Friday, January 17, 2020

Mati Sebelum Perang


Satu hari tanpa makanan masih bisa dan bahkan sudah dijalani Awan selama ini. Tapi semenjak mengenal cewek jutek binti tomboy binti galak binti cerewet dan binti berisik yang namanya Esta itu, satu hari tanpa denger celotehannya yang kadang-kadang bikin pusing kepala rasanya ada yang kurang. Mungkin mulut bawel Esta sudah seperti caffeine bagi Awan. 
Membuat kecanduhan. Karena buktinya walaupun kadang-kadang Awan mengeluh dengan sikap Esta yang hyperactive-nya mengalahkan anak idiot sekalipun, kalau Esta diam saja dan murung Awan pasti sudah sibuk sendiri. Tanya kenapa lah, kalem amat lah, kesambet setan feminim lah, ini lah, itu lah. Pokoknya banyak. Sama seperti hari ini. Esta yang sejak mata kuliah pertama sampai terakhir jadi hobi nongkrong di pojokkan kelas. Dengan headseat yang nyantol manis di telinganya. Diam, tenang, sunyi, udah mirip kuburan aja tuh anak.
Awan tak bisa diam. Bocah itu jadi aneh kalau pendiam seperti itu. Rasanya ada yang kurang. Karena diamnya Esta membuat Awan jadi lebih banyak dapat kacang. Dapat lirikan saja tidak, apalagi kata dan sebagainya. Adu eyel-eyelan seperti biasa juga tidak bisa. Cuma bisa memandangnya. Walah… Awan kan bukan vokalis Armada yang di video klip Pemilik Hati itu. Yang cuma bisa memandang cewek yang disukainya dari kejauhan. Ini Awan dan Esta lo. Karib yang lengketnya mengalahkan permen karet yang nempel dengan kurang biadabnya di celana.

Dengan langkah kucing Awan mendekat. Menarik kursi dan menghadap langsung ke arah Esta. Tubuhnya mulai condong, memberi perhatian. Dengan seenak udelnya ia menarik salah satu cabang headseat itu dan memindahkannya ke telinga kirinya. Esta yang tak tahu menahu pasal kedatangan makhluk rese ini langsung mendelik. Tangannya reflek memukul tangan Awan dengan kekuatan pukulan Hulk. Dalam keadaan seperti ini saja Esta masih bisa menjadikan Awan tempat latihan kekuatan tangan. Sekali kedip headseat tadi sudah nyantol sempurna lagi di telinganya. Awan pasang tampang cengo saja langsung dicueki. Padahal biasanya toyoran keras bisa mendarat manis di jidatnya.

“Elo kenapa si, Es?” tanyanya kepo. Bukan cuma kepo sebenarnya. Tapi pengen tau banget. Siapa sih yang bisa lihat seseorang yang disayanginya murung seperti itu?

Esta masih diam. “Es… Esta! Es…” Awan mencoba membujuk. Segala macam cara sudah dia lakukan. Yang narik-narik rambutnya, narik-narik tangannya, nyubit-nyubit pipinya, inilah itulah, tapi masih saja Esta diam. Hidup segan mati tak mau, itulah pribahasa yang cocok untuk Esta sekarang.

“Siapa, sih? Emang ada ya cowok yang bisa bikin kamu galau kecuali aku?” Awan mulai ber-aku-kamu-an. Kalau sudah dalam situasi seperti ini, itu artinya Awan mulai memberi perhatian lebih. Mulai melembut dan benar-benar ingin membuat Esta paling tidak memberinya sedikit clue tentang masalahnya. Tapi sayangnya Esta tetap tak mau bicara. Akhirnya pun Awan hanya bisa menghela nafas. Mungkin Esta butuh waktu. Tak ada pilihan lain kecuali diam sekarang. Ia bangkit. Bernego dengan Nata sebentar agar gitarnya berpindah tangan kepadanya. “Nti gue traktir cimol,” katanya sebagai imbalan.

Jadilah, jari-jari panjang Awan memetik senar gitar. Memberi intro sebentar dengan alunan cukup lembut. Lama kelamaan permainannya terdengar seperti alunan nada lagu Burung Kakak Tua. Tapi Awan mengganti liriknya.

