Friday, January 17, 2020

Yang Ada di Hati


Tangan Roni meraih keran shower. Kepalanya mulai merasakan dingin karena guyuran air shower. Perlahan, air itu melewati seluruh tubuhnya. Nampak menelusuri setiap lekuk tubuhnya yang cukup atletis itu. Mulai dari otot-otot di lengannya hingga perutnya yang nampak kotak-kotak. Kulit kuning langsatnya membalut tampilannya sedemikian rupa hingga tampak apik dan benar-benar sepadan dengan tekstur wajah tampannya. Mata sedangnya terpejam merasakan sensasi titik air ke seluruh tubuhnya. Bibir merahnya bergetar. Ada yang salah dengan air di wajahnya. Lebih banyak. Terutama yang melewati wajah tirusnya.
“Hh…” desahnya pelan. Ada sesuatu yang mengganduli hatinya. Pikirannya terbang jauh ke awang-awang. Semakin tinggi pikirannya itu melambung, semakin deraslah air tambahan yang datang dari telaga yang terpejam itu.

Perlahan, desahan tadi mengalun pelan menjadi sebuah isakan. Beban berat tadi berubah menjadi sesak. Air itu seolah membekap dadanya. Ia kesulitan mengambil napas. Sampai-sampai mulutnya harus terbuka, megap-megap mirip ikan yang kekurangan air. Seketika itu pula kakinya melemas. Beban dan sesak itu memaksanya terduduk lemas. Ia mulai beringsut. Bersandar memeluk lutut dan terus sesenggukan di bawah air. Perih… kenapa ia tiba-tiba memulai perih dan sakit yang luar biasa dalam keadaan seperti ini?

Tiga puluh menit barulah Roni menyudahi rutinitasnya tadi. Ia keluar dengan semerbak harum lavender yang menyeruak ke hidungnya sendiri. Wangi yang ia suka. Hanya berbalut handuk putih dari perut sampai lutut. Handuk biru kecil ia gunakan untuk mengeringkan rambutnya. Selesai menyeka wajah, telinganya menangkap panggilan seseorang.

“Ron!” suara ini begitu ia kenal. Reflek matanya menelusuri setiap sudut kamarnya. Ada seseorang yang duduk di tepi tempat tidurnya sambil tersenyum. Senyum manis, yang juga cukup ia rindukan. Tapi ia mendelik tak percaya. Pasti ia berhalusinasi jika melihat cowok yang tak kalah tampan dengannya ini. Apalagi di kamarnya, serta dalam waktu yang tidak mungkin rasanya.

“Lang?” bibirnya berseru, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Sosok itu hanya tersenyum. Meski dengan langkah bergetar, Roni mendekat. Tangannya terulur, menggapai sosok ini. Bahkan senyuman itu tidak menghilang meski wajah Roni terus mengukir ketidakpercayaan. Matanya mulai berkunang, mungkin sebentar lagi meluncurkan setetes air. Getaran di kakinya tadi merambat ke bibirnya. Sekali lagi menyebut, “Lang?” meski tak ada tanggapan.

Begitu tangannya tinggal semili lagi, sosok itu menghilang. Hampir mirip dengan asap yang membumbung ke udara. Saat itu juga tetes tadi mengalir manis di pipi Roni. Turun hingga ke hati, membuat kubangan perih yang tadi sempat selesai, malah kembali lagi. Haruskah ia terisak kembali?

Ting tong! Ting tong! Roni sempat terkejut dengan suara bel ini. Ada yang datang? Sepagi ini?

Selesai menyeka air matanya, kakinya melangkah. Menurut panggilan bel itu. Siapa, ya? pikirnya. Begitu pintu terbuka, barulah terlihat seorang cewek dengan rambut sebahu mengenakan bandana dan wajah bulat memasang wajah kusutnya. “Tifa?”

“Ron!” balasnya dengan nada tinggi. Campurannya mungkin kesal, jengkel dan perasaan-perasaan menyebalkan lainnya. Mungkin Roni harus mengalah, kemudian pelan-pelan menyingkirkan perihnya ini. Mungkin bocah ini butuh bantuan. Karena seingatnya ia tidak membuat kesalahan apapun agar berhasil membuat wajah Tifa sekusut itu. Jadi bukan saatnya minta maaf dan bertanya apa kesalahannya.

