“Gue mau nembak
Tara, Wan!” pagi-pagi buta. Kenapa buta? Karena bahkan Awan belum sempat
menghidupkan lampu kamarnya selepas bangun tidur, tahu-tahu Nata sudah nongol
dari balik jendela. Tak peduli Awan yang sempat kaget melihat tampangnya yang
sudah mirip gendruwo yang nemplok di
depan kaca. Untung saja Awan tidak punya penyakit jantung. Lebih beruntung lagi
karena Awan tidak ada riwayat ayan sedikit pun. Karena kalau tidak, pasti dia
sudah kejang-kejang dan mati di tempat sekarang.
“Apaan sih,
elo! Pagi-pagi udah ngalahin ayam si Khoirul aja!” umpat Awan begitu ia sudah
membuka pintu. Ia sempatkan melirik ke sebelah kanan kamarnya. Khoirul –si
satu-satunya pemilik ayam di tempat kosnya itu, belum bangun. Melakukan
rutinitas seperti biasa. Bangun, bernyanyi lagu daerah apapun yang ia hapal
sambil memandikan ayam jago cungkringnya. Padahal Awan yakin betul ayamnya
sebenarnya bosan atau malah kesal mendengar suaranya yang jauh dari kata
pas-pasan itu.
“Wan, Wan!
Seriusan nih gue!” semangat Nata tahun empat puluhan. Yah... kira-kira mungkin
hampir samalah ketika pejuang Indonesia –yang menurut Awan terlalu banyak untuk
dihapal, sedang gencar-gencarnya semangat membunuh penjajah dengan bambu
runcing. Padahal Awan yang belum sepenuhnya selesai mengumpulkan nyawanya itu
hanya garuk-garuk kepala. Jika disuruh memberi nilai satu sampai sepuluh
tentang kemampuan menyimaknya sekarang, paling dua setengah lebih dikitlah.
“Masa bodo deh gue
mau ditolak atau gimana. Gue udah enggak tahan,” sambung Nata lagi. Awan melirik
wajahnya yang benar-benar dirubung semut
semangat yang entah datangnya dari mana. Tak ia temukan iler atau benda-benda sisaan tidur di
wajah itu. Bukankah itu artinya Nata memang sudah mandi? Padahal ini baru jam
setengah enam. Rasanya baru saja Awan mengatupkan matanya setelah zikir selepas
sholat subuh tadi. Ah... istirahatnya harus kacau. Mengingat dia yang tadi
malam begadang menyelesaikan tugasnya, atau ingat juga kalau hari ini mereka
baru ada kuliah sekitar jam sepuluh. Dan jika kedua hal itu diingat Awan,
rasanya ia benar-benar ingin memukul Nata saat ini juga.
“Apaan, sih?!
Gue enggak dong nih elo ngomong apaan? Ditolak? Nembak? Apa, sih?” Nata mulai
mengerti bahwa Awan memang sepenuhnya belum sadar. Ia tilik kotak nyawanya.
Baru 75%. Ia tunggu sebentar sampai Awan benar-benar sadar. Tentunya dengan
berbagai macam cara untuk memercepatnya. Semisal, menampar-nampar pipinya dan
berhasil membuat Awan makin memuncakkan keinginannya untuk menendang bocah ini
keluar dari kamarnya.
“Jadi, gue hari
ini mau nembak Tara. Gue mau bilang perasaan gue sebenarnya ke dia itu kayak
mana. Gue capek begini mulu, Wan. Capek hati, capek pikiran, capek tenaga,
capek...”
“Capek harganya
lagi naik sekarang, Nat!”
“Itu cabe, woy!
Untung gue enggak nyayur sendiri, ya, Wan? Bawang merah enggak kan, Wan?
Soalnya gue suka goreng telor di magic com dicampur bawang merah gitu. Eh!
Kenapa jadi ngomongin bumbu dapur! Gue lagi serius ini!” Nata baru sadar, ia
barusan terbawa suasana. Dan ia tak sadar, bahwa wajah Awan sekarang sudah
menampilkan kata-kata, “Gue bacok juga elu!”
“Gimana menurut
elo?” tanya Nata, serius kembali ke pokok pembicaraan.
