Friday, January 17, 2020

Masihkah Ini Disebut Takdir?


 Pagi-pagi, bukan buta, sih. Buktinya matahari sudah sepenggal merangkak ke atap langit. Bau basah tanah masih jelas terasa. Embun-embun pagi yang seharusnya memenuhi dedaunan tergantikan dengan sisa-sisa hujan semalam. Pagi yang seharusnya hangat berubah mendingin. Udaranya menusuk sampai ke tulang melalui pori-pori.
Awan merapatkan selimutnya. Sejak sholat subuh tadi ia kembali terlelap. Satu hari ini libur. Tak ada rapat atau tetek bengek lainnya. Syukurlah, ada waktu untuknya istirahat sebentar sebelum hari H datang. Karenanya pun ia malas sekali untuk beranjak dari tempat tidurnya. Sekalian melepas rindu dengan kamar kos tercinta. Hampir saja kamar ini berbalut debu tebal. Kalau saja satu minggu lagi Awan tidak pulang kemari, mungkin tempat ini sudah ganti penunggu. Semisal laba-laba dan makhluk kecil lainnya.

Tiba-tiba merasakan sesuatu yang lembut menyapa hidungnya. Lambat laun berubah dengan benda yang agak berbulu. Ia mencoba abai, lantas berbalik arah. Tidur menghadap dinding demi menghindari gangguannya barusan. Tapi benda itu datang lagi. Lama kelamaan ia risih juga. Ketika ia mencoba menghalaunya, tiba-tiba sesuatu yang tajam menusuk batang hidungnya.

“Huwaa....!!!” teriaknya sekuat tenaga. Begitu sadar barulah ia tahu makhluk apa yang sudah membuat luka di batang hidungnya. “Awan!” sentaknya. Si putih Awan kedua itu sudah menatapnya penuh kemenangan. Lantas kemudian dia menjilat-jilati tangannya sendiri. Seolah nampak seperti psikopat yang menjilati pedangnya setelah menghunus sang korban.

“Ya ampun! Ssh...” rintih Awan. Uh, ini darah. Ya, walaupun kecil tapi tetap saja terasa perih.

Ah... iya. Dia lupa kalau dia sekamar dengan makhluk lain. Ya, kucing ini. Walau agak kesal, mana mungkin ia akan membuangnya begitu saja. Kalimat-kalimat Esta tentang nolongin kucing yang membuatnya pusing itu menggaung di kepalanya. Mana bisa ia melemparnya keluar dari kamarnya? 
Paling tidak, selama ini si Khoirul yang sudah mengurusinya. Tapi ia tak tahu kalau kucing kecil yang tak lebih besar dari telapak tangannya ini bisa bertindak brutal. Aw! Sakit!

Dengan malas, akhirnya Awan bangun. Beringsut ke laci mejanya, mencari plester. Untung masih ada satu. Seingatnya, ini plester yang dibelikan Awan tahun lalu. Saat Awan jatuh tersungkur saat mencoba membenarkan AC di ruang kuliah mereka. Bodohnya, saat itu menaiki kursi yang jelas-jelas sudah reot. Bukannya AC itu hidup dan menyemburkan hawa dingin, eh... malah tambah rusak. Pasalnya saat ia hampir jatuh tangannya berpegangan pada AC itu. Alhasil, AC itu tak kuat dan malah copot dan menimpa kepalanya. Dan yah... jadilah ia dapat wejengan panjang dari dosen yang mengampu mata kuliah itu.

Jadilah sebuah plester coklat membalut batang hidungnya. Setelahnya ia hanya garuk-garuk kepala. Awan kedua ini mengelus-ngelus kakinya, merajuk sambil ngeong-ngeong. Mungkin dia lapar. Tapi Awan sendiri tak punya makanan. Terpaksa ia keluar. Melihat suasana pagi yang benar-benar dingin. Ia kembali lagi ke dalam. Mengambil jaket. Sekalian keluar beli sarapan dan bahan makan siang nanti.

“Masuk sana! Gue mau beli makanan. Elo mau sarapan, kan?” ujar Awan, tentu saja pada si Awan kecil itu. Kucing itu menurut. Bahkan ia menggantikan posisi Awan di atas tempat tidur. “Woy! Woy! Jangan di kasur gue! Ah! Bulu elo itu! Bulunya!” Awan teriak-teriak. Tapi tetap saja si kucing tidak mau mendengarkannya. Ah! Tak ada waktu. Perutnya sudah mulai keroncongan. Biarlah... terlanjur...