“Elo ngapain pagi-pagi pasang muka cembetut kayak gini?” tanya Roni. Masih belum membiarkan Tifa masuk. Yah… walaupun biasanya Tifa langsung nyelonong masuk begitu saja tanpa dipersilahkan. Tapi, ada yang aneh kali ini. Kenapa Tifa malah diam, tidak menjawab pertanyaannya, dan terpatung menatap dirinya. Tidak, bukan wajahnya. Melainkan ke arah lain.

Roni mengikuti arah pandangnya. Tunggu! Dia kan belum…

“RONI!!!” teriakan Tifa hampir membuat Roni terkena serangan jantung. Suaranya yang melengking masalahnya langsung menukik tajam ke gendang telinganya. Mungkin Tifa baru saja menggunakan suara sembilan oktafnya. Dilihatnya Tifa sudah berbalik dan kedua tangannya menutupi wajahnya sendiri. “Elo gila, ya?! Kok elo cuma make handuk gitu, sih?!” dumelnya.

Roni malah tertawa. Dan dengan santainya malah memertahankan posisinya di sana. “Gue baru selesai mandi, elonya kayak kesetanan gitu mencet belnya. Enggak sempet kali gue pake baju,” jawabnya sebagai alasan.

“Ya udah sono ganti!”

“Kenapa emang? Bukannya badan gue seksi kan kalo cuma topless kayak gini?” goda Roni. Dasar sedeng! Rutuk Tifa dalam hati. Ya, walaupun ia mengakui kata seksi tadi cocok untuk tubuh Roni, tapi ya tidak serta merta ia akan membiarkan Roni hanya berbalut handuk seperti itu, kan? “Sana ganti!” bentak Tifa.

“Iya-iya! Cerewet, ah!” balas Roni. Terpaksa ia harus membiarkan Tifa di luar sebentar. Ia kembali menutup pintu dan dalam hitungan menit ia kembali lagi membuka pintu. Tampilannya hanya kaos oblong merah hati dan dipadu dengan jeans hitam panjang. Rambutnya masih berantakan dan basah. Belum sempat melakukan pengeringan lebih lanjut. Tapi tampilannya yang seperti itu malah membuat Tifa makin yakin, bahwa sahabatnya yang satu ini benar-benar tampan!

“Hey… biasa aja kali ngeliatnya. Gue tahu kok kalo gue ganteng. Tapi enggak perlu nafsu juga kali, Fa,” ujar Roni tanpa sadar membuat jantung Tifa berdegup kencang. Sialnya dia ketahuan. Tapi, dia kan melakukannya tepat di depan Roni. Bagaimana mungkin bisa tidak ketahuan?

Alih-alih dengan detak jantungnya tadi, ia menerobos masuk. Seperti biasa. Apartement kecil ini hanya terdiri dari ruang tamu yang bergabung dengan kamar, kamar mandi dan dapur. Ada tv di sudut ruangan, bersebelahan dengan meja belajar, dengan tetek bengeknya seperti DVD, PS, sound dan beberapa kaset bernaung ala kadarnya di bawah. Favorit Tifa adalah kasur empuk dengan seprai putih bersih yang ada di bawah atap transparan. Ketika ia membaringkan tubuhnya, maka bau khas lavender Roni akan ia rasakan. Matanya dimanjakan dengan pemandangan langit dengan beberapa awan tipis yang mengarak. Belum terlalu menyilaukan karena masih pagi. Pernah ia bertanya pada Roni kalau ia menaruh tempat tidurnya di bawah sinar matahari begini kan kalau siang pasti panas. Tapi jawaban Roni malah seperti ini, “Kan gue tidurnya malem. Gue juga enggak bego-bego banget, punya apartement tapi enggak dipasangin AC.” Tifa langsung pasang wajah sebal setelah mendengarnya.

