Friday, January 17, 2020

Berlabuh Di Atas Karang


“Gue mau nembak Tara, Wan!” pagi-pagi buta. Kenapa buta? Karena bahkan Awan belum sempat menghidupkan lampu kamarnya selepas bangun tidur, tahu-tahu Nata sudah nongol dari balik jendela. Tak peduli Awan yang sempat kaget melihat tampangnya yang sudah mirip gendruwo yang nemplok di depan kaca. Untung saja Awan tidak punya penyakit jantung. Lebih beruntung lagi karena Awan tidak ada riwayat ayan sedikit pun. Karena kalau tidak, pasti dia sudah kejang-kejang dan mati di tempat sekarang.

“Apaan sih, elo! Pagi-pagi udah ngalahin ayam si Khoirul aja!” umpat Awan begitu ia sudah membuka pintu. Ia sempatkan melirik ke sebelah kanan kamarnya. Khoirul –si satu-satunya pemilik ayam di tempat kosnya itu, belum bangun. Melakukan rutinitas seperti biasa. Bangun, bernyanyi lagu daerah apapun yang ia hapal sambil memandikan ayam jago cungkringnya. Padahal Awan yakin betul ayamnya sebenarnya bosan atau malah kesal mendengar suaranya yang jauh dari kata pas-pasan itu.

“Wan, Wan! Seriusan nih gue!” semangat Nata tahun empat puluhan. Yah... kira-kira mungkin hampir samalah ketika pejuang Indonesia –yang menurut Awan terlalu banyak untuk dihapal, sedang gencar-gencarnya semangat membunuh penjajah dengan bambu runcing. Padahal Awan yang belum sepenuhnya selesai mengumpulkan nyawanya itu hanya garuk-garuk kepala. Jika disuruh memberi nilai satu sampai sepuluh tentang kemampuan menyimaknya sekarang, paling dua setengah lebih dikitlah.

“Masa bodo deh gue mau ditolak atau gimana. Gue udah enggak tahan,” sambung Nata lagi. Awan melirik wajahnya yang benar-benar dirubung semut semangat yang entah datangnya dari mana. Tak ia temukan iler atau benda-benda sisaan tidur di wajah itu. Bukankah itu artinya Nata memang sudah mandi? Padahal ini baru jam setengah enam. Rasanya baru saja Awan mengatupkan matanya setelah zikir selepas sholat subuh tadi. Ah... istirahatnya harus kacau. Mengingat dia yang tadi malam begadang menyelesaikan tugasnya, atau ingat juga kalau hari ini mereka baru ada kuliah sekitar jam sepuluh. Dan jika kedua hal itu diingat Awan, rasanya ia benar-benar ingin memukul Nata saat ini juga.

“Apaan, sih?! Gue enggak dong nih elo ngomong apaan? Ditolak? Nembak? Apa, sih?” Nata mulai mengerti bahwa Awan memang sepenuhnya belum sadar. Ia tilik kotak nyawanya. Baru 75%. Ia tunggu sebentar sampai Awan benar-benar sadar. Tentunya dengan berbagai macam cara untuk memercepatnya. Semisal, menampar-nampar pipinya dan berhasil membuat Awan makin memuncakkan keinginannya untuk menendang bocah ini keluar dari kamarnya.

“Jadi, gue hari ini mau nembak Tara. Gue mau bilang perasaan gue sebenarnya ke dia itu kayak mana. Gue capek begini mulu, Wan. Capek hati, capek pikiran, capek tenaga, capek...”

“Capek harganya lagi naik sekarang, Nat!”

“Itu cabe, woy! Untung gue enggak nyayur sendiri, ya, Wan? Bawang merah enggak kan, Wan? Soalnya gue suka goreng telor di magic com dicampur bawang merah gitu. Eh! Kenapa jadi ngomongin bumbu dapur! Gue lagi serius ini!” Nata baru sadar, ia barusan terbawa suasana. Dan ia tak sadar, bahwa wajah Awan sekarang sudah menampilkan kata-kata, “Gue bacok juga elu!”