“Terusin deh tidur gue tadi,” katanya asal. Begitu ia berbalik, “Masya Allah! Setan kecemplung empang!” Hadi sudah ada di sana.

Eleh-eleh, Wan. Masa saya disarwaken sama setan, atuh?

“Elo juga! Ngapain muncul tiba-tiba udah kayak setan aja!” rutuk Awan sebal.

“Sabar atuh, Wan. Saya teh cuma mau ngasih titipan.”

“Titipan?”

“Iya. Nih,” Hadi mengulurkan plastik hitam.

“Apaan, nih?” tanyanya setelah menerimanya. Meskipun belum dapat jawaban ia sudah mendapat jawaban. Satu bungkus roti tawar dan sekaleng susu coklat cair.

“Itu kemaren ada yang nitip. Siapa teh yang itu, yang suka bawa motor laki itu, loh.” Bahkan jawaban Hadi pun tak sesuai dengan pertanyaannya. Laki, bawa motor laki. Hem, siapa? Dahi Awan berkerut. Tapi, satu-satunya cowok yang sering datang kemari dengan motor laki ya cuma Roni. “Roni?” terkanya. Hadi hanya mengangguk. Tak ingin melihat respon lebih dari Awan, Hadi kembali ke kamarnya.

Awan akhirnya pun tak lantas pergi. Ia kembali ke kamar. Membuka roti tawar itu dan mengolesinya dengan susu cair dan langsung memberikannya pada Awan, si kucing. Sarapan yang konyol memang untuk seekor kucing. Tapi Awan bisa tersenyum melihat kucing ini memakannya dengan lahap. Satu lagi roti ia olesi, untuk dirinya sendiri.

Hampir saja Awan membuang plastik tadi kalau saja tak menemukan benda lainnya lagi. Sepertinya ini sebuah foto. Ia tercengang melihat foto apa yang ada di tangannya sekarang. Ini foto Langit dan Roni yang sama persis dengan foto yang waktu itu ia lihat di kamar Roni. Roni dengan rambut basah dan  bertelanjang dada, dan Langit yang masih lengkap dengan seragam SMA-nya. Senyuman yang terukir di sana, rasanya ia benar-benar rindu.

Saat Awan membalik foto itu, ada sebuah tulisan yang ia yakini adalah tulisan Langit.

Sahabat tak hanya ada di kala suka, tapi ia bisa mengulurkan tangan saat kita berduka. Satu kalimat, dan lagi-lagi Awan terdiam. Bahkan rotinya yang baru setengah habis akhirnya dilahap Awan kecil. Ia tak peduli lagi.

“Hai! Elo Awan, ya? Adeknya Langit, kan?” Awan mengingat pertemuan pertamanya dengan Roni. 
Saat itu libur tengah semester. Seperti biasa, Langit terlalu sibuk untuk pulang. Akhirnya, Awan yang menyusulnya ke Bandar Lampung. Pertama kali ke kosan Langit yang ia temui bukannya Langit malah Roni. Dengan tampang lusuh, rambut acak-acakan dengan kaos dan celana boxer seadanya, ia menyambut kedatangan Awan. Sedangkan Awan bingung sendiri harus menanggapinya bagaimana. Lagipula, ia pun tak kenal siapa ini.

“Gue Roni. Langit tadi keluar sebentar, cari sarapan,” tambah Roni lagi. Ia sudah sibuk membantu Awan yang belum mengucapkan sepatah katapun memasukkan tasnya ke kosan Langit. Sedangkan Awan melongo. Antara heran dengan keakraban Roni yang tiba-tiba ini dan keadaan kamar kos kakaknya. Bukan apa-apa, hanya saja ia cukup tak percaya bahwa tempat tidur yang menempati tempat ini adalah tempat tidur bertingkat. Dulu ia pernah mengantar Langit saat pertama kali masuk SMA. Tapi, saat itu hanya ada satu kasur. Itu pun di lantai. Lantas, tempat tidur ini datang darimana?
Ocehan Roni sama sekali tak ada yang masuk ke telinga Awan. Sejak ia masuk, kepalanya celingukan, melihat seisi kamar. Rasanya, barang-barang yang menurutnya benar-benar milik Langit hanya beberapa. Sedangkan yang lain, tidak tahu punya siapa. Rasanya, Langit juga tak mungkin punya benda-benda ini. Contohnya saja miniatur robot-robotan yang sering muncul di game dan beberapa tumpuk kaset PS, dan benda-benda lain yang tak akan mungkin bisa dijangkau dengan uang jajan Langit. Poster perenang terkenal Mark Andrew Spitz terpampang di dinding dekat tempat tidur lantai dua. Selebihnya, Awan benar-benar tak bisa menyebutkannya. Terlalu banyak, dan ia tak bisa bayangkan betapa sumpek kakaknya selama ini tinggal di sini.