Esta sobat gue
Diem di jendela
Gue ampe tua
Nunggu dia cerita
Tek dung… Tek dung… Tek dung tralala
Saatnya buka puasa…

“Apaan sih elo Awan Kingtom!” buk! Lagi-lagi tangan Esta melayang ke tubuh Awan.

“Eiy! Eiy! Rusak, eh!” Awan mencoba menghalau tangan Esta yang mendorong-dorong gitarnya agar menjauh. Capek karena Awan masih kekeh di tempatnya Esta kembali cemberut. Pipinya menggelembung. Tapi tangan nakal Awan yang mencubit kedua pipinya gemas akhirnya bisa juga membuatnya tertawa. Walau sebentar karena ia lagi-lagi cemberut. Meski headseat-nya sudah ia tanggalkan.

Ah… enggak ngaruh. Bukan sekarang, enggak papa, deh, Awan menyerah. Ia kembali memainkan gitarnya. Hanya lagu tanpa lirik. Lagu Sempurna dari Andra and the Backbone. Mulai dari reffrain pertama, samar suara Esta terdengar. Awan tersenyum. Tak lama akhirnya satu lagu itu mereka nyanyikan bersama. Berkali-kali senyum Esta muncul, ditujukan untuk Awan. Tak bisa dipungkiri, Awan cukup senang melihatnya. Melihat senyumnya lebih menyenangkan daripada cemberutnya. Bukan berarti ia membenci Esta yang terdiam dan merenung seorang diri. Hanya saja, hatinya ikut sedih. Kalau memang Esta sampai menangis, dia juga akan ikut menangis. Setelah menampik semua rasa harga diri cowok yang ber-tittle jauh dari air mata. Selain ibunya, hanya Esta satu-satunya perempuan yang bisa ikut bahagia saat ia bahagia, dan tentu bisa ikut menangis kalau ia menangis.

Mungkin Awan bisa menebak masalah apa yang sedang dipikirkan Esta sekarang. Mungkin ini tentang kondisi keluarganya. Esta pernah cerita saat mereka duduk berdua menunggu dosen pembimbing akademik mereka. Entah kebetulan, apa sengaja di­-kebetulan-kebetulan­-kan, pembimbing akademik mereka sama. Punya kelompok belajar yang sama dan ikut organisasi yang sama. Meski untuk dua hal itu Awan sendiri yang menyengajakannya.

“Keluarga gue itu ngebosenin, Wan. Tiap hari berantem. Kakak gue suka ngabisin duit seenak jidatnya. Kakak cewek gue ditinggal suaminya dengan anak dua. Nyebelin banget deh pokoknya. Jadi gue males kalo disuruh pulang kampung,” akunya ketika Awan bertanya kenapa ia jarang sekali pulang kampung waktu itu.

“Wan! Gue bete sebete-betenya sama kakak gue! Dikira gue punya duit kali, ya? Gue bete banget sama dia! Rasanya gue pengen rendem dia di bayclin tau enggak, sih!” cerita yang lain dari Esta. Berkali-kali dan Awan selalu menebak alasan yang membuat Esta terlihat murung adalah hal yang sama.

Tapi kali ini, Esta tidak mau cerita apapun. Mungkin Esta hanya ingin menelannya sendiri. Atau mungkin karena ia tahu masalahnya akan redam seiring berjalannya waktu. Itu pun kalau memang benar alasan diamnya kali ini itu keluarga. Kalau bukan, entahlah. Yang bisa dilakukan Awan hanya mencoba mengerti. Esta tidak ingin cerita apapun. Kalau memang dia mau, pasti nanti bakalan cerita sendiri. Paling tidak, sekarang ia melihat senyum di wajah cantik ini.

Keintiman mereka ini mungkin sempat mengundang perhatian yang lain. Tapi sekali lagi, itu adalah pemandangan biasa. Meski ada beberapa hati yang menyayangkan status mereka yang hanya sebatas sahabat.

