Tangan Roni
meraih keran shower. Kepalanya mulai merasakan dingin karena guyuran air
shower. Perlahan, air itu melewati seluruh tubuhnya. Nampak menelusuri
setiap lekuk tubuhnya yang cukup atletis itu. Mulai dari otot-otot di lengannya
hingga perutnya yang nampak kotak-kotak. Kulit kuning langsatnya membalut
tampilannya sedemikian rupa hingga tampak apik dan benar-benar sepadan dengan tekstur
wajah tampannya. Mata sedangnya terpejam merasakan sensasi titik air ke seluruh
tubuhnya. Bibir merahnya bergetar. Ada yang salah dengan air di wajahnya. Lebih
banyak. Terutama yang melewati wajah tirusnya.
Perlahan,
desahan tadi mengalun pelan menjadi sebuah isakan. Beban berat tadi berubah
menjadi sesak. Air itu seolah membekap dadanya. Ia kesulitan mengambil napas.
Sampai-sampai mulutnya harus terbuka, megap-megap mirip ikan yang
kekurangan air. Seketika itu pula kakinya melemas. Beban dan sesak itu
memaksanya terduduk lemas. Ia mulai beringsut. Bersandar memeluk lutut dan
terus sesenggukan di bawah air. Perih… kenapa ia tiba-tiba memulai perih dan
sakit yang luar biasa dalam keadaan seperti ini?
Tiga puluh
menit barulah Roni menyudahi rutinitasnya tadi. Ia keluar dengan
semerbak harum lavender yang menyeruak ke hidungnya sendiri. Wangi yang ia
suka. Hanya berbalut handuk putih dari perut sampai lutut. Handuk biru kecil ia
gunakan untuk mengeringkan rambutnya. Selesai menyeka wajah, telinganya
menangkap panggilan seseorang.
“Ron!” suara
ini begitu ia kenal. Reflek matanya menelusuri setiap sudut kamarnya. Ada
seseorang yang duduk di tepi tempat tidurnya sambil tersenyum. Senyum manis,
yang juga cukup ia rindukan. Tapi ia mendelik tak percaya. Pasti ia
berhalusinasi jika melihat cowok yang tak kalah tampan dengannya ini. Apalagi di
kamarnya, serta dalam waktu yang tidak mungkin rasanya.
“Lang?”
bibirnya berseru, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Sosok itu hanya
tersenyum. Meski dengan langkah bergetar, Roni mendekat. Tangannya terulur,
menggapai sosok ini. Bahkan senyuman itu tidak menghilang meski wajah Roni
terus mengukir ketidakpercayaan. Matanya mulai berkunang, mungkin sebentar lagi
meluncurkan setetes air. Getaran di kakinya tadi merambat ke bibirnya. Sekali
lagi menyebut, “Lang?” meski tak ada tanggapan.
Begitu
tangannya tinggal semili lagi, sosok itu menghilang. Hampir mirip dengan asap
yang membumbung ke udara. Saat itu juga tetes tadi mengalir manis di pipi Roni.
Turun hingga ke hati, membuat kubangan perih yang tadi sempat selesai, malah
kembali lagi. Haruskah ia terisak kembali?
Ting tong! Ting tong! Roni sempat terkejut dengan suara bel ini. Ada yang
datang? Sepagi ini?
Selesai
menyeka air matanya, kakinya melangkah. Menurut panggilan bel itu. Siapa,
ya? pikirnya. Begitu pintu terbuka, barulah terlihat seorang cewek dengan
rambut sebahu mengenakan bandana dan wajah bulat memasang wajah kusutnya.
“Tifa?”
“Ron!”
balasnya dengan nada tinggi. Campurannya mungkin kesal, jengkel dan
perasaan-perasaan menyebalkan lainnya. Mungkin Roni harus mengalah, kemudian
pelan-pelan menyingkirkan perihnya ini. Mungkin bocah ini butuh bantuan. Karena
seingatnya ia tidak membuat kesalahan apapun agar berhasil membuat wajah Tifa
sekusut itu. Jadi bukan saatnya minta maaf dan bertanya apa kesalahannya.
