal rapat belum dimulai sejak lima belas menit tenggat waktu sebenarnya. Biasa, untuk negara Indonesia yang terkenal dengan jam karetnya. Kadang Awan berpikir, seharusnya Indonesia berhenti memroduksi karet agar tak ada lagi yang namanya istilah jam karet. Yah… walaupun kadang-kadang dia juga ngaret, sih.

Di dalam sekret hanya ada Esta, Lin, Nata, Ali, Tara, dan beberapa anggota lainnya, adik tingkat. Awan tidak mengenal mereka, dan rasanya tak ingin mengenal mereka. Ia sendiri menyendiri. Merasakan beberapa ngilu di siku dan lututnya. Padahal sudah kering, tapi masih berasa begini. Jangan-jangan gue beneran kena gegar dengkul lagi, pikirnya ngaco.

Tlung! Ia sedikit terkejut. Bukan karena suara pesan masuk di hp-nya yang tak begitu keras ini. Tapi karena posisi hp itu ada di kantung baju dan bergetar tiba-tiba. Ada sensasi tersendiri.

Satu pesan masuk. Sender: Sani Fakultas Hukum. Tak sadar bibir Awan menyungging senyum. Sepertinya cewek ini benar-benar bertanggung jawab. Atau, kalau Awan mau sedikit PD, wajahnya terlalu ganteng dan cocok untuk menjadi calon gebetan.

Gimana keadaannya? tulis Sani di pesan itu. Dengan santai Awan membalas.

Mendingan. Walaupun masih ada kerasa ngilu. Sepertinya saya beneran kena gegar dengkul, deh. Awan geli sendiri dengan jawaban yang ia berikan. Send.

Beberapa menit tak ada jawaban. Awan kembali memasukkan hp-nya ke tempat semula. Mungkin cewek ini hanya ingin memastikan keadaannya. Tidak ada waktu untuk menanggapi candaan Awan. Jadi tak ada balasan lanjutan. Awan juga tak begitu mengharapkannya.

Tapi, tiba-tiba ia kembali dikejutkan oleh cewek yang bernama Sani itu. Bukan karena ada pesan balasan. Tapi karena cewek itu ternyata sudah berada di jalan depan sekretariat. Keluar dari mobil dan melambaikan tangannya pada Awan. Eh, buset! Beneran khawatir nih cewek! Batin Awan. Terpaksa, Awan harus beranjak dari tempatnya. Kurang ajar betul rasanya kalau dia membiarkan gadis itu menghampirinya. Mengesampingkan segala kicauan teman-temannya nanti, dia harus bersikap sopan. Siapa tahu Sani bakalan canggung juga menghadapi orang-orang yang bukan habitatnya ini.

“Beneran kena gegar dengkul?” tanya Sani, taraf gurauan. Awan pun menanggapinya dengan tawa kecil.

“Saya udah enggak papa, kok. Enggak perlu repot-repot ke sini,” balas Awan.

“Eh, eh. Bukan, kok. Tadi abis nganterin temen ke sini. Ngeliat kamu di depan sana, ya sekalian berhenti.” Awan melongo. Heh, dia sudah ke-PD-an duluan.

“Oh, iya? Temennya dimana memang?”

“Tuh!” Sani menunjuk seseorang yang baru saja masuk ke salah satu sekretariat di sana, yang jelas bukan sekretariat jurusan Awan. Setelahnya obrolan mereka berlanjut. Entah apa yang diobrolkan, rasanya mereka sama sekali tak pegal dengan posisi berdiri seperti itu. Sedangkan ada seseorang yang mengamati mereka berdua sejak tadi. Ekspresi di wajahnya tak menggambarkan perasaannya. Entah apa maknanya. Yang jelas, dia terlihat cukup penasaran dan melempar pertanyaan pada siapapun yang mau menjawabnya, “Siapa tuh yang sama Awan?”

Begitu pertanyaan itu terlontar, tak ada jawaban. Hanya saja kepala yang lain langsung menyembul dari balik pintu. Ikut memerhatikan yang sejak tadi diamati Esta.

“Ceweknya mungkin,” jawab Ali ngasal.

“Enggak mungkin. Awan enggak pernah bilang kalo dia udah punya cewek,” balas Esta.

“Yah… kalo bukan, ya proses menuju jadi ceweknyalah,” timpal Ali lagi. Mendengar jawaban itu Esta hanya mencibirkan bibirnya. Ia tak sadar, sejak tadi Lin memerhatikannya. Tersenyum sebentar mungkin menerka apa yang ada di pikiran Esta sekarang. Cemburukah?

Begitu Awan selesai dan berbalik, baru mereka buru-buru masuk kembali ke dalam. Kecuali Esta yang masih menunggu hingga Awan kembali ke tempatnya semula. Menatapnya lama hingga Awan harus buka mulut duluan, “Why?”