“Dari rumah jam berapa?” Roni gelagapan dengan sikapnya sendiri. Sampai-sampai air minum yang ia tuang ke gelas sempat tumpah sedikit. Awan bisa merasakan kegugupannya saat memberikan gelas itu padanya. Ia hanya menunduk simbol terima kasihnya. Setelahnya, Roni memilih duduk bersila di atas karpet. Tersenyum simpul menatap Awan. Mungkin itu titah halus agar Awan segera duduk juga. Yah, akhirnya pun Awan ikut duduk.

“Jadi, dari rumah tadi jam berapa?” ulang Roni lagi.

“Ah... jam tujuh,” jawab Awan datar. Ia sampai lupa untuk menjawab pertanyaan tadi.

“Ah, iya. Em...” Roni menggaruk-garuk kepalanya. Bingung harus memulai percakapan ini dengan apa. Ia tak menyangka harus sebingung ini menghadapi adik sahabatnya sendiri. “Ah... santai aja, ya? Anggap kamar sendiri.”

Seharusnya yang santai itu elo, Awan membatin.

Tapi Roni terselematkan karena kedatangan Langit. Di tangannya sudah membawa tiga bungkus nasi. “Udah nyampe?” tanyanya sebagai kata sambutan awal. Bibirnya tersenyum, begitu juga dengan Awan. Serta merta Awan bangun, mendumel panjang lebar karena harus membuatnya menunggu cukup lama. Sedangkan Langit hanya terkekeh pelan dan beberapa kali minta maaf. Satu hal yang membuat Roni cukup iri melihatnya. Langit bisa mengacak rambut Awan gemas. Padahal mereka hanya beda satu tahun, tapi Langit benar-benar terlihat layaknya sosok kakak yang selalu siap melindungi adiknya.

Setelahnya mereka ngobrol banyak, ditemani nasi bungkus dengan lauk telur sambal balado dan sayur kacang panjang. Awan tak sempat bawa-bawa makanan. Ribet. Walaupun sebenarnya ibunya sudah ingin membekalinya banyak hal. Padahal Awan cuma seminggu di sini.

Malamnya, Awan duduk di atas. Sekarang ia tahu, benda-benda asing, termasuk tempat tidur ini adalah benda-benda milik Roni. Sengaja Roni membawanya kemari, karena ia lebih sering menginap di sini. Poster ini adalah sosok idola yang menggambarkan betapa cintanya Roni dengan renang. Sedangkan miniatur-miniatur robot yang ia lihat tadi adalah pemberian dari Roni. Ia hampir terlelap kalau saja tak mendengar percakapan lirih dari kedua orang di bawah itu. Ia menggeser tubuhnya. Menyimak lebih banyak.

“Beneran elo enggak mau tidur di sini?” tanya Langit. Roni memilih tidur di karpet. Ditemani guling milik Langit, ia hanya mengenakan boxer dan kaos dalam. Menjawab pertanyaan itu, ia hanya mengangguk.

“Panas,” katanya sebagai alasan. Padahal Langit tahu jelas kalau Roni tak mau membiarkan sahabatnya ini kesempitan. Tapi yah... Roni susah juga sih. Dia tak akan mungkin patuh begitu saja kalau Langit menyuruhnya tidur dengannya.

“Lang!” panggil Roni.

“Hem?”

“Punya adek, seru, ya?”

“He’em.” Bibir Langit menyungging senyum melihat Roni tersenyum. “Ah... kenapa emang?” capek dengan posisinya, Langit mengubahnya telentang. Persis seperti Roni, kedua tangannya ia jadikan bantal. Meski sudah ada bantal yang menyangga kepalanya.

