Pagi-pagi, bukan buta, sih. Buktinya matahari sudah sepenggal merangkak ke atap langit.
Bau basah tanah masih jelas terasa. Embun-embun pagi yang seharusnya memenuhi
dedaunan tergantikan dengan sisa-sisa hujan semalam. Pagi yang seharusnya
hangat berubah mendingin. Udaranya menusuk sampai ke tulang melalui pori-pori.
Tiba-tiba
merasakan sesuatu yang lembut menyapa hidungnya. Lambat laun berubah dengan
benda yang agak berbulu. Ia mencoba abai, lantas berbalik arah. Tidur menghadap
dinding demi menghindari gangguannya barusan. Tapi benda itu datang lagi. Lama
kelamaan ia risih juga. Ketika ia mencoba menghalaunya, tiba-tiba sesuatu yang
tajam menusuk batang hidungnya.
“Huwaa....!!!”
teriaknya sekuat tenaga. Begitu sadar barulah ia tahu makhluk apa yang sudah
membuat luka di batang hidungnya. “Awan!” sentaknya. Si putih Awan kedua itu
sudah menatapnya penuh kemenangan. Lantas kemudian dia menjilat-jilati
tangannya sendiri. Seolah nampak seperti psikopat yang menjilati pedangnya
setelah menghunus sang korban.
“Ya ampun!
Ssh...” rintih Awan. Uh, ini darah. Ya, walaupun kecil tapi tetap saja terasa
perih.
Ah... iya. Dia
lupa kalau dia sekamar dengan makhluk lain. Ya, kucing ini. Walau agak kesal,
mana mungkin ia akan membuangnya begitu saja. Kalimat-kalimat Esta tentang nolongin kucing yang membuatnya pusing
itu menggaung di kepalanya. Mana bisa ia melemparnya keluar dari kamarnya?
Paling tidak, selama ini si Khoirul yang sudah mengurusinya. Tapi ia tak tahu
kalau kucing kecil yang tak lebih besar dari telapak tangannya ini bisa
bertindak brutal. Aw! Sakit!
Dengan malas,
akhirnya Awan bangun. Beringsut ke laci mejanya, mencari plester. Untung masih
ada satu. Seingatnya, ini plester yang dibelikan Awan tahun lalu. Saat Awan
jatuh tersungkur saat mencoba membenarkan AC di ruang kuliah mereka. Bodohnya,
saat itu menaiki kursi yang jelas-jelas sudah reot. Bukannya AC itu hidup dan
menyemburkan hawa dingin, eh... malah
tambah rusak. Pasalnya saat ia hampir jatuh tangannya berpegangan pada AC itu.
Alhasil, AC itu tak kuat dan malah copot dan menimpa kepalanya. Dan yah...
jadilah ia dapat wejengan panjang dari dosen yang mengampu mata kuliah itu.
Jadilah sebuah
plester coklat membalut batang hidungnya. Setelahnya ia hanya garuk-garuk
kepala. Awan kedua ini mengelus-ngelus kakinya, merajuk sambil ngeong-ngeong. Mungkin dia lapar. Tapi
Awan sendiri tak punya makanan. Terpaksa ia keluar. Melihat suasana pagi yang
benar-benar dingin. Ia kembali lagi ke dalam. Mengambil jaket. Sekalian keluar
beli sarapan dan bahan makan siang nanti.
“Masuk sana! Gue
mau beli makanan. Elo mau sarapan, kan?” ujar Awan, tentu saja pada si Awan
kecil itu. Kucing itu menurut. Bahkan ia menggantikan posisi Awan di atas
tempat tidur. “Woy! Woy! Jangan di kasur gue! Ah! Bulu elo itu! Bulunya!” Awan
teriak-teriak. Tapi tetap saja si kucing tidak mau mendengarkannya. Ah! Tak ada
waktu. Perutnya sudah mulai keroncongan. Biarlah...
terlanjur...
“Terusin deh
tidur gue tadi,” katanya asal. Begitu ia berbalik, “Masya Allah! Setan
kecemplung empang!” Hadi sudah ada di sana.
“Eleh-eleh, Wan. Masa saya disarwaken sama setan, atuh?
“Elo juga!
Ngapain muncul tiba-tiba udah kayak setan aja!” rutuk Awan sebal.
“Sabar atuh, Wan. Saya teh cuma mau ngasih titipan.”