“Apanya?”
“Ya, menurut
elo keputusan gue ini gimana? Oke, enggak?”
“Elonya
gimana?”
“Ye! Malah
balik nanya!” semprot Nata. Sedikit sebal juga dengan tanggapan Awan. “Gue kan
minta pendapat elo, Wan. Dijawab lah. Jangan balikin ke gue lagi,” tambahnya.
Awan masih diam. Sebenarnya apa yang akan dilakukan Nata seharusnya benar.
Bahkan memang itu yang musti dilakukan Nata. Ketimbang menyimpan perasaan
sendiri dan dibumbui dengan tawa dan cerita dari tara soal cowok lain. Nyesek sendiri, iya. Lebih baik
mengungkapkannya sekarang bukan? Seperti katanya tadi, masa bodoh mau ditolak
atau bagaimana. Yang penting ia sudah lega jika sudah mengungkapkannya nanti.
Tapi persoalannya sekarang, Awan malah cemburu. Cemburu karena bahkan wala upun
sekarang baru niat, Nata bisa mengatakan itu. Ia lantas bercermin pada dirinya
sendiri. Rasanya selama ini ia tak berani punya niatan untuk menembak Esta. Dia
merasa kecil, lebih kecil dari undur-undur.
“Katanya tadi
masa bodoh mau gimana kelanjutannya. Bukannya itu berarti keputusan elo udah
bulet? Enggak perlu lagi dong tanya pendapat gue,” tanggap Awan kemudian.
“Iya, tau!
Tapi, gue cuma pengen tahu aja. Kalau elo jadi gue, kalau semisal nanti gue
emang benaran ditolak, syukur-syukur diterima, sikap gue harus gimana nanti?”
“Ya... biasa
aja. Harus gimana lagi?”
“Susah, Wan.”
“Apanya?” Awan
mengernyitkan dahinya. Kenapa sekarang ia malah makin bingung arah pembicaraan
Nata sebenarnya?
“Susah. Gue
selama ini deket sama dia kan bukan karena embel-embel sahabat atau tempat
curhat. Tapi yah... karena gue suka sama dia. Kalo gue ditolak, apa menurut elo
mungkin gue bisa bersikap biasa aja?” Awan menelan ludahnya. Setiap kata yang
keluar dari mulut Nata seolah menamparnya. Nata dijadikan figur dirinya, dan Tara
sebagai Esta. Bukankah semuanya benar-benar sama sekarang? Ia dekat dengan Esta
bukan karena gelar sahabat yang ia sandang, kan? Tapi karena sesuatu yang ada
di hatinya ini.
“Bingung, Nat.
Terserah elo aja, deh. Baiknya gimana,” akhirnya hanya itu yang bisa ia
katakan.
Nata mencibir
lagi, “Pendapat elo lo, Wan! Gue butuhnya itu!”
“Gue juga
bingung. Tapi, kalau elo udah niat, ya udah lah. Urusan itu kan belakangan.
Tapi, kalau sampai elo enggak bisa bersikap biasa aja, kasihan di elonya
nanti.”
“Kok?”
“Iya! Ntar Tara
bisa-bisa benci sama elo dan malah bener-bener kayak orang asing. Enggak mau
kan, peristiwa elo dan Tifa terulang lagi?” kali ini Nata yang menelan
ludahnya. Benar juga. Kalau mengingat kejadian kemarin, rasanya benar-benar
tidak enak. Bukan hanya sekedar seperti orang asing. Dia dan Tifa malah hampir
seperti musuh kemarin. Jangankan untuk bertegur sapa. Saling memandang wajah
saja rasanya tak ada daya.
“Hem! Masalah gue
nembaknya itu pasti gue lakuin, Wan. Gue minta pendapat elo ini buat sikap gue
setelahnya aja, kok. Kalau elo bilang gitu, oke, deh. Makasih. Gue bakalan
mencoba bersikap biasa aja,” tanggap Nata di akhir. Sedangkan Awan meringkuk di
balik perasaannya sendiri. Andai saja ia bisa seperti Nata. Tapi, apa yang akan
dikatakan Esta nantinya? Tanggapan Esta bagaimana? Kalau sampai Esta malah
menjauhinya bagaimana? Ah! Ia tak pernah tahu dan bahkan tak ingin membayangkan
hari-harinya dilalui dengan sikap tak acuh dari Esta nantinya. Mungkin itu pula
sebabnya kenapa sampai sekarang ia masih memendam rasa ketar-ketir ini sendiri
tanpa berani membaginya dengan siapapun. Hanya dia dan Allah yang tahu.
