“Eh, enggak ada ya sejarahnya sahabat bisa
jadi pacar. Enggak boleh itu. Haram hukumnya!” entah saat itu aku berpikiran apa sampai-sampai mengucapkan tiga
kalimat ini. Mungkin juga aku hanya ingin melihat reaksinya. Namun, melihatnya
yang tiba-tiba malah langsung pergi seperti itu, meyakinkanku bahwa ia tak
begitu peduli dengan kata-kataku. Salahkah jika kukatakan bahwa ia pun setuju
penuh dengan pernyataan seperti itu?
Masalahnya ini hubungan antara cewek dan cowok.
Apalagi setelah bangun tidur dan kuberikan hp itu padanya, dia seolah gugup
seperti itu. Salahkah jika kukatakan bahwa ia memang sebenarnya diam-diam
memiliki perasaan yang lebih dari seorang sahabat padaku?
Atau bagaimana
ia begitu khawatir ketika jariku berdarah. Padahal hanya sedikit, dan itu hanya
setitik saja. Tapi dia khawatirnya bukan main. Sikapnya membuatku bingung.
Kadang aku merasa ia bersikap biasa saja, kadang perhatian taraf wajar, kadang
perhatian melebihi kata wajar. Salahkah aku bertanya sebenarnya bagaimana
perasaannya yang sebenarnya padaku?
Sampai hari
dimana aku membebaninya hanya untuk mengambil seekor kucing yang masuk ke dalam
got, bahkan ia mau. Yah... walaupun dia memang banyak keluhan, tapi dia tetap
melakukannya untukku. Ketika aku memberi kucing itu nama Awan, ia tak
menolaknya dengan gencar. Protes sewajarnya. Tapi ia tetap tersenyum melihatku
bermain dengan Awan kecil ini. Salahkah jika aku mulai mencari arti sebenarnya
dari perasaanku sendiri?
Saat itu aku
bahkan sempat tak percaya. Awan menangis. Dia yang mengeluarkan air mata tapi
aku yang merasakan sesaknya. Aku ingin sekali menghapus air matanya. Mengatakan
bahwa orang yang ia anggap kakak kandungnya itu baik-baik saja. Hingga akhirnya
aku kembali bertanya, salahkah jika aku berharap ia pernah setidaknya sekali
menangis untukku seperti itu?
Jika perasaanku
sendiri mulai kutolak, mengapa pun aku harus merasa cemburu saat ia bertemu
dengan cewek lain? Padahal ia hanya bertemu dengan orang yang sudah menabraknya
pagi itu. Tapi entah kenapa aku merasa bahwa senyum yang diberikannya pada
cewek itu terlalu manis, dan aku tak suka itu. Salahkah jika aku mulai yakin
bahwa aku memang menyayanginya lebih dari seorang sahabat?
Tapi bagaimana
dengan perasaannya? Setiap tingkahnya, perhatiaannya, tanggapnya, ekspresi
wajahnya, tuturannya dan semuanya tak pernah bisa kutebak. Jika aku tak tahu seperti
ini, apa memang harus kutanyakan langsung padanya? Atau malah memang aku harus
menyatakan perasaanku lebih dulu? Tapi aku takut, aku takut sikapnya akan
berubah. Sikapnya akan berubah setelah tahu perasaanku sebenarnya dan malah
jauh dariku. Aku takut akan ketakutanku sendiri.
Tapi
ketakutakanku itu hilang. Tepat saat aku melihat Awan menjatuhkan sesuatu
sebelum keluar kelas saat itu. Tepat setelah malamnya aku menolak pernyataan
cinta dari kak Dharma. Sesuatu yang jatuh itu adalah surat darinya. Aku tak
tahu harus senang atau tidak. Awan menyatakan seluruh perasaannya di surat itu.
Ternyata selama ini perasaanku kepadanya terbalaskan. Aku bahkan menangis
membaca setiap kata puitis darinya. Hanya lewat dua lembar kertas ini aku bisa
tahu bagaimana perasaannya selama ini padaku. Lantas bukankah perasaan yang
sebenarnya adalah bahagia dariku? Ya, memang seharusnya aku bahagia. Andai saja
Awan tidak berubah setelah aku mendapat surat ini. Setelah aku menemukan surat
itu, dia malah seolah menjauh. Dalam satu hari, bahkan bisa kuhitung dengan
jariku berapa kali aku bertegur sapa dengannya. Seharusnya aku bertanya kenapa
sikapnya seperti itu padahal dalam surat itu ia jelas mengatakan betapa dia
mencintaiku. Apakah hanya karena aku menerima surat itu tidak langsung dari
tangannya? Tapi apakah hal itu mungkin?
Setiap ia
menghindariku, aku ingin sekali berteriak padanya. Sekuatnya. Sebenarnya apa
yang sudah dilakukannya padaku? Kenapa jika memang benar dia mencintaiku tapi
malah menghindar dan seolah menganggapku tak ada? Kenapa dengan tiba-tiba, dan
bahkan tanpa penjelasan apapun ia menjaga jarak denganku. Apa salahku? Bahkan
untuk menanyakan hal ini saja aku tak sempat!
Hari
itu adalah hari paling menakutkan untukku. Pertama kalinya aku takut
kehilangannya. Kehilangan dalam arti yang sesungguhnya. Takut ia pergi selama-lamanya tanpa bisa melihatnya lagi.
Kenapa dengan bodohnya ia mendorongku? Kenapa ia tega membuatku merasa bersalah dan harus melihatnya di ambang kematian? Awan! Aku mencintaimu! Aku tak bisa kehilangan dirimu! Aku janji akan menyatakan semua perasaanku jika kau membuka matamu. Aku janji aku mengatakan semua perasaanku selama ini! Akan aku akui semua kebodohanku yang tak pernah menyadari perasaanmu sesungguhnya. Jadi kumohon, bangunlah... agar aku bisa mengatakan di depanmu, betapa aku menyayangimu dan aku ingin bersama denganmu sebagai kekasih. Bukan hanya sekedar sahabat.
Sebelumnya
No comments:
Post a Comment