Satu hari
tanpa makanan masih bisa dan bahkan sudah dijalani Awan selama ini. Tapi
semenjak mengenal cewek jutek binti tomboy binti galak binti cerewet dan binti
berisik yang namanya Esta itu, satu hari tanpa denger celotehannya yang
kadang-kadang bikin pusing kepala rasanya ada yang kurang. Mungkin mulut bawel
Esta sudah seperti caffeine bagi Awan.
Awan tak
bisa diam. Bocah itu jadi aneh kalau pendiam seperti itu. Rasanya ada yang
kurang. Karena diamnya Esta membuat Awan jadi lebih banyak dapat kacang.
Dapat lirikan saja tidak, apalagi kata dan sebagainya. Adu eyel-eyelan seperti
biasa juga tidak bisa. Cuma bisa memandangnya. Walah… Awan kan bukan vokalis
Armada yang di video klip Pemilik Hati itu. Yang cuma bisa memandang
cewek yang disukainya dari kejauhan. Ini Awan dan Esta lo. Karib yang
lengketnya mengalahkan permen karet yang nempel dengan kurang biadabnya
di celana.
Dengan
langkah kucing Awan mendekat. Menarik kursi dan menghadap langsung ke arah
Esta. Tubuhnya mulai condong, memberi perhatian. Dengan seenak udelnya ia
menarik salah satu cabang headseat itu dan memindahkannya ke telinga
kirinya. Esta yang tak tahu menahu pasal kedatangan makhluk rese ini
langsung mendelik. Tangannya reflek memukul tangan Awan dengan kekuatan pukulan
Hulk. Dalam keadaan seperti ini saja Esta masih bisa menjadikan Awan
tempat latihan kekuatan tangan. Sekali kedip headseat tadi sudah nyantol
sempurna lagi di telinganya. Awan pasang tampang cengo saja langsung
dicueki. Padahal biasanya toyoran keras bisa mendarat manis di jidatnya.
“Elo kenapa
si, Es?” tanyanya kepo. Bukan cuma kepo sebenarnya. Tapi pengen
tau banget. Siapa sih yang bisa lihat seseorang yang disayanginya murung
seperti itu?
Esta masih
diam. “Es… Esta! Es…” Awan mencoba membujuk. Segala macam cara sudah dia
lakukan. Yang narik-narik rambutnya, narik-narik tangannya, nyubit-nyubit
pipinya, inilah itulah, tapi masih saja Esta diam. Hidup segan mati tak mau,
itulah pribahasa yang cocok untuk Esta sekarang.
“Siapa, sih?
Emang ada ya cowok yang bisa bikin kamu galau kecuali aku?” Awan mulai ber-aku-kamu-an.
Kalau sudah dalam situasi seperti ini, itu artinya Awan mulai memberi perhatian
lebih. Mulai melembut dan benar-benar ingin membuat Esta paling tidak
memberinya sedikit clue tentang masalahnya. Tapi sayangnya Esta tetap
tak mau bicara. Akhirnya pun Awan hanya bisa menghela nafas. Mungkin Esta butuh
waktu. Tak ada pilihan lain kecuali diam sekarang. Ia bangkit. Bernego dengan
Nata sebentar agar gitarnya berpindah tangan kepadanya. “Nti gue traktir
cimol,” katanya sebagai imbalan.
Jadilah, jari-jari
panjang Awan memetik senar gitar. Memberi intro sebentar dengan alunan cukup
lembut. Lama kelamaan permainannya terdengar seperti alunan nada lagu Burung
Kakak Tua. Tapi Awan mengganti liriknya.
Esta sobat gue
Diem di jendela
Gue ampe tua
Nunggu dia cerita
Tek dung… Tek dung… Tek dung tralala
Saatnya buka puasa…
“Apaan sih
elo Awan Kingtom!” buk! Lagi-lagi tangan Esta melayang ke tubuh Awan.
“Eiy! Eiy!
Rusak, eh!” Awan mencoba menghalau tangan Esta yang mendorong-dorong gitarnya
agar menjauh. Capek karena Awan masih kekeh di tempatnya Esta kembali cemberut.
Pipinya menggelembung. Tapi tangan nakal Awan yang mencubit kedua pipinya gemas
akhirnya bisa juga membuatnya tertawa. Walau sebentar karena ia lagi-lagi
cemberut. Meski headseat-nya sudah ia tanggalkan.