Sampai jam
setengah sepuluh Nata memilih tiduran di kos Awan. Membolak-balik buku kuliah
dan mencocokkannya dengan tugasnya. Sedangkan Awan kembali tidur, melanjutkan
mimpinya yang terlalu indah jika untuk diakhiri. Padahal di sana hanya ada tawa
Esta. Tapi entah kenapa Awan seperti disurga. Kalau sampai ia bangun, mungkin
yang akan dihadapnya adalah sebuah pertanyaan tajam: sampai kapan dia akan
memendam perasaan itu seorang diri?
***
Tak ada yang melihat Awan yang sudah ringsek
di pojok sekretariatnya. Duduk bersandar lemari dengan beberapa minuman mineral
gelas di dekatnya. Kepalanya nyut-nyutan. Sedang hatinya sejak tadi dongkol,
mengumpati orang-orang yang duduk bersila, berjajaran di sebelah barat.
Mengepung Nata dengan cibiran-cibiran manis dari mulut mereka. Entah antah
berantah apa yang sudah dibuat Nata hingga program kerjanya harus dianiyaya tak
karuan seperti itu. DPM, bangke!
umpatan inilah yang sejak tadi dilayangkan batinnya.
Sudah
sewajarnya memang, setiap pergantian periode kepengurusan, Dewan Perwakilan
Mahasiswa atau biasa disebut DPM itu berkunjung ke setiap Lembaga
Kemahasiswaan: disingkat LK. Termasuk ke hima jurusannya, ya... seperti
sekarang ini. Mereka yang berperan sebagai lembaga legislatif di kampus, mereka
lantas selalu mengontrol tiap program kerja yang akan disajikan setiap LK
per-tahunnya. Maklum, mereka yang ditugasi pihak Fakultas untuk membagi rata
dana Kemahasiswaan sesuai kebutuhan setiap LK. Jadi, mereka harus ekstra ketat
untuk meng-handle setiap kegiatan
yang berlangsung selama satu tahun ke depan. Sebisa mungkin mereka akan
berusaha agar dana kemahasiswaan dipakai seirit mungkin. Mungkin menurut mereka
itu adalah hal yang benar. Tapi, apa mereka tahu kalau apa yang mereka lakukan
sekarang sudah membuat geram setiap kepala yang mengurusi hima jurusan ini? Patut
dipertanyakan!
Ruangan yang
hanya 5 x 3 meter ini sesak. Sekitar 23 orang menghirup udara yang sama. Tidak
termasuk lima orang anggota DPM di sebelah sana itu. Karena rasanya hanya 23
orang inilah yang berebut oksigen. Mencoba mencari solusi terbaik untuk menahan
isi kepala mereka yang hampir meledak. Menekan sekeras mungkin
bantaian-bantaian umpatan dalam hati masing-masing. Baru satu bidang yang
dibahas, tapi lamanya naudzubillah!
Padahal tampang Nata benar-benar sudah nelangsa sekarang.
“Ini acara
ngapain?”
“Kenapa
biayanya segini?”
“Memang pengeluarannya
apa saja?”
“Kenapa harus
tanggal segini?”
“Bukannya ini
redaksinya salah, ya?”
“Seharusnya ini
tidak seperti ini!”
“Ini pemborosan
dana namanya,” dan... bla-bla yang
lain, yang Awan terlalu malas untuk memikirkannya terlalu dalam.
Yang ia perhatikan
betul-betul sekarang hanya Nata. Andai ia tak punya urat malu, mungkin ia sudah
bangun sekarang. Menendang lima orang itu dari sekretariat atau menarik paksa
Nata dari sana. Ia terlalu kebas melihat Nata yang hanya manggut-manggut.
