Friday, January 17, 2020

Detak Jantung



“Rapat pertama udah telat! Katanya mau jalanin organisasi yang menjunjung tinggi solidaritas! Apa ini yang namanya organisasi dengan solidaritas tinggi? Kalo telat bareng-bareng? Korupsi waktu bareng-bareng? Bikin orang lain nunggu ampe basi sendirian di sekret?!” dumel Esta sendiri. Walaupun mendumel berkali-kali tangannya masih setia mengatur map-map yang berserakan di lantai. Dia yang pertama kali datang. Tepat pukul sembilan dan mendapati keadaan sekretariat organisasinya kacau balau, mirip kandang ayam. Sudah lima belas menit ia berbenah, tapi tak ada satu pun anggota organisasi ini yang nongol setelahnya. Huh! Tau gitu gue enggak usah datang! Tak puas dengan bibirnya, hatinya pun tak kalah saing.

“Hai!” tiba-tiba sebuah suara muncul. Seharusnya Esta senang, ada satu orang yang akhirnya datang. Tapi, melihat tampang watados yang nongol di pintu ini membuatnya malah makin kesal. Masih bisa nyapa setelah telat lima belas menit? Lenguh batin Esta. Ia tak ingin menatap bocah itu. Ia malas, dan terlanjur kesal. Map-map di tangannya lebih berharga.

“Belum ada yang dateng?” tanya Awan duduk di bingkai pintu. Tak ada jawaban dari Esta. Hanya lirikan sebal yang bahkan sama sekali tak Awan perhatikan. Apalagi bocah itu dengan seenak jidatnya, tanpa menunggu jawaban dari Esta, langsung ngacir begitu saja. Pindah ke sekretariat sebelah.

“Dasar sok sibuk! Mentang-mentang punya dua organisasi, bisa pindah seenak udelnya! Udah kayak kucing abis lahiran aja!” entah sudah berapa meter darah di tubuh Esta memuncak. Kalau saja dia tidak mengingat posisinya sebagai bendahara umum, mungkin dia tidak akan datang hari ini. Kalau saja bukan dia yang pegang uang untuk acara ini nantinya, mungkin dia tidak akan pernah sudi menginjakkan kakinya ke sini. Kalau saja tak ingat betapa ia cinta pada organisasi ini, mungkin ia sudah berkutat dengan buku-buku tebal di perpustakaan. Berjuang matian-matian untuk dapat indek prestasi terbaik. Daripada harus ke sini dan memberesi tempat ini, bahkan kamarnya saja tak pernah lepas dari kata berantakan.

“Huah!”

“Setan!” buk! Reflek Esta melempar sebuah map ke arah Awan. Tiba-tiba bocah itu muncul begitu saja dari balik pintu belakang. Begitu melihat Awan yang malah cengengesan, Esta mengumpat tak jelas, “Dasar bocah sableng! Setan kudisan elu, ya! Sembarangan narok jidat ngagetin orang kayak petasan! Belum pernah direndem di Rinso kali, ya?!”

Awan tak ambil pusing dengan umpatan sahabatnya itu. Ia sudah terlalu mengenal Esta. Kata apapun akan diletupkan di bibir mungil cewek satu itu kalo sudah menyangkut masalah jantung. Masih untung bukan nama-nama anggota kebun binatang yang keluar. Masih untung juga yang mendengarkan hanya Awan. Kalau sampai orang yang belum mengenalnya ada di sana, mungkin Esta sudah dicap sebagai tahanan RSJ yang buron.

“Ya elah, Es Serut! Masak gue yang cakepnya ngalahin Rizky Nazar begini elo bilang setan kudisan, sih?” timpal Awan yang sudah menyerahkan kembali map yang tadi sempat mendarat di wajahnya.
Map itu tak lantas diterima begitu saja. Harus melayang satu kali lagi ke tubuh Awan. Atau mungkin tiga sampai tujuh kali dulu baru Esta bisa menanggapi kalimat Awan. “Rizky Nazar dari Afrika! Yang ada elu mah Rejeki Nyasar! Dasar Awan Kingtom! Elu udah dateng telat, malah nyari gara-gara sama gue lagi. Udah bosen idup elu, ya?!”

“Es Serutku yang kecut, berisik banget sih elo. Suara elo itu udah kayak klakson kereta api tau enggak!”

“Ye… sembarangan aja elu muka barongsai!”

“Muka barongsai? Eh… yang ada elu noh, muka cucian kusut abis kena muntahan kucing kampus hamil yang enggak makan enam hari!”

“Mati bego tu kucing gara-gara kelaperan!”

“Enggak ada kucing kelaperan yang perutnya buncit!”

“Dasar otak rongsokan! Pan elu sendiri tadi yang bilang kalo tu kucing hamil. Elu kira tu perut isinya apaan? Ikan salmon?”

“Iya.”

“Kok bisa?”

“Orang dia hamilnya gara-gara diperkosa sama ikan salmon.”