“Gue pengen punya adek jadinya.”

Langit tak lantas menanggapi. Matanya kembali melirik ke bawah. Senyum itu masih tertinggal di wajah Roni. “Awan buat gue boleh, gak?” lanjutnya lagi. Barulah Langit kembali tersenyum.

“Enak aja!” tolaknya mentah-mentah. “Terus nanti adek gue siapa?”

“Gue,” tanggap Roni cepat. Meski hanya satu kata, tapi itu mampu membuat Langit tercengang. “Gue kan lebih muda dari elo. Yah... walaupun cuma enam bulan. Nah, elo kan udah punya gue. Biarin Awan buat gue. Oke?” pintanya lagi. Langit masih terdiam beberapa saat. Namun setelah itu, ia kembali tersenyum.

“Ehm...” jawabnya.

“Thanks, Lang.”

“Buat?”

“Karena udah mau jadi sahabat gue.”

“Ah! Jangan bikin gue merinding, Ron,” canda Langit. Roni berhasil terkekeh pelan. “Gue titip Awan, Ron. Gue titip Awan kalau gue beneran pergi ke Jepang. Anggep dia kayak adek kandung elo sendiri.”

“Pasti. Pasti, Lang.”

Ingatan masa lalu ini berakhir dengan tangan Awan yang bergetar. Foto di tangannya basah. Meski tanpa isakan, kesedihan luar biasa jelas tergambar di wajahnya sekarang. Ada satu hal yang ia lupakan. Bahkan Langit saja sudah menitipkannya pada Roni. Kenapa sampai ia berpikiran bodoh menganggap bahwa kepergian Langit adalah salah Roni? Bukankah ini semua takdir? Takdir hingga akhirnya membuat Roni begitu menyayanginya. Apa pantas ia membenci Roni jika mengingat semua yang sudah Roni lakukan untuk dirinya selama ini?

Si Awan kecil menatap Awan. Mustahil memang, tapi di mata Awan kucing ini seolah peduli padanya. “Meong...” bahkan ia bersuara dan mendekati Awan. Mengelus-ngelus kaki majikannya dan berhasil membuat Awan tersenyum. Tangan Awan terulur, mengusap kepala Awan kecil sayang.

“Yah... elo bener. Ini semua takdir, kan? Enggak ada yang harus disalahin sekarang. Ini takdir. Takdir....”

***

Perlahan, paru-parunya mulai terbiasa dengan banyaknya air di kolam ini. Tangan, kaki, tubuh dan semuanya kembali merasakan desir irama gerakan yang sudah lama ia rindukan. Pelan tapi pasti, aliran darah ke seluruh tubuhnya terasa hangat. Terbukti sudah, ia memang benar-benar merindukan renang.

Hanya satu yang belum ia sempatkan untuk terbiasa. Matanya. Kedua mata itu, sejak pertama kali masuk ke dalam kolam hingga sampai ke tengah sama sekali belum terbuka. Ada sesuatu yang menggelayut manis jika ia sampai membuka matanya di dalam air. Sesuatu itu yang membuat fokusnya pecah dan ia benar-benar akan keluar dari kolam ini sekarang juga. Namun, tanpa membuka mata, ini akan sia-sia. Ia jadi tak bisa melihat jalan. Atau menghindar dari halangan apapun yang ada di depannya.

Ia harus membuka mata. Bodoh rasanya kalau ia sudah ada di sini tapi hanya melakukannya setengah. Harus penuh!

Setelah menggenapkan hati, lambat kelopak mata itu terbuka. Bola matanya pelan mulai membiasakan dengan kondisi air. Semuanya mulai terasa seperti sedia kala. Seharusnya sekarang ia mulai bisa kembali hidup. Mendapatkan apa yang sudah lama ia rindukan. Perlahan... dan...
Deg! Tubuhnya mulai kaku. Seluruh pergerakannya terhenti. Oh, tidak! Sesuatu yang menggelayut di matanya itu kini jelas nampak. Ada tubuh Langit, tubuh Langit yang mulai tenggelam di depannya. Wajahnya, dan dengan mata tertutupnya, jelas ada di depan Roni sekarang. Roni hampir kaku, hampir ikut tenggelam jika saja ia tak merasakan paru-parunya mulai menciut. Meminta pasokan oksigen lebih hingga ia putuskan untuk naik ke permukaan.