Seperti sekarang juga, Tifa langsung tidur telentang di atas tempat tidur. Membiarkan Roni menggeleng-gelengkan kepalanya. Apartement Roni sudah seperti tempat tinggalnya sendiri malah. Ada dapur di sana, bahkan Roni hanya menjadikannya tempat untuk menyimpan air dingin di kulkas. Selebihnya, 75% Tifa yang menggunakannya. Alasannya di kosannya tidak ada kompor. Padahal ia tahu, Tifa hanya ingin membuatkannya makanan. Kebiasaan buruknya yang pasti langsung makan mie instan kalau malas keluar. Bahkan, stok mie instan sekardus yang sudah Roni siapkan langsung dibawa keluar Tifa saat ketahuan. Entah dibawa kemana. Dijual mungkin. Sebagai gantinya, setiap Roni tidak ada makanan, Tifa akan dengan senang hati untuk memasakkannya. Meski Tifa akan berdalih bahwa ia masak untuk dirinya sendiri. Roni hanya ia beri sisanya. Yang ada, yang Roni lihat malah Tifa yang dapat sisaan. Dia dapat bagian lebih banyak. Alasannya lagi-lagi klise. “Gue tuh cewek, enggak pantes makan makanan sebanyak ini.” Terus kenapa masak banyak?

Roni memilih meja belajarnya. Memberesi beberapa barang yang harus ia bawa hari ini untuk kuliah. Ia harus membiarkan gadis itu berbaring dulu beberapa menit. Kalau dia mulai merutuk, mengumpat, mengeluh dan sebagainya, barulah ia akan menjadi pendengar setia. Bertanya, “Kenapa, sih? Siapa yang udah buat sobat gue satu ini pasang muka jelek walau aslinya udah jelek?” atau semacamnya.

“Huh!” nah, ini saatnya.

“Kenapa, sih? Siapa-siapa? Siapa yang udah bikin muka elo cemberut kayak bebek enggak dikasih makan sebulan, hah?” tanya Roni. Menggeser kursi belajarnya hingga ke depan Tifa yang sudah duduk. Tempat tidurnya yang lebih tinggi dari kursi itu membuat wajah Tifa bisa sejajar dengan wajah Roni.

“Gue capek kalo begini mulu!” Tifa memulai ceritanya. “Apa-apa gue mulu yang kerja. Gue mulu yang turun tangan. Mereka enak-enakan nanya udah selesai apa belum. Padahal kan materi kelompok gue susahnya innalillah. Bukannya bantuin nyari buku kek, apa kek. Cari materi kek. Gimana kek. Ih! Sebel gue!”

“Udah ngomong baik-baik sama mereka?”

“Mereka dibaikin? Hih! Enggak ngaruh, Ron!”

“Tifa, Tifa!” Roni berdiri. Tangannya terulur mengacak rambut Tifa pelan. Hal yang terjadi pada Tifa adalah kebekuan. Hatinya tak lagi panas. Tapi kesejukan yang datang. Ah, Ron! Elo enggak ngomong apa-apa juga gue udah enggak emosi lagi, ujarnya dalam hati. Tapi apa Roni bisa mengerti? Tentu saja tidak. Ia kembali lagi ke kegiatannya tadi tapi sambil mengoceh panjang lebar. Memberi saran yang cukup banyak untuk Tifa. Tapi gadis ini sama sekali tak mendengarkan. Ia masih asik merasakan kesejukan tadi. Sampai Roni menyentak namanya, barulah ia tersadar.

“Ngerti, kan?” tanya Roni. Tifa hanya mengangguk. Padahal ia sama sekali tak tahu apa yang tadi dikatakan Roni. Setelahnya, ia melayang ke dapur. Roni hanya menatapnya. Sekali lagi ia tersenyum karena Tifa mudah sekali diredam amarahnya. Meski ujungnya nanti dia akan mendumel lagi kalau sudah di kampus.

Entah apa yang diracik Tifa di dapur. Baunya sama sekali tidak mencapai rongga hidung Roni. Tifa membuka jendela di atas kompor agar baunya langsung keluar. AC di dapur juga ia matikan. Ia tidak suka kalau Roni ngambek karena bau masakannya. Pasalnya bocah itu kalau sudah ngambek susah dibalikinnya. Butuh waktu beberapa hari untuk membuatnya seperti biasa. Padahal Tifa masak juga buat dia.