“Titipan?”
“Iya. Nih,” Hadi
mengulurkan plastik hitam.
“Apaan, nih?”
tanyanya setelah menerimanya. Meskipun belum dapat jawaban ia sudah mendapat
jawaban. Satu bungkus roti tawar dan sekaleng susu coklat cair.
“Itu kemaren ada
yang nitip. Siapa teh yang itu, yang
suka bawa motor laki itu, loh.” Bahkan jawaban Hadi pun tak sesuai dengan
pertanyaannya. Laki, bawa motor laki. Hem,
siapa? Dahi Awan berkerut. Tapi, satu-satunya cowok yang sering datang
kemari dengan motor laki ya cuma Roni. “Roni?” terkanya. Hadi hanya mengangguk.
Tak ingin melihat respon lebih dari Awan, Hadi kembali ke kamarnya.
Awan akhirnya
pun tak lantas pergi. Ia kembali ke kamar. Membuka roti tawar itu dan
mengolesinya dengan susu cair dan langsung memberikannya pada Awan, si kucing.
Sarapan yang konyol memang untuk seekor kucing. Tapi Awan bisa tersenyum
melihat kucing ini memakannya dengan lahap. Satu lagi roti ia olesi, untuk
dirinya sendiri.
Hampir saja Awan
membuang plastik tadi kalau saja tak menemukan benda lainnya lagi. Sepertinya
ini sebuah foto. Ia tercengang melihat foto apa yang ada di tangannya sekarang.
Ini foto Langit dan Roni yang sama persis dengan foto yang waktu itu ia lihat
di kamar Roni. Roni dengan rambut basah dan
bertelanjang dada, dan Langit yang masih lengkap dengan seragam SMA-nya.
Senyuman yang terukir di sana, rasanya ia benar-benar rindu.
Saat Awan membalik
foto itu, ada sebuah tulisan yang ia yakini adalah tulisan Langit.
Sahabat tak hanya ada di kala suka, tapi ia bisa
mengulurkan tangan saat kita berduka.
Satu kalimat, dan lagi-lagi Awan terdiam. Bahkan rotinya yang baru setengah
habis akhirnya dilahap Awan kecil. Ia tak peduli lagi.
“Hai! Elo Awan, ya? Adeknya Langit, kan?” Awan mengingat pertemuan pertamanya
dengan Roni.
Saat itu libur tengah semester. Seperti biasa, Langit terlalu
sibuk untuk pulang. Akhirnya, Awan yang menyusulnya ke Bandar Lampung. Pertama
kali ke kosan Langit yang ia temui bukannya Langit malah Roni. Dengan tampang
lusuh, rambut acak-acakan dengan kaos dan celana boxer seadanya, ia menyambut
kedatangan Awan. Sedangkan Awan bingung sendiri harus menanggapinya bagaimana.
Lagipula, ia pun tak kenal siapa ini.
“Gue Roni.
Langit tadi keluar sebentar, cari sarapan,” tambah Roni lagi. Ia sudah sibuk
membantu Awan yang belum mengucapkan sepatah katapun memasukkan tasnya ke kosan
Langit. Sedangkan Awan melongo. Antara heran dengan keakraban Roni yang
tiba-tiba ini dan keadaan kamar kos kakaknya. Bukan apa-apa, hanya saja ia
cukup tak percaya bahwa tempat tidur yang menempati tempat ini adalah tempat
tidur bertingkat. Dulu ia pernah mengantar Langit saat pertama kali masuk SMA.
Tapi, saat itu hanya ada satu kasur. Itu pun di lantai. Lantas, tempat tidur
ini datang darimana?
Ocehan Roni sama
sekali tak ada yang masuk ke telinga Awan. Sejak ia masuk, kepalanya
celingukan, melihat seisi kamar. Rasanya, barang-barang yang menurutnya
benar-benar milik Langit hanya beberapa. Sedangkan yang lain, tidak tahu punya
siapa. Rasanya, Langit juga tak mungkin punya benda-benda ini. Contohnya saja
miniatur robot-robotan yang sering muncul di game dan beberapa tumpuk kaset PS, dan benda-benda lain yang tak
akan mungkin bisa dijangkau dengan uang jajan Langit. Poster perenang terkenal Mark Andrew Spitz terpampang di dinding dekat
tempat tidur lantai dua. Selebihnya, Awan benar-benar tak bisa menyebutkannya.