“Gimana menurut elo?” tanya Nata, serius kembali ke pokok pembicaraan.

“Apanya?”

“Ya, menurut elo keputusan gue ini gimana? Oke, enggak?”

“Elonya gimana?”

“Ye! Malah balik nanya!” semprot Nata. Sedikit sebal juga dengan tanggapan Awan. “Gue kan minta pendapat elo, Wan. Dijawab lah. Jangan balikin ke gue lagi,” tambahnya. Awan masih diam. Sebenarnya apa yang akan dilakukan Nata seharusnya benar. Bahkan memang itu yang musti dilakukan Nata. Ketimbang menyimpan perasaan sendiri dan dibumbui dengan tawa dan cerita dari tara soal cowok lain. Nyesek sendiri, iya. Lebih baik mengungkapkannya sekarang bukan? Seperti katanya tadi, masa bodoh mau ditolak atau bagaimana. Yang penting ia sudah lega jika sudah mengungkapkannya nanti. Tapi persoalannya sekarang, Awan malah cemburu. Cemburu karena bahkan wala upun sekarang baru niat, Nata bisa mengatakan itu. Ia lantas bercermin pada dirinya sendiri. Rasanya selama ini ia tak berani punya niatan untuk menembak Esta. Dia merasa kecil, lebih kecil dari undur-undur.

“Katanya tadi masa bodoh mau gimana kelanjutannya. Bukannya itu berarti keputusan elo udah bulet? Enggak perlu lagi dong tanya pendapat gue,” tanggap Awan kemudian.

“Iya, tau! Tapi, gue cuma pengen tahu aja. Kalau elo jadi gue, kalau semisal nanti gue emang benaran ditolak, syukur-syukur diterima, sikap gue harus gimana nanti?”

“Ya... biasa aja. Harus gimana lagi?”

“Susah, Wan.”

“Apanya?” Awan mengernyitkan dahinya. Kenapa sekarang ia malah makin bingung arah pembicaraan Nata sebenarnya?

“Susah. Gue selama ini deket sama dia kan bukan karena embel-embel sahabat atau tempat curhat. Tapi yah... karena gue suka sama dia. Kalo gue ditolak, apa menurut elo mungkin gue bisa bersikap biasa aja?” Awan menelan ludahnya. Setiap kata yang keluar dari mulut Nata seolah menamparnya. Nata dijadikan figur dirinya, dan Tara sebagai Esta. Bukankah semuanya benar-benar sama sekarang? Ia dekat dengan Esta bukan karena gelar sahabat yang ia sandang, kan? Tapi karena sesuatu yang ada di hatinya ini.

“Bingung, Nat. Terserah elo aja, deh. Baiknya gimana,” akhirnya hanya itu yang bisa ia katakan.

Nata mencibir lagi, “Pendapat elo lo, Wan! Gue butuhnya itu!”

“Gue juga bingung. Tapi, kalau elo udah niat, ya udah lah. Urusan itu kan belakangan. Tapi, kalau sampai elo enggak bisa bersikap biasa aja, kasihan di elonya nanti.”

“Kok?”

“Iya! Ntar Tara bisa-bisa benci sama elo dan malah bener-bener kayak orang asing. Enggak mau kan, peristiwa elo dan Tifa terulang lagi?” kali ini Nata yang menelan ludahnya. Benar juga. Kalau mengingat kejadian kemarin, rasanya benar-benar tidak enak. Bukan hanya sekedar seperti orang asing. Dia dan Tifa malah hampir seperti musuh kemarin. Jangankan untuk bertegur sapa. Saling memandang wajah saja rasanya tak ada daya.