Pasrah saja ketika disalahkan. Walaupun kadang-kadang Awan risih karena Nata
selalu bergentayangan di sekitarnya, tapi ia cukup punya rasa persahabatan yang
ketika melihat sang karib dalam kesulitan, dia juga akan ikut nelangsa.
Sebenarnya
sumber rasa kasihan Awan tak semerta-merta karena pembataian yang dilakukan DPM
sekarang. Melainkan karena ia ingat betul sekitar jam satu tadi, tepat di depan
kelas mereka seusai perkuliahan terakhir hari ini, ia menyaksikan sendiri
bagaimana niat bulat Nata terlaksana. Ya. Ia benar-benar mengutarakan
perasaannya pada Tara. Lantas jawaban Tara?
“Elo tahu gue
sukanya sama siapa kan, Nat? Sorry... sorry banget,” hanya itu. Kalau dilihat
dari jumlah katanya, memang tak terlalu banyak. Bahkan bisa dibilang sedikit.
Tapi entah kenapa kata yang sedikit itu berhasil mencincang hati Nata seperti
tukang daging ayam potong di pasar. Tanpa belas ampun memisahkan setiap anggota
tubuh ayam. Ya, seperti itulah hati Nata pastinya: daging potong cincang.
Nata yang masih
menggondol patah hati itu kini diserbu mati-matian. Awan pun juga tak bisa
lantas menyalahkan Nata yang pasrah dihakimi telak seperti itu. Ia tahu betul
suasana hatinya tak memungkinkannya untuk bicara lebih banyak. Padahal
biasanya, meskipun kadang nyeleneh,
Nata adalah atktivis yang piawai dalam berbicara. Kalau ingat kepribadian Nata
sebenarnya, seharusnya DPM-lah yang akan dihabisinya saat ini. Tapi karena
kondisi, Nata benar-benar kalah telak.
“Aww!” Awan
tersentak mendengar pekikan lirih ini. Matanya langsung menyisir kira-kira
dimana sumber pekikan ini tadi.
Ada darah.
Sedikit memang, setitik malah. Tapi, Awan lantas tak bisa bersikap biasa saja.
Karena ini Esta. Esta yang duduk di dekatnya terluka. Padahal hanya seujung
jari telunjuk yang terkena jarum pentul. Tapi Awan paniknya bukan main. Mungkin
karena dirundung pusing dan sebal, ia serta merta menarik Esta keluar lewat
pintu belakang. Bahkan ia tak peduli ketika orang-orang, termasuk anggota DPM
itu, melihat mereka berdua dengan heran. Meski setelahnya Ali langsung
mengalihkan perhatian dan melanjutkan sesi
pembantaian itu, tetap saja. Dalam hati mereka bertanya-tanya, ada apa
dengan si bendahara umum dan salah satu kepala bidang hima mereka itu.
“Bego!” umpat
Awan begitu sampai di tangga yang menuju langsung ke toilet sekretariat. Ia
duduk lantas membuat Esta juga terpaksa duduk. Sebenarnya sobat yang
dicintainya ini masih shock. Ia cukup
tak mampu menguesai keterkejutannya sendiri karena kelakuan Awan barusan.
Menariknya tanpa ba bi bu saja.
Bahkan ia tak sempat bertanya atau menambah keterkejutannya ketika Awan dengan
sigap dan cepatnya mengalahi tokoh Ultramen
yang menghilang setelah pertempuran, memasukkan jari Esta yang terluka tadi ke
dalam mulutnya. Mata Esta mendelik. Jantungnya berdegup kencang antara tak
percaya dan speecless untuk
menanggapi sikap ini. Pun, ia tak bisa protes lebih banyak. Apa yang dilakukan
Awan sekarang bukanlah perkara yang bisa membuatnya protes secara spontan.
“Udah tau mau
bikin acara gede. Pake ada acara beginian segala. Dungu! Bodoh! Rusa, dah!” umpat
Awan tak jelas. Ia sudah memindahkan posisi jari Esta ke depan mulutnya.
Meniup-niupnya, menghilangkan perih. Meski sebenarnya Esta sama sekali tak
merasa sakit sekarang. Hei! Tadi itu hanya terkena jarum pentul. Bisa separah
apa, sih?