“Siapa tadi? Gebetan baru?” tanya Esta kepo. Awan bukannya menjawab malah garuk-garuk kepala. 

“Tadi yang nabrak gue,” ujarnya setelah kelamaan berpikir.

“Ngapain? Ngasih uang kompensasi?” tiba-tiba nada Esta cukup ketus. Awan langsung menoyor kepalanya. Pasalnya pertanyaan tadi diimbangi dengan wajah Esta yang mendekat ke wajahnya. Memasang mata jengkol bak memandang Awan sebagai santap sorenya.

“Iya.”

“Mana?”

“Di sini,” jawab Awan dengan telunjuk yang mengarah ke dadanya. Esta bingung tapi tak lama langsung paham apa maksud Awan. Dasar cowok! Umpatnya dalam hati. Ia minggir setelah puas memukul bahu Awan. Yang dipukul hanya cengar-cengir. Maksud hati membuat Esta cemburu, malah dapat pukulan jitu telapak tangan Esta.

Sekitar lima belas menit kemudian, rapat dimulai. Menunggu lama-lama tapi yang datang ya cuma segitu, dan orang-orang ini saja. Hah… dasar organisasi! Penyakit jarang kumpul anggota dan jam karet luar biasa pas rapat adalah penyakit akut yang sudah mewabah ke persendian, bahkan sel sekalipun! Dimana-mana sama!

Di sela-sela rapat, Awan sempat mengecek hp-nya. Baru-baru ini dia punya hobi baru, yaitu mengecek kalender. Sejak masuk semester tiga ini dia terlalu banyak jadwal. Hingga ia pun harus membuat beberapa pengingat di hp-nya. Ada beberapa tanggal yang diberi tanda merah. Ada satu untuk besok. Apa, ya? pikir Awan. Ultah Roni, keterangan ini muncul begitu ia mengklik tanggal untuk besok di sana.

“Beli apa, ya?” gumamnya tanpa sadar membuat Nata menoleh ke arahnya. Tapi sama sekali tak ditanggapinya.

***

Kerlip bintang di atas sana cukup membantu memberi sedikit penerangan ke ruangan ini. Dengan bantuan remang cahaya lampu meja membuat wajah pemilik ruangan ini masih nampak jelas terlihat. Wajah itu nampak tenang beberapa saat. Matanya yang terpejam memberi kesan damai di ekspresi itu. Sekali lagi itu hanya beberapa saat. Karena tiba-tiba wajah itu menegang. Ada peluh yang secara cepat mengucur terlalu deras di setiap lekuk wajah ini. Disusul dengan kernyitan dahi dan deruan nafas yang mulai tak teratur. Sejurus setelahnya sentakan-sentakan nafas mulutnya terdengar hingga membuat kepalanya seirama, menoleh ke kanan dan ke kiri dengan cepat. Tak ada yang berniat membangunkannya. Tidak dengan meja, kursi, atau perabot lainnya, bahkan bintang di atas sana. Ia tetap berada dalam situasi seperti itu untuk beberapa lamanya.

Hingga hp di atas meja memekik pelan barulah matanya tersentak terbuka. Saat itulah ia sadar soal nafasnya yang tak teratur tadi. Perlahan ia normalkan kembali cara oksigen masuk ke tenggorokannya. Kemudian sekuat mungkin ia halau rasa dingin yang menyergapnya karena peluh di sekujur tubuhnya itu. Ada yang harus ia lakukan. Mengecek siapa orang yang menghubunginya tengah malam begini.

Ia kemudian bangun. Duduk bersandar ke kepala tempat tidur dan meraih hp tadi di atas meja. Tadi matanya sempat melirik jarum jam di dekat hp. Baru jam setengah satu malam. Malam-malam begini kira-kira siapa yang mengontaknya?

“Tifa?” dahi Roni berkerut membaca nama kontak yang masih saja membuat suara Sammy Simorangkir melantunkan lagu “Tertatih” ini terdengar.

Klik!

“Iya, Fa?”

“Happy birthday to you… happy birthday to you… happy birthday, happy birthday… happy birthday Roni!” suara pas-pasan Tifa terdengar. Bibir Roni menyungging senyum. Jadi ini tujuan Tifa mengontaknya malam-malam begini? Hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun.

“Met ultah ya, Ron?” tambah Tifa.

“Ya ampun, Fa! Elo kurang kerjaan banget sih malem-malem nelponin gue kayak gini. Cuma buat ngucapin ulang tahun lagi. Besok kan masih bisa,” balas Roni.