“Elo ngapain
pagi-pagi pasang muka cembetut kayak gini?” tanya Roni. Masih belum membiarkan
Tifa masuk. Yah… walaupun biasanya Tifa langsung nyelonong masuk begitu saja
tanpa dipersilahkan. Tapi, ada yang aneh kali ini. Kenapa Tifa malah diam,
tidak menjawab pertanyaannya, dan terpatung menatap dirinya. Tidak, bukan
wajahnya. Melainkan ke arah lain.
Roni
mengikuti arah pandangnya. Tunggu! Dia kan belum…
“RONI!!!”
teriakan Tifa hampir membuat Roni terkena serangan jantung. Suaranya yang
melengking masalahnya langsung menukik tajam ke gendang telinganya. Mungkin Tifa
baru saja menggunakan suara sembilan oktafnya. Dilihatnya Tifa sudah berbalik
dan kedua tangannya menutupi wajahnya sendiri. “Elo gila, ya?! Kok elo cuma
make handuk gitu, sih?!” dumelnya.
Roni malah
tertawa. Dan dengan santainya malah memertahankan posisinya di sana. “Gue baru
selesai mandi, elonya kayak kesetanan gitu mencet belnya. Enggak sempet kali
gue pake baju,” jawabnya sebagai alasan.
“Ya udah
sono ganti!”
“Kenapa
emang? Bukannya badan gue seksi kan kalo cuma topless kayak gini?” goda Roni. Dasar
sedeng! Rutuk Tifa dalam hati. Ya, walaupun ia mengakui kata seksi
tadi cocok untuk tubuh Roni, tapi ya tidak serta merta ia akan membiarkan Roni
hanya berbalut handuk seperti itu, kan? “Sana ganti!” bentak Tifa.
“Iya-iya!
Cerewet, ah!” balas Roni. Terpaksa ia harus membiarkan Tifa di luar sebentar.
Ia kembali menutup pintu dan dalam hitungan menit ia kembali lagi membuka
pintu. Tampilannya hanya kaos oblong merah hati dan dipadu dengan jeans hitam
panjang. Rambutnya masih berantakan dan basah. Belum sempat melakukan
pengeringan lebih lanjut. Tapi tampilannya yang seperti itu malah membuat Tifa
makin yakin, bahwa sahabatnya yang satu ini benar-benar tampan!
“Hey… biasa
aja kali ngeliatnya. Gue tahu kok kalo gue ganteng. Tapi enggak perlu nafsu
juga kali, Fa,” ujar Roni tanpa sadar membuat jantung Tifa berdegup kencang.
Sialnya dia ketahuan. Tapi, dia kan melakukannya tepat di depan Roni. Bagaimana
mungkin bisa tidak ketahuan?
Alih-alih
dengan detak jantungnya tadi, ia menerobos masuk. Seperti biasa. Apartement
kecil ini hanya terdiri dari ruang tamu yang bergabung dengan kamar, kamar
mandi dan dapur. Ada tv di sudut ruangan, bersebelahan dengan meja belajar,
dengan tetek bengeknya seperti DVD, PS, sound
dan beberapa kaset bernaung ala kadarnya di bawah. Favorit Tifa adalah kasur
empuk dengan seprai putih bersih yang ada di bawah atap transparan. Ketika ia
membaringkan tubuhnya, maka bau khas lavender Roni akan ia rasakan. Matanya
dimanjakan dengan pemandangan langit dengan beberapa awan tipis yang mengarak.
Belum terlalu menyilaukan karena masih pagi. Pernah ia bertanya pada Roni kalau
ia menaruh tempat tidurnya di bawah sinar matahari begini kan kalau siang pasti
panas. Tapi jawaban Roni malah seperti ini, “Kan gue tidurnya malem. Gue juga
enggak bego-bego banget, punya apartement tapi enggak dipasangin AC.” Tifa langsung
pasang wajah sebal setelah mendengarnya.