Ah… enggak ngaruh. Bukan sekarang, enggak papa, deh, Awan menyerah. Ia kembali memainkan
gitarnya. Hanya lagu tanpa lirik. Lagu Sempurna dari Andra and the Backbone.
Mulai dari reffrain pertama, samar suara Esta terdengar.
Awan tersenyum. Tak lama akhirnya satu lagu itu mereka nyanyikan bersama.
Berkali-kali senyum Esta muncul, ditujukan untuk Awan. Tak bisa dipungkiri,
Awan cukup senang melihatnya. Melihat senyumnya lebih menyenangkan daripada cemberutnya.
Bukan berarti ia membenci Esta yang terdiam dan merenung seorang diri. Hanya
saja, hatinya ikut sedih. Kalau memang Esta sampai menangis, dia juga akan ikut
menangis. Setelah menampik semua rasa harga diri cowok yang ber-tittle
jauh dari air mata. Selain ibunya, hanya Esta satu-satunya perempuan yang bisa
ikut bahagia saat ia bahagia, dan tentu bisa ikut menangis kalau ia menangis.
Mungkin Awan
bisa menebak masalah apa yang sedang dipikirkan Esta sekarang. Mungkin ini
tentang kondisi keluarganya. Esta pernah cerita saat mereka duduk berdua
menunggu dosen pembimbing akademik mereka. Entah kebetulan, apa sengaja di-kebetulan-kebetulan-kan,
pembimbing akademik mereka sama. Punya kelompok belajar yang sama dan ikut
organisasi yang sama. Meski untuk dua hal itu Awan sendiri yang
menyengajakannya.
“Keluarga
gue itu ngebosenin, Wan. Tiap hari berantem. Kakak gue suka ngabisin duit
seenak jidatnya. Kakak cewek gue ditinggal suaminya dengan anak dua. Nyebelin
banget deh pokoknya. Jadi gue males kalo disuruh pulang kampung,” akunya ketika
Awan bertanya kenapa ia jarang sekali pulang kampung waktu itu.
“Wan! Gue
bete sebete-betenya sama kakak gue! Dikira gue punya duit kali, ya? Gue bete
banget sama dia! Rasanya gue pengen rendem dia di bayclin tau enggak, sih!”
cerita yang lain dari Esta. Berkali-kali dan Awan selalu menebak alasan yang
membuat Esta terlihat murung adalah hal yang sama.
Tapi kali
ini, Esta tidak mau cerita apapun. Mungkin Esta hanya ingin menelannya sendiri.
Atau mungkin karena ia tahu masalahnya akan redam seiring berjalannya waktu.
Itu pun kalau memang benar alasan diamnya kali ini itu keluarga. Kalau bukan,
entahlah. Yang bisa dilakukan Awan hanya mencoba mengerti. Esta tidak ingin
cerita apapun. Kalau memang dia mau, pasti nanti bakalan cerita sendiri. Paling
tidak, sekarang ia melihat senyum di wajah cantik ini.
Keintiman
mereka ini mungkin sempat mengundang perhatian yang lain. Tapi sekali lagi, itu
adalah pemandangan biasa. Meski ada beberapa hati yang menyayangkan status
mereka yang hanya sebatas sahabat.
***
Malas
pulang, Awan memilih pergi ke sekretariat himanya. Tidak ada orang. Statusnya
sebagai ketua salah satu bidang dalam organisasi itu menguntungkannya. Ia punya
kunci. Jadi dia bisa dengan leluasa masuk keluar sekretariat kalaupun sedang
tidak ada orang. Rencananya ia ingin tidur sebentar. Merilekskan otaknya yang
seharian dijejali mata kuliah dan ceramah dosen. Lumayan. Daripada di kosan.
Dia tidak akan mungkin bisa tidur kalau sudah sampai kosan. Alasannya, ada saja
teman satu kosnya yang nimbrung di kamarnya. Apalagi coba kalau bukan PS yang
diincar? Ia sempat berpikir membuka rental PS saja sekalian. Tapi toh,
tanpa diminta pun ia juga sering dapat traktiran. Kalau kita baik sama
orang, pasti kebaikan itu bakal balik ke kita, ia ingat betul kata-kata ibunya.