“Maunya jadi yang pertama ngucapin! Gue mau doa, nih. Aminin, ya?” timpal Tifa. Roni hanya menjawabnya dengan deheman. Setelahnya, doa yang panjang kali lebar yang berujung luas yang dilafalkan Tifa. Mulut Roni hanya komat-kamit mengucap aamiin berkali-kali. Setelahnya, tanpa salam tanpa apa tiba-tiba panggilan diputus. Roni hanya tersenyum menanggapinya. Kemudian tangannya mengetik beberapa baris ucapan terima kasih dan embel-embelnya. Send: Tifa.

“Met ultah ya, sob!” suara seseorang lainnya terdengar. Reflek kepala Roni menoleh ke sebelah kiri. Begitu melihat sosok di sampingnya itu Roni melompat dari tempat tidur. Antara terkejut dan tidak percaya. Karena perasaan inilah bibirnya mulai bergetar dan seketika menjalar ke seluruh tubuhnya. Meski sosok itu tersenyum begitu manis, ia tetap tak bisa menikmatinya.

“La… Lang… Lang…” bahkan mengucap sebuah nama saja ia tak bisa. Tiba-tiba kakinya membeku. Padahal otaknya menyuruhnya untuk lari, meninggalkan sosok yang dengan santai tetap duduk di tempat tidur miliknya. Tapi apa dayanya sekarang? Otak dan fisiknya yang lain sedang tidak sejalan sekarang.

Sampai satu senyuman lebar lagi barulah sosok itu hilang. Entah karena Roni baru saja mengedipkan matanya, atau karena memang sejak awal sosok itu tak pernah ada. Hanya halusinasi Roni sebab mimpi yang baru saja mendatanginya tadi. Bukankah sosok tadi adalah orang yang sama yang datang ke mimpi yang membuatnya harus berpeluh dingin di malam hari?

 “Hah…” bruk! Kedua kaki Roni akhirnya mencair. Ia ambruk seketika. Tangannya masih bisa diajak berkompromi untuk menggapai pinggiran tempat tidur. Hingga lututnya tak perlu terlalu keras membentur lantai. Seperti ada sebongkah darah yang baru saja luruh dari hatinya. Jantungnya yang tadi berdenyut lebih keras mulai menormal. Perlahan, hingga ia bisa menguasai dirinya kembali.

Satu hal yang tak bisa ia tahan, setetes embun yang meluncur manis melewati pipi kirinya setelah menatap pigura kecil di meja. Senyum yang ada di sana, bukankah terlalu serupa dengan senyum sosok tadi?

***

Sebilah cahaya pagi menusuk kelopak mata hingga tembus ke dalam retina. Mau tak mau kerjapan mata itu perlahan mulai terbuka. Tangannya menghalau cahaya yang sama sekali tak bersahabat dengan penglihatannya. Terlalu banyak hingga ia membutuhkan cukup waktu untuk terbiasa.

Ting, tong! Inderanya yang lain mulai bekerja. Harus berulang dua kali suara tadi agar ia sepenuhnya sadar bahwa ada seseorang yang hendak bertamu ke tempat bernaungnya ini. Ia mulai bangun. Meski malas, ia harus menghentikan orang itu memencet bel. Begitu ia berdiri badannya terasa pegal. Tertidur dalam keadaan duduk di lantai dengan kepala saja yang menikmati malam di atas kasur.

Mungkin sudah tiga kali bel pintu itu terdengar, barulah Roni menggamit engsel pintu. Begitu pintu terbuka seorang cowok kurus tinggi berdiri membelakanginya. Mungkin sadar si pemilik rumah sudah membukakan pintu, cowok ini berbalik dan tersenyum. Ia cukup heran melihat Roni mendelik sempurna. “Kayak ngeliat setan aja elo!” sentaknya.

Tiba-tiba Roni tersentak. Suara ini bukan suara pemilik wajah yang ia lihat sekarang. Ketika orang ini memilih masuk langsung dan kembali menoleh setelah berada di dalam, wajah itu berangsur-angsur berubah. Meski hanya sedikit yang berbeda, tapi ini wajah orang lain. Bukan wajah sosok yang ia lihat semalam. Ini... Awan.

“Makin bagus aja tempat elo. Seharusnya gue sering-sering ke sini, ya?” ujar Awan melempar pandangannya ke seluruh perabot di ruangan ini. Sedangkan Roni memilih diam sebentar. Mengatur nafasnya sebisa mungkin untuk tenang. Setelahnya ia mencoba bersikap biasa. “Elo ngapain ke sini?” tanyanya mencairkan suasana untuknya sendiri.

“Oh...” Awan baru ingat sesuatu. Ia kemudian mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah kotak, dibungkus dengan kertas kado biru kotak-kotak. “Nih!” kotak itu ia ulurkan ke Roni. Sedangkan Roni melongo. Bingung apa maksudnya meski menerimanya juga.