Seperti
sekarang juga, Tifa langsung tidur telentang di atas tempat tidur. Membiarkan
Roni menggeleng-gelengkan kepalanya. Apartement Roni sudah seperti tempat
tinggalnya sendiri malah. Ada dapur di sana, bahkan Roni hanya menjadikannya
tempat untuk menyimpan air dingin di kulkas. Selebihnya, 75% Tifa yang
menggunakannya. Alasannya di kosannya tidak ada kompor. Padahal ia tahu, Tifa
hanya ingin membuatkannya makanan. Kebiasaan buruknya yang pasti langsung makan
mie instan kalau malas keluar. Bahkan, stok mie instan sekardus yang sudah Roni
siapkan langsung dibawa keluar Tifa saat ketahuan. Entah dibawa kemana. Dijual
mungkin. Sebagai gantinya, setiap Roni tidak ada makanan, Tifa akan dengan
senang hati untuk memasakkannya. Meski Tifa akan berdalih bahwa ia masak untuk
dirinya sendiri. Roni hanya ia beri sisanya. Yang ada, yang Roni lihat malah
Tifa yang dapat sisaan. Dia dapat bagian lebih banyak. Alasannya lagi-lagi
klise. “Gue tuh cewek, enggak pantes makan makanan sebanyak ini.” Terus
kenapa masak banyak?
Roni memilih
meja belajarnya. Memberesi beberapa barang yang harus ia bawa hari ini untuk
kuliah. Ia harus membiarkan gadis itu berbaring dulu beberapa menit. Kalau dia
mulai merutuk, mengumpat, mengeluh dan sebagainya, barulah ia akan menjadi
pendengar setia. Bertanya, “Kenapa, sih? Siapa yang udah buat sobat gue satu
ini pasang muka jelek walau aslinya udah jelek?” atau semacamnya.
“Huh!” nah,
ini saatnya.
“Kenapa,
sih? Siapa-siapa? Siapa yang udah bikin muka elo cemberut kayak bebek enggak
dikasih makan sebulan, hah?” tanya Roni. Menggeser kursi belajarnya hingga ke
depan Tifa yang sudah duduk. Tempat tidurnya yang lebih tinggi dari kursi itu
membuat wajah Tifa bisa sejajar dengan wajah Roni.
“Gue capek kalo
begini mulu!” Tifa memulai ceritanya. “Apa-apa gue mulu yang kerja. Gue mulu
yang turun tangan. Mereka enak-enakan nanya udah selesai apa belum. Padahal kan
materi kelompok gue susahnya innalillah.
Bukannya bantuin nyari buku kek, apa kek. Cari materi kek. Gimana kek. Ih!
Sebel gue!”
“Udah
ngomong baik-baik sama mereka?”
“Mereka
dibaikin? Hih! Enggak ngaruh, Ron!”
“Tifa,
Tifa!” Roni berdiri. Tangannya terulur mengacak rambut Tifa pelan. Hal yang
terjadi pada Tifa adalah kebekuan. Hatinya tak lagi panas. Tapi kesejukan yang
datang. Ah, Ron! Elo enggak ngomong apa-apa juga gue udah enggak emosi lagi,
ujarnya dalam hati. Tapi apa Roni bisa mengerti? Tentu saja tidak. Ia kembali
lagi ke kegiatannya tadi tapi sambil mengoceh panjang lebar. Memberi saran yang
cukup banyak untuk Tifa. Tapi gadis ini sama sekali tak mendengarkan. Ia masih
asik merasakan kesejukan tadi. Sampai Roni menyentak namanya, barulah ia
tersadar.
“Ngerti,
kan?” tanya Roni. Tifa hanya mengangguk. Padahal ia sama sekali tak tahu apa
yang tadi dikatakan Roni. Setelahnya, ia melayang ke dapur. Roni hanya
menatapnya. Sekali lagi ia tersenyum karena Tifa mudah sekali diredam
amarahnya. Meski ujungnya nanti dia akan mendumel lagi kalau sudah di kampus.
Entah apa
yang diracik Tifa di dapur. Baunya sama sekali tidak mencapai rongga hidung
Roni. Tifa membuka jendela di atas kompor agar baunya langsung keluar. AC di
dapur juga ia matikan. Ia tidak suka kalau Roni ngambek karena bau masakannya.
Pasalnya bocah itu kalau sudah ngambek susah dibalikinnya. Butuh waktu beberapa
hari untuk membuatnya seperti biasa. Padahal Tifa masak juga buat dia.
Selesai,
bibir Tifa menyungging bulan sabit. Membuat wajah bulatnya tadi terlihat manis,
bukan cantik. Inilah kenapa Roni dan mungkin teman-teman cowok Tifa lainnya
suka sekali memandangi wajah Tifa. Alasannya karena enggak bosenin.