Baru
berbaring sebentar, paling baru satu menit dia memejamkan mata, telinganya
menangkap suara gaduh-gaduh di luar. Padahal nyawanya tinggal setengah, tapi
mau tak mau ia harus bangun lagi. Masalahnya itu suara malah makin menjadi. Apa,
sih? Ganggu aja, nih! Rutuknya, terpaksa dalam hati. Kalau sampai dia
teriak-teriak protes ke biang pembuat gaduh itu bisa-bisa dia juga jadi
sasaran.
Malas
berdiri, Awan hanya melongok keluar dengan kepala menyembul dari balik pintu.
Sepi sekali sekretariat di sini. Hanya dia yang ada di sana dan hanya dia yang
menikmati kegaduhan yang terjadi di jalan depan kumpulan sekretariat himpunan
mahasiswa ini. Yang dia lihat sepasang manusia dengan beda gender itu
sedang bersitegang. Satu yang membuat Awan cukup tertarik. Motor matic
silver tergeletak di samping mereka. Pacaran lagi berantem parah bener,
ujar hatinya. Sedikit protes.
Sebenarnya
tidak ingin ikut campur. Tapi, melihat tangan kekar si cowok yang melayang ke
udara dan tiba-tiba mendarat mulus di pipi si cewek, membuat matanya mendelik
sempurna. Weh gila! Kekerasan dalam berpacaran nih ceritanya! Hatinya
lagi-lagi berkomentar. Entah dapat perintah darimana, tiba-tiba ia berdiri.
Melihat air mata dari mata bundar gadis itu mulai mengucur. Jiwa pahlawannya
bangkit. Meski sebenarnya tak baik mencampuri urusan orang lain. Tapi, melihat
kekerasan di depan matanya tentu ia tak bisa diam.
Setengah
berlari, Awan akhirnya berhasil menggapai tangan si cowok yang hampir melakukan
aksi yang sama. “Weh! Sabar dulu, Mas,” kata Awan, mencoba setenang mungkin.
Kan aneh kalau tiba-tiba ia tersulut emosi. Padahal ia tidak tahu menahu
kejadian yang terjadi. Melihat perawakan cowok ini juga rasanya tak sebanding
dengan Awan. Dari balik lengan kaos pendeknya otot-ototnya kelihatan
besar-besar. Lebih tinggi pula dari Awan. Awan tidak akan mau jadi sasaran
tinjunya sekarang. Santai. Dia hanya tidak ingin melihat kekerasan di depan
matanya. Kalau memang mau dilanjut, Awan akan angkat tangan. Asal jangan di
sini. Terserah deh mau dimana saja.
“Siapa elo?
Selingkuhannya, ya?!” sentak cowok ini. Hampir membuat Awan ciut.
“Har!” suara
cewek yang sudah di belakang Awan itu melengking manis ke telinga Awan.
Sepertinya dia tidak terima dengan kata selingkuh yang jelas ditujukan
padanya itu.
“Bukan, Mas.
Saya cuma tadi kebetulan liat mas sama mbaknya berantem. Ada apa sebenarnya
ini?” tanya Awan, masih sekuat tenaga tenang. Padahal cowok ini sudah gusar
ingin memukulnya. Saking khawatirnya, Awan memilih kata ganti saya.
Melihat dari gaya fashion-nya, Awan yakin cowok ini bukan dari Fakultas
yang sama dengannya. Tapi ini lingkungan
Awan. Kalaupun sampai dia juga kena ampas, dia
bisa cari bala bantuan.
“Bisa
diomongin baik-baik. Jangan berantem di sini. Apalagi kekerasan sama cewek itu
enggak baik. Omongin dengan kepala dingin,” sebisa mungkin Awan berucap dengan
hati-hati. Takutnya dia malah tersinggung dan benar-benar melayangkan pukulan
padanya. Tapi nyatanya orang ini malah tidak menganggap kehadiran Awan sama
sekali. Awan menyerah karena si cewek yang menyelesaikannya. Meski dengan
teriakan dan cacian serta umpatan yang mengikutsertakan nama-nama anggota kebun
binatang, cowok tadi memilih pergi. Tentunya dengan membawa motornya yang
sempat kandas di aspal tadi. Sedangkan si cewek yang ditinggalnya masih
sesenggukan. Awan bingung sendiri sekarang jadinya bagaimana.