“Apa...”

“Ehem! Happy birthday,” lirih Awan. Entah kenapa ia merasa canggung melakukannya. Rasanya aneh saja memberi kado kepada Roni seperti ini. Meskipun ia sudah menganggap Roni kakaknya sendiri, tapi tetap saja Roni itu cowok. Nata yang dekatnya seperti apa dengannya saja tak pernah ia beri ucapan selamat ulang tahun. Paling-paling dia kasih traktiran somay apa batagor.

Awalnya Roni hanya bengong. Tapi kemudian ia tersenyum tipis. Ia tak ingin menanyakannya lebih jauh. Melihat ekspresi yang diberikan Awan, ia tahu bocah itu pasti sangat canggung sekarang. “Ada-ada aja elo,” ujarnya. “Gue buka, nih?”

“Terserah!” sentak Awan tiba-tiba. Ia makin salah tingkah. Aduh! Berasa maho gue! Rutuknya dalam hati. Alih-alih ia mengajak kakinya berkeliling. Ia pernah ke tempat ini sekali. Tapi itu sudah sekitar lima tahun yang lalu. Waktu itu juga dia belum terlalu mengenal Roni. Sudah banyak perubahan di tempat ini. Makannya ia begitu asing. Matanya harus beradaptasi. Dibiarkannya Roni sibuk dengan kadonya. Suka tak suka bukan masalah buat Awan. Masih untung gue kasih kado.

Apa yang sudah di tangan Roni sekarang adalah itu tadi yang diberikan Awan sebagai kado ulang tahunnya yang ke 21 tahun. Sebuah jam tangan yang masuk dalam kelas rata-rata, murah enggak, mahal juga enggak. Entah kebetulan atau memang sudah takdir, rasanya ia pernah memiliki jam tangan silver dengan huruf romawi sebagai penunjuk waktunya seperti ini. Bentuknya, ukurannya, hingga bahkan tiap garis detiknya yang sama memaksa ingatannya menampilkan percakapan singkat di masa lalu.

“Jam? Kado apaan, nih?” protesnya saat itu.

“Elo kan enggak pernah ngerti waktu. Kalo elo udah loyal sama temen-temen elo, termasuk gue, elo enggak pernah inget sama diri elo sendiri. Elo kan juga butuh waktu. Sekali-kali, elo harus pikirin diri elo sendiri!” sentak seseorang dalam ingatannya itu. Masih jelas, senyumnya, cara tangannya memukul pundaknya dan mungkin bau khas parfumnya masih lekat menyeruak di kedua lubang hidungnya. Bukankah ini nampak seperti de ja vu?

“Oh!” seruan Awan menyadarkannya. Awan sudah berada di dekat tempat tidurnya. Matanya sejak tadi yang sibuk menelusuri tempat ini berhenti di pigura kecil di atas meja di sana. “Ini kan...” bibirnya menyungging senyum. Tangannya hampir meraih pigura itu kalau saja Roni tidak buru-buru mengambilnya dan menyembunyikannya di balik punggungnya sendiri. Walaupun sebenarnya itu useless. Toh, Awan sudah melihatnya. Hingga senyum tadi memudar. Antara terkejut dengan sikap Roni dan sekaligus mengisyaratkan kerinduan yang teramat dalam pada sosok yang bersebelahan dengan Roni di foto itu.

“Bi, biasa aja kali. Gue enggak bakalan ngambil foto itu, kok!” sentak Awan, mengganti keterkejutannya tadi dengan nada kesal. “Emang elo pikir gue enggak punya apa foto abang gue sendiri?” tambah Awan. Memang setelah itu Awan mengalihkan perhatiannya ke benda lain, seperangkat PS di bawah tv. Tapi, Roni tak bisa tidak mencantumkan tatapan sayunya ke punggung Awan. Entah apa ekspresi yang ditunjukkannya sekarang. Kembali ditaruhnya pigura tadi ke tempat semula. Barulah setelah itu ia dekati Awan, menepuk pundaknya pelan.

“Sarapan, yuk!” ajaknya.

Dahi Awan mengernyit. Mungkin mencoba mencerna ajakan ini. “Ah, iya! Gue belum sarapan. Gara-gara beliin elo kado gue enggak punya duit lagi buat beli sarapan. Elo yang ulang tahun, elo harus traktirin gue. Hem! Keputusan yang tepat!” cerocos Awan kemudian. Melihat bocah itu terus berkomat-kamit tak jelas, Roni tertawa kecil. Setelah mengambil jaket kulitnya di belakang pintu, barulah ia menyusul Awan keluar. Bodo amat gue belum mandi juga!