Terlalu banyak, dan ia tak bisa bayangkan betapa sumpek kakaknya selama ini
tinggal di sini.
“Dari rumah jam
berapa?” Roni gelagapan dengan sikapnya sendiri. Sampai-sampai air minum yang
ia tuang ke gelas sempat tumpah sedikit. Awan bisa merasakan kegugupannya saat
memberikan gelas itu padanya. Ia hanya menunduk simbol terima kasihnya.
Setelahnya, Roni memilih duduk bersila di atas karpet. Tersenyum simpul menatap
Awan. Mungkin itu titah halus agar Awan segera duduk juga. Yah, akhirnya pun
Awan ikut duduk.
“Jadi, dari
rumah tadi jam berapa?” ulang Roni lagi.
“Ah... jam
tujuh,” jawab Awan datar. Ia sampai lupa untuk menjawab pertanyaan tadi.
“Ah, iya. Em...”
Roni menggaruk-garuk kepalanya. Bingung harus memulai percakapan ini dengan
apa. Ia tak menyangka harus sebingung ini menghadapi adik sahabatnya sendiri.
“Ah... santai aja, ya? Anggap kamar sendiri.”
Seharusnya yang santai itu elo, Awan membatin.
Tapi Roni
terselematkan karena kedatangan Langit. Di tangannya sudah membawa tiga bungkus
nasi. “Udah nyampe?” tanyanya sebagai kata sambutan awal. Bibirnya tersenyum,
begitu juga dengan Awan. Serta merta Awan bangun, mendumel panjang lebar karena
harus membuatnya menunggu cukup lama. Sedangkan Langit hanya terkekeh pelan dan
beberapa kali minta maaf. Satu hal yang membuat Roni cukup iri melihatnya.
Langit bisa mengacak rambut Awan gemas. Padahal mereka hanya beda satu tahun,
tapi Langit benar-benar terlihat layaknya sosok kakak yang selalu siap
melindungi adiknya.
Setelahnya
mereka ngobrol banyak, ditemani nasi bungkus dengan lauk telur sambal balado
dan sayur kacang panjang. Awan tak sempat bawa-bawa makanan. Ribet. Walaupun
sebenarnya ibunya sudah ingin membekalinya banyak hal. Padahal Awan cuma
seminggu di sini.
Malamnya, Awan
duduk di atas. Sekarang ia tahu, benda-benda asing, termasuk tempat tidur ini
adalah benda-benda milik Roni. Sengaja Roni membawanya kemari, karena ia lebih
sering menginap di sini. Poster ini adalah sosok idola yang menggambarkan
betapa cintanya Roni dengan renang. Sedangkan miniatur-miniatur robot yang ia
lihat tadi adalah pemberian dari Roni. Ia hampir terlelap kalau saja tak
mendengar percakapan lirih dari kedua orang di bawah itu. Ia menggeser
tubuhnya. Menyimak lebih banyak.
“Beneran elo
enggak mau tidur di sini?” tanya Langit. Roni memilih tidur di karpet. Ditemani
guling milik Langit, ia hanya mengenakan boxer
dan kaos dalam. Menjawab pertanyaan itu, ia hanya mengangguk.
“Panas,” katanya
sebagai alasan. Padahal Langit tahu jelas kalau Roni tak mau membiarkan
sahabatnya ini kesempitan. Tapi yah... Roni susah juga sih. Dia tak akan mungkin patuh begitu saja kalau Langit
menyuruhnya tidur dengannya.
“Lang!” panggil
Roni.
“Hem?”
“Punya adek,
seru, ya?”
“He’em.” Bibir
Langit menyungging senyum melihat Roni tersenyum. “Ah... kenapa emang?” capek
dengan posisinya, Langit mengubahnya telentang. Persis seperti Roni, kedua
tangannya ia jadikan bantal. Meski sudah ada bantal yang menyangga kepalanya.
“Gue pengen
punya adek jadinya.”
Langit tak
lantas menanggapi. Matanya kembali melirik ke bawah. Senyum itu masih
tertinggal di wajah Roni. “Awan buat gue boleh, gak?” lanjutnya lagi. Barulah
Langit kembali tersenyum.
“Enak aja!”
tolaknya mentah-mentah. “Terus nanti adek gue siapa?”
