“Rapat pertama
udah telat! Katanya mau jalanin organisasi yang menjunjung tinggi solidaritas!
Apa ini yang namanya organisasi dengan solidaritas tinggi? Kalo telat
bareng-bareng? Korupsi waktu bareng-bareng? Bikin orang lain nunggu ampe basi sendirian
di sekret?!” dumel Esta sendiri. Walaupun mendumel berkali-kali tangannya masih
setia mengatur map-map yang berserakan di lantai. Dia yang pertama kali datang.
Tepat pukul sembilan dan mendapati keadaan sekretariat organisasinya kacau
balau, mirip kandang ayam. Sudah lima belas menit ia berbenah, tapi tak ada
satu pun anggota organisasi ini yang nongol setelahnya. Huh! Tau gitu gue
enggak usah datang! Tak puas dengan bibirnya, hatinya pun tak kalah saing.
“Hai!”
tiba-tiba sebuah suara muncul. Seharusnya Esta senang, ada satu orang yang
akhirnya datang. Tapi, melihat tampang watados yang nongol di pintu ini
membuatnya malah makin kesal. Masih bisa nyapa setelah telat lima belas
menit? Lenguh batin Esta. Ia tak ingin menatap bocah itu. Ia malas, dan
terlanjur kesal. Map-map di tangannya lebih berharga.
“Belum ada yang
dateng?” tanya Awan duduk di bingkai pintu. Tak ada jawaban dari Esta.
Hanya lirikan sebal yang bahkan sama sekali tak Awan perhatikan. Apalagi bocah
itu dengan seenak jidatnya, tanpa menunggu jawaban dari Esta, langsung ngacir
begitu saja. Pindah ke sekretariat sebelah.
“Dasar sok
sibuk! Mentang-mentang punya dua organisasi, bisa pindah seenak udelnya! Udah
kayak kucing abis lahiran aja!” entah sudah berapa meter darah di tubuh Esta
memuncak. Kalau saja dia tidak mengingat posisinya sebagai bendahara umum,
mungkin dia tidak akan datang hari ini. Kalau saja bukan dia yang pegang uang
untuk acara ini nantinya, mungkin dia tidak akan pernah sudi menginjakkan
kakinya ke sini. Kalau saja tak ingat betapa ia cinta pada organisasi ini,
mungkin ia sudah berkutat dengan buku-buku tebal di perpustakaan. Berjuang
matian-matian untuk dapat indek prestasi terbaik. Daripada harus ke sini dan
memberesi tempat ini, bahkan kamarnya saja tak pernah lepas dari kata
berantakan.
“Huah!”
“Setan!” buk!
Reflek Esta melempar sebuah map ke arah Awan. Tiba-tiba bocah itu muncul begitu
saja dari balik pintu belakang. Begitu melihat Awan yang malah cengengesan,
Esta mengumpat tak jelas, “Dasar bocah sableng! Setan kudisan elu, ya!
Sembarangan narok jidat ngagetin orang kayak petasan! Belum pernah direndem di
Rinso kali, ya?!”
Awan tak ambil
pusing dengan umpatan sahabatnya itu. Ia sudah terlalu mengenal Esta. Kata
apapun akan diletupkan di bibir mungil cewek satu itu kalo sudah menyangkut
masalah jantung. Masih untung bukan nama-nama anggota kebun binatang yang
keluar. Masih untung juga yang mendengarkan hanya Awan. Kalau sampai orang yang
belum mengenalnya ada di sana, mungkin Esta sudah dicap sebagai tahanan RSJ
yang buron.
“Ya elah, Es
Serut! Masak gue yang cakepnya ngalahin Rizky Nazar begini elo bilang setan
kudisan, sih?” timpal Awan yang sudah menyerahkan kembali map yang tadi sempat
mendarat di wajahnya.
Map itu tak
lantas diterima begitu saja. Harus melayang satu kali lagi ke tubuh Awan. Atau
mungkin tiga sampai tujuh kali dulu baru Esta bisa menanggapi kalimat Awan.
“Rizky Nazar dari Afrika! Yang ada elu mah Rejeki Nyasar! Dasar Awan Kingtom!
Elu udah dateng telat, malah nyari gara-gara sama gue lagi. Udah bosen idup
elu, ya?!”
“Es Serutku
yang kecut, berisik banget sih elo. Suara elo itu udah kayak klakson kereta api
tau enggak!”
“Ye…
sembarangan aja elu muka barongsai!”
“Muka
barongsai? Eh… yang ada elu noh, muka cucian kusut abis kena muntahan kucing
kampus hamil yang enggak makan enam hari!”
“Mati bego tu
kucing gara-gara kelaperan!”
“Enggak ada
kucing kelaperan yang perutnya buncit!”
“Dasar otak
rongsokan! Pan elu sendiri tadi yang bilang kalo tu kucing hamil. Elu kira tu
perut isinya apaan? Ikan salmon?”
“Iya.”
“Kok bisa?”
“Orang dia
hamilnya gara-gara diperkosa sama ikan salmon.”