Sekali lagi Awan
meniup luka kecil itu. Esta kali ini tak tinggal diam. “Heh!” bentaknya dan
sebotol air mineral yang entah darimana ia dapatkan melayang dadakan ke kepala
Awan. Si penderita tentu saja terkejut sambil menikmati cenut-cenut di
kepalanya yang tiba-tiba bersarang sekarang.
“Elo ngapain,
sih? Jorok banget!” bentak Esta lagi. Ia sudah menarik paksa jarinya sejak ia menganiyaya Awan –seperti biasa, ke
roknya. Mengelapnya dengan kasar, seolah takut bekas ludah Awan tadi mengandung
rabies.
“Protes sih
protes, Es. Tapi gak kepala gue juga kali yang dijadiin sasaran. Sakit, nih!”
rutuk Awan dengan tangan yang masih mengelus-elus bekas pukulan Esta tadi.
“Gue kena jarum
pentol doang! Alay lu!”
“Tapi tetep aja
keluar darah, kan? Kalo elo kena titanus kan gue juga yang repot.”
“Yang ada gue
kena rabies gara-gara elo sekarang! Huh!” muka Esta asli bete banget! Ia berdiri, lantas hampir masuk kembali ke dalam jika
saja tangannya tidak ditarik Awan.
“Es!”
Sebagai sebuah
respon, Esta berbalik. Namun masih membiarkan tangan Awan menariknya seperti
itu. Seolah tak berefek padanya, lantaran kontak fisik pun memang sudah biasa
terjadi di antara mereka. Tapi yang jadi korban malah Awan. Dia yang menjadi
pelaku, tapi malah hatinya sendiri yang ketar-ketir. Entah ini efek dari adegan
Nata dan Tara di depan kelas tadi, atau karena sekarang mata Esta menukik
langsung ke matanya. Tak tahan dengan setruman tak kasap mata itu, Awan
melepaskan tangan Esta.
Di sudut
bibirnya ada beberapa kata yang sebenarnya ia ingin sampaikan. Tapi Esta yang
hanya diam menunggu kata-kata darinya, malah membuat Awan makin gugup.
Imajinasinya menggambar adegan Nata dan Tara tadi sebagai dirinya sendiri dan
Esta. Pengecut memang, tapi kenyataannya takut tiba-tiba menyerangnya.
Bagaimana kalau sampai Esta juga mengatakan hal yang sama persis dengan Tara
seperti tadi? Lebih parah dari itu, bagaimana kalau Esta malah akan menjauhinya
dan tak ada kesempatan baginya untuk bisa dekat dengan gadis ini?
Awan menggeleng
keras. Meski tak begitu disadari Esta. “Jangan masuklah,” akhirnya kalimat ini
yang ia ucapkan.
“Kenapa?”
“Elo enggak
kesel apa sama DPM? Gue yang cuma ngeliat Nata dipojokkin gitu aja serasa
pengen ngelempar galon ke mereka.”
“Hu!” lagi,
kepala Awan jadi sasaran. Tapi kali ini Esta hanya menjitaknya ringan. “Mereka
tu enggak tahu apa-apa soal hima kita. Biarin aja mereka berasumsi kayak gitu.
Toh, mereka juga enggak berkuasa ngotak-ngatik progja yang udah kita buat, kok.
Mereka cuma pengen kita enggak nggunain dana kemahasiswaan banyak-banyak. Positive thinking dikit, nape!” terang
Esta dan masih saja dibubuhi umpatan.
“Ngomong enak
daripada ngejalanin, Es.” Sama kayak gue
yang mau nembak elo enggak pernah kesampean, kalimatnya disambung ratapan
hatinya.
“Elo, sih!
Bawaannya suuzon mulu sama orang!
Udah, deh! Gue mau masuk.”
“Terus gue?”
“Ya, bodo
amat!” dan... akhirnya Esta masuk ke dalam. Satu hal yang bisa dilakukan Awan
sekarang. Menghela nafasnya panjang. Pertanyaan itu datang kembali: sampai kapan dia akan memendam perasaan ini
seorang diri?