“Gue,” tanggap
Roni cepat. Meski hanya satu kata, tapi itu mampu membuat Langit tercengang.
“Gue kan lebih muda dari elo. Yah... walaupun cuma enam bulan. Nah, elo kan
udah punya gue. Biarin Awan buat gue. Oke?” pintanya lagi. Langit masih terdiam
beberapa saat. Namun setelah itu, ia kembali tersenyum.
“Ehm...”
jawabnya.
“Thanks, Lang.”
“Buat?”
“Karena udah mau
jadi sahabat gue.”
“Ah! Jangan
bikin gue merinding, Ron,” canda Langit. Roni berhasil terkekeh pelan. “Gue
titip Awan, Ron. Gue titip Awan kalau gue beneran pergi ke Jepang. Anggep dia
kayak adek kandung elo sendiri.”
“Pasti. Pasti,
Lang.”
Ingatan masa
lalu ini berakhir dengan tangan Awan yang bergetar. Foto di tangannya basah.
Meski tanpa isakan, kesedihan luar biasa jelas tergambar di wajahnya sekarang.
Ada satu hal yang ia lupakan. Bahkan Langit saja sudah menitipkannya pada Roni.
Kenapa sampai ia berpikiran bodoh menganggap bahwa kepergian Langit adalah
salah Roni? Bukankah ini semua takdir? Takdir hingga akhirnya membuat Roni
begitu menyayanginya. Apa pantas ia membenci Roni jika mengingat semua yang
sudah Roni lakukan untuk dirinya selama ini?
Si Awan kecil
menatap Awan. Mustahil memang, tapi di mata Awan kucing ini seolah peduli
padanya. “Meong...” bahkan ia
bersuara dan mendekati Awan. Mengelus-ngelus kaki majikannya dan berhasil
membuat Awan tersenyum. Tangan Awan terulur, mengusap kepala Awan kecil sayang.
“Yah... elo
bener. Ini semua takdir, kan? Enggak ada yang harus disalahin sekarang. Ini
takdir. Takdir....”
***
Perlahan,
paru-parunya mulai terbiasa dengan banyaknya air di kolam ini. Tangan, kaki,
tubuh dan semuanya kembali merasakan desir irama gerakan yang sudah lama ia
rindukan. Pelan tapi pasti, aliran darah ke seluruh tubuhnya terasa hangat.
Terbukti sudah, ia memang benar-benar merindukan renang.
Hanya satu yang
belum ia sempatkan untuk terbiasa. Matanya. Kedua mata itu, sejak pertama kali
masuk ke dalam kolam hingga sampai ke tengah sama sekali belum terbuka. Ada
sesuatu yang menggelayut manis jika ia sampai membuka matanya di dalam air.
Sesuatu itu yang membuat fokusnya pecah dan ia benar-benar akan keluar dari
kolam ini sekarang juga. Namun, tanpa membuka mata, ini akan sia-sia. Ia jadi
tak bisa melihat jalan. Atau menghindar dari halangan apapun yang ada di
depannya.
Ia harus membuka
mata. Bodoh rasanya kalau ia sudah ada di sini tapi hanya melakukannya
setengah. Harus penuh!
Setelah
menggenapkan hati, lambat kelopak mata itu terbuka. Bola matanya pelan mulai
membiasakan dengan kondisi air. Semuanya mulai terasa seperti sedia kala.
Seharusnya sekarang ia mulai bisa kembali hidup. Mendapatkan apa yang sudah
lama ia rindukan. Perlahan... dan...
Deg!
Tubuhnya mulai kaku. Seluruh pergerakannya terhenti. Oh, tidak! Sesuatu yang
menggelayut di matanya itu kini jelas nampak. Ada tubuh Langit, tubuh Langit
yang mulai tenggelam di depannya. Wajahnya, dan dengan mata tertutupnya, jelas
ada di depan Roni sekarang. Roni hampir kaku, hampir ikut tenggelam jika saja
ia tak merasakan paru-parunya mulai menciut. Meminta pasokan oksigen lebih
hingga ia putuskan untuk naik ke permukaan.
“Hah...”
ditariknya nafas dalam-dalam. “Hh... hh... hh...” tersisa sengalan nafasnya.