“Hah?! Apaan
sih elo! Dasar tempe bacem! Ngaco aja elo kerjaannya! Udah bantuin gue nih!
Enggak liat apa sekret udah kayak kandang curut.”
“Gue keluar
dari organisasi aja deh kalo gitu.”
“Hah?”
“Kalo gue di
sini, gue jadi curut dong. Udah cukup elo aja yang jadi curut. Enggak usah
ngajak-ngajak gue.”
“Awan Mendung!”
“Hehe… peace,
Es. Gue kebelet pipis. Sorry, ye?” ujar Awan sebelum ngacir lagi dari
sana.
“Awan
kumulonimbus! Dasar oseng kangkung campur oncom! Kerak telor gosong! Sundel
bolong ngompol! Hiah! Awas elo balik lagi! Gue rendem elo pake bayclin!” hampir
saja teriakan Esta memecahkan kaca sekretariat. Sedangkan Awan sudah cekikikan
sambil lari menuju toilet. Kalau sudah marah seperti macan kurang makan
sebaiknya gadis itu dihindari. Kalau tidak, sekretariat yang sudah dia beresi
malah bisa lebih kacau lagi. Awan tidak ingin menanggung resiko melihat
sekretariat ringkih-nya itu menjadi lebih buruk lagi.
“Esta… Esta…”
gumamnya seraya menyungging senyum.
Rasanya aneh
sekali membandingkan bocah itu sejak pertama kali ia bertemu saat ospek. Rambut
panjangnya saat itu dikucir dua dengan pita warna merah. Ya… walaupun semuanya
sama. Tapi, saat itu Esta kelihatan begitu kalem.
“Aku… Lestari
Miara Danika. Panggilannya Esta. Salam kenal,” Awan ingat betul dengan
perkenalan singkat mereka saat itu. Esta polos tersenyum begitu manisnya. Ia
tak menyangka bahwa Esta yang terlihat polos saat itu bisa berubah seperti
sekarang. Bringasan dan tomboynya na’udzubillahiminzalik!
“Kamu belum
dapet kelompok, kan? Satu kelompok sama aku, ya?” inilah kalimat pertama yang
diucapkan Esta waktu itu. Entah kebetulan atau takdir, Esta duduk di
sebelahnya. Padahal sejak awal datang ospek pertama, Awan sama sekali belum
dapat teman. Ia malas, karena menurutnya berkenalan saat ospek tidak ada
gunanya. Ia tidak akan ingat nama mereka saat kuliah sebenarnya dimulai
nantinya. Tapi, karena Esta yang mengulurkan tangan terlebih dahulu, ia tentu
tak akan menolaknya. Menurut matanya saat itu, gadis ini tidak akan terlalu
merepotkannya. Mungkin sifatnya sama seperti yang lain, pendiam, malu-malu
kucing telon, dan manja-manja sedikit begitu. Tapi eh… makin ke sini kok malah
makin jadi ternyata. Nasib… nasib…
Selesai
dengan hajat-nya di toilet, Awan kembali lagi ke sekretariat. Sudah ada
beberapa cewek dan Nata, teman satu kelasnya. Begitu melihat Awan, Nata seolah
melihat air di tengah padang Mahsyar.
“Syukur elo dateng, Wan. Gue enggak kuat
sama anak-anak cewek ini,” ujarnya pelan.
“Waduh… elo
diapain, Nat? Elo enggak disunat untuk yang kedua kalinya, kan?” Awan memasang
wajah paniknya.
“Hampir,
Wan. Hampir… elo penyelamat gue dah.”
“Jangan
terima kasih sekarang, Nat. Perut gue belum laper nih.”
“He?
Maksudnya?” Nata mencium bau-bau tak beres yang sepertinya akan merajai isi
dompetnya.
“Ntar aja
terima kasihnya. Kalo gue udah laper, ajakin gue ke warung pojok. Nasi goreng
spesial seporsi aja deh, sama es teh satu gelas. Cukup, cukup…” balas Awan.
Seketika itu juga Nata melepas genggaman tangannya yang tadi bertengger mesra
di lengan Awan. Bibirnya komat-kamit mencibiri Awan dengan seribu satu kata
dari kamus umpatan manusia. “Mending gue disunat dua kali, Wan. Enggak liat
apa? Muka boke begini masih aja elo palakin!” decihnya sebal. Tapi sang
tersangka hanya ngakak.
Hem… jelas
saja Nata ketar-ketir sendirian bersama makhluk yang berbeda kalangan, jenis,
dan habitat dengan mereka berdua ini. Walaupun ada satu yang hampir menyerupai
mereka, siapa lagi kalau bukan Esta. Tetap saja. Yang namanya cewek, kalau
sudah kumpul jadi satu, kernet angkot saja lewat. Berisiknya men…
mirip ayam musim bertelor.
Awan memilih
masuk. Mungkin tinggal menunggu beberapa menit lagi sampai semua anggota hadir.