“Hem! Masalah gue nembaknya itu pasti gue lakuin, Wan. Gue minta pendapat elo ini buat sikap gue setelahnya aja, kok. Kalau elo bilang gitu, oke, deh. Makasih. Gue bakalan mencoba bersikap biasa aja,” tanggap Nata di akhir. Sedangkan Awan meringkuk di balik perasaannya sendiri. Andai saja ia bisa seperti Nata. Tapi, apa yang akan dikatakan Esta nantinya? Tanggapan Esta bagaimana? Kalau sampai Esta malah menjauhinya bagaimana? Ah! Ia tak pernah tahu dan bahkan tak ingin membayangkan hari-harinya dilalui dengan sikap tak acuh dari Esta nantinya. Mungkin itu pula sebabnya kenapa sampai sekarang ia masih memendam rasa ketar-ketir ini sendiri tanpa berani membaginya dengan siapapun. Hanya dia dan Allah yang tahu.

Sampai jam setengah sepuluh Nata memilih tiduran di kos Awan. Membolak-balik buku kuliah dan mencocokkannya dengan tugasnya. Sedangkan Awan kembali tidur, melanjutkan mimpinya yang terlalu indah jika untuk diakhiri. Padahal di sana hanya ada tawa Esta. Tapi entah kenapa Awan seperti disurga. Kalau sampai ia bangun, mungkin yang akan dihadapnya adalah sebuah pertanyaan tajam: sampai kapan dia akan memendam perasaan itu seorang diri?

***

Tak ada yang melihat Awan yang sudah ringsek di pojok sekretariatnya. Duduk bersandar lemari dengan beberapa minuman mineral gelas di dekatnya. Kepalanya nyut-nyutan. Sedang hatinya sejak tadi dongkol, mengumpati orang-orang yang duduk bersila, berjajaran di sebelah barat. Mengepung Nata dengan cibiran-cibiran manis dari mulut mereka. Entah antah berantah apa yang sudah dibuat Nata hingga program kerjanya harus dianiyaya tak karuan seperti itu. DPM, bangke! umpatan inilah yang sejak tadi dilayangkan batinnya.

Sudah sewajarnya memang, setiap pergantian periode kepengurusan, Dewan Perwakilan Mahasiswa atau biasa disebut DPM itu berkunjung ke setiap Lembaga Kemahasiswaan: disingkat LK. Termasuk ke hima jurusannya, ya... seperti sekarang ini. Mereka yang berperan sebagai lembaga legislatif di kampus, mereka lantas selalu mengontrol tiap program kerja yang akan disajikan setiap LK per-tahunnya. Maklum, mereka yang ditugasi pihak Fakultas untuk membagi rata dana Kemahasiswaan sesuai kebutuhan setiap LK. Jadi, mereka harus ekstra ketat untuk meng-handle setiap kegiatan yang berlangsung selama satu tahun ke depan. Sebisa mungkin mereka akan berusaha agar dana kemahasiswaan dipakai seirit mungkin. Mungkin menurut mereka itu adalah hal yang benar. Tapi, apa mereka tahu kalau apa yang mereka lakukan sekarang sudah membuat geram setiap kepala yang mengurusi hima jurusan ini? Patut dipertanyakan!

Ruangan yang hanya 5 x 3 meter ini sesak. Sekitar 23 orang menghirup udara yang sama. Tidak termasuk lima orang anggota DPM di sebelah sana itu. Karena rasanya hanya 23 orang inilah yang berebut oksigen. Mencoba mencari solusi terbaik untuk menahan isi kepala mereka yang hampir meledak. Menekan sekeras mungkin bantaian-bantaian umpatan dalam hati masing-masing. Baru satu bidang yang dibahas, tapi lamanya naudzubillah! Padahal tampang Nata benar-benar sudah nelangsa sekarang.

“Ini acara ngapain?”

“Kenapa biayanya segini?”

“Memang pengeluarannya apa saja?”

“Kenapa harus tanggal segini?”

“Bukannya ini redaksinya salah, ya?”

“Seharusnya ini tidak seperti ini!”

“Ini pemborosan dana namanya,” dan... bla-bla yang lain, yang Awan terlalu malas untuk memikirkannya terlalu dalam.