***

Malas pulang, Awan memilih pergi ke sekretariat himanya. Tidak ada orang. Statusnya sebagai ketua salah satu bidang dalam organisasi itu menguntungkannya. Ia punya kunci. Jadi dia bisa dengan leluasa masuk keluar sekretariat kalaupun sedang tidak ada orang. Rencananya ia ingin tidur sebentar. Merilekskan otaknya yang seharian dijejali mata kuliah dan ceramah dosen. Lumayan. Daripada di kosan. Dia tidak akan mungkin bisa tidur kalau sudah sampai kosan. Alasannya, ada saja teman satu kosnya yang nimbrung di kamarnya. Apalagi coba kalau bukan PS yang diincar? Ia sempat berpikir membuka rental PS saja sekalian. Tapi toh, tanpa diminta pun ia juga sering dapat traktiran. Kalau kita baik sama orang, pasti kebaikan itu bakal balik ke kita, ia ingat betul kata-kata ibunya.

Baru berbaring sebentar, paling baru satu menit dia memejamkan mata, telinganya menangkap suara gaduh-gaduh di luar. Padahal nyawanya tinggal setengah, tapi mau tak mau ia harus bangun lagi. Masalahnya itu suara malah makin menjadi. Apa, sih? Ganggu aja, nih! Rutuknya, terpaksa dalam hati. Kalau sampai dia teriak-teriak protes ke biang pembuat gaduh itu bisa-bisa dia juga jadi sasaran.
Malas berdiri, Awan hanya melongok keluar dengan kepala menyembul dari balik pintu. Sepi sekali sekretariat di sini. Hanya dia yang ada di sana dan hanya dia yang menikmati kegaduhan yang terjadi di jalan depan kumpulan sekretariat himpunan mahasiswa ini. Yang dia lihat sepasang manusia dengan beda gender itu sedang bersitegang. Satu yang membuat Awan cukup tertarik. Motor matic silver tergeletak di samping mereka. Pacaran lagi berantem parah bener, ujar hatinya. Sedikit protes.

Sebenarnya tidak ingin ikut campur. Tapi, melihat tangan kekar si cowok yang melayang ke udara dan tiba-tiba mendarat mulus di pipi si cewek, membuat matanya mendelik sempurna. Weh gila! Kekerasan dalam berpacaran nih ceritanya! Hatinya lagi-lagi berkomentar. Entah dapat perintah darimana, tiba-tiba ia berdiri. Melihat air mata dari mata bundar gadis itu mulai mengucur. Jiwa pahlawannya bangkit. Meski sebenarnya tak baik mencampuri urusan orang lain. Tapi, melihat kekerasan di depan matanya tentu ia tak bisa diam.

Setengah berlari, Awan akhirnya berhasil menggapai tangan si cowok yang hampir melakukan aksi yang sama. “Weh! Sabar dulu, Mas,” kata Awan, mencoba setenang mungkin. Kan aneh kalau tiba-tiba ia tersulut emosi. Padahal ia tidak tahu menahu kejadian yang terjadi. Melihat perawakan cowok ini juga rasanya tak sebanding dengan Awan. Dari balik lengan kaos pendeknya otot-ototnya kelihatan besar-besar. Lebih tinggi pula dari Awan. Awan tidak akan mau jadi sasaran tinjunya sekarang. Santai. Dia hanya tidak ingin melihat kekerasan di depan matanya. Kalau memang mau dilanjut, Awan akan angkat tangan. Asal jangan di sini. Terserah deh mau dimana saja.

“Siapa elo? Selingkuhannya, ya?!” sentak cowok ini. Hampir membuat Awan ciut.

“Har!” suara cewek yang sudah di belakang Awan itu melengking manis ke telinga Awan. Sepertinya dia tidak terima dengan kata selingkuh yang jelas ditujukan padanya itu.

“Bukan, Mas. Saya cuma tadi kebetulan liat mas sama mbaknya berantem. Ada apa sebenarnya ini?” tanya Awan, masih sekuat tenaga tenang. Padahal cowok ini sudah gusar ingin memukulnya. Saking khawatirnya, Awan memilih kata ganti saya. Melihat dari gaya fashion-nya, Awan yakin cowok ini bukan dari Fakultas yang sama dengannya. Tapi ini lingkungan Awan. Kalaupun sampai dia juga kena ampas, dia bisa cari bala bantuan.