***

Awan dan Roni kini berada di sebuah rumah makan terbuka di salah satu sudut Karang, Bandar Lampung. Tempat ini menyediakan berbagai macam masakan dengan menu utama protein hewani. Dari hewan darat, laut sampai udara pun ada –burung dan semacamnya maksudnya. Tempat ini biasanya cukup ramai kalau malam mulai menyapa. Entah tua ataupun muda semuanya ada. Mungkin yang menjadi daya tarik adalah arsitekturnya yang serba bambu. Dinding, atap, bangku dan meja makannya, kecuali lantainya. Bau khas bumbu tradisional dari dapur yang sengaja dibiarkan terbuka hingga pengunjung bisa melihat langsung proses chef beraksi di dapur itu juga cukup unik. Terdengar musik tempo lambat yang selalu menjadi backsound tempat ini. Kalau saja Awan kemari bersama Esta, kata “romantis” pasti tepat untuknya mengecap tempat ini.

Melihat Awan yang celingukan, menyisir habis restoran sederhana namun berkelas ini, Roni tersenyum. Awan memang bocah yang jarang sekali hangout keluar. Kalau tidak ada kuliah dia biasanya menghabiskan waktunya bersama kamar kos. Berkutat seharian dengan PS atau malah molor tanpa kenal waktu. Pantas saja kalau Awan setakjub ini melihat dekorasi restoran yang menurutnya terlalu elit ini.

“Pesen apa?” tanya Roni menghentikan Awan yang tetap saja asyik dengan pemandangan di sekelilingnya. Merespon pertanyaan tadi, ia menatap Roni sebentar.

“Yang enak,” jawabnya. Roni kembali tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Memangnya kapan Awan bakalan menjawab apa keinginannya? Kalau diajak makan seperti ini pasti dia bakalan menjawab dengan jawaban seperti tadi, atau, “Ngikut elo aja, deh.” Tak ada yang lain.

Roni bangkit, meninggalkan Awan sebentar menuju meja pemesanan. Restoran ini hanya restoran sederhana. Tidak ada writers yang akan datang dan menanyakan pesanan. Semuanya sibuk di balik meja kerja. Yang sibuk berseliweran hanya pelayan yang mengantar pesanan saja.

Ayam bakar porsi besar satu, ikan gurame goreng satu, pecel lele satu porsi, dua porsi nasi hangat sedang, dan jus jeruk dua yang Roni pesan. Setelah itu ia kembali duduk. Di meja sudah ada dua gelas air putih yang diantarkan pelayan saat Roni memesan tadi. Yang satunya sudah tinggal setengah –milik Awan.

“Ada sms,” ujar Awan begitu Roni duduk di depannya. Tangannya menunjuk hp Roni di atas meja.
Sms dari Tifa. Elo dimana? Tulisnya di sana. Roni membalasnya dengan menuliskan nama restoran ini.

Gue ke sana, ya? Balas Tifa beberapa detik kemudian. Roni mendelik. “Mau ngapain, eh?” ujarnya dan berhasil menarik perhatian Awan.

“Siapa?” tanya Awan seketika. Tapi Roni tak lekas menjawabnya. Baru saja ia akan membalas pesan itu pesanannya sudah datang. Mau tak mau ia harus menundanya dulu untuk membantu pelayan ini menata pesanan di atas meja. Awan sama sekali tak membantu. Ia malah melongo melihat makanan yang cukup banyak di depannya ini.

“Siapa yang mau ngabisin makanan segambreng begini, Ron?” tanyanya polos. Roni hanya tertawa geli mendengarnya tanpa berniat menjawab. Begitu pelayan tadi pergi barulah ia bisa kembali ke hp-nya. Tapi, baru saja menekan tombol send, Tifa sudah nongol di pintu masuk. Senyumnya mengembang ketika melihat Roni kemudian spontan melambai. Padahal Roni tak sesenang itu menerimanya di sini. Hal itu terbukti dengan desahan nafas panjangnya.

“Hai!” sapa Tifa begitu ia di samping meja mereka berdua. Awan yang terheran-heran. Ia tak ingat Roni bilang mau mengajak seseorang di acara kencan mereka ini. Apalagi gadis manis ini hanya memandang ke arah Roni. Seolah Awan tidak ada. Ia diabaikan, bahkan sampai mereka selesai dengan beberapa dialog yang membuat Awan benar-benar seperti kambing congek.

“Ngapain elo ke sini?”

“Kan gue udah sms elo tadi.”

“Iya, tapi kan elo enggak bilang alesannya ke sini mau ngapain.”

“Pengen!” sentak Tifa dan seenak jidatnya mendorong tubuh Roni agar menggeser duduknya ke sebelah kiri. Ia sendiri langsung duduk tanpa dipersilahkan sekalipun. Setelahnya ia cukup sibuk mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ranselnya. “Nih!” sebuah kotak berukuran sedang ia sodorkan pada Roni. Awan hanya menyimak dan menonton saja.