Yang ia perhatikan betul-betul sekarang hanya Nata. Andai ia tak punya urat malu, mungkin ia sudah bangun sekarang. Menendang lima orang itu dari sekretariat atau menarik paksa Nata dari sana. Ia terlalu kebas melihat Nata yang hanya manggut-manggut. Pasrah saja ketika disalahkan. Walaupun kadang-kadang Awan risih karena Nata selalu bergentayangan di sekitarnya, tapi ia cukup punya rasa persahabatan yang ketika melihat sang karib dalam kesulitan, dia juga akan ikut nelangsa.

Sebenarnya sumber rasa kasihan Awan tak semerta-merta karena pembataian yang dilakukan DPM sekarang. Melainkan karena ia ingat betul sekitar jam satu tadi, tepat di depan kelas mereka seusai perkuliahan terakhir hari ini, ia menyaksikan sendiri bagaimana niat bulat Nata terlaksana. Ya. Ia benar-benar mengutarakan perasaannya pada Tara. Lantas jawaban Tara?

“Elo tahu gue sukanya sama siapa kan, Nat? Sorry... sorry banget,” hanya itu. Kalau dilihat dari jumlah katanya, memang tak terlalu banyak. Bahkan bisa dibilang sedikit. Tapi entah kenapa kata yang sedikit itu berhasil mencincang hati Nata seperti tukang daging ayam potong di pasar. Tanpa belas ampun memisahkan setiap anggota tubuh ayam. Ya, seperti itulah hati Nata pastinya: daging potong cincang.

Nata yang masih menggondol patah hati itu kini diserbu mati-matian. Awan pun juga tak bisa lantas menyalahkan Nata yang pasrah dihakimi telak seperti itu. Ia tahu betul suasana hatinya tak memungkinkannya untuk bicara lebih banyak. Padahal biasanya, meskipun kadang nyeleneh, Nata adalah atktivis yang piawai dalam berbicara. Kalau ingat kepribadian Nata sebenarnya, seharusnya DPM-lah yang akan dihabisinya saat ini. Tapi karena kondisi, Nata benar-benar kalah telak.

“Aww!” Awan tersentak mendengar pekikan lirih ini. Matanya langsung menyisir kira-kira dimana sumber pekikan ini tadi.

Ada darah. Sedikit memang, setitik malah. Tapi, Awan lantas tak bisa bersikap biasa saja. Karena ini Esta. Esta yang duduk di dekatnya terluka. Padahal hanya seujung jari telunjuk yang terkena jarum pentul. Tapi Awan paniknya bukan main. Mungkin karena dirundung pusing dan sebal, ia serta merta menarik Esta keluar lewat pintu belakang. Bahkan ia tak peduli ketika orang-orang, termasuk anggota DPM itu, melihat mereka berdua dengan heran. Meski setelahnya Ali langsung mengalihkan perhatian dan melanjutkan sesi pembantaian itu, tetap saja. Dalam hati mereka bertanya-tanya, ada apa dengan si bendahara umum dan salah satu kepala bidang hima mereka itu.

“Bego!” umpat Awan begitu sampai di tangga yang menuju langsung ke toilet sekretariat. Ia duduk lantas membuat Esta juga terpaksa duduk. Sebenarnya sobat yang dicintainya ini masih shock. Ia cukup tak mampu menguesai keterkejutannya sendiri karena kelakuan Awan barusan. Menariknya tanpa ba bi bu saja. Bahkan ia tak sempat bertanya atau menambah keterkejutannya ketika Awan dengan sigap dan cepatnya mengalahi tokoh Ultramen yang menghilang setelah pertempuran, memasukkan jari Esta yang terluka tadi ke dalam mulutnya. Mata Esta mendelik. Jantungnya berdegup kencang antara tak percaya dan speecless untuk menanggapi sikap ini. Pun, ia tak bisa protes lebih banyak. Apa yang dilakukan Awan sekarang bukanlah perkara yang bisa membuatnya protes secara spontan.

“Udah tau mau bikin acara gede. Pake ada acara beginian segala. Dungu! Bodoh! Rusa, dah!” umpat Awan tak jelas. Ia sudah memindahkan posisi jari Esta ke depan mulutnya. Meniup-niupnya, menghilangkan perih. Meski sebenarnya Esta sama sekali tak merasa sakit sekarang. Hei! Tadi itu hanya terkena jarum pentul. Bisa separah apa, sih?