Selesai, bibir Tifa menyungging bulan sabit. Membuat wajah bulatnya tadi terlihat manis, bukan cantik. Inilah kenapa Roni dan mungkin teman-teman cowok Tifa lainnya suka sekali memandangi wajah Tifa. Alasannya karena enggak bosenin. Walau Tifa kadang-kadang risih juga kalau sudah dipandangi berlama-lama oleh teman-temannya. Dia kan bukan pajangan yang bisa seenak udel orang lain dipandangi berlama-lama. Apalagi Roni. Hem… ada cerita tersendirinya kalau untuk Roni.

“Sarapan!” teriaknya dari dapur. Sejurus kemudian sudah melesat dan duduk di sofa. Dua piring nasi goreng dia taruh di atas meja. Tentu saja dengan porsi yang berbeda. Roni mendekat dan tanpa komentar apapun melahap nasi goreng itu. Tifa juga tak akan bertanya enak atau tidak. Kemampuan memasaknya sudah seperti asisten chef di restoran-restoran begitu. Jadi tidak usah dipertanyakan. Terang saja, ibunya saja pemiliki restoran cukup famous di kota kecil Bandar Lampung ini. Ada beberapa cabang juga di kota lain, dan untuk pusat, ibunya sendiri yang turun tangan. Factor given.

Setelah makan Roni menggandeng Tifa, bergegas ke kampus. Waktunya mepet. Padahal Tifa masih kekeh ingin mencuci piring. Padahal jarak dari apartement Roni ke kampus lumayan jauh. Kalau naik motor sekitar lima belas menit baru sampai. Kadang Roni heran sendiri dengan bocah satu ini. Kosnya lebih dekat dengan kampus. Tapi dia lebih senang ke tempat Roni dulu daripada langsung ke kampus. Parahnya, bahkan rumahnya sendiri lebih dekat dengan kosan. Tapi dia memilih ngekos. Alasannya sih biar mandiri. Ah, entahlah. Anak orang kaya ada-ada saja kelakuannya.

Di atas motor, Tifa lebih banyak memilih diam. Roni sendiri heran dengan tingkahnya. Padahal biasanya gadis ini selalu bawel. Yang kecepetan lah, kelambatan lah, ati-atilah, inilah, itulah, banyak! Tapi sekarang tumben-tumbenan dia diam. Saat Roni menegurnya saja dia hanya bilang enggak papa. Puasa ngomong. Apa mungkin ada sesuatu yang dipikirkannya? Kalau dilihat dari kaca spion sih, ekspresi wajahnya menunjukkan demikian.

Masih ada sisa dua menit sebelum batas limit keterlambatan diizinkan. Buru-buru Roni turun duluan. Padahal Tifa masih nangkring di atas motor. Bocah itu masih kalem. Tidak protes karena dengan seenak jidatnya Roni memasang standarnya tanpa menunggu Tifa turun. Tidak ada waktu untuk bertanya lebih lanjut. Kelasnya makan jarak yang lama kalau dari parkiran. Tifa terlalu lelet. Hingga Roni langsung melepas helm di atas kepala sahabatnya itu. “Buru!” sentaknya pelan. Tifa tak menyahut atau bahkan menanggapi. Dengan santainya ia turun dari motor dan mengekori Roni sepuluh senti di belakangnya.

“Ron!” akhirnya bibirnya terbuka. Roni hanya berdehem sebagai jawaban. Sedangkan Tifa maju mundur, antara iya atau tidak mau bicara lagi. Roni tak menyadari ekspresi galau sahabatnya. Ia masih fokus jalan. Sayang kalau sampai pagi ini dia tidak bisa masuk kelas. Kalau ke kampus pagi-pagi hanya untuk telat, mendingan di rumah saja. Molor atau main PS gitu kan. Daripada jadi ayam kampus ngeker-ngeker halaman kelas atau ke kantin. Bukan Roni banget.

“Gue mau cerita soal temen gue,” lanjut Tifa. Sepertinya ia akhirnya memutuskan untuk bicara. Sedang Roni sendiri mulai mencurigai sesuatu mendengar kata temen. Karenanya ia memerlambat langkahnya. Memersiapkan hatinya kalau benar-benar akan mendengar sesuatu yang mengusik batinnya sekarang.