“Ke
sekretariat saya aja dulu yok, Mbak. Saya kasih minum,” tawar Awan. Tanpa
jawaban, cewek ini ikut saja diajak Awan.
Sampai di
sekretariat, Awan menyodorinya minum. Ia tunggu sampai cewek ini benar-benar
tenang. Tapi, dia tidak bermaksud menanyakan perihal musabab kejadian tadi.
Bukan urusannya. Si cewek juga diam saja. Bibir kecilnya hanya berucap terima
kasih, tidak lebih. Awan pun memilih diam. Kecanggungan di antara keduanya bisa
teralihkan karena tiba-tiba hp si cewek memekik pelan.
“Iya, Ay.
Gue lagi di sekretariat hima jurusan di FKIP, ini. Iya, Ay. Elo ke sini, ya?”
sebaris kalimat yang sempat ditangkap Awan. Selebihnya, entahlah. Karena Awan
langsung mendekati Nata yang datang dengan wajah bingung lewat pintu belakang.
“Siapa,
Wan?” tanyanya setengah berbisik. Matanya melirik ke arah cewek itu begitu
asing. Apalagi tampilannya beda jauh dengan seluruh penghuni FKIP. Dari
Fakultas Ekonomi? Atau Fakultas Hukum? Atau malah Kedokteran? Tebaknya seorang
diri.
Jawaban dari
Awan hanya angkatan bahu. Tanda Awan pun tak tahu. Ni cewek namanya siapa, Awan
juga tidak tahu. Cewek ini belum bicara apa-apa. Awan pun tak ingin mengusik.
Melihat Nata yang hampir melontarkan pertanyaan lagi, ia berdiri. “Nitip
bentar, ya?” katanya kemudian pergi begitu saja. Nata celingukan. Ia bingung
sendiri harus bagaimana. Keputusannya untuk datang ke sekretariat hari ini
sepertinya salah. Ia hanya memberi senyum tipis pada cewek itu setelah cewek
itu selesai dengan hp-nya.
Tak lama,
ada cewek lain lagi yang datang ke sekretariat mereka. Lebih cantik. Wajah
kalem dengan hidung bangir mirip keturunan Turki. Rambutnya dikucir kuda cukup
rapi. Nata sempat kepincut, tapi cewek itu sama sekali tak memerhatikannya.
Ia langsung menghambur ke temannya itu dan terjadilah adegan yang hampir mirip
dengan adegan film. Tangis-tangisan. “Hari emang udah keterlaluan! Sani! Enggak
seharusnya elo pertahanin cowok kayak dia!” ujar cewek itu. Sedangkan Nata
melongo. Aduh, aduh! Ada apaan sih, ini? Si Awan juga kemana lagi? Dumelnya
kesal.
Sampai dua
cewek itu pamit, juga tanpa menyebutkan nama, Awan juga belum datang. Tapi,
Awan sempat melihat mereka berdua masuk ke dalam mobil yang di parkir di tempat
pertengkaran tadi berlangsung. Matanya menangkap sosok yang sepertinya ia
kenal. Teman cewek yang berkelahi dengan cowoknya tadi seolah tak asing
baginya. Siapa, ya? pikirnya. Tapi, belum sempat berlari mendekat dan
memastikan, mereka sudah pergi. Mau tak mau Awan harus menelan rasa penasarannya
sendiri.
Begitu
sampai di sekretariat, kepala Awan celingukan. Nata sudah tidak ada di dalam.
Tapi tasnya masih ada. Kira-kira bocah satu itu minggat kemana?
“Nat?”
panggil Awan. Siapa tahu Nata nyelip di bawah kolong lemari begitu, kan.
“Gue di
samping!” nah, lo. Ada suara juga. Awan hampir saja keluar kalau suara Nata
tidak terdengar lagi. “Ke sini gue bacok elo!” sentaknya. Awan menelan
ludahnya. Dibacok? Gila! Tu anak lagi tensi kali, yak? Sembarangan mau bacok
orang? “Ngapain sih elo di situ?” balas Awan.
“Lagi
pacaran! Ganggu gue bunuh, elo!”