Sekali lagi Awan meniup luka kecil itu. Esta kali ini tak tinggal diam. “Heh!” bentaknya dan sebotol air mineral yang entah darimana ia dapatkan melayang dadakan ke kepala Awan. Si penderita tentu saja terkejut sambil menikmati cenut-cenut di kepalanya yang tiba-tiba bersarang sekarang.

“Elo ngapain, sih? Jorok banget!” bentak Esta lagi. Ia sudah menarik paksa jarinya sejak ia menganiyaya Awan –seperti biasa, ke roknya. Mengelapnya dengan kasar, seolah takut bekas ludah Awan tadi mengandung rabies.

“Protes sih protes, Es. Tapi gak kepala gue juga kali yang dijadiin sasaran. Sakit, nih!” rutuk Awan dengan tangan yang masih mengelus-elus bekas pukulan Esta tadi.

“Gue kena jarum pentol doang! Alay lu!”

“Tapi tetep aja keluar darah, kan? Kalo elo kena titanus kan gue juga yang repot.”

“Yang ada gue kena rabies gara-gara elo sekarang! Huh!” muka Esta asli bete banget! Ia berdiri, lantas hampir masuk kembali ke dalam jika saja tangannya tidak ditarik Awan.

“Es!”

Sebagai sebuah respon, Esta berbalik. Namun masih membiarkan tangan Awan menariknya seperti itu. Seolah tak berefek padanya, lantaran kontak fisik pun memang sudah biasa terjadi di antara mereka. Tapi yang jadi korban malah Awan. Dia yang menjadi pelaku, tapi malah hatinya sendiri yang ketar-ketir. Entah ini efek dari adegan Nata dan Tara di depan kelas tadi, atau karena sekarang mata Esta menukik langsung ke matanya. Tak tahan dengan setruman tak kasap mata itu, Awan melepaskan tangan Esta.

Di sudut bibirnya ada beberapa kata yang sebenarnya ia ingin sampaikan. Tapi Esta yang hanya diam menunggu kata-kata darinya, malah membuat Awan makin gugup. Imajinasinya menggambar adegan Nata dan Tara tadi sebagai dirinya sendiri dan Esta. Pengecut memang, tapi kenyataannya takut tiba-tiba menyerangnya. Bagaimana kalau sampai Esta juga mengatakan hal yang sama persis dengan Tara seperti tadi? Lebih parah dari itu, bagaimana kalau Esta malah akan menjauhinya dan tak ada kesempatan baginya untuk bisa dekat dengan gadis ini?

Awan menggeleng keras. Meski tak begitu disadari Esta. “Jangan masuklah,” akhirnya kalimat ini yang ia ucapkan.

“Kenapa?”

“Elo enggak kesel apa sama DPM? Gue yang cuma ngeliat Nata dipojokkin gitu aja serasa pengen ngelempar galon ke mereka.”

“Hu!” lagi, kepala Awan jadi sasaran. Tapi kali ini Esta hanya menjitaknya ringan. “Mereka tu enggak tahu apa-apa soal hima kita. Biarin aja mereka berasumsi kayak gitu. Toh, mereka juga enggak berkuasa ngotak-ngatik progja yang udah kita buat, kok. Mereka cuma pengen kita enggak nggunain dana kemahasiswaan banyak-banyak. Positive thinking dikit, nape!” terang Esta dan masih saja dibubuhi umpatan.

“Ngomong enak daripada ngejalanin, Es.” Sama kayak gue yang mau nembak elo enggak pernah kesampean, kalimatnya disambung ratapan hatinya.

“Elo, sih! Bawaannya suuzon mulu sama orang! Udah, deh! Gue mau masuk.”

“Terus gue?”

“Ya, bodo amat!” dan... akhirnya Esta masuk ke dalam. Satu hal yang bisa dilakukan Awan sekarang. Menghela nafasnya panjang. Pertanyaan itu datang kembali: sampai kapan dia akan memendam perasaan ini seorang diri?