“Apa?” tanya Roni.

“Hadiah ultah,” jawab Tifa. Karena Roni tak lekas mengambilnya ia taruh begitu saja di atas pangkuan Roni. Masa bodoh Roni mau menerimanya atau tidak. Setelah itu, barulah ia sadar bahwa ada orang lain di antara mereka. “Oh! Elo enggak sendirian?”

Mendengar kata-kata itu Awan mencibirkan bibirnya. Jadi barusan gue jadi makhluk tak kasap mata, ya? Dumelnya dalam hati.

“Kenalin, ini adek gue,” Roni memerkenalkan Awan pada Tifa. Ia hanya memberi senyum tipis ketika Tifa mengulurkan tangan ke Awan dengan penuh semangatnya. Pribadinya yang ceria muncul. 

“Tifa!” serunya seolah hanya ada dia di sana.

Awan menanggapi uluran tangannya. Sambil membalas senyum lebar Tifa padanya ia sebutkan namanya, “Awan.”

“Awan semester berapa? Kuliah di fakultas apa? Jurusan apa?” tiga pertanyaan secara langsung dihadapkan ke muka Awan. Untung saja Roni langsung menoyor kepala Tifa agar sesegera mungkin menghentikan aksi bawelnya. Kalau tidak Awan paling hanya bisa membuka mulutnya lebar-lebar dengan gadis yang menurutnya mencoba sok akrab dengannya ini. Yah... tidak papa, sih. Tapi, rasanya canggung saja begitu. Apalagi kalau melihat ia sampai mau menyusul Roni kemari hanya untuk memberinya kado ulang tahun. Bukankah cewek ini cukup dekat dengan Roni? Mentang-mentang Awan diperkenalkan Roni sebagai adik, dia langsung diburu dengan pertanyaan dan nada yang mirip seorang tante-tante bertanya pada anak TK. Aneh bin... apadah banget deh buat Awan.

“Buka dong!” tambah Tifa lagi. Kembali, Awan dijadikan pajangan saja. Melihat dari cara mereka berkelahi seperti anak kecil ini membuat Awan teringat Esta. Memang Tifa tak sebawel Esta. Tapi, cara bicara dan perlakuan Tifa pada Roni hampir mirip dengan kelakuan Esta. Awan ingat betul hari ulang tahun di semester pertama dulu. Esta repot-repot memberinya kejutan manis dengan kue tar dan sekotak coklat. Sampai sekarang Awan bahkan masih menyimpan kotak coklatnya. Kalau saja dia punya kulkas, paling coklat itu tidak akan pernah ia sentuh sedikit pun.

Sebuah kemeja merah hati yang diberikan Tifa pada Roni. Awan masih setia menjadi penonton. Ia sesekali tersenyum melihat Roni mengacak rambut Tifa gemas. Entah mengapa ia merasa dua orang ini cocok. Tapi menurutnya ekspresi tertarik hanya ada di wajah Tifa. Wajah Roni... hem... entahlah. Awan tak bisa menebaknya.

Drrt! Drrt! Tiba-tiba hp Awan di meja bergetar. Sempat menunda perkelahian kecil antara Roni dan Tifa. Secepat mungkin Awan menjawab panggilan itu. Dari Nata. “Iya, bro? Gimana?” tanya Awan sebagai tanggapan pertama. Tifa dan Roni hanya menyimak. Awan berulang kali diam untuk mendengar tanggapan dari seberang sana.

“Eh, iya! Waduh! Lupa gue!” serunya selang beberapa percakapan.

“Kenapa?” tanya Roni setengah berbisik. Awan menjauhkan hpnya, dan menjawab dengan volume yang sama. “Gue baru inget ada janji sama temen gue buat ngerjain tugas kelompok. Eh... gue malah makan sama elo.”

“Ya udah. Ajak ke sini aja.”

“Serius?” Roni menjawabnya dengan anggukan kepala. Barulah setelahnya Awan kembali lagi ke Nata. “Elo ke sini aja, ya? Makan dulu. Mumpung gue ditraktirin sama orang, nih.” Awan melirik ke arah Roni. Yang dilirikki hanya tersenyum sambil mencomot timun dan melahapnya setengah. Sedangkan Tifa tak mau berkomentar. Ada aktifitas baru, mengecek beberapa sosial media di android-nya. Saat Roni menyikut lengannya ia hanya memukulnya sebentar, kemudian kembali lagi ke hp-nya. Roni cuma bisa geleng-geleng kepala. Apalagi setelah melihat Awan cengar-cengir usai menutup telponnya. “Elo yang bayarin, ya?” timpalnya.