“Hah...” ditariknya nafas dalam-dalam. “Hh... hh... hh...” tersisa sengalan nafasnya. Lantas ia menengok lagi ke bawah setelah melepas kacamata renangnya. Tidak! Tak ada apapun di sana! Semuanya hanya halusinasi! Tak ada tubuh siapapun, termasuk tubuh Langit yang tenggelam ke dasar sana. “Akh!” hanya permukaan air yang bisa ia jadikan tempat pelampiasan amarahnya. Hanya balasan ringan yang ia dapat. Bego! Bego! Umpatnya berkali-kali.

Tiba-tiba sebuah tangan terulur. Memaksa kepala Roni untuk mendongak, demi memastikan siapa pemilik tangan itu. Ternyata itu Awan. Tanpa ekspresi apapun di wajahnya, ia bermaksud memberi bantuan pada Roni untuk naik ke atas. Meski sebenarnya Roni masih heran, sejak kapan Awan ada di sini.

Tak perlu menanyakannya, Roni memilih menyambut uluran tangan itu. Tapi, begitu ia menggamitnya dan hampir naik ke atas, tiba-tiba Awan melepaskannya. Byur! Tubuh Roni kembali masuk ke air. Roni sempat megap-megap. Namun ia berhasil menguasai keseimbangannya untuk kembali ke permukaan. Tatapannya tak percaya dengan apa yang dilakukan Awan barusan padanya.

“Elo masih hidup, ya?” tanya Awan, datar. Tak ada intonasi naik yang menandakan bahwa tadi itu adalah sebuah pertanyaan. “Ya... seharusnya gue sadar, jatoh ke dalam kolam enggak serta merta bisa ngilangin nyawa elo,” lanjutnya. Kali ini lebih terdengar manusiawi. Terlebih dengan senyum yang terukir di wajahnya. Barulah ia kembali mengulurkan tangannya. Roni tak ingin terjebak dua kali. Akhirnya ia memilih naik sendiri. Diabaikannya Awan yang tertawa ringan karena tanggapannya ini. Selesai menggulung celana dasarnya, ia duduk di samping Roni. Mencelupkan kedua kakinya dan merasakan sensasi dingin yang menyapa persendian kakinya.

“Enggak lucu!” umpat Roni. Lagi-lagi Awan tertawa.

“Sorry ya, Ron,” lirih bibir Awan berucap. Meski begitu Roni jelas mendengarnya. Saat Roni menoleh, sebulir air mata turun manis melewati pipi Awan. Terang saja Roni terkejut dan hampir menanyakannya kalau saja Awan tak melanjutkan ucapannya.

“Gue sempet benci sama elo. Seharusnya gue mikir, meninggalnya Langit itu pasti suratan takdir. Bukan kesalahan elo.” Mendengar hal ini mata Roni membulat besar. Pernyataan barusan bukankah cukup menarangkan dengan sejelas-jelasnya bahwa Awan telah mengetahui semua cerita di masa lalu itu? Soal siapa yang sudah memberitahukan hal ini pada Awan jelas menjadi pertanyaan besar di benak Roni. Hanya saja, ia tak sempat menanyakannya langsung. Atau mungkin dia terlalu terkejut hingga lupa bagaimana caranya untuk bertanya dengan bibirnya sendiri.

“Iya, Ron. Gue udah tahu semuanya,” ucapan Awan berikut berhasil mengutarakan isi hati Roni. Senyuman manis Awan terukir jelas. Seolah mengucapkan bahwa ia sudah tidak apa-apa. Tak ada yang perlu dikhawatirkan soal masalah itu lagi. Semuanya pasti baik-baik saja.

“Karena itu elo harus renang lagi, Ron. Semuanya cuma masa lalu. Satu hal, jangan pernah tanya kenapa masa lalu itu udah terjadi. Tapi tanyain, untuk apa masa lalu itu terjadi. Mungkin, apa yang terjadi sama Langit itu adalah jalan, supaya gue sama elo bisa sedeket ini. So, berhenti nyalahin diri elo sendiri. Elo masih punya utang sama Langit, yaitu jagain gue layaknya adek elo sendiri. Iya, kan?” terang Awan panjang lebar. Roni yang melihat senyuman itu tak lantas luntur tak kuasa menahan tangis. Dadanya sesak memang, tapi ia cukup lega mendengar tuturan Awan barusan.