“Kan temen gue cewek, punya sahabat cowok. Nah, cowoknya itu percaya banget sama temen gue ini sebagai sahabatnya. Kalo ada apa-apa, si cowok selalu cerita ke cewek. Tapi…” Tifa sengaja menggantung kata-katanya. Matanya melirik ke wajah Roni. Bermaksud melihat ekspresi apa yang akan diberikan Roni untuk ceritanya ini. Mungkin Tifa tak menyadari. Entah karena acting Roni yang terlalu bagus, atau karena Tifa tidak bisa membaca ekspresi itu dengan benar karena dalam keadaan berjalan seperti ini. Wajah tampan itu mulai gusar. Ada rasa cemas dan takut kecewa karena suatu hal.

“… diem-diem si cewek suka sama sahabatnya itu.”

Deg! Jantung Roni serasa berhenti. Sebagai imbas, kakinya juga berhenti melangkah. Akhirnya sepuluh senti tadi kini sejajar. Tifa ikut berhenti untuk melanjutkan ceritanya. “Menurut elo si cewek harus gimana?” tanyanya sebagai akhir.

Roni memandang Tifa datar. Itu menurut Tifa. Ia tak tahu, mata yang memandangnya itu adalah tatapan kecewa. Wajah tirus itu menegang. Mungkinkah amarah yang tengah ia tahan sekarang? “Tetep jaga kepercayaan sahabatnya,” jawab Roni. Tifa diam. Baru ia sadar, jawaban ini begitu dingin. Hangat dari setiap tutur Roni yang biasanya tiba-tiba hilang. Entah mengapa Tifa merasa bersalah. Mengapa ia harus menceritakan hal ini. Mungkin Roni bisa menangkap maksud Tifa sebenarnya. Untuk cowok secerdas Roni naif rasanya kalau dia tak mengerti siapa dua orang yang dimaksud Tifa dalam ceritanya.

“Itu sih menurut gue,” sambung Roni lagi. Seulas senyum manis tiba-tiba menggantikan wajah dinginnya tadi. Tifa langsung terkesiap. Ia bingung harus bertingkah apa. Roni memberinya kesempatan untuk kembali mencairkan suasana. Seharusnya tak ia buang percuma begitu saja, kan?

“Ya… iya… gue kan nanyanya menurut elo. Masa menurut Mario Teguh, sih!” hanya sentakan yang Tifa bisa. “Udah, ayo! Nti disuruh keluar lagi sama Pak Husen,” ujarnya, kemudian berjalan duluan. Tak ia pedulikan Roni yang masih di tempat. Memandang punggungnya dengan tatapan yang sama seperti tadi. Kecewa dan sedikit rasa bersalah. Apa gue terlalu jauh? Tanya batinnya.

“Ron! Buruan!” teriak Tifa tanpa menoleh sedikit pun. Roni memercepat langkahnya. Kembali menyejajarkan langkahnya dengan Tifa.

“Maaf, Fa,” lirih Roni. Tidak ada kebisingan apapun yang membuat Tifa tidak mendengar kata singkat tadi. Terpaksa ia harus kembali berhenti. Menatap Roni menuntut penjelasan dari kata pendeknya barusan. Tapi Roni malah nyengir kuda. Tangannya menggaruk kepalanya sendiri yang tidak gatal. “Flashdisk elo enggak gue bawa lagi. Hehe…” tambahnya. Tifa langsung mendelik. Ngomel-ngomel tak jelas dan memukuli Roni beberapa kali. Tapi si pelaku malah tertawa dan ngacir duluan.

***

Kelas yang ramainya hampir menyamai pasar kambing, plus pasar bebek, plus pasar ayam, plus pasar sayur yang emak-emaknya pada tawar-tawaran harga, plus pasar baju yang tante-tantenya pada rebutan karena diskon besar-besaran, serta plus plus lainnya, tidak menyurutkan keinginan Awan untuk membaringkan kepalanya di atas meja barang sebentar. Semalam dia begadang. Tugas bejibun, dan dia sendiri yang mengerjakan. Padahal itu tugas kelompok. Walaupun dia sendiri yang menyanggupi. Masalahnya, kalau tugas makalah, buat powerpoint yang hanya bisa dikerjakan dengan satu laptop, menurutnya, itu dikerjakan rame-rame, ribet. Masa keyboard satu dipake buat barengan.