“Iya-iya! Semuanya hari ini gratis, deh!” sentak Roni berpura kesal.

Setelah mereka melahap seperempat porsi yang Roni pesan –juga Tifa yang sudah dipesankan satu porsi tambahan oleh Roni tadi, sms dari Nata masuk. Mengabari kalau ia sudah ada di luar. Awan pamit sebentar untuk menjemput Nata. Meninggalkan Tifa dan Roni melanjutkan santap pagi mereka. Tifa tak banyak bicara. Meski kadang-kadang ia mencuri pandang ke arah Roni yang fokus pada makanannya. Cowok kalau sedang fokus pada sesuatu tidak akan bisa fokus dengan yang lain. Sama halnya dengan Roni sekarang. Dia fokus menikmati hidangan di depannya, sampai-sampai tak sadar kalau sahabatnya satu ini sejak tadi melahap habis wajah pagi tanpa mandinya itu dengan perasaan tak karuan. Antara senang dan dag-dig-dug. Sepertinya tebakan Awan soal ketertarikan tadi benar.

Srek! Tangan Tifa tak sengaja menyenggol garpu di sebelah kirinya. Roni hanya meliriknya sekilas ketika Tifa sibuk mengambilnya kembali sampai ke kolong meja, karena Awan dan Nata sudah datang menghampiri mereka. Ia langsung bangun dan melempar senyum ke Nata.

“Nih, kenalin. Abang gue,” ujar Awan pada Nata. Dengan hangat Roni mengulurkan tangan. “Roni.”

“Nata.”

“Jangan harap elo bakalan dipanggil, Kak. Dia ini seangkatan sama elo. Cuma masuknya aja telat,” tambah Awan.

“Oh, iya?” balas Roni. Nata hanya memberinya senyum tipis. Sedang ia mulai tertarik dengan seseorang yang masih betah di kolong meja. Roni yang sadar kalau Tifa tak lekas muncul dari kolong meja menggamit pundaknya.

“Weh! Elo ngapain sih lama-lama di kolong meja?” tanyanya.

Beralih ke wajah Tifa di bawah, ia belum berani mengangkat kepalanya. Bukan karena garpu yang tadi jatuh belum ia dapatkan. Malah sudah ada di tangannya sekarang. Hanya saja, mendengar nama Nata dan suara ini sepertinya tak asing baginya. Saking tak asingnya sampai-sampai ia merasa harus menegangkan wajahnya. Ada yang salah dengan situasi ini menurutnya. Hatinya bertanya-tanya apakah dugaannya benar. Apa pemilik nama dan suara ini adalah seseorang yang ia kenal?

Jika saja Roni tak memaksanya mengangkat kepala, mungkin ia akan memilih di sana seharian. Karena begitu ia melihat sosok di depannya ini, matanya tercengang. Orang ini benar yang ada di benaknya tadi.

Wajah Nata pun tak kalah terkejutnya. “Ti... Tifa?” lirihnya tanpa sadar mengejutkan Awan dan Roni.

“Loh? Kenal?” tanya Awan penasaran sekaligus menyuarakan isi hati Roni. Namun tak ada di antara keduanya yang menjawab pertanyaan ini. Hanya diam. Hingga Roni dan Awan mulai merasakan atomosfer tidak beres di antara keduanya. Roni mencoba mencairkan suasana dengan memersilahkan Nata untuk duduk. Meski hanya dengan anggukan kecil, Nata menurut. Tapi tidak dengan Tifa. Ia masih setia berdiri. Meski matanya sudah tidak tertuju pada Nata lagi. Kedua tangannya erat memegang lipatan samping roknya. Roni yang melihatnya malah merasa tidak enak pada Nata.

“Heh! Duduk!” sentaknya seraya menggamit tangan Tifa.

“Ron!” seru Tifa tiba-tiba. Ia kibaskan tangan Roni dan langsung menghadap ke arahnya. “Gue... mau ke toilet bentar,” tambahnya. Tanpa menunggu izin dari Roni ia ngeloyor duluan. Menyisakan Awan dan Roni yang hanya melongo. Keduanya bahkan kompak melirik ke arah Nata yang spontan menghela nafas panjang. Alih-alih keluar dari situasi ini, Roni pamit memesan nasi tambahan. Nah, tinggallah Awan yang bingung harus bicara apa pada Nata. Gila! Rasanya Awan tak pernah ada dalam situasi secanggung ini bersama Nata. Ada apa di balik Nata dan Tifa Awan cukup penasaran. Tapi rasanya, kalau hal itu ditanyakan sekarang tidak tepat. Terpaksa Awan harus menekan rasa penasarannya untuk sekarang.