Walau Tifa kadang-kadang risih juga kalau sudah dipandangi berlama-lama oleh
teman-temannya. Dia kan bukan pajangan yang bisa seenak udel orang lain
dipandangi berlama-lama. Apalagi Roni. Hem… ada cerita tersendirinya kalau
untuk Roni.
“Sarapan!”
teriaknya dari dapur. Sejurus kemudian sudah melesat dan duduk di sofa. Dua
piring nasi goreng dia taruh di atas meja. Tentu saja dengan porsi yang
berbeda. Roni mendekat dan tanpa komentar apapun melahap nasi goreng itu. Tifa
juga tak akan bertanya enak atau tidak. Kemampuan memasaknya sudah seperti
asisten chef di restoran-restoran begitu. Jadi tidak usah dipertanyakan. Terang
saja, ibunya saja pemiliki restoran cukup famous di kota kecil Bandar
Lampung ini. Ada beberapa cabang juga di kota lain, dan untuk pusat, ibunya
sendiri yang turun tangan. Factor given.
Setelah
makan Roni menggandeng Tifa, bergegas ke kampus. Waktunya mepet. Padahal Tifa
masih kekeh ingin mencuci piring. Padahal jarak dari apartement Roni ke kampus
lumayan jauh. Kalau naik motor sekitar lima belas menit baru sampai. Kadang
Roni heran sendiri dengan bocah satu ini. Kosnya lebih dekat dengan kampus.
Tapi dia lebih senang ke tempat Roni dulu daripada langsung ke kampus.
Parahnya, bahkan rumahnya sendiri lebih dekat dengan kosan. Tapi dia memilih
ngekos. Alasannya sih biar mandiri. Ah, entahlah. Anak orang kaya ada-ada saja
kelakuannya.
Di atas
motor, Tifa lebih banyak memilih diam. Roni sendiri heran dengan tingkahnya.
Padahal biasanya gadis ini selalu bawel. Yang kecepetan lah, kelambatan lah,
ati-atilah, inilah, itulah, banyak! Tapi sekarang tumben-tumbenan dia diam.
Saat Roni menegurnya saja dia hanya bilang enggak papa. Puasa ngomong.
Apa mungkin ada sesuatu yang dipikirkannya? Kalau dilihat dari kaca spion sih,
ekspresi wajahnya menunjukkan demikian.
Masih ada
sisa dua menit sebelum batas limit keterlambatan diizinkan. Buru-buru Roni
turun duluan. Padahal Tifa masih nangkring di atas motor. Bocah itu
masih kalem. Tidak protes karena dengan seenak jidatnya Roni memasang
standarnya tanpa menunggu Tifa turun. Tidak ada waktu untuk bertanya lebih
lanjut. Kelasnya makan jarak yang lama kalau dari parkiran. Tifa terlalu lelet.
Hingga Roni langsung melepas helm di atas kepala sahabatnya itu. “Buru!”
sentaknya pelan. Tifa tak menyahut atau bahkan menanggapi. Dengan santainya ia
turun dari motor dan mengekori Roni sepuluh senti di belakangnya.
“Ron!”
akhirnya bibirnya terbuka. Roni hanya berdehem sebagai jawaban. Sedangkan Tifa
maju mundur, antara iya atau tidak mau bicara lagi. Roni tak menyadari ekspresi
galau sahabatnya. Ia masih fokus jalan. Sayang kalau sampai pagi ini dia tidak
bisa masuk kelas. Kalau ke kampus pagi-pagi hanya untuk telat, mendingan di
rumah saja. Molor atau main PS gitu kan. Daripada jadi ayam kampus ngeker-ngeker
halaman kelas atau ke kantin. Bukan Roni banget.
“Gue mau
cerita soal temen gue,” lanjut Tifa. Sepertinya ia akhirnya memutuskan untuk
bicara. Sedang Roni sendiri mulai mencurigai sesuatu mendengar kata temen.
Karenanya ia memerlambat langkahnya. Memersiapkan hatinya kalau benar-benar
akan mendengar sesuatu yang mengusik batinnya sekarang.
“Kan temen
gue cewek, punya sahabat cowok. Nah, cowoknya itu percaya banget sama temen gue
ini sebagai sahabatnya. Kalo ada apa-apa, si cowok selalu cerita ke cewek.