Lantas ia menengok lagi ke bawah setelah melepas kacamata renangnya. Tidak! Tak
ada apapun di sana! Semuanya hanya halusinasi! Tak ada tubuh siapapun, termasuk
tubuh Langit yang tenggelam ke dasar sana. “Akh!” hanya permukaan air yang bisa
ia jadikan tempat pelampiasan amarahnya. Hanya balasan ringan yang ia dapat. Bego! Bego! Umpatnya berkali-kali.
Tiba-tiba sebuah
tangan terulur. Memaksa kepala Roni untuk mendongak, demi memastikan siapa
pemilik tangan itu. Ternyata itu Awan. Tanpa ekspresi apapun di wajahnya, ia
bermaksud memberi bantuan pada Roni untuk naik ke atas. Meski sebenarnya Roni
masih heran, sejak kapan Awan ada di sini.
Tak perlu
menanyakannya, Roni memilih menyambut uluran tangan itu. Tapi, begitu ia
menggamitnya dan hampir naik ke atas, tiba-tiba Awan melepaskannya. Byur! Tubuh Roni kembali masuk ke air.
Roni sempat megap-megap. Namun ia berhasil menguasai keseimbangannya untuk
kembali ke permukaan. Tatapannya tak percaya dengan apa yang dilakukan Awan
barusan padanya.
“Elo masih
hidup, ya?” tanya Awan, datar. Tak ada intonasi naik yang menandakan bahwa tadi
itu adalah sebuah pertanyaan. “Ya... seharusnya gue sadar, jatoh ke dalam kolam
enggak serta merta bisa ngilangin nyawa elo,” lanjutnya. Kali ini lebih
terdengar manusiawi. Terlebih dengan senyum yang terukir di wajahnya. Barulah
ia kembali mengulurkan tangannya. Roni tak ingin terjebak dua kali. Akhirnya ia
memilih naik sendiri. Diabaikannya Awan yang tertawa ringan karena tanggapannya
ini. Selesai menggulung celana dasarnya, ia duduk di samping Roni. Mencelupkan
kedua kakinya dan merasakan sensasi dingin yang menyapa persendian kakinya.
“Enggak lucu!”
umpat Roni. Lagi-lagi Awan tertawa.
“Sorry ya, Ron,”
lirih bibir Awan berucap. Meski begitu Roni jelas mendengarnya. Saat Roni
menoleh, sebulir air mata turun manis melewati pipi Awan. Terang saja Roni
terkejut dan hampir menanyakannya kalau saja Awan tak melanjutkan ucapannya.
“Gue sempet
benci sama elo. Seharusnya gue mikir, meninggalnya Langit itu pasti suratan
takdir. Bukan kesalahan elo.” Mendengar hal ini mata Roni membulat besar.
Pernyataan barusan bukankah cukup menarangkan dengan sejelas-jelasnya bahwa
Awan telah mengetahui semua cerita di masa lalu itu? Soal siapa yang sudah
memberitahukan hal ini pada Awan jelas menjadi pertanyaan besar di benak Roni.
Hanya saja, ia tak sempat menanyakannya langsung. Atau mungkin dia terlalu
terkejut hingga lupa bagaimana caranya untuk bertanya dengan bibirnya sendiri.
“Iya, Ron. Gue
udah tahu semuanya,” ucapan Awan berikut berhasil mengutarakan isi hati Roni.
Senyuman manis Awan terukir jelas. Seolah mengucapkan bahwa ia sudah tidak
apa-apa. Tak ada yang perlu dikhawatirkan soal masalah itu lagi. Semuanya pasti
baik-baik saja.
“Karena itu elo
harus renang lagi, Ron. Semuanya cuma masa lalu. Satu hal, jangan pernah tanya
kenapa masa lalu itu udah terjadi. Tapi tanyain, untuk apa masa lalu itu
terjadi. Mungkin, apa yang terjadi sama Langit itu adalah jalan, supaya gue
sama elo bisa sedeket ini. So, berhenti nyalahin diri elo sendiri. Elo masih
punya utang sama Langit, yaitu jagain gue layaknya adek elo sendiri. Iya, kan?”
terang Awan panjang lebar. Roni yang melihat senyuman itu tak lantas luntur tak
kuasa menahan tangis. Dadanya sesak memang, tapi ia cukup lega mendengar
tuturan Awan barusan.
“Hanya maaf yang
bisa gue kasih ke elo, Wan. Enggak ada lagi,” lirihnya begitu pelan.