***
Aquariam
berukuran 1 x 0,5x 0,5 meter ini hanya dihuni satu ikan arwana selengan orang
dewasa. Di bagian dasar ada beberapa rumput dan pohon mainan serta batu
warna-warni. Di sebelah pojok kanan belakang ada replika gunung berapi yang
mengeluarkan semburan air, tempat sirkulasi airnya. Menjaga agar bagian
dalamnya tidak cepat lumutan. Arwana itu bibirnya jontor ke depan, seolah mengejek. Sejak tadi ia hanya mondar-mandir
persis seperti satpam yang sedang beroperasi. Mungkin dia sedang berpatroli
ketat-ketat. Karena orang yang sejak tadi memerhatikannya ini ia pikir ingin
ikut masuk ke dalam sana. Mengambil wilayahnya. Makannya dia bersiap siaga
semampunya sekarang.
“Emangnya Aya
ngomong apa ke elo?” pertanyaan ini membuat arwana tadi akhirnya berhenti.
Orang ini sudah tak mengawasinya lagi. Lantas berpindah ke orang yang sejak
tadi duduk di sofa, menghadap ke arahnya dengan kedua tangan yang santai ia
lipat di atas paha. Kakinya disilangkah, bersikap sewajarnya pembicaraan yang
biasanya terjadi di antara mereka.
Orang yang
sejak tadi mengawasi arwana, Roni, mengambil tempat duduknya. Di sofa panjang
tepat di depan Maga. Warna kemejanya sama persis dengan tempat yang ia duduki
sekarang, biru dongker. Hingga seolah hanya kulit putihnya yang tak terbalut
kainlah yang kelihatan. Termasuk pula wajah tampannya.
Maga menghirup
nafasnya dalam. Sedalam apapun hirupan nafasnya tak akan menghabiskan udara
dari AC di atasnya. Juga beberapa unit benda yang sama di beberapa sudut. Ini
hanya ruang keluarga. Aquarium besar tadi adalah benda kesukaan Roni saat
berkunjung kemari. Selebihnya, karpet bludru di bawah sandal rumahnya ini, atau
televisi 50 inchi di sebelah kiri
aquarium tadi, atau perabot bak tatanan megah istana negara yang dipajang di
setiap meja dan etalase di rumah ini tak begitu ia perhatikan. Seluruh keluarga
Roni kaya, termasuk ia sendiri. Jadi, barang-barang berkelas tinggi yang ada di
rumah sepupu terdekatnya ini sama sekali tak mencolok matanya. Pemadangan
sehari-hari.
“Banyak,”
tanggap Maga kemudian. “Elo mau gue kasih tau yang paling gue garis bawahi?”
Roni hanya
diam. Pun pertanyaan ini tak membutuhkan jawaban. Diiyakan atau tidak, bukankah
Maga akan tetap menceritakannya?
“Dia bingung,
harus maju atau mundur,” lanjutnya.
Roni menyeruput
kopi susu yang disajikan mbak sejak
sepuluh menit yang lalu. Mulai dingin, dan ia ingin menyudahi kering di
tenggorakannya ini. “Soal?” tanyanya sebagai tanggapan dari cerita yang baru
sepotong ini. Sedangkan tanggapan Maga malah decihan sebal. Anggapnya Roni
terlalu polos. Atau sebenarnya ia tahu dan sengaja membuat Maga harus bercerita
lebih banyak?
“Jangan sok gak
tau apa-apa, Ron! Gue pengen muntah ngeliat acting polos elo itu!” umpatnya.
Roni melongo meski sejurus kemudian berganti dengan senyum tipis. Sejauh Roni
mengenal Maga, dia adalah orang yang paling jujur untuk berbagai hal. Bukan
berarti bocah ini tak pernah membual semasa hidupnya. Hanya saja, cara dia
mengekspresikan apa yang ada di benaknya tak pernah dibuat-buat. Selalu sama
persis, tak ada cela.