Urusan di sekretariat sebelah juga sudah beres. Untuk detik ini, ia bisa
mencurahkan segenap jiwa dan raganya di organisasi ini. Santai… tak perlu
bolak-balik lagi. Dalam hatinya ia mensyukuri keterlambatan anggota lainnya
pada rapat hari ini. Karena kalau tidak, ia bisa tidak konsisten sejak tadi.
Yah… walaupun sebenarnya ia lebih banyak menuangkan waktu di organisasi satu
ini. Selain karena ini adalah organisasi jurusannya, ada sebuah senyum yang
selalu bisa membuatnya semangat. Satu orang, dan mungkin kalian sudah paham.
Esta.
Bukan cerita
antimainstream lagi kalau ada sahabat yang jatuh cinta dengan
sahabatnya. Apalagi ini lawan jenis. Ikatan sahabat di antara mereka terjadi
ketika mereka sama-sama hampir menginjak usia dewasa. Usia dimana manusia
sedang sibuk-sibuknya mengurusi calon jodoh di masa depan. Atau mungkin, karena
pribahasa orang jawa waiting tresno jalaran songko kulino benar-benar
tepat sasaran, itulah yang terjadi sekarang. Ya, Awan jatuh cinta pada Esta
karena terlalu sering bergaul dengan dirinya. Padahal awalnya Awan sendiri
yakin Esta sama sekali bukan tipenya. Gadis tomboy, sama sekali tidak bisa
berhias diri, hobinya teriak-teriak dan memukul orang, siapa sangka bisa
membuatnya mabuk kepayang? Ah… cinta memang tak mengenal sasaran. Siapa saja
yang sudah terpanah asmara tidak akan bisa mengelak.
Sejauh ini,
Awan hanya berani mendendam rasa. Ia belum berani mengungkapkan isi hatinya
itu. Belum pas waktunya. Atau mungkin sebenarnya Awan hanya takut Esta tidak
akan menerima perasaannya. Atau malah dia takut kalau-kalau Esta kecewa karena
perasaannya tidak semustinya dirasakan dirinya sebagai sahabat? Ah… entahlah.
Mungkin hanya waktu yang bisa menjawabnya nanti.
“Heh, Awan
Kumulonimbus! Ngapain elo ngeliatin gue kayak gitu? Naksir elo ya sama gue?”
tiba-tiba suara cempreng Esta mendarat cantik di telinganya. Saat itulah Awan
sadar, sejak tadi pandangannya tak lepas sedetik pun dari Esta. Mampus! Gue
ketahuan!
“A… apaan
sih elo? Naksir, naksir! Naksir pale elo itu!” balasnya, sedikit gugup. Apalagi
Esta malah mendekatinya. Entah sejak kapan cewek-cewek yang berkumpul di
dekatnya tadi pergi. Nata juga sudah berkutat dengan telponnya.
“Gu… gue itu
tadi ngeliatin idung elo itu. Ada upilnya apa enggak! Enggak usah ke-PD-an
deh!” sebisa mungkin Awan bersikap wajar. Tapi deg! Esta membuatnya
hampir mati membeku. Tiba-tiba gadis ini bersender di pundaknya. Apa-apaan,
nih? Gue mimpi kali, ya? pikir Awan dengan sejuta kegugupan di dirinya.
“E… Es…”
lirihnya pelan.
“Ali ada
urusan sama dekan katanya. Gue bentaran deh mau bobok. Jangan banyak bacot elo,
ya? Please! Gue ngantuk banget,” jawabnya. Tanpa melihat reaksi yang diberikan
Awan, Esta menutup matanya begitu saja. Padahal Awan jelas menegang. Sekujur
tubuhnya kaku. Esta dirasanya kelewat batas hampir membuat jantungnya copot dan
melompat keluar. Bocah ini kalau bertingkah kadang-kadang yang dipakai untuk
berpikir malah dengkul. Iya sih tittle mereka sahabat. Tapi, kalau
sampai ada yang salah paham bagaimana? Meskipun Awan sendiri cukup senang
dengan posisi mereka sekarang.
“Seenaknya
aja elo, ya? Elo kira gue enggak pegel apa?” Awan berpura protes. Tapi tak ada
tanggapan. Jadi, apa benar Esta sudah tidur?
“Tidur?”
Nata yang baru selesai dengan urusan telponanannya menyikut lengan sebelah
kanan Awan. Awan menjawab dengan anggukan gugup. Tapi toh, Nata tak begitu
peduli. Dia, juga teman-teman sekelas, ah… bahkan seorganisasi ini sudah hapal
betul dengan hubungan mereka. Dibilang pacaran bukan, tapi kelakuan hampir
mengalahi sepasang sejoli yang baru anget jadian sekalipun. Mungkin
menyandang gelar sahabat membuat yang lain merasa wajar dengan kelakuan mereka.
Termasuk adegan yang seharusnya cukup romantis ini kalau di FTV-FTV begitu.
Detik ini semua berhenti. Nasib baik Awan duduk di dekat pintu. Belaian singkat dari angin yang mampir masih bisa ia rasakan. Meski di balik kemeja merah hatinya peluh dingin mulai merajaj. Jadi… beginikah rasanya?
Selanjutnya
No comments:
Post a Comment