“Hanya maaf yang bisa gue kasih ke elo, Wan. Enggak ada lagi,” lirihnya begitu pelan.

“Selama ini elo udah berhasil gantiin peran Langit, Ron. Jadi yang elo kasih ke gue lebih dari sekedar kata maaf. Lebih dari itu, Ron. Lebih...”

***

Pemandangan yang terpantul di matanya adalah sesuatu yang tak biasa. Selama dua tahun ia bergabung di kelas ini, baru kali ini ia melihat sisi terpuruk dari seorang Nata. Duduk sendiri dengan gitar yang ia petik asal-asalan. Tapi siapapun yang mengerti bagaimana keadaan Nata sebenarnya, pastilah akan tahu bahwa petikkan itu benar-benar terdengar nelangsa.

Kalau Awan tidak salah, sudah hampir satu bulan bocah itu seperti itu. Lantaran bukan karena penolakan Tara saat pertama kali ia menembaknya. Hanya saja, hubungan mereka jadi jauh. Semakin Tara coba ia gapai, semakin itu pula Tara melangkah pergi. Setiap Nata mencoba berlari mengejar, selalu ada saja tujuh langkah jarak di antara mereka. Nata frustasi, Nata benci tak bisa menyamai langkah Tara. Tapi sayangnya, ia tak pernah bisa berhenti.

Awan mendesah perlahan. Terlebih melihat Nata seolah mencerminkan dirinya di masa depan. Bukankah ia pun belum bisa menyatakan perasaannya pada Esta? Jika Nata menjadi seperti itu, padahal Tara bukan sebagai sahabatnya selama ini. Bagaimana nasibnya nanti? Esta sahabatnya, dan ia mengubah situasi, ia tak tahu akan seperti apa.

Namun tangannya masih menimang-nimang sepucuk surat. Dibalut amplop merah muda cantik yang ia kerjakan semalaman. Ya, di dalamnya pun tertulis pasti semua isi hati Awan. Sekarang dirinya sendiri galau. Antara memberikannya pada Esta atau tidak. Jika dia tak ingin tersiksa dengan perasaan ini seorang diri, ia harus memberikannya. Tapi jika ia tak mau apa yang terjadi pada Nata sekarang menimpa dirinya, dia tidak harus memberikannya pada Esta. Lalu, apa yang harus ia lakukan sekarang?

Cinta... sahabat... akh! Dua pilihan yang memberikan jalan putus asa. Bisa gila jika harus memilih antara keduanya. Lebih baik jika dua hal itu adalah untuk dua orang yang berbeda. Masalahnya ini bukan! Cinta adalah Esta, sahabat juga adalah Esta. Memilih salah satunya tetap mendapat Esta. Tapi jika hanya memilih salah satunya pun, ia harus rela tersiksa sebagai akibat dari pilihannya. Yah... selalu ada konsekuensi di setiap pilihan yang telah dibuat.

Awan bangkit dari tempat duduknya. Sekali lagi mengambil nafas panjang. Kalau ingat berapa banyak kertas yang sudah ia buang untuk menulis tiap kata perwakilan perasaannya ini, ia harus segera memantapkan hati. Tujuannya menulis surat ini adalah agar Esta mengerti semua perasaannya. Semua ketulusannya, dan semua yang tertahan selama dua tahun ini. Harus ia tepis jauh-jauh kekhawatiran soal dampak yang akan ia terima nanti. Perasaannya harus berhenti atau berlanjut, bergantung pada surat ini. Hari ini atau besok, tak ada bedanya. Semakin cepat ia tahu jawaban dari 
Esta, semakin cepat pula ia mengakhiri siksaan batinnya.

Esta duduk di dekat jendela. Memandangi lalu lalang kendaraan mahasiswa yang berusaha mendapat tempat parkir. Hanya butuh beberapa langkah agar Awan bisa mendekatinya. Rencana matang di otaknya, ia akan menyodorkan surat itu tanpa harus berkata apa-apa. Mata kuliah kedua masih lama, jadi ia bisa menghindar sementara dan hengkang dari kelas itu. Soal jawaban Esta, ia akan menunggu. Sekalian, menyiapkan hati untuk jawaban seburuk apapun.

“Es...”