Impasnya di pagi hari seperti ini. Tadi dia sudah menyuruh Nata untuk pergi ke warnet. Ngeprint dan membuat daftar isi serta cover. Cuma dua hal itu yang paling malas dikerjakan Awan. Sebenarnya dalam hati dia mengeluh. Apesnya, meski ia satu kelompok belajar dengan Esta, ia sama sekali tak pernah berada satu kelompok dengannya ketika presentasi. Malah Nata, dan Nata saja setiap hari. Sudah seperti tak ada makhluk lain saja selain Nata di kelas ini.

Awan salah kalau berpikir berangkat lebih pagi akan mendapati kelas yang tenang. Yang ada, saat ia berangkat sudah banyak teman-temannya yang nimbrung di kelas. Ada yang ulang tahun, jadi cukup rame. Dia cuma memberi ucapan selamat seadaanya pada Silvi, si yang berulang tahun. Ia tak begitu dekat dengannya, jadi setelah itu ia memilih tidur saja di pojokkan kelas. Telinganya diganduli headseat, pantas ia cukup tenang untuk memejamkan matanya sudah lima belas menit lamanya.

“Pak Dodo enggak ada. Kerjain soal yang ada di blognya katanya,” suara Tama terdengar. Tentu saja bukan ke telinga Awan, tapi ke telinga teman-temannya yang lain. Bedanya sama anak SMA, ketika bocah kuliahan tidak ada dosen di pagi hari mereka akan mengeluh. Pasalnya mereka harus mandi lebih pagi dari biasanya, tak bisa pergi ke mall, hang out bareng temen-temen malah ke kampus, giliran sampai kampus malah dosen tidak ada. Dititipi tugas pula.

Tak ada yang mengganggu Awan. Atau membuatnya agar bangun untuk mengerjakan tugas yang diminta dosennya pagi ini. Padahal mereka semua sudah sibuk mengaktifkan laptop masing-masing. Memanfaatkan signal wifi dan melayang ke dunia internet. Termasuk juga Esta. Bahkan ia tak sadar kalau Awan sebenarnya sudah berangkat sejak tadi. Anak itu terlalu kecil mungkin, sampai-sampai tidur di pojokkan juga tidak ada yang tahu. Begitu Lin menanyakannya barulah kepalanya celingukan.

“Noh, di pojok! Lagi molor,” jawab Nata saat ditanyainya. Esta berdiri. Beranjak mendekati sahabatnya itu. Kebetulan ada bangku kosong. Ia tidak langsung membangunkannya. Entah kenapa ia ingin memandanginya lebih lama. Karenanya ia duduk. Mengulurkan tangannya itu menyeka poni Awan agar ia bisa memandangi wajahnya dengan jelas. Ini pertama kalinya ia memandang wajah Awan sedekat ini. Matanya yang tertutup menuju alam mimpi membuatnya terlihat damai. Tapi, wajah itu tiba-tiba basah. Ada yang keluar dari kelopak matanya yang tertutup itu. Awan nangis? Gumam Esta dalam hati. Ketika ia hendak menyeka air mata itu, bibir Awan bergetar menyebut, 
“Kakak…” Esta terdiam. Apa Awan sedang memimpikan kakaknya?

“Wan…” lirih Esta. Hampir saja ia membangunkannya jika bibir Awan tidak kembali bergetar, dan setetes air kembali mengalir melewati pipinya. Akhirnya ia pun hanya bisa menghela nafasnya. Ia kembali ke laptopnya yang tadi sudah ia bawa kemari. Satu soal lagi di-download-nya. Kemudian jemarinya mulai lihai menekan keyboard-nya. Satu soal ia beri nama: Awan Cakra Winata.

***

Mata Awan baru terbuka ketika sudah tidak ada orang lagi di kelasnya. Ia cukup terkejut Esta masih bertengger manis di sampingnya. Entah sejak kapan gadis ini memandanginya seperti itu. Karenanya ia langsung terkesiap. Sembari membawa detak jantungnya yang tak bisa ia kontrol, ia mengangkat kepalanya. Tapi ia tak langsung menatap Esta. Alih-alih melempar pandangannya ke sisi lain sekalian memastikan wajahnya cukup bersih. Siapa tahu ada iler yang masih nyangsang di wajahnya, kan.