“Bisa diomongin baik-baik. Jangan berantem di sini. Apalagi kekerasan sama cewek itu enggak baik. Omongin dengan kepala dingin,” sebisa mungkin Awan berucap dengan hati-hati. Takutnya dia malah tersinggung dan benar-benar melayangkan pukulan padanya. Tapi nyatanya orang ini malah tidak menganggap kehadiran Awan sama sekali. Awan menyerah karena si cewek yang menyelesaikannya. Meski dengan teriakan dan cacian serta umpatan yang mengikutsertakan nama-nama anggota kebun binatang, cowok tadi memilih pergi. Tentunya dengan membawa motornya yang sempat kandas di aspal tadi. Sedangkan si cewek yang ditinggalnya masih sesenggukan. Awan bingung sendiri sekarang jadinya bagaimana.

“Ke sekretariat saya aja dulu yok, Mbak. Saya kasih minum,” tawar Awan. Tanpa jawaban, cewek ini ikut saja diajak Awan.

Sampai di sekretariat, Awan menyodorinya minum. Ia tunggu sampai cewek ini benar-benar tenang. Tapi, dia tidak bermaksud menanyakan perihal musabab kejadian tadi. Bukan urusannya. Si cewek juga diam saja. Bibir kecilnya hanya berucap terima kasih, tidak lebih. Awan pun memilih diam. Kecanggungan di antara keduanya bisa teralihkan karena tiba-tiba hp si cewek memekik pelan.

“Iya, Ay. Gue lagi di sekretariat hima jurusan di FKIP, ini. Iya, Ay. Elo ke sini, ya?” sebaris kalimat yang sempat ditangkap Awan. Selebihnya, entahlah. Karena Awan langsung mendekati Nata yang datang dengan wajah bingung lewat pintu belakang.

“Siapa, Wan?” tanyanya setengah berbisik. Matanya melirik ke arah cewek itu begitu asing. Apalagi tampilannya beda jauh dengan seluruh penghuni FKIP. Dari Fakultas Ekonomi? Atau Fakultas Hukum? Atau malah Kedokteran? Tebaknya seorang diri.

Jawaban dari Awan hanya angkatan bahu. Tanda Awan pun tak tahu. Ni cewek namanya siapa, Awan juga tidak tahu. Cewek ini belum bicara apa-apa. Awan pun tak ingin mengusik. Melihat Nata yang hampir melontarkan pertanyaan lagi, ia berdiri. “Nitip bentar, ya?” katanya kemudian pergi begitu saja. Nata celingukan. Ia bingung sendiri harus bagaimana. Keputusannya untuk datang ke sekretariat hari ini sepertinya salah. Ia hanya memberi senyum tipis pada cewek itu setelah cewek itu selesai dengan hp-nya.

Tak lama, ada cewek lain lagi yang datang ke sekretariat mereka. Lebih cantik. Wajah kalem dengan hidung bangir mirip keturunan Turki. Rambutnya dikucir kuda cukup rapi. Nata sempat kepincut, tapi cewek itu sama sekali tak memerhatikannya. Ia langsung menghambur ke temannya itu dan terjadilah adegan yang hampir mirip dengan adegan film. Tangis-tangisan. “Hari emang udah keterlaluan! Sani! Enggak seharusnya elo pertahanin cowok kayak dia!” ujar cewek itu. Sedangkan Nata melongo. Aduh, aduh! Ada apaan sih, ini? Si Awan juga kemana lagi? Dumelnya kesal.

Sampai dua cewek itu pamit, juga tanpa menyebutkan nama, Awan juga belum datang. Tapi, Awan sempat melihat mereka berdua masuk ke dalam mobil yang di parkir di tempat pertengkaran tadi berlangsung. Matanya menangkap sosok yang sepertinya ia kenal. Teman cewek yang berkelahi dengan cowoknya tadi seolah tak asing baginya. Siapa, ya? pikirnya. Tapi, belum sempat berlari mendekat dan memastikan, mereka sudah pergi. Mau tak mau Awan harus menelan rasa penasarannya sendiri.

Begitu sampai di sekretariat, kepala Awan celingukan. Nata sudah tidak ada di dalam. Tapi tasnya masih ada. Kira-kira bocah satu itu minggat kemana?

“Nat?” panggil Awan. Siapa tahu Nata nyelip di bawah kolong lemari begitu, kan.

“Gue di samping!” nah, lo. Ada suara juga. Awan hampir saja keluar kalau suara Nata tidak terdengar lagi. “Ke sini gue bacok elo!” sentaknya. Awan menelan ludahnya. Dibacok? Gila! Tu anak lagi tensi kali, yak? Sembarangan mau bacok orang? “Ngapain sih elo di situ?” balas Awan.