“Esta!” suara panggilan lain pada Esta berhasil membuat Esta menoleh. Mata Esta memang menyapa mata Awan lebih dulu. Tapi tak lama, karena setelahnya, Tara sudah mendekat lebih cepat.

“Kenapa?” tanya Esta begitu Tara sampai di sampingnya. Menaruh tas serempangnya di bangku itu dan duduk santai dengan senyuman mengembang di bibirnya. Menatap Esta dengan sumringah dan sengaja menunda jawaban kenapa dari Esta barusan. Awan menyimak.

“Apaan, sih? Muka elo nyebelin banget!” dumel Esta mulai risih.

“Ngaku elo! Kemaren elo jalan bareng sama kak Dharma, kan?” selidik Tara.

“Oh, iya. Kenapa emang?” jawab Esta santai. Ia tak tahu Awan mulai dirajut rasa cemburu. Jalan? Di hari yang seharusnya digunakan untuk istirahat?

“Gue tahu, apa yang terjadi pas elo berdua jalan bareng.” Jujur, kalimat ini mengejutkan Esta. Tapi Esta bersikap senormal mungkin. Ia tak mau menunjukkan ekspresi apapun yang akan membuat Tara merasa mencapai kemenangan.

“Apaan emang?” ia malah mencoba menantang Tara. Bocah ini jelas makin sumringah. Karenanya pun ia tahu jelas bagaimana harus menjelaskan pernyataannya barusan. Bukankah ia yang menguesai topik pembicaraan yang ia awali sendiri ini? Tujuannya memang membuat Esta mengaku. Tapi, mau dipojokkan seperti apapun, Esta pasti tetap akan mengelak. Haruskah ia lontarkan saja sekarang?

“Ngaku! Atau gue yang nebak sendiri?” balas Tara.

“Ya, apa? Elo kan sok tahu!”

“Kemaren... Kak Dharma...” Tara menggantung info ini dengan lihainya. Geram betul Awan mendengarnya. Meski ada sedikit rasa khawatir yang mulai berlabuh di batinnya. Tapi toh, rasa penasarannya jauh lebih besar.

“Apa? Apa?”

“Kak Dharma nembak elo, kan?”

Blarr! Petir dahsyat di pagi mendung ini parkir di hati Awan. Seluruh darah di otaknya terjun bebas ke bawah. Mengalir cepat dan membuat jantungnya seolah mati. Tersambar petir dengan kekuatan beribu-ribu volt tak sama bila hanya dibandingkan dengan keterkujatannya menghadapi soal UTS yang mengerikan. Bahkan kadarnya berpuluh-puluh kali lipat. Sakit jantung, jika saja Awan sakit jantung, mungkin ia sudah tewas di tempat.

Apapun lagi, meski ia lihat bibir Tara masih membuka menutup, menyampaikan info apapun yang ia punya, tak bisa lagi menyentuh gedang telinga Awan. Ada yang tertahan di sudut mata Awan. Yang memaksa kakinya yang melemas untuk pergi saja dari sana. Amplop manis tadi jatuh. Bahkan Awan mungkin tak menyadarinya. Satu kata yang disorakkan hatinya padanya sekarang. Pergi dari sini!

Andai saja tak ada dinding yang menghalangi langkahnya, mungkin Awan tak akan pernah berhenti. Tak akan pernah sadar kalau ia sekarang sudah tidak ada di kelas. Syukurlah dinding koridor ini membantunya tersadar. Namun saat ini juga perih di hatinya terasa melebar. Rasa cemas ditolak atau apapun itu luntur sudah. Ia bukan hanya ditolak. Tapi kalah telak. Ia terlambat. Terlambat selangkah. Andai ia bisa mengejar langkah itu? Kini tujuh langkah di depannya sudah ada orang lain. Menggandeng tangan Esta dan berlari makin jauh darinya.

Siapa yang salah? Apa benar memang ia yang dungu? Atau Esta yang kurang peka atas perasaannya selama ini? Atau ia sendiri yang sebenarnya terlalu lama menyiakan waktu? Atau segala kemungkinan lain yang tak akan bisa membalikkan keadaan seperti semula?

Atau mungkin... ini masih bisa disebut takdir? Takdirkah? Takdirnya yang memang tak akan mungkin bersama seorang Esta.



Sebelumnya            Selanjutnya

No comments:

Post a Comment