***

Aquariam berukuran 1 x 0,5x 0,5 meter ini hanya dihuni satu ikan arwana selengan orang dewasa. Di bagian dasar ada beberapa rumput dan pohon mainan serta batu warna-warni. Di sebelah pojok kanan belakang ada replika gunung berapi yang mengeluarkan semburan air, tempat sirkulasi airnya. Menjaga agar bagian dalamnya tidak cepat lumutan. Arwana itu bibirnya jontor ke depan, seolah mengejek. Sejak tadi ia hanya mondar-mandir persis seperti satpam yang sedang beroperasi. Mungkin dia sedang berpatroli ketat-ketat. Karena orang yang sejak tadi memerhatikannya ini ia pikir ingin ikut masuk ke dalam sana. Mengambil wilayahnya. Makannya dia bersiap siaga semampunya sekarang.

“Emangnya Aya ngomong apa ke elo?” pertanyaan ini membuat arwana tadi akhirnya berhenti. Orang ini sudah tak mengawasinya lagi. Lantas berpindah ke orang yang sejak tadi duduk di sofa, menghadap ke arahnya dengan kedua tangan yang santai ia lipat di atas paha. Kakinya disilangkah, bersikap sewajarnya pembicaraan yang biasanya terjadi di antara mereka.

Orang yang sejak tadi mengawasi arwana, Roni, mengambil tempat duduknya. Di sofa panjang tepat di depan Maga. Warna kemejanya sama persis dengan tempat yang ia duduki sekarang, biru dongker. Hingga seolah hanya kulit putihnya yang tak terbalut kainlah yang kelihatan. Termasuk pula wajah tampannya.

Maga menghirup nafasnya dalam. Sedalam apapun hirupan nafasnya tak akan menghabiskan udara dari AC di atasnya. Juga beberapa unit benda yang sama di beberapa sudut. Ini hanya ruang keluarga. Aquarium besar tadi adalah benda kesukaan Roni saat berkunjung kemari. Selebihnya, karpet bludru di bawah sandal rumahnya ini, atau televisi 50 inchi di sebelah kiri aquarium tadi, atau perabot bak tatanan megah istana negara yang dipajang di setiap meja dan etalase di rumah ini tak begitu ia perhatikan. Seluruh keluarga Roni kaya, termasuk ia sendiri. Jadi, barang-barang berkelas tinggi yang ada di rumah sepupu terdekatnya ini sama sekali tak mencolok matanya. Pemadangan sehari-hari.
“Banyak,” tanggap Maga kemudian. “Elo mau gue kasih tau yang paling gue garis bawahi?”

Roni hanya diam. Pun pertanyaan ini tak membutuhkan jawaban. Diiyakan atau tidak, bukankah Maga akan tetap menceritakannya?

“Dia bingung, harus maju atau mundur,” lanjutnya.

Roni menyeruput kopi susu yang disajikan mbak sejak sepuluh menit yang lalu. Mulai dingin, dan ia ingin menyudahi kering di tenggorakannya ini. “Soal?” tanyanya sebagai tanggapan dari cerita yang baru sepotong ini. Sedangkan tanggapan Maga malah decihan sebal. Anggapnya Roni terlalu polos. Atau sebenarnya ia tahu dan sengaja membuat Maga harus bercerita lebih banyak?

“Jangan sok gak tau apa-apa, Ron! Gue pengen muntah ngeliat acting polos elo itu!” umpatnya. Roni melongo meski sejurus kemudian berganti dengan senyum tipis. Sejauh Roni mengenal Maga, dia adalah orang yang paling jujur untuk berbagai hal. Bukan berarti bocah ini tak pernah membual semasa hidupnya. Hanya saja, cara dia mengekspresikan apa yang ada di benaknya tak pernah dibuat-buat. Selalu sama persis, tak ada cela.