Sampai Roni selesai memesan dan bahkan pelayan sudah membawakan satu porsi nasi lagi ke meja mereka, Tifa juga tak kunjung kembali. Misalkan Tifa tidak mengiriminya sms: Gue pulang duluan ya, Ron? Sorry, perut gue mendadak sakit. Mungkin Roni sudah menyusulnya ke toilet.

“Sms dari siapa?” tanya Awan.

“Tifa. Katanya sakit perut. Eh... udah pergi duluan dianya,” jawab Roni. Awan hanya manggut-manggut, dan kembali ke bocah di sampingnya ini. Untuk kedua kalinya, Roni dan Awan kembali mendengar helaan nafas panjang darinya.

***

Selepas Roni pergi Awan kembali diliputi rasa canggung. Pasalnya sejak tadi Nata hanya diam saja. Mereka memutuskan untuk pergi ke halte. Bukan untuk mencari angkot, tapi duduk sebentar sambil mendiskusikan tugas kelompok mereka yang sialnya hanya mereka berdua yang mau bekerja. Seharusnya ada dua orang lagi. Tapi entahlah. Awan menganggap mereka hanya bayangannya dengan Nata nanti waktu presentasi.

Nata duduk dengan mata yang menerawang ke depan. Bukan tertuju pada tukang ojek yang merayu pejalan kaki untuk naik, bukan pula pada tukang angkot yang asyik ngopi dan menyulut rokok di halte depan. Awan tahu ada sesuatu di sana. Sebenarnya sejak kecanggungan ini berlangsung hatinya ketar-ketir, ingin menanyakan hubungan bocah ini dengan sahabat cewek Roni tadi. Lima semeseter ia bersama Nata baru kali ini rasanya ia melihat bocah ini nampak murung, bahkan lebih murung ketimbang melihat Tara yang hobinya membicarakan Diylan.

“Nat...” akhirnya bibirnya gatal terbuka juga. Nata menjawabnya dengan deheman singkat, tanpa menoleh ke arah Awan sedikit pun. Lama-lama kok Awan jadi geli sendiri. Berasa dia mau nembak Esta sekarang juga. Padahal, ini Nata, coy! Bocah sableng yang jarang sekali serius! Bahkan untuk membicarakan masalah dosen killer sekalipun!

“Apaan? Elo enggak mau bilang cinta ke gue, kan?” nah, kan. Baru juga me-rivew sikapnya yang berubah derastis, eh... balik lagi ke sifat aslinya.

“Enak aja elo ngomong! Gue masih normal kale! Masa pisang makan pisang!” sentak Awan. Sontak Nata langsung ngakak.

“Apaan? Tanya aja, Wan. Berasa ama orang asing aja elo,” tanggap Nata. Awan tersenyum. Yah... meskipun sableng, paling tidak ia lebih suka Nata yang seperti ini.

“Elo udah kenal sama temennya Roni tadi, ya?”

“Tifa maksud, elo?”

“Ho’oh.”

“Yah... kenal pake banget malah,” jawab Nata disertai dengan helaan nafas. Ia mengangkat kepalanya, menatap langit biru yang hampir penuh dengan awan putih. Mungkin bayangan masa lalu ada di atas sana. Paling tidak ada bahan untuk menjelaskan jawaban pendek itu pada Awan. “Dia mantan gue, Wan. Dulu pas SMA,” lanjutnya. Cukup terkejut memang, tapi Awan tak serta merta memotong cerita Nata selajutnya.

“Yah... seharusnya kan enggak papa ya kalaupun dia mantan gue. Masalahnya, cerita di balik putusnya gue itu sama dia gimana yang bikin respon gue sama dia tadi agak gimana gitu.”

“Kenapa emang?”

“Hah... rumit, Wan.” Lagi-lagi Nata menghela nafas. “Guenya yang terlalu overprotektif, dan dianya yang enggak suka diatur-atur plus cemburuan. Yah... elo tau kan gimana jadinya? Bahkan, gue aja enggak inget berapa kali dia ngomong putus ke gue. Padahal gue enggak pernah bilang setuju bakal putusin dia.”

“Ehm...” Awan menggangguk paham. “Berakhir secara sepihak, ya? Elonya sendiri gimana?”

“Apanya?” dahi Nata berkerut.

“Masih suka sama dia?”

“Ya enggak lah. Udah lama kali, Wan.”

“Oh, iya. Kan udah ada Tara, ya?” Awan nyengir. Nata kembali tertawa. Suasana kembali seperti biasa. Awan tidak mau menyinggung masalah Tifa dan Nata lagi. Tugas kelompoknya lebih penting. Setelah Nata mengeluarkan laptopnya, barulah mereka berdua tenggelam ke tugas mereka.


 Sebelumnya             Selanjutnya

No comments:

Post a Comment