Tapi…” Tifa sengaja menggantung kata-katanya. Matanya melirik ke wajah Roni.
Bermaksud melihat ekspresi apa yang akan diberikan Roni untuk ceritanya ini.
Mungkin Tifa tak menyadari. Entah karena acting Roni yang terlalu bagus,
atau karena Tifa tidak bisa membaca ekspresi itu dengan benar karena dalam
keadaan berjalan seperti ini. Wajah tampan itu mulai gusar. Ada rasa cemas dan
takut kecewa karena suatu hal.
“… diem-diem
si cewek suka sama sahabatnya itu.”
Deg! Jantung Roni serasa berhenti. Sebagai imbas, kakinya juga berhenti
melangkah. Akhirnya sepuluh senti tadi kini sejajar. Tifa ikut berhenti untuk
melanjutkan ceritanya. “Menurut elo si cewek harus gimana?” tanyanya sebagai
akhir.
Roni
memandang Tifa datar. Itu menurut Tifa. Ia tak tahu, mata yang memandangnya itu
adalah tatapan kecewa. Wajah tirus itu menegang. Mungkinkah amarah yang tengah
ia tahan sekarang? “Tetep jaga kepercayaan sahabatnya,” jawab Roni. Tifa diam.
Baru ia sadar, jawaban ini begitu dingin. Hangat dari setiap tutur Roni yang
biasanya tiba-tiba hilang. Entah mengapa Tifa merasa bersalah. Mengapa ia harus
menceritakan hal ini. Mungkin Roni bisa menangkap maksud Tifa sebenarnya. Untuk
cowok secerdas Roni naif rasanya kalau dia tak mengerti siapa dua orang yang
dimaksud Tifa dalam ceritanya.
“Itu sih
menurut gue,” sambung Roni lagi. Seulas senyum manis tiba-tiba menggantikan
wajah dinginnya tadi. Tifa langsung terkesiap. Ia bingung harus bertingkah apa.
Roni memberinya kesempatan untuk kembali mencairkan suasana. Seharusnya tak ia
buang percuma begitu saja, kan?
“Ya… iya…
gue kan nanyanya menurut elo. Masa menurut Mario Teguh, sih!” hanya sentakan
yang Tifa bisa. “Udah, ayo! Nti disuruh keluar lagi sama Pak Husen,” ujarnya,
kemudian berjalan duluan. Tak ia pedulikan Roni yang masih di tempat. Memandang
punggungnya dengan tatapan yang sama seperti tadi. Kecewa dan sedikit rasa
bersalah. Apa gue terlalu jauh? Tanya batinnya.
“Ron!
Buruan!” teriak Tifa tanpa menoleh sedikit pun. Roni memercepat langkahnya.
Kembali menyejajarkan langkahnya dengan Tifa.
“Maaf, Fa,”
lirih Roni. Tidak ada kebisingan apapun yang membuat Tifa tidak mendengar kata
singkat tadi. Terpaksa ia harus kembali berhenti. Menatap Roni menuntut
penjelasan dari kata pendeknya barusan. Tapi Roni malah nyengir kuda.
Tangannya menggaruk kepalanya sendiri yang tidak gatal. “Flashdisk elo enggak gue bawa lagi. Hehe…” tambahnya. Tifa langsung
mendelik. Ngomel-ngomel tak jelas dan memukuli Roni beberapa kali. Tapi
si pelaku malah tertawa dan ngacir duluan.
***
Kelas yang
ramainya hampir menyamai pasar kambing, plus pasar bebek, plus pasar ayam, plus
pasar sayur yang emak-emaknya pada tawar-tawaran harga, plus pasar baju yang
tante-tantenya pada rebutan karena diskon besar-besaran, serta plus plus
lainnya, tidak menyurutkan keinginan Awan untuk membaringkan kepalanya di atas
meja barang sebentar. Semalam dia begadang. Tugas bejibun, dan dia sendiri yang
mengerjakan. Padahal itu tugas kelompok. Walaupun dia sendiri yang menyanggupi.
Masalahnya, kalau tugas makalah, buat powerpoint yang hanya bisa dikerjakan
dengan satu laptop, menurutnya, itu dikerjakan rame-rame, ribet. Masa
keyboard satu dipake buat barengan.