Roni sendiri juga tahu, kata pengen muntah itu benar-benar simbol kegerahan Maga dengan sikapnya sekarang. Menanggapi setiap tutur kata Roni yang seolah-olah selalu ingin menampik kebenaran. Kebenaran tentang bagaimana sebenarnya ia tahu betul bagaimana perasaan Aya padanya. Sama dengan apa yang ada di hatinya sekarang. Padahal mereka sudah sama-sama saling suka. Tapi, ada satu hal yang selalu membuat Roni urung untuk mengikat perasaan mereka berdua.

Move On dong, Ron. Sampai kapan elo bakalan kejebak masa lalu terus-terusan?”

Kini giliran Roni yang menghela nafas. Kepalanya yang mulai terasa berdenyut ia rebahkan ke atas punggung sofa. Menatap langit-langit putih rumah mewah ini. Lampu gantung besar berada di atasnya. Ada setitik harap bahwa lampu itu akan jatuh dan menimpanya sekarang. Mungkin dia malah akan merasa lebih baik.

“Lagian, itu bukan sepenuhnya salah elo,” lanjut Maga lagi.

“Itu karena yang ngomong elo, Ga. Itu asumsi yang berasal dari sudut pandang elo. Apa orang lain bakalan berpendapat sama?”

“Enggak ada yang bisa menghindari takdir, Ron. Itu udah takdir buat elo berdua.”

“Takdir? Cih!” Roni terkekeh pelan. “Apa kedekatan gue sama Awan dan kegalauan gue soal kelanjutan gue sama Aya ini juga bisa disebut takdir, Ga?” tanyanya lirih. Masih enggan memindah posisi kepalanya. “Apa gue setega itu mau ngerebut cewek sahabat gue sendiri?”

“Langit udah ninggallin Aya buat elo, Ron. Kalau soal kedekatan elo sama Awan, mungkin itu juga titipan dari Langit. Elo jagain adeknya selama rantau di sini. Toh, Awan udah nganggep elo kayak abangnya sendiri, kan?”

“Apa dia bakalan tetep beranggapan kayak gitu kalau dia tahu hal yang sebenarnya?”

Maga diam. Bukan karena ia kehilangan kata-kata untuk menanggapi pertanyaan ini. Hanya saja, ia merasa rahangnya mulai menegang. Kesal atau bahkan mungkin marah melihat kebelibetan Roni. Serumit itukah pikirannya? Sesempit itukah pikirannya? Membandingkan dengan ke-atletisan bentuk tubuhnya rasanya cukup lucu jika ia berperilaku pengecut seperti ini.

Perlahan Roni menutup matanya. Setiap elusan hembusan AC ia nikmati betul-betul. Pikirannya kembali ke masa SMA-nya. Saat ia merasa seperti arwana milik Maga yang ada di aquarium itu. Entah bagaimana, ia merasa rindu dengan bau kolam renang. Ia rindu dengan uluran tangan  yang selalu datang ketika ia selesai berlatih di kolam renang sekolah –belakang gedung GSG sekolahnya. Ia rindu membalas senyum tulus dan menenggak habis air mineral yang diberikan seorang Langit kepadanya. Ia rindu, ia rindu pada sebuah masa yang tak akan pernah bisa ia dapatkan kembali.

“Jangan berlabuh di atas karang lah, Ron,” ujar Maga setelah lama diam. Seraya berdiri, ia ingin meninggalkan obrolan datar yang membuatnya ingin memukul sepupu ter-perfect-nya dari segi fisik itu.

“Maksud elo?” Roni akhirnya duduk dengan posisi benar kembali. Kepalanya menoleh ke kanan, menatap Maga yang sudah pindah posisi.

“Keputusan yang bikin elo sakit sendiri. Ujung-ujungnya, elo tetep aja bakalan tenggelem,” lanjutnya. Barulah ia benar-benar pergi. Entah kemana, yang jelas masih berada di rumahnya. Meninggalkan Roni yang akhirnya ditemani sunyi. Mengais pikiran paling dalam di otaknya untuk mencerna kiasan yang diberikan Maga padanya.

“Berlabuh... di atas karang? Gue?” lirihnya.

Sebelumnya            Selanjutnya

No comments:

Post a Comment