“Selama ini elo
udah berhasil gantiin peran Langit, Ron. Jadi yang elo kasih ke gue lebih dari
sekedar kata maaf. Lebih dari itu, Ron. Lebih...”
***
Pemandangan yang
terpantul di matanya adalah sesuatu yang tak biasa. Selama dua tahun ia
bergabung di kelas ini, baru kali ini ia melihat sisi terpuruk dari seorang
Nata. Duduk sendiri dengan gitar yang ia petik asal-asalan. Tapi siapapun yang
mengerti bagaimana keadaan Nata sebenarnya, pastilah akan tahu bahwa petikkan
itu benar-benar terdengar nelangsa.
Kalau Awan tidak
salah, sudah hampir satu bulan bocah itu seperti itu. Lantaran bukan karena
penolakan Tara saat pertama kali ia menembaknya. Hanya saja, hubungan mereka
jadi jauh. Semakin Tara coba ia gapai, semakin itu pula Tara melangkah pergi.
Setiap Nata mencoba berlari mengejar, selalu ada saja tujuh langkah jarak di
antara mereka. Nata frustasi, Nata benci tak bisa menyamai langkah Tara. Tapi
sayangnya, ia tak pernah bisa berhenti.
Awan mendesah
perlahan. Terlebih melihat Nata seolah mencerminkan dirinya di masa depan.
Bukankah ia pun belum bisa menyatakan perasaannya pada Esta? Jika Nata menjadi
seperti itu, padahal Tara bukan sebagai sahabatnya selama ini. Bagaimana
nasibnya nanti? Esta sahabatnya, dan ia mengubah situasi, ia tak tahu akan
seperti apa.
Namun tangannya
masih menimang-nimang sepucuk surat. Dibalut amplop merah muda cantik yang ia
kerjakan semalaman. Ya, di dalamnya pun tertulis pasti semua isi hati Awan.
Sekarang dirinya sendiri galau. Antara memberikannya pada Esta atau tidak. Jika
dia tak ingin tersiksa dengan perasaan ini seorang diri, ia harus
memberikannya. Tapi jika ia tak mau apa yang terjadi pada Nata sekarang menimpa
dirinya, dia tidak harus memberikannya pada Esta. Lalu, apa yang harus ia
lakukan sekarang?
Cinta...
sahabat... akh! Dua pilihan yang memberikan jalan putus asa. Bisa gila jika
harus memilih antara keduanya. Lebih baik jika dua hal itu adalah untuk dua
orang yang berbeda. Masalahnya ini bukan! Cinta adalah Esta, sahabat juga
adalah Esta. Memilih salah satunya tetap mendapat Esta. Tapi jika hanya memilih
salah satunya pun, ia harus rela tersiksa sebagai akibat dari pilihannya.
Yah... selalu ada konsekuensi di setiap pilihan yang telah dibuat.
Awan bangkit
dari tempat duduknya. Sekali lagi mengambil nafas panjang. Kalau ingat berapa
banyak kertas yang sudah ia buang untuk menulis tiap kata perwakilan
perasaannya ini, ia harus segera memantapkan hati. Tujuannya menulis surat ini
adalah agar Esta mengerti semua perasaannya. Semua ketulusannya, dan semua yang
tertahan selama dua tahun ini. Harus ia tepis jauh-jauh kekhawatiran soal
dampak yang akan ia terima nanti. Perasaannya harus berhenti atau berlanjut,
bergantung pada surat ini. Hari ini atau besok, tak ada bedanya. Semakin cepat
ia tahu jawaban dari
Esta, semakin cepat pula ia mengakhiri siksaan batinnya.
Esta duduk di
dekat jendela. Memandangi lalu lalang kendaraan mahasiswa yang berusaha
mendapat tempat parkir. Hanya butuh beberapa langkah agar Awan bisa
mendekatinya. Rencana matang di otaknya, ia akan menyodorkan surat itu tanpa
harus berkata apa-apa. Mata kuliah kedua masih lama, jadi ia bisa menghindar
sementara dan hengkang dari kelas itu. Soal jawaban Esta, ia akan menunggu.
Sekalian, menyiapkan hati untuk jawaban seburuk apapun.
“Es...”
“Esta!” suara
panggilan lain pada Esta berhasil membuat Esta menoleh. Mata Esta memang
menyapa mata Awan lebih dulu. Tapi tak lama, karena setelahnya, Tara sudah
mendekat lebih cepat.