“Oh…”
tanggap Awan. Dari suara tertawa yang menyusul, Awan langsung paham siapa yang
bersama Nata, itu pasti Tara. Bibirnya tiba-tiba menyungging senyum. Bukankah nasib
Nata hampir sama dengan dirinya? Tara hanya menganggapnya teman curhat. Mungkin
Nata lebih ngenes. Masalahnya yang dibicarakan Tara semuanya tentang Diylan, senior yang disukainya. Awan tak bisa
membayangkan betapa sakitnya hati Nata. Melihat wanita yang disayanginya
tersenyum karena orang lain. Mendengar betapa wanitanya menyukai pria lain.
Nelangsa…
Lagi-lagi
Awan tak jadi memejamkan mata. Jantungnya berpacu lebih cepat karena suara
seseorang yang setiap detiknya hampir ia rindukan terdengar. Esta datang.
Bibirnya menyungging senyum begitu sumringahnya. Sontak ia berdiri. Bermaksud menyambut, dengan semangatnya ia
berlari ke pintu. Seperti biasa, ia selalu berduaan dengan Lin.
“Nah, gitu,
dong. Senyum. Enggak cemberut aja kerjaannya,” katanya begitu Esta masuk.
Bukannya memberi tanggapan cerah, Esta malah menyikut pundaknya. Haish…
kumat, deh! Gerutunya dalam hati. Tapi tak apa. Melihatnya tersenyum lebih
baik daripada cemberut.
Mereka
berdua duduk. Masih asik dengan percakapan mereka. Entah apa yang dibicarakan.
Awan tak begitu memerhatikan. Yang ia lihat hanya senyum manis dari Esta, dan
itu bisa membuatnya ikut tersenyum.
“Gue enggak
suka endingnya,” tanggap Esta.
“Lah, kenapa?
Bagus kali. So sweet gitu kan?”
“Ya, so
sweet, sih. Tapi, kenapa harus sama sahabatnya. Kan kasihan cowoknya.”
Sensitif
dengan kata sahabat, Awan mulai memasang telinganya. “Nih, ya. Cowoknya
itu kurang apa coba? Ganteng, baik, sabar, sayang banget lagi sama ceweknya.”
“Ya… kalau
dia sukanya sama sahabatnya, gimana?”
“Eh, enggak
ada ya sejarahnya sahabat bisa jadi pacar. Enggak boleh itu. Haram hukumnya!”
sentak Esta. Kekeh dengan pendapatnya.
Tahu apa
yang terjadi pada Awan? Memasang telinga sepertinya keputusan yang salah.
Kenapa dia harus mendengar percakapan mereka? Enggak ada ya sejarahnya
sahabat bisa jadi pacar. Bukankah ini kata-kata yang terlalu menyakitkan
untuknya? Bahkan Esta bisa mengatakan hal itu haram. Lalu bagaimana kalau
sampai Esta tahu perasaan Awan yang sebenarnya? Mereka sahabat, kan? Tapi Awan
kan ada rasa sama Esta. Apa ini kode dari Esta bahwa perasaannya sama sekali
tak bisa berlanjut?
Percakapan
itu berhenti. Entah mengapa Lin melirik ke arah Awan. Apa mungkin cewek ini
tahu perasaan Awan pada Esta bagaimana? Masalahnya di wajahnya sekarang ada
gurat simpati. Melihat Awan yang tadi
cerahnya minta ampun sekarang malah mendung betul.
Rindu Awan berubah perih. Munafik kalau dia tidak mengakui dadanya mulai sesak. Tapi cowok kan anti air mata. Alhasil dia hanya bisa menjauh. Keluar dari sana dan sialnya dia lupa kalau ada Nata dan Tara di samping. Perasaannya bertambah berat melihat ekspresi Nata yang benar-benar mengenaskan. Mungkin Tara sedang antusias melancarkan curhatannya tentang Diylan. Kini Awan tak ada pilihan lain. Tanpa pamit, ia menggamit tasnya. Mungkin hanya kosan yang bisa ia jadikan tempat kembali sekarang. Bahkan belum sempat bilang, tapi dia sudah patah hati. Ini sih namanya mati sebelum perang.
Sebelumnya Selanjutnya
No comments:
Post a Comment