Sedang Esta sendiri cukup heran melihat tingkahnya tanpa berkomentar apapun. Dibiarkannya Awan sampai mau menoleh ke arahnya. Setelahnya barulah ia memberikan hp beserta headseat yang tadi sempat ia ambil sebentar. Tak baik tidur dengan lagu yang masih mengalun keras di telinga.

Tapi reaksi Awan cukup mengejutkan. Matanya mendelik sempurna melihat hp itu di tangan Esta. Buru-buru ia sambar hp itu. Pasalnya foto manis Esta-lah yang menjadi wallpapernya. Jantung yang berpacu cepat karena pandangan Esta ke wajahnya tadi kini bertambah. Mampus! Gue ketahuan! Pikirnya. “A, anu… Es… I, ini…” mulutnya megap-megap mencari penjelasan yang sesuai. Bola matanya gusar, khawatir kalau-kalau Esta akan menjadi wartawan hati sekarang. Ngapain pasang wallpaper foto gue di hp elo? Elo naksir sama gue, ya? pertanyaan-pertanyaan seperti itu langsung bergentayangan di otaknya.

“Apaan, sih?!” tanya Esta ketus. Mendengar pertanyaan itu, Awan memilih menatap sekaligus mencermati eskpresi apa yang diberikan Esta. Kedua alis tipis gadis ini hampir bertemu, menandakan bahwa ia tidak cukup mengerti dengan reaksi yang ia berikan. Tunggu! Apa mungkin Esta tak sempat melihatnya?

Tanpa bertanya apapun, Awan mengambil satu cabang kabel headseat-nya. Masih terdengar jelas lagu It’s my life-nya Bond Jovi. Ah… berarti Esta belum mengotak-atik hpnya. Reflek ia menghela nafas. Hampir aja…

“Nga, ngapain elo di sini? Natap-natap gue penuh nafsu lagi. Naksir elo ya sama gue?!” sentaknya, mengalihkan perhatian Esta dari hpnya.

“Hah?!” Esta mendecak tak percaya. Tangannya sontak memukul kepala Awan saking kesalnya, kebiasaan. “Naksir, naksir pala elo peyang! Ditolongin malah ngata-ngatain elo!” bentaknya kemudian.

Awan manyun. Tangannya mengelus-elus bekas pukulan Esta tadi. Yah… paling tidak canggungnya mencair meski harus jadi korban dulu. “Te, terus… elo ngapain coba?” tanyanya, melirihkan suaranya.

“Elo tu! Ngapain sih elo semalem? Ngeronda, ya? Bisa-bisanya tidur pas anak-anak berisiknya ngalahin tante-tante arisan.”

“Iya, gue begadang. Tapi bukan begadang karena ngeronda. Pan gue kagak ikutan jadi anggota Karang Taruna di sekitaran kosan gue, Es.”

“Ish!” bibir Esta mencibir kesal. “Elo traktir gue!” bentaknya seraya bangun. Bahkan ia tak peduli ketika Awan melongo mendengar kata traktir barusan. “What for? Gue kagak ngutang apa-apa sama elo, kan?” tanyanya terlanjur polos.

“Siapa bilang? Tugas elo tadi gue yang ngerjain. Kalo enggak ada gue paling elo besok udah dapet wejengan panjang plus lebar dari Pak Dodo.”

“Oh…”

“Oh?” Esta menatapnya tak percaya. “Itu doang?”

“Em…” tangan Awan kembali menggaruk-garuk kepalanya. “Ma, makasih, deh…”

“Traktir gue, bego!” sentak Esta lagi. Jengah dengan watados-nya Awan, tanpa malu-malu ia menarik telinga kiri Awan. Memaksa Awan berdiri dan terpaksa mengikutinya dengan rengekan, “Sakit, Es…” tapi Esta tak peduli. Ia lapar. Tak ada waktu menunggu persetujuan dari Awan.

Satu hal, ia mengurungkan niatnya untuk bertanya. Kenapa foto gue jadi wallpaper hp Awan, ya?


Sebelumnya               Selanjutnya

No comments:

Post a Comment