“Kenapa?” tanya
Esta begitu Tara sampai di sampingnya. Menaruh tas serempangnya di bangku itu
dan duduk santai dengan senyuman mengembang di bibirnya. Menatap Esta dengan
sumringah dan sengaja menunda jawaban kenapa
dari Esta barusan. Awan menyimak.
“Apaan, sih?
Muka elo nyebelin banget!” dumel Esta mulai risih.
“Ngaku elo!
Kemaren elo jalan bareng sama kak Dharma, kan?” selidik Tara.
“Oh, iya. Kenapa
emang?” jawab Esta santai. Ia tak tahu Awan mulai dirajut rasa cemburu. Jalan?
Di hari yang seharusnya digunakan untuk istirahat?
“Gue tahu, apa
yang terjadi pas elo berdua jalan bareng.” Jujur, kalimat ini mengejutkan Esta.
Tapi Esta bersikap senormal mungkin. Ia tak mau menunjukkan ekspresi apapun yang
akan membuat Tara merasa mencapai kemenangan.
“Apaan emang?”
ia malah mencoba menantang Tara. Bocah ini jelas makin sumringah. Karenanya pun
ia tahu jelas bagaimana harus menjelaskan pernyataannya barusan. Bukankah ia
yang menguesai topik pembicaraan yang ia awali sendiri ini? Tujuannya memang
membuat Esta mengaku. Tapi, mau dipojokkan seperti apapun, Esta pasti tetap
akan mengelak. Haruskah ia lontarkan saja sekarang?
“Ngaku! Atau gue
yang nebak sendiri?” balas Tara.
“Ya, apa? Elo
kan sok tahu!”
“Kemaren... Kak
Dharma...” Tara menggantung info ini dengan lihainya. Geram betul Awan
mendengarnya. Meski ada sedikit rasa khawatir yang mulai berlabuh di batinnya.
Tapi toh, rasa penasarannya jauh lebih besar.
“Apa? Apa?”
“Kak Dharma
nembak elo, kan?”
Blarr!
Petir dahsyat di pagi mendung ini parkir di hati Awan. Seluruh darah di otaknya
terjun bebas ke bawah. Mengalir cepat dan membuat jantungnya seolah mati.
Tersambar petir dengan kekuatan beribu-ribu volt
tak sama bila hanya dibandingkan dengan keterkujatannya menghadapi soal UTS
yang mengerikan. Bahkan kadarnya berpuluh-puluh kali lipat. Sakit jantung, jika
saja Awan sakit jantung, mungkin ia sudah tewas di tempat.
Apapun lagi,
meski ia lihat bibir Tara masih membuka menutup, menyampaikan info apapun yang
ia punya, tak bisa lagi menyentuh gedang telinga Awan. Ada yang tertahan di
sudut mata Awan. Yang memaksa kakinya yang melemas untuk pergi saja dari sana.
Amplop manis tadi jatuh. Bahkan Awan mungkin tak menyadarinya. Satu kata yang
disorakkan hatinya padanya sekarang. Pergi
dari sini!
Andai saja tak
ada dinding yang menghalangi langkahnya, mungkin Awan tak akan pernah berhenti.
Tak akan pernah sadar kalau ia sekarang sudah tidak ada di kelas. Syukurlah
dinding koridor ini membantunya tersadar. Namun saat ini juga perih di hatinya
terasa melebar. Rasa cemas ditolak atau apapun itu luntur sudah. Ia bukan hanya
ditolak. Tapi kalah telak. Ia terlambat. Terlambat selangkah. Andai ia bisa
mengejar langkah itu? Kini tujuh langkah di depannya sudah ada orang lain.
Menggandeng tangan Esta dan berlari makin jauh darinya.
Siapa yang
salah? Apa benar memang ia yang dungu? Atau Esta yang kurang peka atas
perasaannya selama ini? Atau ia sendiri yang sebenarnya terlalu lama menyiakan
waktu? Atau segala kemungkinan lain yang tak akan bisa membalikkan keadaan
seperti semula?
Atau mungkin...
ini masih bisa disebut takdir? Takdirkah? Takdirnya yang memang tak akan
mungkin bersama seorang Esta.
Sebelumnya Selanjutnya
No comments:
Post a Comment