Impasnya di
pagi hari seperti ini. Tadi dia sudah menyuruh Nata untuk pergi ke warnet. Ngeprint
dan membuat daftar isi serta cover. Cuma dua hal itu yang paling malas
dikerjakan Awan. Sebenarnya dalam hati dia mengeluh. Apesnya, meski ia satu
kelompok belajar dengan Esta, ia sama sekali tak pernah berada satu kelompok
dengannya ketika presentasi. Malah Nata, dan Nata saja setiap hari. Sudah seperti
tak ada makhluk lain saja selain Nata di kelas ini.
Awan salah
kalau berpikir berangkat lebih pagi akan mendapati kelas yang tenang. Yang ada,
saat ia berangkat sudah banyak teman-temannya yang nimbrung di kelas. Ada yang
ulang tahun, jadi cukup rame. Dia cuma memberi ucapan selamat seadaanya pada
Silvi, si yang berulang tahun. Ia tak begitu dekat dengannya, jadi setelah itu
ia memilih tidur saja di pojokkan kelas. Telinganya diganduli headseat,
pantas ia cukup tenang untuk memejamkan matanya sudah lima belas menit lamanya.
“Pak Dodo
enggak ada. Kerjain soal yang ada di blognya katanya,” suara Tama terdengar. Tentu saja bukan ke telinga Awan, tapi ke telinga
teman-temannya yang lain. Bedanya sama anak SMA, ketika bocah kuliahan tidak
ada dosen di pagi hari mereka akan mengeluh. Pasalnya mereka harus mandi lebih
pagi dari biasanya, tak bisa pergi ke mall, hang out bareng
temen-temen malah ke kampus, giliran sampai kampus malah dosen tidak ada. Dititipi
tugas pula.
Tak ada yang
mengganggu Awan. Atau membuatnya agar bangun untuk
mengerjakan tugas yang diminta dosennya pagi ini. Padahal mereka semua sudah
sibuk mengaktifkan laptop masing-masing. Memanfaatkan signal wifi dan
melayang ke dunia internet. Termasuk juga Esta. Bahkan ia tak sadar kalau Awan
sebenarnya sudah berangkat sejak tadi. Anak itu terlalu kecil mungkin,
sampai-sampai tidur di pojokkan juga tidak ada yang tahu. Begitu Lin
menanyakannya barulah kepalanya celingukan.
“Noh, di
pojok! Lagi molor,” jawab Nata saat ditanyainya. Esta berdiri. Beranjak
mendekati sahabatnya itu. Kebetulan ada bangku kosong. Ia tidak langsung
membangunkannya. Entah kenapa ia ingin memandanginya lebih lama. Karenanya ia
duduk. Mengulurkan tangannya itu menyeka poni Awan agar ia bisa memandangi
wajahnya dengan jelas. Ini pertama kalinya ia memandang wajah Awan sedekat ini.
Matanya yang tertutup menuju alam mimpi membuatnya terlihat damai. Tapi, wajah
itu tiba-tiba basah. Ada yang keluar dari kelopak matanya yang tertutup itu. Awan
nangis? Gumam Esta dalam hati. Ketika ia hendak menyeka air mata itu, bibir
Awan bergetar menyebut,
“Kakak…” Esta terdiam. Apa Awan sedang memimpikan
kakaknya?
“Wan…” lirih
Esta. Hampir saja ia membangunkannya jika bibir Awan tidak kembali bergetar,
dan setetes air kembali mengalir melewati pipinya. Akhirnya ia pun hanya bisa
menghela nafasnya. Ia kembali ke laptopnya yang tadi sudah ia bawa kemari. Satu
soal lagi di-download-nya. Kemudian jemarinya mulai lihai menekan
keyboard-nya. Satu
soal ia beri nama: Awan Cakra Winata.
***
Mata Awan
baru terbuka ketika sudah tidak ada orang lagi di kelasnya. Ia cukup terkejut
Esta masih bertengger manis di sampingnya. Entah sejak kapan gadis ini
memandanginya seperti itu. Karenanya ia langsung terkesiap. Sembari membawa
detak jantungnya yang tak bisa ia kontrol, ia mengangkat kepalanya. Tapi ia tak
langsung menatap Esta. Alih-alih melempar pandangannya ke sisi lain sekalian
memastikan wajahnya cukup bersih. Siapa tahu ada iler yang masih nyangsang
di wajahnya, kan.
