Friday, January 17, 2020

Epilog Berlabuh di Atas Karang


“Eh, enggak ada ya sejarahnya sahabat bisa jadi pacar. Enggak boleh itu. Haram hukumnya!” entah saat itu aku berpikiran apa sampai-sampai mengucapkan tiga kalimat ini. Mungkin juga aku hanya ingin melihat reaksinya. Namun, melihatnya yang tiba-tiba malah langsung pergi seperti itu, meyakinkanku bahwa ia tak begitu peduli dengan kata-kataku. Salahkah jika kukatakan bahwa ia pun setuju penuh dengan pernyataan seperti itu?
Tapi tingkah dan perhatiannya selama ini membuatku merasa lain. Ini bukan sikap perhatian dari sahabat ke sahabatnya, tapi lebih dari itu. Entah ini kenyataan atau hanya harapanku saja. Tapi, kenapa ia memasang fotoku sebagai wallpaper hp-nya? Apa iya ada sahabat yang memasang foto sahabatnya sebagai wallpaper hp? Itu mungkin saja kalau sesama cewek.

Masalahnya ini hubungan antara cewek dan cowok. Apalagi setelah bangun tidur dan kuberikan hp itu padanya, dia seolah gugup seperti itu. Salahkah jika kukatakan bahwa ia memang sebenarnya diam-diam memiliki perasaan yang lebih dari seorang sahabat padaku?

Atau bagaimana ia begitu khawatir ketika jariku berdarah. Padahal hanya sedikit, dan itu hanya setitik saja. Tapi dia khawatirnya bukan main. Sikapnya membuatku bingung. Kadang aku merasa ia bersikap biasa saja, kadang perhatian taraf wajar, kadang perhatian melebihi kata wajar. Salahkah aku bertanya sebenarnya bagaimana perasaannya yang sebenarnya padaku?

Sampai hari dimana aku membebaninya hanya untuk mengambil seekor kucing yang masuk ke dalam got, bahkan ia mau. Yah... walaupun dia memang banyak keluhan, tapi dia tetap melakukannya untukku. Ketika aku memberi kucing itu nama Awan, ia tak menolaknya dengan gencar. Protes sewajarnya. Tapi ia tetap tersenyum melihatku bermain dengan Awan kecil ini. Salahkah jika aku mulai mencari arti sebenarnya dari perasaanku sendiri?

Saat itu aku bahkan sempat tak percaya. Awan menangis. Dia yang mengeluarkan air mata tapi aku yang merasakan sesaknya. Aku ingin sekali menghapus air matanya. Mengatakan bahwa orang yang ia anggap kakak kandungnya itu baik-baik saja. Hingga akhirnya aku kembali bertanya, salahkah jika aku berharap ia pernah setidaknya sekali menangis untukku seperti itu?

Jika perasaanku sendiri mulai kutolak, mengapa pun aku harus merasa cemburu saat ia bertemu dengan cewek lain? Padahal ia hanya bertemu dengan orang yang sudah menabraknya pagi itu. Tapi entah kenapa aku merasa bahwa senyum yang diberikannya pada cewek itu terlalu manis, dan aku tak suka itu. Salahkah jika aku mulai yakin bahwa aku memang menyayanginya lebih dari seorang sahabat?

Tapi bagaimana dengan perasaannya? Setiap tingkahnya, perhatiaannya, tanggapnya, ekspresi wajahnya, tuturannya dan semuanya tak pernah bisa kutebak. Jika aku tak tahu seperti ini, apa memang harus kutanyakan langsung padanya? Atau malah memang aku harus menyatakan perasaanku lebih dulu? Tapi aku takut, aku takut sikapnya akan berubah. Sikapnya akan berubah setelah tahu perasaanku sebenarnya dan malah jauh dariku. Aku takut akan ketakutanku sendiri.

Tapi ketakutakanku itu hilang. Tepat saat aku melihat Awan menjatuhkan sesuatu sebelum keluar kelas saat itu. Tepat setelah malamnya aku menolak pernyataan cinta dari kak Dharma. Sesuatu yang jatuh itu adalah surat darinya. Aku tak tahu harus senang atau tidak. Awan menyatakan seluruh perasaannya di surat itu. Ternyata selama ini perasaanku kepadanya terbalaskan. Aku bahkan menangis membaca setiap kata puitis darinya. Hanya lewat dua lembar kertas ini aku bisa tahu bagaimana perasaannya selama ini padaku. Lantas bukankah perasaan yang sebenarnya adalah bahagia dariku? Ya, memang seharusnya aku bahagia. Andai saja Awan tidak berubah setelah aku mendapat surat ini. Setelah aku menemukan surat itu, dia malah seolah menjauh. Dalam satu hari, bahkan bisa kuhitung dengan jariku berapa kali aku bertegur sapa dengannya. Seharusnya aku bertanya kenapa sikapnya seperti itu padahal dalam surat itu ia jelas mengatakan betapa dia mencintaiku. Apakah hanya karena aku menerima surat itu tidak langsung dari tangannya? Tapi apakah hal itu mungkin?

Setiap ia menghindariku, aku ingin sekali berteriak padanya. Sekuatnya. Sebenarnya apa yang sudah dilakukannya padaku? Kenapa jika memang benar dia mencintaiku tapi malah menghindar dan seolah menganggapku tak ada? Kenapa dengan tiba-tiba, dan bahkan tanpa penjelasan apapun ia menjaga jarak denganku. Apa salahku? Bahkan untuk menanyakan hal ini saja aku tak sempat!
Hari itu adalah hari paling menakutkan untukku. Pertama kalinya aku takut kehilangannya. 
Kehilangan dalam arti yang sesungguhnya. Takut ia pergi selama-lamanya tanpa bisa melihatnya lagi. 

Kenapa dengan bodohnya ia mendorongku? Kenapa ia tega membuatku merasa bersalah dan harus melihatnya di ambang kematian? Awan! Aku mencintaimu! Aku tak bisa kehilangan dirimu! Aku janji akan menyatakan semua perasaanku jika kau membuka matamu. Aku janji aku mengatakan semua perasaanku selama ini! Akan aku akui semua kebodohanku yang tak pernah menyadari perasaanmu sesungguhnya. Jadi kumohon, bangunlah... agar aku bisa mengatakan di depanmu, betapa aku menyayangimu dan aku ingin bersama denganmu sebagai kekasih. Bukan hanya sekedar sahabat.

Sebelumnya

No comments:

Post a Comment