“Lagi pacaran! Ganggu gue bunuh, elo!”

“Oh…” tanggap Awan. Dari suara tertawa yang menyusul, Awan langsung paham siapa yang bersama Nata, itu pasti Tara. Bibirnya tiba-tiba menyungging senyum. Bukankah nasib Nata hampir sama dengan dirinya? Tara hanya menganggapnya teman curhat. Mungkin Nata lebih ngenes. Masalahnya yang dibicarakan Tara semuanya tentang Diylan, senior yang disukainya. Awan tak bisa membayangkan betapa sakitnya hati Nata. Melihat wanita yang disayanginya tersenyum karena orang lain. Mendengar betapa wanitanya menyukai pria lain. Nelangsa…

Lagi-lagi Awan tak jadi memejamkan mata. Jantungnya berpacu lebih cepat karena suara seseorang yang setiap detiknya hampir ia rindukan terdengar. Esta datang. Bibirnya menyungging senyum begitu sumringahnya. Sontak ia berdiri.  Bermaksud menyambut, dengan semangatnya ia berlari ke pintu. Seperti biasa, ia selalu berduaan dengan Lin.

“Nah, gitu, dong. Senyum. Enggak cemberut aja kerjaannya,” katanya begitu Esta masuk. Bukannya memberi tanggapan cerah, Esta malah menyikut pundaknya. Haish… kumat, deh! Gerutunya dalam hati. Tapi tak apa. Melihatnya tersenyum lebih baik daripada cemberut.

Mereka berdua duduk. Masih asik dengan percakapan mereka. Entah apa yang dibicarakan. Awan tak begitu memerhatikan. Yang ia lihat hanya senyum manis dari Esta, dan itu bisa membuatnya ikut tersenyum.

“Gue enggak suka endingnya,” tanggap Esta.

“Lah, kenapa? Bagus kali. So sweet gitu kan?”

“Ya, so sweet, sih. Tapi, kenapa harus sama sahabatnya. Kan kasihan cowoknya.”

Sensitif dengan kata sahabat, Awan mulai memasang telinganya. “Nih, ya. Cowoknya itu kurang apa coba? Ganteng, baik, sabar, sayang banget lagi sama ceweknya.”

“Ya… kalau dia sukanya sama sahabatnya, gimana?”

“Eh, enggak ada ya sejarahnya sahabat bisa jadi pacar. Enggak boleh itu. Haram hukumnya!” sentak Esta. Kekeh dengan pendapatnya.

Tahu apa yang terjadi pada Awan? Memasang telinga sepertinya keputusan yang salah. Kenapa dia harus mendengar percakapan mereka? Enggak ada ya sejarahnya sahabat bisa jadi pacar. Bukankah ini kata-kata yang terlalu menyakitkan untuknya? Bahkan Esta bisa mengatakan hal itu haram. Lalu bagaimana kalau sampai Esta tahu perasaan Awan yang sebenarnya? Mereka sahabat, kan? Tapi Awan kan ada rasa sama Esta. Apa ini kode dari Esta bahwa perasaannya sama sekali tak bisa berlanjut?

Percakapan itu berhenti. Entah mengapa Lin melirik ke arah Awan. Apa mungkin cewek ini tahu perasaan Awan pada Esta bagaimana? Masalahnya di wajahnya sekarang ada gurat simpati. Melihat Awan yang  tadi cerahnya minta ampun sekarang malah mendung betul.

Rindu Awan berubah perih. Munafik kalau dia tidak mengakui dadanya mulai sesak. Tapi cowok kan anti air mata. Alhasil dia hanya bisa menjauh. Keluar dari sana dan sialnya dia lupa kalau ada Nata dan Tara di samping. Perasaannya bertambah berat melihat ekspresi Nata yang benar-benar mengenaskan. Mungkin Tara sedang antusias melancarkan curhatannya tentang Diylan. Kini Awan tak ada pilihan lain. Tanpa pamit, ia menggamit tasnya. Mungkin hanya kosan yang bisa ia jadikan tempat kembali sekarang. Bahkan belum sempat bilang, tapi dia sudah patah hati. Ini sih namanya mati sebelum perang.

Sebelumnya          Selanjutnya

No comments:

Post a Comment