“Hah?! Apaan sih elo! Dasar tempe bacem! Ngaco aja elo kerjaannya! Udah bantuin gue nih! Enggak liat apa sekret udah kayak kandang curut.”

“Gue keluar dari organisasi aja deh kalo gitu.”

“Hah?”

“Kalo gue di sini, gue jadi curut dong. Udah cukup elo aja yang jadi curut. Enggak usah ngajak-ngajak gue.”

“Awan Mendung!”

“Hehe… peace, Es. Gue kebelet pipis. Sorry, ye?” ujar Awan sebelum ngacir lagi dari sana.

“Awan kumulonimbus! Dasar oseng kangkung campur oncom! Kerak telor gosong! Sundel bolong ngompol! Hiah! Awas elo balik lagi! Gue rendem elo pake bayclin!” hampir saja teriakan Esta memecahkan kaca sekretariat. Sedangkan Awan sudah cekikikan sambil lari menuju toilet. Kalau sudah marah seperti macan kurang makan sebaiknya gadis itu dihindari. Kalau tidak, sekretariat yang sudah dia beresi malah bisa lebih kacau lagi. Awan tidak ingin menanggung resiko melihat sekretariat ringkih-nya itu menjadi lebih buruk lagi.

“Esta… Esta…” gumamnya seraya menyungging senyum.

Rasanya aneh sekali membandingkan bocah itu sejak pertama kali ia bertemu saat ospek. Rambut panjangnya saat itu dikucir dua dengan pita warna merah. Ya… walaupun semuanya sama. Tapi, saat itu Esta kelihatan begitu kalem.

“Aku… Lestari Miara Danika. Panggilannya Esta. Salam kenal,” Awan ingat betul dengan perkenalan singkat mereka saat itu. Esta polos tersenyum begitu manisnya. Ia tak menyangka bahwa Esta yang terlihat polos saat itu bisa berubah seperti sekarang. Bringasan dan tomboynya na’udzubillahiminzalik!

“Kamu belum dapet kelompok, kan? Satu kelompok sama aku, ya?” inilah kalimat pertama yang diucapkan Esta waktu itu. Entah kebetulan atau takdir, Esta duduk di sebelahnya. Padahal sejak awal datang ospek pertama, Awan sama sekali belum dapat teman. Ia malas, karena menurutnya berkenalan saat ospek tidak ada gunanya. Ia tidak akan ingat nama mereka saat kuliah sebenarnya dimulai nantinya. Tapi, karena Esta yang mengulurkan tangan terlebih dahulu, ia tentu tak akan menolaknya. Menurut matanya saat itu, gadis ini tidak akan terlalu merepotkannya. Mungkin sifatnya sama seperti yang lain, pendiam, malu-malu kucing telon, dan manja-manja sedikit begitu. Tapi eh… makin ke sini kok malah makin jadi ternyata. Nasib… nasib…

Selesai dengan hajat-nya di toilet, Awan kembali lagi ke sekretariat. Sudah ada beberapa cewek dan Nata, teman satu kelasnya. Begitu melihat Awan, Nata seolah melihat air di tengah padang Mahsyar. 
“Syukur elo dateng, Wan. Gue enggak kuat sama anak-anak cewek ini,” ujarnya pelan.

“Waduh… elo diapain, Nat? Elo enggak disunat untuk yang kedua kalinya, kan?” Awan memasang wajah paniknya.

“Hampir, Wan. Hampir… elo penyelamat gue dah.”

“Jangan terima kasih sekarang, Nat. Perut gue belum laper nih.”

“He? Maksudnya?” Nata mencium bau-bau tak beres yang sepertinya akan merajai isi dompetnya.

“Ntar aja terima kasihnya. Kalo gue udah laper, ajakin gue ke warung pojok. Nasi goreng spesial seporsi aja deh, sama es teh satu gelas. Cukup, cukup…” balas Awan. Seketika itu juga Nata melepas genggaman tangannya yang tadi bertengger mesra di lengan Awan. Bibirnya komat-kamit mencibiri Awan dengan seribu satu kata dari kamus umpatan manusia. “Mending gue disunat dua kali, Wan. Enggak liat apa? Muka boke begini masih aja elo palakin!” decihnya sebal. Tapi sang tersangka hanya ngakak.

Hem… jelas saja Nata ketar-ketir sendirian bersama makhluk yang berbeda kalangan, jenis, dan habitat dengan mereka berdua ini. Walaupun ada satu yang hampir menyerupai mereka, siapa lagi kalau bukan Esta. Tetap saja. Yang namanya cewek, kalau sudah kumpul jadi satu, kernet angkot saja lewat. Berisiknya men… mirip ayam musim bertelor.