Roni sendiri
juga tahu, kata pengen muntah itu
benar-benar simbol kegerahan Maga dengan sikapnya sekarang. Menanggapi setiap
tutur kata Roni yang seolah-olah selalu ingin menampik kebenaran. Kebenaran
tentang bagaimana sebenarnya ia tahu betul bagaimana perasaan Aya padanya. Sama
dengan apa yang ada di hatinya sekarang. Padahal mereka sudah sama-sama saling
suka. Tapi, ada satu hal yang selalu membuat Roni urung untuk mengikat perasaan
mereka berdua.
“Move On dong, Ron. Sampai kapan elo
bakalan kejebak masa lalu terus-terusan?”
Kini giliran
Roni yang menghela nafas. Kepalanya yang mulai terasa berdenyut ia rebahkan ke
atas punggung sofa. Menatap langit-langit putih rumah mewah ini. Lampu gantung
besar berada di atasnya. Ada setitik harap bahwa lampu itu akan jatuh dan
menimpanya sekarang. Mungkin dia malah akan merasa lebih baik.
“Lagian, itu
bukan sepenuhnya salah elo,” lanjut Maga lagi.
“Itu karena
yang ngomong elo, Ga. Itu asumsi yang berasal dari sudut pandang elo. Apa orang
lain bakalan berpendapat sama?”
“Enggak ada
yang bisa menghindari takdir, Ron. Itu udah takdir buat elo berdua.”
“Takdir? Cih!”
Roni terkekeh pelan. “Apa kedekatan gue sama Awan dan kegalauan gue soal
kelanjutan gue sama Aya ini juga bisa disebut takdir, Ga?” tanyanya lirih.
Masih enggan memindah posisi kepalanya. “Apa gue setega itu mau ngerebut cewek
sahabat gue sendiri?”
“Langit udah
ninggallin Aya buat elo, Ron. Kalau soal kedekatan elo sama Awan, mungkin itu
juga titipan dari Langit. Elo jagain adeknya selama rantau di sini. Toh, Awan
udah nganggep elo kayak abangnya sendiri, kan?”
“Apa dia
bakalan tetep beranggapan kayak gitu kalau dia tahu hal yang sebenarnya?”
Maga diam.
Bukan karena ia kehilangan kata-kata untuk menanggapi pertanyaan ini. Hanya
saja, ia merasa rahangnya mulai menegang. Kesal atau bahkan mungkin marah
melihat kebelibetan Roni. Serumit itukah pikirannya? Sesempit itukah
pikirannya? Membandingkan dengan ke-atletisan bentuk tubuhnya rasanya cukup
lucu jika ia berperilaku pengecut seperti ini.
Perlahan Roni
menutup matanya. Setiap elusan hembusan AC ia nikmati betul-betul. Pikirannya
kembali ke masa SMA-nya. Saat ia merasa seperti arwana milik Maga yang ada di
aquarium itu. Entah bagaimana, ia merasa rindu dengan bau kolam renang. Ia
rindu dengan uluran tangan yang selalu
datang ketika ia selesai berlatih di kolam renang sekolah –belakang gedung GSG
sekolahnya. Ia rindu membalas senyum tulus dan menenggak habis air mineral yang
diberikan seorang Langit kepadanya. Ia rindu, ia rindu pada sebuah masa yang
tak akan pernah bisa ia dapatkan kembali.
“Jangan
berlabuh di atas karang lah, Ron,” ujar Maga setelah lama diam. Seraya berdiri,
ia ingin meninggalkan obrolan datar yang membuatnya ingin memukul sepupu ter-perfect-nya dari segi fisik itu.
“Maksud elo?”
Roni akhirnya duduk dengan posisi benar kembali. Kepalanya menoleh ke kanan,
menatap Maga yang sudah pindah posisi.
“Keputusan yang
bikin elo sakit sendiri. Ujung-ujungnya, elo tetep aja bakalan tenggelem,”
lanjutnya. Barulah ia benar-benar pergi. Entah kemana, yang jelas masih berada
di rumahnya. Meninggalkan Roni yang akhirnya ditemani sunyi. Mengais pikiran
paling dalam di otaknya untuk mencerna kiasan yang diberikan Maga padanya.
“Berlabuh... di atas karang? Gue?” lirihnya.
Sebelumnya Selanjutnya
No comments:
Post a Comment