Sedang Esta
sendiri cukup heran melihat tingkahnya tanpa berkomentar apapun. Dibiarkannya
Awan sampai mau menoleh ke arahnya. Setelahnya barulah ia memberikan hp beserta
headseat yang tadi sempat ia ambil sebentar. Tak baik tidur dengan
lagu yang masih mengalun keras di telinga.
Tapi reaksi
Awan cukup mengejutkan. Matanya mendelik sempurna melihat hp itu di tangan
Esta. Buru-buru ia sambar hp itu. Pasalnya foto manis Esta-lah yang menjadi wallpapernya.
Jantung yang berpacu cepat karena pandangan Esta ke wajahnya tadi kini
bertambah. Mampus! Gue ketahuan! Pikirnya. “A, anu… Es… I, ini…” mulutnya
megap-megap mencari penjelasan yang sesuai. Bola matanya gusar, khawatir
kalau-kalau Esta akan menjadi wartawan hati sekarang. Ngapain pasang
wallpaper foto gue di hp elo? Elo naksir sama gue, ya?
pertanyaan-pertanyaan seperti itu langsung bergentayangan di otaknya.
“Apaan,
sih?!” tanya Esta ketus. Mendengar pertanyaan itu, Awan memilih menatap
sekaligus mencermati eskpresi apa yang diberikan Esta. Kedua alis tipis gadis
ini hampir bertemu, menandakan bahwa ia tidak cukup mengerti dengan reaksi yang
ia berikan. Tunggu! Apa mungkin Esta tak sempat melihatnya?
Tanpa
bertanya apapun, Awan mengambil satu cabang kabel headseat-nya. Masih
terdengar jelas lagu It’s my life-nya Bond Jovi. Ah… berarti Esta
belum mengotak-atik hpnya. Reflek ia menghela nafas. Hampir aja…
“Nga,
ngapain elo di sini? Natap-natap gue penuh nafsu lagi. Naksir elo ya sama
gue?!” sentaknya, mengalihkan perhatian Esta dari hpnya.
“Hah?!” Esta
mendecak tak percaya. Tangannya sontak memukul kepala Awan saking kesalnya, kebiasaan.
“Naksir, naksir pala elo peyang! Ditolongin malah ngata-ngatain elo!” bentaknya
kemudian.
Awan manyun.
Tangannya mengelus-elus bekas pukulan Esta tadi. Yah… paling tidak canggungnya
mencair meski harus jadi korban dulu. “Te, terus… elo ngapain coba?” tanyanya,
melirihkan suaranya.
“Elo tu!
Ngapain sih elo semalem? Ngeronda, ya? Bisa-bisanya tidur pas anak-anak
berisiknya ngalahin tante-tante arisan.”
“Iya, gue
begadang. Tapi bukan begadang karena ngeronda. Pan gue kagak ikutan jadi
anggota Karang Taruna di sekitaran kosan gue, Es.”
“Ish!” bibir
Esta mencibir kesal. “Elo traktir gue!” bentaknya seraya bangun. Bahkan ia tak
peduli ketika Awan melongo mendengar kata traktir barusan. “What for? Gue kagak ngutang apa-apa sama
elo, kan?” tanyanya terlanjur polos.
“Siapa
bilang? Tugas elo tadi gue yang ngerjain. Kalo enggak ada gue paling elo besok
udah dapet wejengan panjang plus lebar dari Pak Dodo.”
“Oh…”
“Oh?” Esta
menatapnya tak percaya. “Itu doang?”
“Em…” tangan
Awan kembali menggaruk-garuk kepalanya. “Ma, makasih, deh…”
“Traktir
gue, bego!” sentak Esta lagi. Jengah dengan watados-nya Awan, tanpa
malu-malu ia menarik telinga kiri Awan. Memaksa Awan berdiri dan terpaksa
mengikutinya dengan rengekan, “Sakit, Es…” tapi Esta tak peduli. Ia lapar. Tak
ada waktu menunggu persetujuan dari Awan.
Satu hal, ia
mengurungkan niatnya untuk bertanya. Kenapa foto gue jadi wallpaper hp Awan,
ya?
No comments:
Post a Comment