Awan memilih masuk. Mungkin tinggal menunggu beberapa menit lagi sampai semua anggota hadir. Urusan di sekretariat sebelah juga sudah beres. Untuk detik ini, ia bisa mencurahkan segenap jiwa dan raganya di organisasi ini. Santai… tak perlu bolak-balik lagi. Dalam hatinya ia mensyukuri keterlambatan anggota lainnya pada rapat hari ini. Karena kalau tidak, ia bisa tidak konsisten sejak tadi. Yah… walaupun sebenarnya ia lebih banyak menuangkan waktu di organisasi satu ini. Selain karena ini adalah organisasi jurusannya, ada sebuah senyum yang selalu bisa membuatnya semangat. Satu orang, dan mungkin kalian sudah paham. Esta.

Bukan cerita antimainstream lagi kalau ada sahabat yang jatuh cinta dengan sahabatnya. Apalagi ini lawan jenis. Ikatan sahabat di antara mereka terjadi ketika mereka sama-sama hampir menginjak usia dewasa. Usia dimana manusia sedang sibuk-sibuknya mengurusi calon jodoh di masa depan. Atau mungkin, karena pribahasa orang jawa waiting tresno jalaran songko kulino benar-benar tepat sasaran, itulah yang terjadi sekarang. Ya, Awan jatuh cinta pada Esta karena terlalu sering bergaul dengan dirinya. Padahal awalnya Awan sendiri yakin Esta sama sekali bukan tipenya. Gadis tomboy, sama sekali tidak bisa berhias diri, hobinya teriak-teriak dan memukul orang, siapa sangka bisa membuatnya mabuk kepayang? Ah… cinta memang tak mengenal sasaran. Siapa saja yang sudah terpanah asmara tidak akan bisa mengelak.

Sejauh ini, Awan hanya berani mendendam rasa. Ia belum berani mengungkapkan isi hatinya itu. Belum pas waktunya. Atau mungkin sebenarnya Awan hanya takut Esta tidak akan menerima perasaannya. Atau malah dia takut kalau-kalau Esta kecewa karena perasaannya tidak semustinya dirasakan dirinya sebagai sahabat? Ah… entahlah. Mungkin hanya waktu yang bisa menjawabnya nanti.

“Heh, Awan Kumulonimbus! Ngapain elo ngeliatin gue kayak gitu? Naksir elo ya sama gue?” tiba-tiba suara cempreng Esta mendarat cantik di telinganya. Saat itulah Awan sadar, sejak tadi pandangannya tak lepas sedetik pun dari Esta. Mampus! Gue ketahuan!

“A… apaan sih elo? Naksir, naksir! Naksir pale elo itu!” balasnya, sedikit gugup. Apalagi Esta malah mendekatinya. Entah sejak kapan cewek-cewek yang berkumpul di dekatnya tadi pergi. Nata juga sudah berkutat dengan telponnya.

“Gu… gue itu tadi ngeliatin idung elo itu. Ada upilnya apa enggak! Enggak usah ke-PD-an deh!” sebisa mungkin Awan bersikap wajar. Tapi deg! Esta membuatnya hampir mati membeku. Tiba-tiba gadis ini bersender di pundaknya. Apa-apaan, nih? Gue mimpi kali, ya? pikir Awan dengan sejuta kegugupan di dirinya.

“E… Es…” lirihnya pelan.

“Ali ada urusan sama dekan katanya. Gue bentaran deh mau bobok. Jangan banyak bacot elo, ya? Please! Gue ngantuk banget,” jawabnya. Tanpa melihat reaksi yang diberikan Awan, Esta menutup matanya begitu saja. Padahal Awan jelas menegang. Sekujur tubuhnya kaku. Esta dirasanya kelewat batas hampir membuat jantungnya copot dan melompat keluar. Bocah ini kalau bertingkah kadang-kadang yang dipakai untuk berpikir malah dengkul. Iya sih tittle mereka sahabat. Tapi, kalau sampai ada yang salah paham bagaimana? Meskipun Awan sendiri cukup senang dengan posisi mereka sekarang.

“Seenaknya aja elo, ya? Elo kira gue enggak pegel apa?” Awan berpura protes. Tapi tak ada tanggapan. Jadi, apa benar Esta sudah tidur?

“Tidur?” Nata yang baru selesai dengan urusan telponanannya menyikut lengan sebelah kanan Awan. Awan menjawab dengan anggukan gugup. Tapi toh, Nata tak begitu peduli. Dia, juga teman-teman sekelas, ah… bahkan seorganisasi ini sudah hapal betul dengan hubungan mereka. Dibilang pacaran bukan, tapi kelakuan hampir mengalahi sepasang sejoli yang baru anget jadian sekalipun. Mungkin menyandang gelar sahabat membuat yang lain merasa wajar dengan kelakuan mereka. Termasuk adegan yang seharusnya cukup romantis ini kalau di FTV-FTV begitu.

Detik ini semua berhenti. Nasib baik Awan duduk di dekat pintu. Belaian singkat dari angin yang mampir masih bisa ia rasakan. Meski di balik kemeja merah hatinya peluh dingin mulai merajaj. Jadi… beginikah rasanya?

Selanjutnya

No comments:

Post a Comment